Hari
sudah sore. Sugi keluar dari rumahnya tanpa memberikan keterangan kepada
istrinya. Ia melangkah cepat ketika sang istri sedang menjahit pakaian pesanan yang
sesekali datang. Ia jelas tak ingin terlambat untuk bersenang-senang dengan teman-temannya
di tempat karaoke. Apalagi, beberapa hari belakangan, ia merasa suntuk di rumah
bersama sang istri yang ia rasa masih harus belajar menjadi seorang istri yang
baik, termasuk dalam hal bersikap dan memasak.
Sugi
merasa sikap cueknya itu biasa saja. Ia memang sudah terbiasa menyimpan rahasia
terhadap istrinya. Ia sama sekali tak pernah berbagi cerita perihal urusan
pribadinya kepada sang istri, termasuk urusan pekerjaan dan urusan berleha-leha
dengan teman-temannya. Selain menganggap hal semacam itu tidak terlalu penting
untuk diketahui sang istri, ia juga khawatir kalau istrinya malah berprasangka
buruk terhadapnya.
Namun
Sugi memang beruntung memperistri seorang perempuan yang sabar dan tak banyak
cincong. Seorang perempuan yang tak banyak tanya dan tak banyak pinta. Di usia
pernikahan mereka yang belum genap setengah tahun, Sugi jelas masih membawa
sifat kekanak-kanakan yang senang berpesta. Namun sang istri tak pernah
mempermasalahkan, atau memang tak ingin mempermasalahkan urusan pribadi semacam
itu.
Hingga
akhirnya, setengah jam kemudian, Sugi pun tiba di tempat karaoke. Ia lalu disambut
dengan hangat oleh dua puluh orang teman semasa SMA-nya yang sudah menunggu.
Pasalnya, Sugi adalah inisiator acara dan bertanggung jawab atas tagihan secara
keseluruhan. Ia merasa sudah sepantasnya untuk melakukan perayaan atas
keberhasilannya menjadi seorang pegawai di sebuah perusahaan negara setelah ia
diberhentikan dari sebuah perusahaan swasta.
Sugi
dan teman-temannya pun berhura-hura untuk menghibur diri. Mereka bernyanyi
bersama, sambil sesekali membasahi tenggorokan mereka kala kering dengan minuman
dingin yang berharga mahal. Sampai akhirnya, setelah tiga jam, pesta mereka pun
berakhir. Sugi lantas menyelesaikan urusan pembayaran yang terhitung boros untuk
kesenangan sesaat, apalagi untuk hitungan pegawai baru yang belum lama memulai rumah
tangga.
Setengah
jam berselang, Sugi tiba kembali di rumahnya. Ia pun kembali merasa gamang. Tak
ada kesenangan dan kegusaran yang berarti kala berhadapan dengan istrinya yang
tenang, yang lebih banyak tersenyum dengan sejuta tanda-tanya ketimbang
berkata-kata. Namun seperti sebelumnya, Sugi menganggap itu hal yang biasa. Ia
menganggap demikianlah memang perangai sang istri, dan ia tak harus melakukan
apa-apa untuk mengubahnya.
Tanpa
basa-basi, Sugi pun bergegas mengganti pakaian dan bersiap-siap untuk bersantap
malam.
Namun
sesaat kemudian, Sugi jadi kecewa. Ia tak menjumpai makanan yang ia bayangkan
selama perjalanan pulang. Di balik tudung saji, ia hanya menemukan hidangan
yang ia rasa sangat standar dan tak mengggugah selera. Hanya ada nasi putih,
sayur kelor, sambal, dan ikan kering.
“Bu!”
serunya, dengan nada suara seolah sedang memanggil pesuruh.
Dengan
sikap tenang, istrinya pun datang menghadap.
Sugi
pun menatap geram pada sang istri. “Ibu, kok masak makanan yang begini-begini
saja? Ibu kan tahu bagaimana seleraku,” keluh Sugi.
Istrinya
yang penurut, hanya diam mematung.
“Kalau
Ibu memang kurang tahu masak, ya belajarlah. Beli buku resep masakan, begitu,”
kata Sugi lagi dengan suara lembut yang menyiratkan kekesalan.
“Maafkan aku, Pak,” tuturnya, tampak segan dan takut. “Uang belanja di tanganku sudah
habis.”
Perasaan
Sugi sedikit tersentak. Ia merasa peluru yang ia tembakkan malah kembali
menembak dirinya sendiri. “Tapi kan aku sudah kasi uang belanja ke Ibu.”
Istrinya
pun tertunduk. “Iya, Pak. Tapi itu sudah lewat sebulan sejak Bapak memberikan
uang belanja itu kepadaku. Itu pun sebagian aku gunakan untuk membeli perabotan
dapur,” jelas sang istri dengan wajah merengut.
Tiba-tiba,
Sugi merasa bersalah. “Kenapa Ibu tidak bilang padaku?”
Wajah
sang istri menengadah sejenak. “Aku tahu, Bapak sudah tak punya pekerjaan. Aku
takut memberatkan Bapak soal uang belanja. Jadi, aku masaklah seadanya,” jawab
sang istri dengan bola mata yang ciut beradu.
Dengan
perasaan bersalah yang amat mendalam, Sugi pun berdiri dan memeluk istrinya.
“Maafkan aku, Bu,” tuturnya, dengan nada yang penuh ketulusan. “Aku janji, aku
akan segera memberikan uang belanja yang cukup untuk Ibu,” tuturnya lagi,
sambil teringat pada gaji pertamanya sebagai karyawan perusaahaan negara yang
tinggal sedikit setelah pesta karaoke.
“Aku
juga minta maaf, Pak. Sedari dulu aku hanya menggantungkan kebutuhan rumah
tangga pada Bapak. Aku janji, aku akan berusaha agar usaha menjahitku lebih
berkembang dan bisa membantu kebutuhan rumah tangga kita,” balas sang istri.
Seketika,
untuk ke sekian kalinya, perasaan Sugi dihantam rasa bersalah yang amat
mendalam. Ia lantas menyadari bahwa segala ketidaknyamanan yang ia rasakan di
dalam rumah, tercipta atas sikap abainya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar