Selasa, 02 Februari 2016

Anak yang Hilang

Setahun yang lalu, suami Aini meninggal dunia. Tak ada bekal yang ditinggalkan sang suami untuknya dan dua orang anaknya. Ia malah meninggalkan utang yang harus ditanggung keluarga miskin itu. Seluruh hartanya habis untuk biaya berobat almarhum suaminya. Bahkan ia harus meminjam uang di sana-sini setiap kali hendak berobat ke rumah sakit, termasuk pada iparnya sendiri, Anto. Dahulu, memang semua upaya dilakukan demi kesembuhan sang suami dari penyakit liver yang diidap. Tapi akhirnya, takdir berkata lain. Ia tetap meninggal. Entahlah, sebab banyak yang menduga, kematian sang suami yang mendadak di rumahnya, akibat keracunan. 

Dahulu, keluarga Aini hidup berkecukupan. Namun seiring penyakit yang diidap sang suami, hidupnya menjadi sangat pas-pasan. Almarhum suaminya hanya buruh tani yang digaji harian dan bekerja musiman. Tak jarang, Aini pun turut membantu sang suami untuk kerja di sawah milik iparnya sendiri. Kerena kehidupannya yang miskin, Midin dan Arno pun terancam tak sekolah. Padahal ayahnya dahulu pernah berpesan agar mereka sekolah setinggi mungkin, supaya tak hidup susah kelak. Midin yang telah tamat SMP pun akhirnya menganggur. Ia mengalah demi kelanjutan pendidikan adiknya.

Dua minggu lalu, penderitaan Aini semakin bertambah. Midin hilang saat pergi melaut bersama pamannya, Anto. Kapal mereka terbalik diterjang ombak besar. Sang paman selamat. Ia mengatakan tak tahu Midin entah ke mana. Mayatnya bahkan tak pernah ditemukan. Seiring bergantinya hari, Aini telah merelakan kepergian sang anak menyusul ayahnya. Kalau pun tak ada keajaiban, ia telah siap menerima jika suatu saat Midin datang dalam keadaan tak bernyawa.

Kini, Aini tetap menjalani hidup seperti biasanya. Mengurus persawahan milik orang lain dengan upah harian yang tidak seberapa. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jika berpikir tentang masa depan pendidikan anaknya, Arno, tentu tak ada harapan besar. Kemungkinan dia akan seperti pemuda desa yang lain, putus sekolah setamat SMP, lalu memulai mencari uang dengan tenaga sendiri. Cukup memenuhi wajib belajar sembilan tahun.

“Ibu, apa boleh aku mengenakan perlengkapan sekolah Kak Midin ini saat aku melanjutkan sekolah ke SMA tahun depan?” tanya Arno kepada ibunya, di malam hari. Ia sambil mengelus-elus baju baru yang belum sempat dikenakan Kakaknya itu. Sejak dulu, Midin telah memanfaatkan waktu menganggurnya untuk membeli seragam sekolah, sepatu, buku, dan tas. 

Aini begitu terenyuh. “Tentu saja boleh Nak. Tapi untuk sekolah kan bukan hanya perlu seragam. Ibu ragu bisa memenuhi kebutuhan sekolahmu. Untuk makan saja kita harus kerja mati-matian. Kita juga tak mungkin meminjam uang pada Paman Anto. Kita masih banyak utang padanya. Tapi kau jangan sedih, kalau ada rezeki, kau pasti akan lanjut bersekolah. Makanya mulai sekarang, giatlah bekerja dan menabung.”

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, masih ditutup dengan sejumlah tanda tanya tentang bagaimana masa depan pendidikan Arno. Ia baru saja dinyatakan lulus ujian nasioanal tingkat SLTP. Sebulan lagi, tahun ajaran baru dimulai. Tapi sepertinya, ia harus menahan iri melihat sepupunya, anak-anak Anto, yang tak pernah memusingkan biaya untuk bersekolah. Kemungkinan ia akan mengikuti jejak kakaknya dahulu, menganggur untuk mengumpulkan bekal bersekolah. 

Keadaan hidup membuat Aini terbebani. Kini ia harus berpikir dan bekerja keras demi kelangsungan hidup dan pendidikan anak semata wayangnya. 

Akhirnya kejutan datang. Itu tak pernah diyakini Aini sebelumnya. Anaknya, Midin, yang dikiranya telah meninggal, tiba-tiba muncul di tengah malam. Ia datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Ia tampak kurus dengan bekas luka mengering yang melintang di pelipis kanannya. Pipinya juga lebam. Ada bercak darah di tangan dan bajunya.

“Nak, dari mana saja kau selama ini?” tutur Aini semasih memeluk anaknya itu.
Midin balas merangkul Ibunya. Ia tak berkata apa-apa.

“Kenapa baru kembali ke rumah? Apa yang telah terjadi padamu Nak? Kami semua sudah sangat merindukanmu,” tanya Aini, sepertinya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.

“Ibu seharusnya tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja seperti yang terlihat sekarang. Bahkan jauh lebih baik daripada yang dahulu. Ibu bisa lihat sendiri,” balas Midin dengan nada tegar. Ia seperti tak berselera suasana suka cita diperlama. “Anto mana?”

“Ia masih tidur,” jawab Aini, sambil menuntut Midin segera memasuki rumah sederhana mereka. “Lalu, kenapa kau terluka begini Nak? Apa yang terjadi?”

“Aku tak apa-apa Bu. Tadi aku hanya terpeleset dan jatuh saat berjalan ke sini. Tangkai kayu pun membentur pipiku. Jalan ke sini gelap Bu,” balas Midin tenang.

Raut muka Aini masih menyiratkan kekhawatiran. Matanya memerhatikan Midin lamat-lamat. Ia pun menyentuh pelipis anaknya itu. “Lalu, bekas luka ini kenapa bisa Nak?”

“Aku tak tahu pastinya Bu. Yang pasti, saat pulih setelah nelayan menyelamatkanku di tengah lautan, aku baru merasakan pelipisku terluka,” balasnya sambil menyingkirkan sentuhan ibunya secara sopan.

“Syukurlah, kau selamat Nak. Pamanmu, Anto, juga selamat. Ia sudah bercerita panjang lebar tentang kisah kalian,” balas Aini.

Midin hanya terdiam, lalu mengusap wajahnya. 

Separuh malam pun berlalu dengan penuh kebahagiaan di hati Aini. Meski begitu, Midin tak banyak cakap. Ia mendadak menjadi pendiam setibanya di rumah. Tak seperti Midin dahulu yang mudah tersenyum. Hingga akhirnya, pagi menjelang. Kabar buruk sampai di telinga Aini. Anton ditemukan setengah mati di belakang rumahnya. Beruntung, nyawanya masih dapat tertolong. Lelaki pemabuk dan tukang judi itu nyaris meregang nyawa.

Kepulangan Midin membawa berkah. Besok-besoknya, kehidupan keluarga Aini benar-benar berubah. Apalagi setelah Midin menyampaikan kepadanya bahwa tanah yang selama ini digarapnya, telah dibelinya dari Paman Anto. Harapan Midin dan Arno untuk melanjutnya sekolah pun, terbuka kembali. Midin kini merasa tenang dapat mewujudkan permintaan terakhir ayahnya, termasuk mengambil kembali sepetak sawah, haknya dari Anto, yang sudah dibeli almarhum ayahnya sebelum meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar