Selasa, 19 Juli 2016

Dik, Aku Benci Main Sepak Bola

Kekaguman orang-orang, senantiasa tertuju padaku. Itu membuatku risih sendiri. Bukan berarti mereka mengolok-olok. Cuma, aku merasa tak pantas saja mendapatkan pujian berlebihan. Apalagi tindakanku tidaklah luar biasa. Setiap orang pasti melakukan hal yang sama: menyangi saudara kandungnya sendiri. Ya, aku memang menyayangi adikku, Rino, sebagaimana mestinya. Tapi sikapku itu, malah dianggap mengesankan.
 
Kasihku kepada Rino, untuk ukuran manusia biasa pada umumnya, mungkin dianggap luar biasa. Itu karena aku sabar menyayanginya dalam keadaannya yang luar biasa juga. Ia memang berbeda dengan orang lain. Kakinya cacat lahir, bukan bawaan. Di usia balitanya, dua tahun, kala ia masih belum berhasrat mengingat apa-apa, ia mengalami kecelakaan tunggal. Kaki kanannya patah, sampai tak berkembang sama panjang dengan kaki kirinya. Dan kini, ia berjalan tertatih-tatih. 

Sejak kejadian nahas menimpanya, kepedulianku semakin meningkat. Di usia kanak-kanaknya, tak pernah kunampakkan raut kelelahan, apalagi keengganan, demi menemaninya bermain. Aku selalu ingin membuatnya riang bergerak ke mana pun. Kugendong jika perlu, sebab miris melihat ia menyeret sebelah kakinya dengan susah payah. 

Di awal ia masuk sekolah dasar pun, aku selalu siap mengantarnya ke sekolah. Kalau tak memboncengnya dengan sepeda, aku akan menggendongnya. Apalagi, sekolahnya cuma berjarak setengah kilo meter dari rumah. Sikapku selalu begitu, sampai sekarang ia duduk di kelas III SD, dan aku di kelas III SMA. Ia tentu tak pernah meminta, apalagi merengek, menyuruhku mengantarnya ke mana pun. Dia dengan sabar akan menempuh perjalanan sendiri, dengan bantuan tongkat yang menumpu di ketiak tangan kirinya. Tapi melihat cara jalannya yang tak biasa, menggelitik rasa kasihanku. 

Perhatianku padanya, juga berarti menjadi sosok pelindung. Siaga menumpas perlakukan tak berperi dan tak adil padanya. Tiap kali ada yang usil mengejek, menertawai, atau setidaknya memperlakukan Rino berbeda sebagaimana anak-anak yang lain, aku selalu protes berat. Masih kuingat kala tempo hari, aku mengasari seorang anak sampai harus masuk rumah sakit, hanya karena ia memanggil Rino dengan julukan yang mengolok-olok. Tapi Rino malah balik protes padaku. Ia tak menerima caraku. Dilema.

Sikapku terhadap Rino, adalah bentuk tanggung jawabku sebagai seorang kakak. Aku merasa berdosa tak menghindarkannya dari kejadian tragis di masa lalu. Perasaan Rino, adalah perasaanku juga. Sakitnya, juga sakitku. Walau sering kali, hanya aku yang merasakan perihnya hidup dalam keadaan seperti dirinya. Sedangkan baginya, hidup ini tak akan menjadi kurang membahagiakan hanya karena kondisi fisik. Dia menerima keadaannya. Tapi aku, sampai kapanpun, akan selalu memprotes takdirnya itu.

Bro Diki, sudah jam 4 lewat nih. Pertandingan sepak bola pasti sudah tayang,” kata Rino, akrab, mengingatkan atas janjiku, bahwa aku akan menemaninya menonton bola sore ini. Tim jagoan kami beradu.

Sigap, aku mengambil remot televisi dan mengecek siaran. “Ya, sudah main.”

Seketika juga Rino bersuara. “Kakak belum rabun kan? Lihat, timku menang 1-0!” tegasnya, lalu tertawa lepas. “Tak usah putus harapan Kak. Waktunya masih lama.”

Aku turut tertawa. “Itu mah gol pemanis saja. Paling nanti hasil akhirnya 10-1, untuk kemenangan timku tentunya,” tangkisku.

“Hah!” sergahnya, memandang enteng kesebelasan jagoanku.

Kami pun larut dalam suasana pertandingan. Jual-beli serangan terjadi. Jika tak ada skala “nyaris”, mungkin sudah belasan gol yang tercipta. Kalau pun tembakan penyerang jitu ke gawang, kipernya lagi yang terlalu handal. 

Mendebarkan. Seru! Begitulah kesan kami pada pertandingan di bagian bumi nan jauh di sana ini. Tentu berbeda dengan pertandingan sepak bola dalam negeri, yang lebih seperti arena tawuran daripada pertandingan sepak bola. Bahkan sering kali, benar-benar tawuran karena wasit tak dihargai, atau kekalahan tak diterima. Miris.

“Ah, nyaris lagi!” kesal Rino, kala tembakan pemain timnya, mengenai mistar gawang. “Andai saja aku punya kaki yang normal, tendanganku pasti lebih hebat darinya.”

Aku geregetan melihat keseriusannya menyaksikan pertandingan. Tapi penyesalan pada dirinya sendiri, membuatku turut bersedih. “Ya, kita sih bisa ngomong apa saja. Yang pasti perlu kau tahu, mereka juga sudah mati-matian berlatih. Kalau tidak gol, ya bukan berarti mereka bodoh juga. Bisa jadi timku memang bermain baik,” tuturku, berusaha menghindari perbincangan yang menjurus pada keadaan dirinya.

“Kakak tak ingin jadi pemain sepak bola? Badan Kakak, bagus. Main bola kan menyenangkan. Selain sehat, bisa dapat uang banyak lagi, kalau hebat,” ketusnya.

“Tidak Dik. Aku tak akan main sepak bola. Selain harus peras keringat, resikonya juga besar. Kalau salah-salah, kan bisa benjol, terluka, bahkan patah tulang,” balasku, memelas. “Mending jadi penonton saja, biar orang lain yang susah payah menghibur kita dengan permainannya.”

 “Kakak benar. Mending jadi penonton sepak bola di televisi. Selian terhibur, gratis pula,” tuturnya, sambil nyengir. “Eh iya. Maaf ya Kak. Jika saja bukan karena kerewelanku dahulu, mungkin Kakak masih senang main bola saat ini.”

“Memangnya main bola pakai tangan?” bantahku, sambil melirik tangan kananku yang sedari dulu tak bisa ditekuk ke arah belakang. Aku pernah jatuh, dan tulang tangan kiriku, patah. Keadaannya masih terlihat normal, tapi tak bisa luwes lagi. “Aku tak suka main bola, Dik.”

Karena percakapan kami kali ini, aku teringat lagi kejadian enam tahun lalu, waktu ia mengalami kejadian tragis. Kajadian yang membuatnya hanya bisa berangan-angan jadi pemain sepak bola. Kejadian yang membuatku benci main sepak bola, sampai kapan pun. 

Di satu sore, aku dengan teganya meninggalkannya sendiri di rumah. Kenak-kanakanku masih memuncak. Ego menguasai. Hanya demi bermain sepak bola di kampung sebelah, aku rela mengingkari janjiku pada ayah dan ibu untuk menjagamu sampai mereka pulang. Hari itu, mereka memang ada kegiatan di luar kota.

Di saat itulah, dia masih riang berbuat semaunya, tanpa rasa, tanpa akal. Insting jadi penuntun. Tak kutahu jalan ceritanya, sampai ketika, sepulang dari bermain, aku melihatnya tersungkur di bawah tangga. Ia hanya meronta-ronta kesakitan, sambil menangis sejadi-jadinya. Dia terjatuh dari pembaringan, sampai satu lantai ke bawah.

Tak ada yang tahu benar kejadian itu, kecuali aku. Sedangkan dia, jelas tak ingat apa-apa. Waktu itu umurnya belum genap dua tahun. Tak ada rekaman apa-apa di memorinya. 

Dan, benturan keras yang kualami saat pertandingan sepak bola waktu itu, sampai tangan kiriku patah, menjadi alibi. Kuceritakan pada semua orang, termasuk kepada orang tuaku, kalau aku mengalami kecelakaan yang harusnya diangap wajar. Kukatakan bahwa aku terpeleset dan terjatuh dari atas tangga, kala tengah menggendong dan berusaha menenangkan Rino yang rewel tak karuan. Tak ada yang bisa membantah cerita karanganku. 

Diam-diam, aku menumpuk kebohongan pada Rino, pada ayah dan ibu, pada semua. Aku pendosa!

Teriakan komentator pertandingan, menyadarkanku dari lamunan pahit masa lalu. 

“Yes! Gol…!” seruku, sembari berupaya tampak seadanya. Takut membuat Rino kecewa setengah mati. “Nah, itu kan. Aku sudah bilang apa.”

“Aduh!” kesalnya. Apalagi gol tim jagoanku tercipta di menit terakhir tambahan waktu.  

Tak lama kemudian, pluit panjang wasit berbunyi. Pertandingan berakhir.

“Ya sudahlah. Kita imbang Kak. Sama-sama kalah, sama-sama menang. Kenyataannya sudah begini,” tuturnya, tampak seperti biasanya yang senantiasa tabah menerima takdir. “Mau apa lagi? Kita kan bukan pemain, hanya penonton.”

Jelas, aku sepakat dengannya. Tapi untukku, di konteks yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar