Jumat, 20 Desember 2019

Uang Belanja

Hari sudah sore. Sugi keluar dari rumahnya tanpa memberikan keterangan kepada istrinya. Ia melangkah cepat ketika sang istri sedang menjahit pakaian pesanan yang sesekali datang. Ia jelas tak ingin terlambat untuk bersenang-senang dengan teman-temannya di tempat karaoke. Apalagi, beberapa hari belakangan, ia merasa suntuk di rumah bersama sang istri yang ia rasa masih harus belajar menjadi seorang istri yang baik, termasuk dalam hal bersikap dan memasak.
 
Sugi merasa sikap cueknya itu biasa saja. Ia memang sudah terbiasa menyimpan rahasia terhadap istrinya. Ia sama sekali tak pernah berbagi cerita perihal urusan pribadinya kepada sang istri, termasuk urusan pekerjaan dan urusan berleha-leha dengan teman-temannya. Selain menganggap hal semacam itu tidak terlalu penting untuk diketahui sang istri, ia juga khawatir kalau istrinya malah berprasangka buruk terhadapnya.

Namun Sugi memang beruntung memperistri seorang perempuan yang sabar dan tak banyak cincong. Seorang perempuan yang tak banyak tanya dan tak banyak pinta. Di usia pernikahan mereka yang belum genap setengah tahun, Sugi jelas masih membawa sifat kekanak-kanakan yang senang berpesta. Namun sang istri tak pernah mempermasalahkan, atau memang tak ingin mempermasalahkan urusan pribadi semacam itu.

Hingga akhirnya, setengah jam kemudian, Sugi pun tiba di tempat karaoke. Ia lalu disambut dengan hangat oleh dua puluh orang teman semasa SMA-nya yang sudah menunggu. Pasalnya, Sugi adalah inisiator acara dan bertanggung jawab atas tagihan secara keseluruhan. Ia merasa sudah sepantasnya untuk melakukan perayaan atas keberhasilannya menjadi seorang pegawai di sebuah perusahaan negara setelah ia diberhentikan dari sebuah perusahaan swasta.

Sugi dan teman-temannya pun berhura-hura untuk menghibur diri. Mereka bernyanyi bersama, sambil sesekali membasahi tenggorokan mereka kala kering dengan minuman dingin yang berharga mahal. Sampai akhirnya, setelah tiga jam, pesta mereka pun berakhir. Sugi lantas menyelesaikan urusan pembayaran yang terhitung boros untuk kesenangan sesaat, apalagi untuk hitungan pegawai baru yang belum lama memulai rumah tangga.

Setengah jam berselang, Sugi tiba kembali di rumahnya. Ia pun kembali merasa gamang. Tak ada kesenangan dan kegusaran yang berarti kala berhadapan dengan istrinya yang tenang, yang lebih banyak tersenyum dengan sejuta tanda-tanya ketimbang berkata-kata. Namun seperti sebelumnya, Sugi menganggap itu hal yang biasa. Ia menganggap demikianlah memang perangai sang istri, dan ia tak harus melakukan apa-apa untuk mengubahnya.

Tanpa basa-basi, Sugi pun bergegas mengganti pakaian dan bersiap-siap untuk bersantap malam.

Namun sesaat kemudian, Sugi jadi kecewa. Ia tak menjumpai makanan yang ia bayangkan selama perjalanan pulang. Di balik tudung saji, ia hanya menemukan hidangan yang ia rasa sangat standar dan tak mengggugah selera. Hanya ada nasi putih, sayur kelor, sambal, dan ikan kering.

“Bu!” serunya, dengan nada suara seolah sedang memanggil pesuruh.

Dengan sikap tenang, istrinya pun datang menghadap.

Sugi pun menatap geram pada sang istri. “Ibu, kok masak makanan yang begini-begini saja? Ibu kan tahu bagaimana seleraku,” keluh Sugi. 

Istrinya yang penurut, hanya diam mematung.

“Kalau Ibu memang kurang tahu masak, ya belajarlah. Beli buku resep masakan, begitu,” kata Sugi lagi dengan suara lembut yang menyiratkan kekesalan.

“Maafkan aku, Pak,” tuturnya, tampak segan dan takut. “Uang belanja di tanganku sudah habis.”

Perasaan Sugi sedikit tersentak. Ia merasa peluru yang ia tembakkan malah kembali menembak dirinya sendiri. “Tapi kan aku sudah kasi uang belanja ke Ibu.”

Istrinya pun tertunduk. “Iya, Pak. Tapi itu sudah lewat sebulan sejak Bapak memberikan uang belanja itu kepadaku. Itu pun sebagian aku gunakan untuk membeli perabotan dapur,” jelas sang istri dengan wajah merengut.

Tiba-tiba, Sugi merasa bersalah. “Kenapa Ibu tidak bilang padaku?”

Wajah sang istri menengadah sejenak. “Aku tahu, Bapak sudah tak punya pekerjaan. Aku takut memberatkan Bapak soal uang belanja. Jadi, aku masaklah seadanya,” jawab sang istri dengan bola mata yang ciut beradu.

Dengan perasaan bersalah yang amat mendalam, Sugi pun berdiri dan memeluk istrinya. “Maafkan aku, Bu,” tuturnya, dengan nada yang penuh ketulusan. “Aku janji, aku akan segera memberikan uang belanja yang cukup untuk Ibu,” tuturnya lagi, sambil teringat pada gaji pertamanya sebagai karyawan perusaahaan negara yang tinggal sedikit setelah pesta karaoke.

“Aku juga minta maaf, Pak. Sedari dulu aku hanya menggantungkan kebutuhan rumah tangga pada Bapak. Aku janji, aku akan berusaha agar usaha menjahitku lebih berkembang dan bisa membantu kebutuhan rumah tangga kita,” balas sang istri.

Seketika, untuk ke sekian kalinya, perasaan Sugi dihantam rasa bersalah yang amat mendalam. Ia lantas menyadari bahwa segala ketidaknyamanan yang ia rasakan di dalam rumah, tercipta atas sikap abainya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar