Seminggu
lalu, hujan deras menghujam kota. Sejumlah pelancong yang masih dalam
perjalanan pun, terpaksa berlindung di bawah teras bangunan yang berjajar,
menunggu hujan reda. Syukurlah, aku sampai tepat waktu, pada sebuah kafe yang
kutuju. Aku bermaksud menemui seorang wanita, untuk menyampaikan sesuatu yang
penting.
Kusibaklah
pintu kafe, segera. Sambil menepis-nepis percikan hujan di jaket, kulayangkanlah
pandanganku ke segala arah. Maksudku mencari wanita yang hendak kutemui tanpa
janji terlebih dahulu. Dan akhirnya, kulihat ia menyendiri di sudut kanan ruang.
Duduk berhadapan dengan satu-satunya kursi tak berpenghuni. Hanya memandang kosong
pada butiran hujan di balik jendela yang buram-berkabut.
Aku
pun menenangkan diri sejenak untuk meredam perasaanku yang deg-degan. Kusembunyikan
kedua tanganku yang bergetar-menggigil dalam saku jaket yang tebal. Bersama
gugup yang tak juga sirna, kulangkahkanlah kakiku menuju ke arahnya. Aku berjalan
sambil menoleh ke kiri dan kanan, untuk memberi isyarat kalau aku tak punya
pilihan selain duduk di kursi kosong yang berada tepat di depannya, meski ia
tak juga menoleh padaku.
Setelah
berdiri tepat di hadapannya, hanya terpisah jarak dua meter, aku pun berdeham
untuk memberinya tanda atas kehadiranku. “Boleh duduk di sini?”
“Maaf,
aku sedang menunggu seseorang,” timpalnya segera. Namun setelah
menoleh, ia malah menebak-nebak rupaku. Tak lama kemudian, ia menerka, “Kamu teman
Rian kan?”
Aku
mengangguk saja, sambil tersenyum. Lidahku tiba-tiba kelu.
“Kenalkan,
aku Mira,” tuturnya, sambil menyodorkan tangan kanan untuk berjabat.
Dan
setelah mengelap telapak tanganku yang lembap pada jaket, kubalaslah uluran
tangannya. “Dimas,” kataku, dengan rasa gugup yang semakin menjadi-jadi.
“Duduklah,”
tawarnya, sembari tersenyum manis. “Maaf atas kataku tadi. Aku memang sedang
menunggu Rian. Aku telah menunggunya hampir sejam.”
“Terima kasih,” tuturku, sambil sesekali
menatap matanya. Aku pun mencoba menggelitiknya dengan candaan yang kecil, “Kalau
dia datang, aku siap menyingkir.”
Dia
terlegak singkat. Memperlihatkan giginya yang berbaris rapi, yang dibalut
lekukan pipi yang terlihat manis. “Aku kira, dia akan datang. Tapi, ya, seperti
biasa, janji seorang lelaki tak ubahnya seperti butiran-butiran hujan yang
menggenang; diucapkan berulang-ulang, namun akhirnya cuma menghanyutkan dalam
harapan-harapan yang menyakitkan.”
Mendengar
tutur kecewanya pada Rian, seketika menguatkan hatiku untuk tidak menyampaikan
pesan yang sedari awal ingin kusampaikan. Ada bagian dari hatiku yang merasa
sebaiknya aku merintis jalan untuk jadi pahlawan di matanya.
“Apa
kau tahu di mana keberadaannya?” tanyanya lagi. “Nomor teleponnya tidak aktif.”
Aku
menggeleng saja. Takut salah berucap.
Dalam
beberapa saat, kami pun saling mendiamkan.
Selanjutnya,
di antara obrolan kami yang terbata-bata, selalu ada jeda panjang yang
membuatku mati kutu. Namun di tengah kecanggungan yang tak terkira itu, aku tetap
berusaha tampil biasa. Menegarkan hati untuk tampil percaya diri di hadapan
seseorang yang jelas membuatku sangat grogi. Grogi bukan karena dia wanita,
tapi karena aku punya perasaan padanya.
Sembari
mengecap kopi hitam di depan kami masing-masing, aku dan juga dia, seperti
sama-sama sibuk untuk mencari topik obrolan yang pantas. Awalnya, kami hanya
membahas tentang perkuliahan. Namun dalam durasi waktu yang panjang, sembari
menunggu hujan reda, kami pun membicarakan tentang hal pribadi; soal kesibukan,
cita-cita, hobi, hingga latar belakang keluarga.
Berawal
dari obrolan yang panjang di sore itu, kami pun jadi semakin akrab. Di awal
hari setelah kebersamaan itu, ia memang hanya mencariku untuk bertanya
kalau-kalau aku tahu kabar tentang Rian. Tapi belakangan, aku lihat, ia mulai
terbiasa untuk mengobrol tentang kami saja. Kuduga, ia mulai kesal dan benci
pada Rian, sosok lelaki yang meninggalkannya tanpa alasan.
Dan
tiba-tiba, hari ini, saat aku tengah menyendiri di kafe, tepat di meja tempatku
mengobrol panjang lebar dengannya seminggu yang lalu, hujan deras kembali
turun. Angin yang berhempus pelan membuatku kembali merindukan kebersamaan yang
direncanakan dengannya. Tapi sisi hatiku yang lain, seakan-akan tergetar atas dosa
yang telah kulakukan.
Kuingat
lagi, kala pagi hari, tepat seminggu yang lalu, sebelum aku menemuinya di kafe,
Rian yang tak berdaya, menitip pesan padaku, “Aku minta padamu, temuilah Mira
sore nanti. Aku ada janji dengannya. Aku mohon,” katanya, sambil menyerahkan
secarik kertas berisi alamat.
Aku
mengangguk saja. “Aku akan lakukan untukmu, kawan.”
Ia
lalu melepaskan batuknya yang tertahan-tahan. “Tolong sampaikan padanya, kalau
aku baik-baik saja. Jika tuhan mengizinkan, aku akan kembali,” pesannya. “Tapi
jika aku tak kembali lagi, tolong jaga dia baik-baik.”
Kuiyakan
saja pesannya, “Pasti kulakukan!”
Kala
waktu belum sore di hari itu, Rian pun terbang ke luar negeri. Menuju sebuah
negara yang katanya mumpuni dalam menangani kanker paru-paru stadium IV yang ia
derita. Dan pagi tadi, aku dapat pesan dari adik kandungnya, bahwa Rian telah
pergi, untuk selama-lamanya.
Kini,
perasaanku dilematik. Aku, yang atas keegoisan memilih merahasiakan pesan yang
seharusnya kusampaikan. Memilih untuk menghianati permintaan terakhir sahabatku
sendiri, demi perasaan yang juga telah lama kupendam untuk perempuan yang sama.
Namun, kurasa, memang sebaiknya aku melakukan itu. Jelas, aku tak ingin di
waktu mendatang, aku memiliki seorang kekasih yang hatinya masih terpasung pada
diri yang telah tiada.
Dan
di sela-sela keheninganku memikirkan kekejaman yang telah kulakukan, sesuai
janji, wanita itu, Mira, datang menghampiriku, kala hujan tengah deras-derasnya.
Dia muncul dengan senyuman yang tampak semakin menawan. Jelas saja, aku ingin
memiliki keindahan itu sepanjang waktu, hingga rahasia besar tentang pesan-pesan
Rian, akan tetap kusimpan, entah sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar