Kekaguman
orang-orang, senantiasa tertuju padaku. Itu membuatku risih sendiri. Bukan berarti
mereka mengolok-olok. Cuma, aku merasa tak pantas saja mendapatkan pujian berlebihan.
Apalagi tindakanku tidaklah luar biasa. Setiap orang pasti melakukan hal yang
sama: menyangi saudara kandungnya sendiri. Ya, aku memang menyayangi adikku,
Rino, sebagaimana mestinya. Tapi sikapku itu, malah dianggap mengesankan.
Kasihku
kepada Rino, untuk ukuran manusia biasa pada umumnya, mungkin dianggap luar
biasa. Itu karena aku sabar menyayanginya dalam keadaannya yang luar biasa
juga. Ia memang berbeda dengan orang lain. Kakinya cacat lahir, bukan bawaan.
Di usia balitanya, dua tahun, kala ia masih belum berhasrat mengingat apa-apa,
ia mengalami kecelakaan tunggal. Kaki kanannya patah, sampai tak berkembang
sama panjang dengan kaki kirinya. Dan kini, ia berjalan tertatih-tatih.
Sejak
kejadian nahas menimpanya, kepedulianku semakin meningkat. Di usia
kanak-kanaknya, tak pernah kunampakkan raut kelelahan, apalagi keengganan, demi
menemaninya bermain. Aku selalu ingin membuatnya riang bergerak ke mana pun.
Kugendong jika perlu, sebab miris melihat ia menyeret sebelah kakinya dengan
susah payah.
Di
awal ia masuk sekolah dasar pun, aku selalu siap mengantarnya ke sekolah. Kalau
tak memboncengnya dengan sepeda, aku akan menggendongnya. Apalagi, sekolahnya
cuma berjarak setengah kilo meter dari rumah. Sikapku selalu begitu, sampai
sekarang ia duduk di kelas III SD, dan aku di kelas III SMA. Ia tentu tak
pernah meminta, apalagi merengek, menyuruhku mengantarnya ke mana pun. Dia
dengan sabar akan menempuh perjalanan sendiri, dengan bantuan tongkat yang
menumpu di ketiak tangan kirinya. Tapi melihat cara jalannya yang tak biasa,
menggelitik rasa kasihanku.
Perhatianku
padanya, juga berarti menjadi sosok pelindung. Siaga menumpas perlakukan tak
berperi dan tak adil padanya. Tiap kali ada yang usil mengejek, menertawai, atau
setidaknya memperlakukan Rino berbeda sebagaimana anak-anak yang lain, aku
selalu protes berat. Masih kuingat kala tempo hari, aku mengasari seorang anak
sampai harus masuk rumah sakit, hanya karena ia memanggil Rino dengan julukan
yang mengolok-olok. Tapi Rino malah balik protes padaku. Ia tak menerima
caraku. Dilema.
Sikapku
terhadap Rino, adalah bentuk tanggung jawabku sebagai seorang kakak. Aku merasa
berdosa tak menghindarkannya dari kejadian tragis di masa lalu. Perasaan Rino,
adalah perasaanku juga. Sakitnya, juga sakitku. Walau sering kali, hanya aku
yang merasakan perihnya hidup dalam keadaan seperti dirinya. Sedangkan baginya,
hidup ini tak akan menjadi kurang membahagiakan hanya karena kondisi fisik. Dia
menerima keadaannya. Tapi aku, sampai kapanpun, akan selalu memprotes takdirnya
itu.
“Bro Diki, sudah jam 4 lewat nih.
Pertandingan sepak bola pasti sudah tayang,” kata Rino, akrab, mengingatkan
atas janjiku, bahwa aku akan menemaninya menonton bola sore ini. Tim jagoan
kami beradu.
Sigap,
aku mengambil remot televisi dan mengecek siaran. “Ya, sudah main.”
Seketika
juga Rino bersuara. “Kakak belum rabun kan? Lihat, timku menang 1-0!” tegasnya,
lalu tertawa lepas. “Tak usah putus harapan Kak. Waktunya masih lama.”
Aku
turut tertawa. “Itu mah gol pemanis saja. Paling nanti hasil akhirnya 10-1, untuk
kemenangan timku tentunya,” tangkisku.
“Hah!”
sergahnya, memandang enteng kesebelasan jagoanku.
Kami
pun larut dalam suasana pertandingan. Jual-beli serangan terjadi. Jika tak ada
skala “nyaris”, mungkin sudah belasan gol yang tercipta. Kalau pun tembakan penyerang
jitu ke gawang, kipernya lagi yang terlalu handal.
Mendebarkan.
Seru! Begitulah kesan kami pada pertandingan di bagian bumi nan jauh di sana
ini. Tentu berbeda dengan pertandingan sepak bola dalam negeri, yang lebih seperti
arena tawuran daripada pertandingan sepak bola. Bahkan sering kali, benar-benar
tawuran karena wasit tak dihargai, atau kekalahan tak diterima. Miris.
