Setahun
yang lalu, suami Aini meninggal dunia. Tak ada bekal yang ditinggalkan sang
suami untuknya dan dua orang anaknya. Ia malah meninggalkan utang yang harus
ditanggung keluarga miskin itu. Seluruh hartanya habis untuk biaya berobat
almarhum suaminya. Bahkan ia harus meminjam uang di sana-sini setiap kali
hendak berobat ke rumah sakit, termasuk pada iparnya sendiri, Anto. Dahulu, memang
semua upaya dilakukan demi kesembuhan sang suami dari penyakit liver yang
diidap. Tapi akhirnya, takdir berkata lain. Ia tetap meninggal. Entahlah, sebab
banyak yang menduga, kematian sang suami yang mendadak di rumahnya, akibat keracunan.
Dahulu,
keluarga Aini hidup berkecukupan. Namun seiring penyakit yang diidap sang
suami, hidupnya menjadi sangat pas-pasan. Almarhum suaminya hanya buruh tani
yang digaji harian dan bekerja musiman. Tak jarang, Aini pun turut membantu
sang suami untuk kerja di sawah milik iparnya sendiri. Kerena kehidupannya yang
miskin, Midin dan Arno pun terancam tak sekolah. Padahal ayahnya dahulu pernah
berpesan agar mereka sekolah setinggi mungkin, supaya tak hidup susah kelak.
Midin yang telah tamat SMP pun akhirnya menganggur. Ia mengalah demi kelanjutan
pendidikan adiknya.
Dua
minggu lalu, penderitaan Aini semakin bertambah. Midin hilang saat pergi melaut
bersama pamannya, Anto. Kapal mereka terbalik diterjang ombak besar. Sang paman
selamat. Ia mengatakan tak tahu Midin entah ke mana. Mayatnya bahkan tak pernah
ditemukan. Seiring bergantinya hari, Aini telah merelakan kepergian sang anak
menyusul ayahnya. Kalau pun tak ada keajaiban, ia telah siap menerima jika
suatu saat Midin datang dalam keadaan tak bernyawa.
Kini,
Aini tetap menjalani hidup seperti biasanya. Mengurus persawahan milik orang
lain dengan upah harian yang tidak seberapa. Hanya cukup untuk kebutuhan
sehari-hari. Jika berpikir tentang masa depan pendidikan anaknya, Arno, tentu
tak ada harapan besar. Kemungkinan dia akan seperti pemuda desa yang lain, putus
sekolah setamat SMP, lalu memulai mencari uang dengan tenaga sendiri. Cukup memenuhi
wajib belajar sembilan tahun.
“Ibu,
apa boleh aku mengenakan perlengkapan sekolah Kak Midin ini saat aku
melanjutkan sekolah ke SMA tahun depan?” tanya Arno kepada ibunya, di malam
hari. Ia sambil mengelus-elus baju baru yang belum sempat dikenakan Kakaknya
itu. Sejak dulu, Midin telah memanfaatkan waktu menganggurnya untuk membeli
seragam sekolah, sepatu, buku, dan tas.
Aini begitu terenyuh. “Tentu
saja boleh Nak. Tapi untuk sekolah kan bukan hanya perlu seragam. Ibu ragu bisa
memenuhi kebutuhan sekolahmu. Untuk makan saja kita harus kerja mati-matian. Kita juga tak mungkin meminjam uang pada Paman Anto. Kita
masih banyak utang padanya. Tapi kau jangan sedih, kalau ada rezeki, kau pasti
akan lanjut bersekolah. Makanya mulai sekarang, giatlah bekerja dan menabung.”
Malam
itu, seperti malam-malam sebelumnya, masih ditutup dengan sejumlah tanda tanya
tentang bagaimana masa depan pendidikan Arno. Ia baru saja dinyatakan lulus
ujian nasioanal tingkat SLTP. Sebulan lagi, tahun ajaran baru dimulai. Tapi
sepertinya, ia harus menahan iri melihat sepupunya, anak-anak Anto, yang tak pernah
memusingkan biaya untuk bersekolah. Kemungkinan ia akan mengikuti jejak kakaknya
dahulu, menganggur untuk mengumpulkan bekal bersekolah.
Keadaan
hidup membuat Aini terbebani. Kini ia harus berpikir dan bekerja keras demi
kelangsungan hidup dan pendidikan anak semata wayangnya.
Akhirnya
kejutan datang. Itu tak pernah diyakini Aini sebelumnya. Anaknya, Midin, yang
dikiranya telah meninggal, tiba-tiba muncul di tengah malam. Ia datang dengan
penampilan yang sangat berbeda. Ia tampak kurus dengan bekas luka mengering
yang melintang di pelipis kanannya. Pipinya juga lebam. Ada bercak darah di
tangan dan bajunya.
“Nak,
dari mana saja kau selama ini?” tutur Aini semasih memeluk anaknya itu.
Midin
balas merangkul Ibunya. Ia tak berkata apa-apa.
“Kenapa
baru kembali ke rumah? Apa yang telah terjadi padamu Nak? Kami semua sudah
sangat merindukanmu,” tanya Aini, sepertinya masih tidak percaya dengan apa
yang terjadi.
“Ibu
seharusnya tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja seperti yang
terlihat sekarang. Bahkan jauh lebih baik daripada yang dahulu. Ibu bisa lihat sendiri,”
balas Midin dengan nada tegar. Ia seperti tak berselera suasana suka cita
diperlama. “Anto mana?”
“Ia
masih tidur,” jawab Aini, sambil menuntut Midin segera memasuki rumah sederhana
mereka. “Lalu, kenapa kau terluka begini Nak? Apa yang terjadi?”
“Aku
tak apa-apa Bu. Tadi aku hanya terpeleset dan jatuh saat berjalan ke sini.
Tangkai kayu pun membentur pipiku. Jalan ke sini gelap Bu,” balas Midin tenang.
Raut
muka Aini masih menyiratkan kekhawatiran. Matanya memerhatikan Midin
lamat-lamat. Ia pun menyentuh pelipis anaknya itu. “Lalu, bekas luka ini kenapa
bisa Nak?”
“Aku
tak tahu pastinya Bu. Yang pasti, saat pulih setelah nelayan menyelamatkanku di
tengah lautan, aku baru merasakan pelipisku terluka,” balasnya sambil
menyingkirkan sentuhan ibunya secara sopan.
“Syukurlah,
kau selamat Nak. Pamanmu, Anto, juga selamat. Ia sudah bercerita panjang lebar
tentang kisah kalian,” balas Aini.
Midin
hanya terdiam, lalu mengusap wajahnya.
Separuh
malam pun berlalu dengan penuh kebahagiaan di hati Aini. Meski begitu, Midin
tak banyak cakap. Ia mendadak menjadi pendiam setibanya di rumah. Tak seperti
Midin dahulu yang mudah tersenyum. Hingga akhirnya, pagi menjelang. Kabar buruk
sampai di telinga Aini. Anton ditemukan setengah mati di belakang rumahnya.
Beruntung, nyawanya masih dapat tertolong. Lelaki pemabuk dan tukang judi itu
nyaris meregang nyawa.
Kepulangan
Midin membawa berkah. Besok-besoknya, kehidupan keluarga Aini benar-benar berubah.
Apalagi setelah Midin menyampaikan kepadanya bahwa tanah yang selama ini
digarapnya, telah dibelinya dari Paman Anto. Harapan Midin dan Arno untuk melanjutnya
sekolah pun, terbuka kembali. Midin kini merasa tenang dapat mewujudkan
permintaan terakhir ayahnya, termasuk mengambil kembali sepetak sawah, haknya
dari Anto, yang sudah dibeli almarhum ayahnya sebelum meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar