Rabu, 28 Maret 2018

Cerita Terakhir

Kehampaan melingkupi jiwaku dalam waktu yang panjang. Mendewasa, tanpa cita-cita. Tak berhasrat menggapai sesuatu, bahkan bingung harus melakukan apa. Kubiarkan saja waktu berlalu, tanpa peduli pada banyak hal yang terlewatkan. Bak daun kering yang diombang-ambingkan angin entah ke mana. Seolah hidup saja, tanpa alasan dan tujuan.
 
Hingga, kutemukanlah dirimu yang sempurna apa adanya. Sesesok wanita yang membuatku jatuh hati. Mengikat jiwaku, sebagaimana aku mengikat diriku sendiri. Menyatu, begitu erat. Menjadi penghias waktuku di alam angan-angan. Sampai kau menjadi alasanku untuk terus hidup demi harapan yang indah, pada akhir yang kutuju: kita.

Karena kau, hari-hariku jadi semakin berwarna. Jatuh hati padamu, telah membuat jiwaku semakin berseni. Aku jadi bisa melukis, demi menghadirkan rupamu di ruang rinduku. Aku jadi bisa bernyanyi dan memainkan alat musik, bahkan mencipta lagu, setelah rasa-rasaku yang rahasia, terus kudendangkan dalam ruang-ruang sendiriku.

Dan perubahan paling drastis dalam hidupku adalah soal aksara, yang ogah kulakoni di hari-hari yang lampau. Aku jadi seorang pencinta buku, sebab khawatir kekurangan kata kala kita mengobrol di satu waktu nanti. Pun, aku giat menulis, sebab itu adalah caraku menyampaikan dan meluruhkan perasaanku sendiri, padamu, sebelum kita benar-benar berkenalan. 

Betahun-tahun berlalu, tanpa sadar, aku pun telah banyak mengukir jejak-jejak aksara. Aku seperti menumbalkan diri sebagai penulis, tanpa peduli dapat apa, bahkan untuk sekadar perhatian. Aku terus menulis tentang kita, tanpa peduli apa kau tahu, atau sudi membacanya. Kulakukan saja, sambil meniatkan itu sebagai kado terindah kala kita bersama, kelak.
 
Sampai akhirnya, kegandrungan menulis cerita yang berbalut khayal, tentang kita, menjerumuskanku pada kondisi psikologis yang aneh. Aku jadi kecanduan merangkai cerita di dalam imajinasi. Jadi tersiksa setengah mati jika melalui tiga hari saja tanpa menulis apa pun tentangmu. Aku ingin menulis, tanpa paduli pada siapa dan apa pun yang lain.

Seiring waktu, aku terus menumpuk gubahan cerita tanpa tahu bagaimana cara berhenti. Kusambung, dan terus kusambung. Hingga beberapa cerita di antaranya, berseliweran di ruang-ruang publik. Membuat diriku mulai dikenal sebagai seorang penulis muda yang kreatif dan produktif. Dikenal sebagai diri yang tak pernah kubayangkan sebelum kita bertemu.

Tersiarlah juga berita-berita tentang karya tulisku. Orang-orang mulai merespons buah tanganku dengan kesan-kesan yang beragam. Ada yang memuji, meski tak sedikit pula yang menghina. Namun, aku tak akan risau dan terlena atas semua tanggapan mereka, sebab aku hanya peduli jika itu soal dirimu, yang telah menjadi alasan terbesarku dalam menulis sepanjang waktu. 

Atas popularitasku yang menanjak, orang-orang pun mulai mengincarku di berbagai ruang. Entah menghampiriku di ruang publik, menyapaku di beragam lini media sosial, atau bahkan mendatangiku di rumah. Tapi elu-eluan itu, terkadang membuatku semakin sepi. Apalagi kala kusadari, kau tak juga memerhatikan diriku atas apa yang telah kucipta, sebagaimana yang lain.

Keadaan memang telah banyak berubah. Sebagian diriku, telah menjadi kepentingan orang lain. Aku harus menghadiri beragam acara penulisan, sampai aku tak bisa lagi menyendiri sambil bermain denganmu dalam imajinasi. Aku harus menjumpai mereka yang memuja karyaku, menyebar tanda tangan, kala aku merasa terasing, sebab tak menjumpaimu di antara mereka.

Sampai akhirnya, jalan berliku dalam dunia penulisan, berhasil juga mendekatkan dirimu padaku. Dan senanglah aku, sebab mulai terlihat tanda-tanda bahwa rencana besarku untuk merengkuhmu melalui jalan aksara, akan terwujud.

“Nama kakak sudah terkenal sebagai seorang penulis yang patut diperhitungkan. Perasaan Kakak bagaimana? Apa ada yang berubah dalam hidup Kakak?” tanyamu, sembari menatap mataku, dalam. Terlihat tegas dan penuh percaya diri, sebagaimana biasa.

Kulayangkanlah satu senyuman padamu, juga tawa yang pendek. Berharap kau tak terlalu serius melakoni obrolan kita. “Sedikit risih, sebenarnya,” kataku, lalu menjeda untuk berdeham, kemudian menyambung, “Yang berubah adalah, aku tak seutuhnya lagi menjadi seorang penulis. Aku kadang harus tampil sebagai seorang artis, atau pelayan. Dan, kau tahu, penulis hanya perlu menulis, bukan tampil pamer di depan publik.”

Kau tampak terkesiap mendengar jawabanku. Seperti tak menduga aku akan menjawab begitu. Mungkin terdengar naïf menurutmu. “Tapi bukankah popularitas dan penggemar adalah idaman semua penulis?” tanyamu lagi. Menyelidik.

“Aku rasa, anggapan itu salah. Penulis tak butuh popularitas yang penuh ingar-bingar. Ia butuh kesenyapan untuk menulis dengan hati,” kataku, sembari memandang matamu dalam-dalam. “Penulis juga tak butuh penggemar, apalagi yang fanatik. Ia hanya butuh para pembaca, yang syukur-syukur, terilhami pesan moral tulisan untuk mereka terapkan dalam kehidupan nyata.”

Lagi-lagi, kau tampak terkesima mendengar jawabanku. “Kalau dengan prinsip semacam itu, apa yang menjadi motivasi dan inspirasi terbesar Kakak dalam menulis?”

Seketika, mulutku tersekat. Aku terdiam beberapa detik. Bertanya pada diriku sendiri. Aku butuh ketepatan kata untuk menjawab pertanyaan itu dengan sedikit diplomatis, tapi tidak juga berbohong. “Kalau motivasi, tentu dari diri sendiri. Aku selalu yakin bahwa sebesar apa pun semangat yang diserukan orang lain, tak akan sanggup meyakinkan diri kita yang meragukan diri sendiri. Maka lakukanlah sesuatu untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.”

Kau termangu saja. Seakan-akan aku baru saja menuturkan kata-kata puitis.

“Kalau inspirasi, bisa dari semua orang,” kataku. “Menulis itu butuh perasaan. Dan kita mengerti soal rasa perjuangan, penderitaan, dendam, cinta, benci, dan semuanya, bisa dari siapa saja,” sambungku lagi. Dan seketika, aku tak kuasa untuk memberikan sedikit isyarat padamu, “Bisa jadi, kau juga adalah motivasi dan inspirasiku dalam menulis.”

Kau tampak tersipu.

Tak lama kemudian, kau mengucapkan terima kasih, lalu mematikan alat perekam yang sedari awal tergeletak di antara kita.

“Jujur, secara pribadi, aku suka cerita yang Kakak tulis,” katamu, sambil menggaruk-garuk punggung tangan. Tampak segan. “Sejak dulu, aku telah menjadi pembaca blog pribadi Kakak. Semua tulisan di situ, mungkin telah selesai kubaca. Aku suka!”

Seketika, aku merasa sangat tersanjung. Sungguh!

“Boleh minta tanda tangan Kakak?” tanyamu, lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan cerpen karanganku.

Aku pun mewujudkan keinginanmu dengan senang hati. Lalu menyerahkan buku itu, kembali padamu.

“Aku yakin, Kakak tak akan terus menulis cerita yang menarik,” katamu, seperti menyatakan kalimat permintaan dan penyemangat sekaligus. “Entah di mana dan sibuk dengan apa pun, aku harap, Kakak terus menulis. Aku akan setia menanti dan menjadi pembaca pertama untuk setiap gubahan cerita dari Kakak!”

Dan tiba-tiba, aku seperti kehilangan diriku sendiri. Aku mulai curiga bahwa kau seperti juga penggemarku yang lain. Aku mulai khawatir bahwa kau lebih mendambakan apa yang kucipta, lebih dari diriku sendiri. 

“Entahlah. Kadang-kadang sebagai penulis, aku juga ingin menjalani hidup senyata-nyatanya, bukan menikmati hidup dalam imajinasi,” balasku.

Kau tertawa pendek. Seakan-akan aku bermaksud melucu, dan bukan sedang mengungkapkan keinginanku padamu, tentang kita. 

“Cetak majalahnya, mungkin selesai dua minggu ke depan,” katamu, dengan sikap profesional dan mimik yang tampak serius. “Hasil cetaknya, akan dikirimkan juga ke alamat Kakak.”

Aku mengangguk bodoh. “Baiklah.”

Kau tersenyum, lalu beranjak, pergi.

Pelukan Sore

Tiba-tiba saja, aku berdiri di sebuah jalan setapak. Di satu titik yang membuatku mempertanyakan keberadaan diri sendiri. Bingung dan penasaran. Bak terdampar ke dunia yang asing. Entah dari mana dan ke mana. Hanya menduga-duga kalau mungkin aku terlalu asyik bertualang, sampai jauh, hingga tersesat.
 
Namun setelah menelisik, aku sadar berada di sebuah lokasi yang kukenal. Di satu puncak bukit yang menjulang tinggi. Tempatku sering meneropong indahnya bentangan alam di lembah. Satu panorama yang tetap, meski telah banyak berubah. Tampak, bukit-bukit meranak-pinak. Pepohonan semakin rimbun. Bebatuan, lenyap, terbungkus rerumputan yang menjalar.

Atas keindahan alam yang semakin menawan, aku pun terkesima. Seolah melihat gambaran surga kala kaki masih menapak di bumi. Dan aku sadar, tak seharusnya menikmati keindahan itu seorang diri. Hingga aku teringat padamu. Teringat kita yang menanjak-menuruni bukit, berlari-lari mengejar belalang, atau terlentang menatap langit berganti warna. 

Perlahan, bersama takjub yang tak bertepi, rinduku pun memuncak. Aku ingin menemukan dan membawamu ke bukit ini, sesegera mungkin. Berdua saja, menikmati keindahan alam yang semakin memesona. Kemudian kita akan berdansa. Diiringi siulan burung, dibingkai kembang liar, di bawah teduhnya langit. Aku yakin, kau akan sangat senang kalau begitu. 

Kutapakilah semua arah. Menjelajah segenap permukaan bukit, menelusiri lembah terdalam, hingga menyelisik jejeran batu dan pepohonan. Tapi sia-sia. Kau tak juga kutemukan. Seolah-olah kau lenyap dari semesta. Dan aku berharap, kau cuma sengaja bersembunyi sampai rindu menumpuk, hingga nanti, kita luruhkan secara menggebu-gebu.

Seketika, terpikirlah olehku sebuah air terjun, tempat persembunyian favoritmu. Seperti dahulu, tanpa pamit pada siapa-siapa, kau suka ke sana di waktu lowong. Kau suka duduk di tepi bebatuan, sambil menyelonjorkan kakimu pada aliran air yang dingin. Kadang juga, kau hanya duduk sambil menanti penampakan ikan, atau menghanyutkan dedaunan kering satu per satu.

Kujajakilah jalan menuju air terjun. Berharap menemukanmu di sana penuh kegirangan, sebab kau berhasil melakoni adegan yang membuatku khawatir setengah mati. Namun jalanku, tak semulus yang kubayangkan. Lagi-lagi, rintangan mengadang. Gerimis mengucur di bawah sinar mentari. Aku pun berteduh di sebuah balai kecil, tempat kita sering menikmati langit sore. 

Tak lama kemudian, mungkin demi kita, tiba-tiba saja, gerimis berhenti. Menyisakan titik-titik hujan di udara yang menjelma jadi sebentuk pelangi. Satu lukisan alam yang membujur dan berujung di atas air terjun favoritmu. Sebuah pemandangan indah yang mencoba menawar kegundahan hatiku, bahwa aku akan menemukanmu untuk menikmati pelangi itu, bersama-sama.

Di detak waktu selanjutnya, aku jadi semakin berhasrat menjumpaimu secepatnya. Langkahku bergegas, setengah berlari, agar lekas tiba di hadapanmu. Dan seperti ditopang keajaiban, tanpa terasa, dalam sekejap mata, aku pun tiba di air terjun indahmu yang beratap pelangi. Seolah titik di antara kita saling mendekat, dan aku melalui jarak berkilometer dalam sedetik saja.

Namun, aku harus kecewa. Setelah kujejaki segala arah, menelusuri sepanjang sungai, aku tak menemukan pertanda kehadiranmu. Aku hanya menemukan sebuah selendang tersangkut di sela-sela bebatuan, di tengah aliran sungai. Satu selendang yang begitu indah, dengan harum yang menyerbak. Dan seketika, aku yakin saja kalau itu adalah punyamu.

Terpaksa, dengan penuh kepasrahan, kutiti lagi langkahku, kembali ke tepi air terjun idamanmu. Aku kembali menunggumu penuh harap, bahwa kau akan datang, entah dari mana. Apalagi kuduga, kau sebenarnya cuma menepi pada satu tempat saat gerimis berjatuhan. Dan kukira, saat ini, kau sedang di tengah perjalanan untuk kembali.

Tiba-tiba, keajaiban terjadi lagi. Kau datang menampakkan dirimu. Tidak dengan menapak di bebatuan, atau berenang di aliran sungai. Kau datang dari balik udara dengan melayang. Muncul di kaki pelangi, dengan cahaya berbinar-binar yang melingkupi dirimu. 

Perlahan, kau menghampiriku di sebuah permukaan batu yang datar dan melebar.

“Kau membawakan selendang itu untukku?” tanyamu, dengan bentuk senyuman yang begitu menawan.

Aku yang takjub dan terpaku memandangi cantikmu, seketika, tersadar juga untuk menjawab, “Ya. Aku yakin ini punyamu,” balasku, sambil menyodorkan selendang itu padamu. 

Kau tersenyum lagi, lalu menampakkan rona wajah yang berseri-seri. “Terima kasih,” katamu, lalu menyambut pemberianku.

“Kau dari mana saja?” tanyaku, penasaran. “Aku sudah lama menunggumu di sini.”

Kau pun menjawab dengan tatapan yang meneduhkan, “Aku tersesat di antara langit dan bumi. Aku tak bisa ke mana-mana tanpa selendang itu. Tapi beruntung, kau menemukannya,” jelasmu. Tampak sangat bahagia. 

“Lalu, hendak ke manakah kau dengan selendang itu?” selidikku lagi.

“Aku akan ke langit,” jawabmu, beserta satu senyuman yang menentramkan hati. “Seperti yang aku harap sejak dahulu, aku telah menjadi seorang bidadari langit. Aku turun dari kayangan.”

Aku terkesiap mendengar penuturanmu. Cemasku pun menjadi-jadi. “Apa itu berarti kau akan meninggalkanku? Apa itu berarti kita akan berpisah dan tak akan bertemu lagi?”

“Entahlah,” balasmu, tanpa raut kecemasan yang berlebihan. “Sore sudah hampir berlalu. Aku harus pergi.”

Seketika, hatiku dirundung kesedihan. Aku pun menuturkan satu permintaan terakhir, “Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?”

Senyumanmu yang menawan, kembali merekah. Kau lalu mengangguk. Memberiku satu persetujuan. “Tapi kau harus menutup matamu!”

Dan akhirnya, kupeluklah kau dengan segenap perasaanku. Kupeluk begitu erat.

Hingga kurasakanlah, satu pelukan balas mendekapku begitu lembut. Membuat tubuhku terasa hangat. Sampai dingin yang membias dari sisa gerimis atau percikan air terjun pun, jadi tak terasa.

“Aku mencintaimu,” bisikku.

Seketika, kurasakan satu kecupan di pipiku. “Aku juga mencintaimu, Sayang!”

Perlahan-lahan, kusibaklah mataku. Tapi akhirnya, aku tak melihatmu. Juga tak tampak pelangi, air terjun, pepohonan, atau gambaran lain tentang alam. Aku hanya menemukan diriku pada sebuah kasur, di balik selimut, bersama seorang wanita yang kusadari, telah menjadi kekasihku atas nama Tuhan, dua tahun yang lalu.

Dia pun memandangiku, penuh perhatian, lalu mempertanyakan perihal yang sudah berulang kali, “Apa aku bisa memegang janjimu, bahwa kau hanya akan mencintaiku sepanjang hidupmu?”

Dengan bias-bias mimpi yang masih tersisa, kutegaskan kembali janjiku untuknya. “Ya. Aku mencintamu, selama waktu selamanya!”

Dia pun tampak tersipu. “Kalau begitu, ceritakan lagi padaku tentang seorang perempuan yang menanti maut setelah mengidap penyakit paru-paru yang akut, dan ia pun berdoa supaya kelak menjadi sesosok bidadari, sehingga kapan-kapan, ia bisa menemui kekasihnya di sebuah air terjun. Apakah doanya terkabul?”

Akhirnya, kuceritakan lagi tentang dirimu. Kuceritakan, semua tentang keinginanmu, dan sebab kita berpisah, serta janji kita untuk bertemu suatu saat nanti, pada dimensi yang lain. Kuceritakan semenarik mungkin dengan penuh hiasan khayal, bak sebuah dongeng, dan bukan kisah nyata tentang kita.

“Doanya terkabul,” tandasku.

Seketika, ia berseru, “Aku ingin jadi bidadari, agar kelak, maut pun tak akan mampu memisahkan kita!”

Begini Saja

Mungkinkah kau bertahan?
Melewatkan esok demi esok
Kala kuabaikan kau di hari ini
Terikat pada isyarat tanpa kata
Tanpa janji untuk bercinta kelak
Tanpa titik rindu untuk kembali

Cukupkah kemungkinan jadi bekalmu?
Menapaki alur cerita yang tak pasti
Tanpa takut aku jatuh pada yang lain
Tanpa cemas kepastian menaklukkanmu
Sampai kau dan aku bersatu dalam kita
Bersama sepanjang waktu selamanya

Adinda, bertahanlah pada kemungkinan!
Yang di dalamnya kepastian bersemayam
Bertarung dalam diriku yang pengecut
Yang menyimpan kata sampai masa depan
Kala kuikrarkan sebentuk janji atas nama Tuhan
Hingga kemungkinan tinggallah cerita
Di saat nyatalah kita

Darah Kuasa

Aku tak akan lupa pada waktu-waktu itu. Para pemberontak mengobrak-abrik kampung halaman kami. Menjarah harta benda para penduduk. Menagih uang untuk bekal perjuangan mereka menegakkan negara dalam negara. Tak peduli pada perempuan atau anak-anak, mereka memalak dengan cara sadis. Tangis pun berjatuhan, darah berceceran, hingga nyawa menandas.
 
Tak lama kemudian, datanglah bala tentara negeri. Melawan para pemberontak dengan penuh emosi. Mengadu kekuatan. Berbalas peluru. Meledakkan granat, susul-menyusul. Mencabut nyawa demi hidup. Bertempur atas nama perdamaian. Sampai kulihatlah kehancuran yang sesungguhnya. Mayat-mayat bergelimang darah, tergeletak di tanah kampung yang porak-poranda.

Hingga datanglah tiga orang tentara ke rumah kami. Masuk dengan tingkah beringas, seolah mereka menyasar sarang pemberontak. Memeriksa segala ruang tanpa permisi, kemudian menyeret aku dan ayah-ibuku dengan kasar, bak penjahat. Sampai terkumpullah kami di ruang utama. Dinterogasi penuh tendensi buruk. Dituduh sebagai bagian dari pemberontak.

“Kami tahu kalau Si Tua Bangka ini adalah seorang kepala desa. Dan entah demi apa, ia rela menjadi antek para pemberontak. Mengumpulkan pajak untuk persenjataan para sialan itu. Bangsat!” bentak salah seorang di antaranya, yang mengenakan topeng, sembari mendaratkan ujung senjata di pelipis ayahku. “Benar begitu kan?” 

Kami bertiga menggeleng. Tak menjawab. Hanya bungkam. Takut.

Terdengar tawa salah seorang di antaranya, yang berwajah beringas. “Oh. Bodohnya kita, Kawan,” katanya. “Apa gunanya kita meminta pengakuan dari mereka? Ya pastilah, sekhinat apa pun Si Tua ini, mereka akan kompak untuk berbohong.”

“Kami tetap setia pada negara, Pak!” kata ayahku. Lirih. 

Tapi kata-kata kejujuran, malah membuat mereka semakin beringas. Seakan-akan kami tengah berdusta sepenuh jiwa. 

“Kacung pembohong!” bentak seorang yang bertopeng lagi.

Tanpa aba-aba, si petopeng pun menghantam ayahku dengan sepatu, lutut, dan popor senjata, silih berganti. Dan ketika ayahku terkulai lemah di pojok ruang utama, si petopeng pun menembakkan sebuah peluru, tepat di kepala ayahku.

Kami kaget. Ketakutan tak terkira. Tak menduga kalau mereka akan setega itu.

Seketika, ibuku bangkit sembari menyeretku tanganku. Berusaha berlari. Meloloskan diri.

Namun akhirnya, satu tembakan terdengar menggelegar di udara. Membuat genggaman ibuku melemah perlahan. Ia lalu jatuh tak berdaya, dengan darah yang terus mengalir dari dadanya.

Aku yang dicekam ketakutan, pasrah menghentikan langkah. Menjatuhkan tubuh di atas dedaunan kering. Berlutut, menangisi ibuku yang meregang nyawa. Tak peduli jika harus mati juga seketika.

“Kita apakan dia?” tanya seseorang yang berwajah tirus dan berhidung pesek, kala mereka telah berada di hadapanku, di sela pohonan yang tak jauh dari rumahku.

“Menurutmu, apa yang cocok untuk anak pengkhianat semacam ini, Kawan?” tanya balik si petopeng.

Kedua orang yang menampakkan wajah, menggeleng. Seperti tak punya ide.

Si petopeng pun tertawa terbahak-bahak. “Kau tahu sendiri, aku sudah lama tak berusua dengan wanita cantik!”

Kedua kawan si petopeng, menampakkan kekalutan di wajahnya. Seakan-akan tahu maksud si petopeng, namun bingung untuk bersepakat atau tidak.

Si petopeng, lalu membuka tabir wajahnya. “Kau masih ingat padaku?”

Seketika aku terkaget. Jelas saja, aku masih mengingatnya.

“Ya. Kau pasti masih ingat seseorang yang telah kau hinakan cintanya dahulu, yang kau tolak pinangannya, hanya karena ia tak setampan dan sekaya yang kau dan orang tuamu mau. Akulah orang itu!” bentaknya, lalu menggenggam kasar kedua belah pipiku dengan tangan kanannya. “Tapi tak mengapa. Lupakan itu. Setidaknya, aku bisa memberikan semua cintaku padamu, malam ini.”

“Jadi kau…?” tanya seorang kawannya yang lain, setelah tahu, ada cerita masa lalu tentang kami.

“Jadi kalian…?” timpal seorang yang lainnya lagi. “Aku tak mau ikut campur soal ini, Kawan. Ini semua rencanamu. Aku tak ingin dipersalahkan.”

Mereka berdua pun bergegas pergi.

“Aku tak peduli!” serunya, lalu tertawa. 

Dengan nafsu yang menderu serupa nafsu membunuhnya, ia lalu memperlakukan aku secara biadab.

Dan terjadilah semua.

Tapi di tengah ketidakberdayaan, beruntung, aku masih bisa menyelematkan diri. Aku berhasil menumbangkannya setelah menimpakan sepotong kayu tepat di pelipisnya.

Bersama ketakutan dan kecemasan yang tak terkira, aku pun berlari, menyelamatkan diri ke atas bukit, dan menetap di sana hingga waktu yang lama. Bersembunyi dari radar si pengkhianat negara, yang kutahu, akan terus mencariku sampai mati.

***

“Kau terlahir sebagai biang revolusi, Nak!” kata ibuku, di waktu yang lampau, saat aku mulai tahu tentang istilah-istilah rumit.

“Maksud Ibu?” tanyaku, penasaran, setelah ia mengucapkan soal tafsir kelahiranku di tanah air ini untuk ke sekian kalinya, dan aku tak paham betul apa yang ia maksud.

Ia pun tersenyum, lalu mengusap-usap kepalaku. “Kehadiranmu di dunia ini, dibarengi dengan ketidakadilan dan kebiadaban yang tak terkira, Nak. Kakek-nenekmu, mati terbunuh di tangan pengkhiant negara.” 

Aku mendengar penuturannya dengan seksama.

“Sejak aku mengandungmu, aku telah menjadi kejaran pengkhianat negara. Semua karena kau, Nak. Mereka takut kalau kelak, kau lahir dan meruntuhkan kekuasaan mereka,” katanya, dengan tatapan yang tegas. “Tapi aku yakin, kelak, kau akan menggulingkan kekuasaan mereka yang zalim.”

“Kenapa pemerintah ini dikatakan zalim, Bu?” tanyaku, penasaran.

Ia tersenyum lagi. “Aku paham sejarah, Nak, sebab aku mengalaminya. Dan aku tahu, sejarah negara ini hanyalah perjalanan waktu yang tak membawa perubahan apa-apa, selain perubahan aktor. Kebiadaban tetap merajalela. Ketidakadilan di mana-mana. Para penjahat bahkan masih dihormati bak raja. Dan parahnya, mereka menjadi penguasa negara saat ini,” katanya, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Kau akan mengubah keadaan ini, Nak! Aku yakin itu!”

Waktu pun bergulir cepat menuju ke masa depan.

Dan kini, kulihatlah di layar televisi, orang-orang berkumpul di seluruh pelosok negeri. Mereka menuntut agar presiden yang telah meneteskan noda hitam pada sejarah bangsa di masa kelam, segera dihukum mati. Satu tuntutan yang mencuat setelah aku mengungkapkan surat wasiat ibuku, tentang kronologi kepergian anggota keluargaku dahulu, dan semua peristiwa yang menyertainya.

Nyawa sang presiden pun, telah berada di ujung waktu. Pengadilan telah memutuskannya sebagai tersalah dan dijatuhi hukuman mati. Ia dinyatakan sebagai seorang penjahat yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai anggota militer kala bertugas di masa lalu. Paling tidak, dua orang pensiunan tentara, sudah cukup membenarkan peristiwa itu. Satu peristiwa yang membuatku terlahir tanpa melihat anggota keluargaku secara utuh.

Hingga tampaklah di layar televisi, sebuah peti keluar dari ruang eksekusi. Satu penampakan yang membuat segenap penduduk yang mendamba keadilan, bersorak-sorai tanpa henti. Mereka tahu, di dalam peti itu, terbaring kaku seorang mantan presiden, pensiunan tentara, dengan bekas peluru yang menembus tubuhnya untuk tindak pengkhianat terhadap negara yang ia lakukan di waktu lampau.

Tiba-tiba, aku jadi rindu pada ibuku. Aku ingin sekali menyampaikan padanya bahwa aku telah menjadi biang revolusi. Aku ingin menyampaikan padanya bahwa aku telah berhasil menumbangkan kekuasaan yang zalim demi menegakkan keadilan, sebagaimana yang ia idam-idamkan.

Dan seketika, aku juga merindukan sosok ayahku yang barangkali turut mendambakan aku sebagai biang revolusi, sebagaimana ibuku. Sosok yang entah siapa, yang selama ini, tak pernah diterangkan ibuku, sampai akhirnya ia meninggal.

“Ceritakan padaku soal ayah, Bu?” pintaku pada satu hari di masa lampau.

“Kau tak perlu tahu  tentang dia! Itu tidak penting!” tegasnya.

Rupa Luka

Entah berapa kali sudah kita melalui jalan bersama. Sudah sering, pastinya. Kau suka memintaku mengantarmu ke segala tempat. Ke kampus, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, atau ke mana pun yang kau mau. Dan menjelang sore ini, kau kembali memintaku membawamu ke satu tempat yang baru. Tempat yang belum pernah kau datangi sebelumnya, bersamaku.
 
Tanpa pikir panjang, aku lekas mempersiapkan diri untuk segera menjemputmu. Tak peduli kalau aku harusnya mandi terlebih dahulu, mengenakan pakaian yang wangi dan menarik, serta menata rambutku semodis mungkin. Aku yakin, kau tak mempermasalahkan soal rupa. Selama ini, kau sudi berdampingan denganku yang apa adanya.

Akhirnya, aku tiba di depan rumahmu dalam waktu singkat. Mungkin lebih cepat dari yang kau bayangkan. Sampai aku pun harus menunggu sekitar dua puluh menit hingga kau selesai berdandan. Menunggu kau muncul dengan kecantikan sempurna, dan mambuatku takjub, sampai aku tak pernah merasa rugi menghabiskan waktu untuk sekadar menunggu. 

Dan benar saja. Kau muncul dengan penampilan yang sangat menawan. Rambutmu hitam terurai, wajahmu cerah berseri, matamu bernaung di bawah alis yang hitam-tebal, dan bibirmu yang basah. Kau seakan tahu model dandanan yang mampu mempertegas aura kecantikmu secara pas. Hingga aku, sebagai seorang lelaki, jadi terkesima menyaksikan rupamu.

“Kau tak punya kepentingan lain yang mendesak kan?” tanyamu.

Aku menggeleng, “Tak ada,” kataku, sembari merahasiakan kalau aku punya janji untuk mengantar ibuku berbelanja setengah jam ke depan.

Senyap sejenak.

Tiba-tiba, aku berhasrat menyelidik “Kau ada kepentingan apa di kafe itu?” tanyaku, kala kita telah mengawali perjalanan, berdua, di atas sadel motor bututku yang jadul.

Kau menjawab seketika, “Akan ada peristiwa spesial yang berlangsung di sana.”

“Peristiwa apa maksudmu?” telisikku lagi. Penasaran.

Tawamu mengalun. “Kau tak perlu tahu sekarang. Nanti, kau akan tahu juga.” 

Setelah kau menegaskan rahasiamu, aku pun menahan tanya. Kuyakini saja kalau perihal yang akan kau lalui, adalah sesuatu yang membuatmu senang, dan aku pun senang. Aku bahkan membayangkan jika kau akan memberiku sebuah kejutan, atau menjebakku, sehingga kita sampai pada adegan untuk mengakhiri hubungan pertemanan, kemudian memulai satu hubungan sebagai kekasih.

Di waktu kemudian, beserta tanya di kepala, kukerahkan saja perhatianku pada lalu-lintas kendaraan yang padat. Bergegas dan berhati-hati, agar kau sampai dengan selamat, tepat pada waktu yang kau inginkan. Kulakukan itu agar kau tak terlalu lama dalam bahaya jalan raya, juga tak terpapar keras debu dan terik matahari yang akan membuat kecantikanmu tertutupi.

Hingga, sampailah kita pada sebuah kafe. Kau pun turun, lalu mengucapkan kata terima kasih, beserta satu senyuman yang memesona. Lekas, kau berpaling dariku, kemudian melangkah masuk, tanpa mengajakku turut, atau memintaku untuk pulang saja. Kau pergi, tanpa basa-basi. Seolah-olah ada yang ingin segera kau lakoni. Dan kuyakin sudah, itu bukan soal aku.

Sontak setelah kau berlalu, perlahan, tanya dalam hatiku soal apa atau siapa gerangan yang membuatmu tak lagi mengacuhkanku sehangat sebelumnya, menyeruak kembali. Aku tak sanggup menunggu jawaban tentang itu lebih lama. Entah satu jawaban yang akan kujadikan alasan untuk menggantungkan harapanku padamu, atau memusnahkan harapan itu sekalian. 

Dan akhirnya, kususullah kau ke dalam ruang kafe, tanpa peduli apa setelahnya.

“Kenapa kau masuk ke sini?” tanyamu seketika, setelah menyaksikan kehadiranku.

Aku lalu duduk di depanmu tanpa permisi. Berusaha bertingkah wajar dan menganggap semua biasa saja. “Tak mengapa,” kataku, lalu tersenyum. “Aku hanya mengira kau masih membutuhkanku. Apalagi, tadi, kau tak memintaku pulang lebih dulu, sambil mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa.”

Kau tampak kurang senang atas jawabanku. Seolah kau menganggap responsku serupa ledekan. “Iya! Tapi aku juga tak memintamu masuk ke sini!” tegasmu, sembari menatapku, tajam. Rasa kesal, mulai tampak di raut wajahmu.

Aku pun jadi kelimpungan. Bingung bagaimana menjelaskan kelancanganku yang terlanjur. Hingga, kuutarakanlah maksudku, meski tak sejujurnya hatiku, “Sebenarnya, aku penasaran saja tentang siapa yang akan kau temui, dan apa yang akan kalian lakukan,” terangku, tanpa memberi kesan bahwa aku tengah mendesakmu untuk berkata lugas.

Seperti pasrah atau terpaksa, kau akhirnya menuturkan perihal yang telah membuatku begitu penasaran. “Aku punya janji dengan seorang teman lama. Seorang lelaki. Dia teman baikku waktu sekolah,” jelasmu dengan tubuh mengulai. “Soal apa maksudnya, aku juga tak tahu. Tiba-tiba saja, ia mengajakku ke sini.”

Jelas saja, aku sedikit tenang mendengar penjelasanmu. “Kalau cuma teman, tak ada salahnya dong kalau aku bertemu juga dengannya? Teman dari seorang teman, kan, teman juga.”

Raut wajahmu, kembali menyiratkan kekesalan. “Sebaiknya kau jangan di sinilah!”

“Kenapa?” tanyaku, seketika. “Apa aku menganggu? Atau aku adalah aib yang harus kau sembunyikan dari kenalanmu yang lain?”

“Jangan berprasangkan buruk begitu, dong!” katamu, memelas. “Aku hanya ingin bertemu dengan seorang teman lama dalam suasana yang lebih khusus. Tak ada yang lain.”

“Kau menyukainya?” sergahku.

Kau tak menjawab. Kekesalanmu malah tampak menjadi-jadi. 

“Lalu, kau anggap aku ini apa? Apa yang membuatmu harus menyingkirkan seorang lelaki sepertiku untuk seorang lelaki yang kau sebut teman?” tanyaku, mendesak.

Seketika, kau meluruhkan amarahmu, “Karena kau jelek! Lihatlah, penampilanmu kuno begitu! Kulitmu gelap! Kumal! Bau!” katamu, penuh emosi. 

Sontak, mulutku tersekat mendengar kata-katamu.

“Aku mohon, pergilah,” pintamu, dengan nada suara yang merendah.

Aku lalu berpaling darimu. Melangkah pergi sebagai seorang lelaki yang putus harapan atas cintamu. Pergi, membawa serta kecewa yang mendalam, sebab aku yang telah banyak berkorban untukmu, ternyata, tak kau anggap siapa-siapa. Mungkin benar, aku hanya seorang babu yang kau perdaya dengan pesona cantikmu.

Kutitilah jalan pulang, sambil terus menasihati diri untuk berhenti berkhayal dan memaksakan perasaan. Wanita di dunia, bukan hanya kau seorang. Kuyakin, kamulah yang tak layak untuk cintaku, dan bukan cintamu yang layak untukku. Aku pasti menemukan sosok yang bisa menghargai cintaku, semulia-mulianya, dan kau akan menyesal.

Di tengah keguncangan hati, kusadarilah, memang sudah sebaiknya aku pulang. Aku harus mengantar ibuku. Dia, yang begitu mencintaiku. Seseorang yang telah dan akan selalu membaktikan dirinya untuk kebaikan hidupku, sejak lahir sampai mati. Sosok wanita yang akan selalu membahagiakan diriku atas cintanya yang melimpah dan tak bersyarat.

Dan sesampainya aku di rumah, kutemukanlah sebuah pesan singkat darimu. Satu pesan yang coba menawar perasaanku, kembali, seperti sedia kala: 

Jika kau tak punya kepentingan, tolong jemput aku kembali, ya. Kau bisa kan? Dia buru-buru ke bandara dan tak sempat mengantarku pulang.

Seketika, kumatikan telepon genggamku, kemudian bergegas mempersiapkan diri untuk mengantar ibuku berbelanja di pasar.

Tanah Kematian

Inilah negeri tanpa bangsa
Gersang dijajah para penduduk
Sekadar mendiami tanpa menghidupi
Merusak alam membunuh makhluk

Koloni bangsat di mana-mana
Mencaplok tanah menjadi tuan
Hidup sebab keringat budak-budak
Perut berlemak kala yang lain membusung

Habislah bumi dimangsa mesin
Pabrik tutup dan tak ada kerja
Tak ada penghidupan dan mati
Entah kelaparan atau bunuh diri