“Ah,
nyaris lagi!” kesal Rino, kala tembakan pemain timnya, mengenai mistar gawang.
“Andai saja aku punya kaki yang normal, tendanganku pasti lebih hebat darinya.”
Aku
geregetan melihat keseriusannya menyaksikan pertandingan. Tapi penyesalan pada
dirinya sendiri, membuatku turut bersedih. “Ya, kita sih bisa ngomong apa saja.
Yang pasti perlu kau tahu, mereka juga sudah mati-matian berlatih. Kalau tidak
gol, ya bukan berarti mereka bodoh juga. Bisa jadi timku memang bermain baik,”
tuturku, berusaha menghindari perbincangan yang menjurus pada keadaan dirinya.
“Kakak
tak ingin jadi pemain sepak bola? Badan Kakak, bagus. Main bola kan menyenangkan.
Selain sehat, bisa dapat uang banyak lagi, kalau hebat,” ketusnya.
“Tidak
Dik. Aku tak akan main sepak bola. Selain harus peras keringat, resikonya juga
besar. Kalau salah-salah, kan bisa benjol, terluka, bahkan patah tulang,”
balasku, memelas. “Mending jadi penonton saja, biar orang lain yang susah payah
menghibur kita dengan permainannya.”
“Kakak benar. Mending jadi penonton sepak bola
di televisi. Selian terhibur, gratis pula,” tuturnya, sambil nyengir. “Eh iya.
Maaf ya Kak. Jika saja bukan karena kerewelanku dahulu, mungkin Kakak masih
senang main bola saat ini.”
“Memangnya
main bola pakai tangan?” bantahku, sambil melirik tangan kananku yang sedari
dulu tak bisa ditekuk ke arah belakang. Aku pernah jatuh, dan tulang tangan
kiriku, patah. Keadaannya masih terlihat normal, tapi tak bisa luwes lagi. “Aku
tak suka main bola, Dik.”
Karena
percakapan kami kali ini, aku teringat lagi kejadian enam tahun lalu, waktu ia
mengalami kejadian tragis. Kajadian yang membuatnya hanya bisa berangan-angan
jadi pemain sepak bola. Kejadian yang membuatku benci main sepak bola, sampai
kapan pun.
Di
satu sore, aku dengan teganya meninggalkannya sendiri di rumah. Kenak-kanakanku
masih memuncak. Ego menguasai. Hanya demi bermain sepak bola di kampung
sebelah, aku rela mengingkari janjiku pada ayah dan ibu untuk menjagamu sampai
mereka pulang. Hari itu, mereka memang ada kegiatan di luar kota.
Di
saat itulah, dia masih riang berbuat semaunya, tanpa rasa, tanpa akal. Insting
jadi penuntun. Tak kutahu jalan ceritanya, sampai ketika, sepulang dari
bermain, aku melihatnya tersungkur di bawah tangga. Ia hanya meronta-ronta
kesakitan, sambil menangis sejadi-jadinya. Dia terjatuh dari pembaringan, sampai
satu lantai ke bawah.
Tak
ada yang tahu benar kejadian itu, kecuali aku. Sedangkan dia, jelas tak ingat
apa-apa. Waktu itu umurnya belum genap dua tahun. Tak ada rekaman apa-apa di
memorinya.
Dan,
benturan keras yang kualami saat pertandingan sepak bola waktu itu, sampai
tangan kiriku patah, menjadi alibi. Kuceritakan pada semua orang, termasuk
kepada orang tuaku, kalau aku mengalami kecelakaan yang harusnya diangap wajar.
Kukatakan bahwa aku terpeleset dan terjatuh dari atas tangga, kala tengah
menggendong dan berusaha menenangkan Rino yang rewel tak karuan. Tak ada yang
bisa membantah cerita karanganku.
Diam-diam,
aku menumpuk kebohongan pada Rino, pada ayah dan ibu, pada semua. Aku pendosa!
Teriakan
komentator pertandingan, menyadarkanku dari lamunan pahit masa lalu.
“Yes!
Gol…!” seruku, sembari berupaya tampak seadanya. Takut membuat Rino kecewa
setengah mati. “Nah, itu kan. Aku sudah bilang apa.”
“Aduh!”
kesalnya. Apalagi gol tim jagoanku tercipta di menit terakhir tambahan waktu.
Tak
lama kemudian, pluit panjang wasit berbunyi. Pertandingan berakhir.
“Ya
sudahlah. Kita imbang Kak. Sama-sama kalah, sama-sama menang. Kenyataannya
sudah begini,” tuturnya, tampak seperti biasanya yang senantiasa tabah menerima
takdir. “Mau apa lagi? Kita kan bukan pemain, hanya penonton.”
Jelas,
aku sepakat dengannya. Tapi untukku, di konteks yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar