Sabtu, 07 Desember 2019

Pengalihan Luka

Kini, Nurmi kehilangan gairah hidup. Ia termangu saja membayangkan garis tangannya yang tak terbaca. Ia seolah jenuh menunggu kepastian tentang siapa dan kapan seorang lelaki akan datang mempersunting dirinya. Beberapa kali sudah ia diperhadapkan pada kemungkinan, tetapi yang pasti, setiap lelaki yang datang, ternyata hanya sekadar singgah.
 
Puncak kegalauannya bermula sejak sebulan yang lalu. Seorang lelaki yang pernah mengucapkan janji-janji nikah kepadanya, ternyata malah menikah dengan wanita yang lain. Padahal, dengan sangat percaya diri, ia telah yakin bahwa lelaki itu bersungguh-sungguh terhadapnya, dan ia tak berharap lagi kepada yang lain.

Atas kepedihan hatinya, Nurmi mungkin akan menghabiskan waktu yang panjang untuk sekadar menghapus harapannya. Bahkan barangkali, ia butuh waktu sepanjang durasi perkenalannya dengan sang lelaki untuk berdamai dengan masa lalu. Atau bisa jadi, ia harus menghabiskan sisa hidupnya untuk menyambut hari yang baru.

Sungguh, Nurmi sulit melupakan kenangan bersama lelaki dambaannya itu. Seorang lelaki yang tampak baik dan rupawan, yang terlanjut menjadi satu-satunya gambaran lelaki yang sempurna di dalam benaknya. Seorang lelaki yang senantiasa memberikan perhatian kepadanya, yang berhasil membuatnya merasa seperti seorang ratu.

Meskipun merasakan kekecewaan yang mendalam, sampai kini, Nurmi tak sanggup menyalahkan sang lelaki, apalagi mencapnya sebagai pengkhianat. Bagi Nurmi, lelaki idamannya itu hanya lalai, sampai diperdaya oleh seorang perempuan yang kini menjadi istrinya. Bagi Nurmi, sang pujaan hanya sedang tersesat, dan suatu saat akan kembali kepadanya.

Akhirnya, persoalan Nurmi menjadi sangat rumit untuk diurai. Bukan saja karena ia telah jatuh sejatuh-jatuhnya dalam buaian sang lelaki, tapi juga karena ia tidak pernah membagikan masalah hatinya kepada siapa pun, termasuk ibunya. Selama ini, cerita cintanya berlangsung secara sembunyi-sembunyi di dalam dunia maya dan dunia nyata, sehingga tak ada yang mungkin bisa menyelamatkannya selain dirinya sendiri.

Namun sebagai Ibu, Mirna bisa memahami kekalutan hati Nurmi. Ia tahu bahwa di usia anak perempuannya yang telah menginjak seperempat abad, kerisauan soal pasangan hiduplah yang tengah mendera hatinya. Apalagi setelah ia mendengar informasi dari beberapa saksi mata bahwa Nurmi pernah terlihat berjalan-jalan dengan seorang lelaki di tengah kota, dan sekarang tidak lagi.

Atas keprihatinannya terhadap keadaan sang anak, maka sore ini, di sebuah sofa yang menghadap ke jendela samping rumah, Mirna pun membuka suara. “Anakku yang cantik, ceritakanlah kepada Ibu jika kau ada masalah.”

Nurmi bergeming. Seolah tak mendengar.

“Apa seseorang telah menyakiti hatimu? Seorang lelaki?”

Nurmi tetap terdiam.

Akhirnya, Mirna pun berinisiatif menuturkan nasihatnya dengan lemah lembut., “Soal laki-laki, kita perempuan memang tak boleh terlalu ambil pusing, Nak. Yakinlah, seorang yang memang ditakdirkan untukmu, suatu saat akan datang dan menetap untukmu, selamanya. Tetapi seseorang yang memang bukan untukmu, akan tetap pergi, sekeras apa pun kau mempertahankannya.”

Nurmi tampak tersentuh mendengar penuturan sang ibu. Otot-otot wajahnya pun perlahan melunak.

“Jodoh tak akan ke mana, Nak,” tutur Mirna, kemudian menggenggam tangan sang anak. “Kau sendiri tahu kisah Ibu dan Ayahmu. Kami bertemu meski kami berasal dari daerah yang berjauhan. Kami pun baru bertemu saat usia kami sudah menginjak kepala tiga. Namun akhinya, kami menikah dan hidup bahagia.”

Nurmi menatap ibunya sejenak, kemudian menunduk-menyembunyikan wajahnya yang sayu.
 
“Yakinlah, Nak, semua akan indah pada waktunya. Jika kau sabar menunggu sampai seorang lelaki yang tepat datang meminangmu, kau akan hidup bahagia. Sebaliknya, jika kau melawan waktu dengan memaksakan seseorang menjadi pendamping hidupmu, maka bisa jadi kau akan hidup bersamanya, namun pasti akan berujung pada penderitaan,” kata Mirna lagi, lantas mengusap-usap rambut sang anak. “Tak selamanya yang baik datang di awal waktu, Nak. Bisa jadi, ia datang di akhir waktu.”

Sesaat kemudian, Nurmi pun menyeka bulir-bulir air mata yang tergelincir di pipinya.

“Bersabarlah!” pungkas Mirna, kemudian beranjak ke sisi ruang yang lain.

Seketika, Nurmi merasa telah mendapatkan kekuatan yang dahsyat untuk meredam rasa kecewanya.

Di tengah kegamangan, Nurmi pun mencoba belajar melawan kecenderungan hati yang selama ini membuatnya semakin terpuruk. Ia mencoba mengikuti nasihat-nasihat ibunya. Maka dengan segera, ia masuk lagi ke ruang dunia maya, tepat di bilik kisahnya, tempat ia bertemu untuk kali pertama dengan sang lelaki pujaan. Maksudnya bukan untuk melanjutkan cerita yang telah terhenti, tetapi untuk menghapus segenap cerita yang lalu.

Sampai akhirnya, di beranda media sosial yang telah lama ia tinggalkan, terpampanglah kabar tentang seorang perempuan yang nyaris tewas dianiaya oleh seorang lelaki yang menikahinya sebulan lalu setelah mereka berkenalan di media sosial. Dan sontak saja, Nurmi pun terkejut kala melihat foto wajah yang menyertai informasi itu. Sebuah foto yang tampak serupa dengan wajah lelaki pujaan hatinya.

Seketika, Nurmi mendapatkan tambahan kekuatan untuk segera menyembuhkan luka-luka hatinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar