Kini,
Nurmi kehilangan gairah hidup. Ia termangu saja membayangkan garis tangannya
yang tak terbaca. Ia seolah jenuh menunggu kepastian tentang siapa dan kapan
seorang lelaki akan datang mempersunting dirinya. Beberapa kali sudah ia diperhadapkan
pada kemungkinan, tetapi yang pasti, setiap lelaki yang datang, ternyata hanya sekadar
singgah.
Puncak
kegalauannya bermula sejak sebulan yang lalu. Seorang lelaki yang pernah
mengucapkan janji-janji nikah kepadanya, ternyata malah menikah dengan wanita
yang lain. Padahal, dengan sangat percaya diri, ia telah yakin bahwa lelaki itu
bersungguh-sungguh terhadapnya, dan ia tak berharap lagi kepada yang lain.
Atas
kepedihan hatinya, Nurmi mungkin akan menghabiskan waktu yang panjang untuk
sekadar menghapus harapannya. Bahkan barangkali, ia butuh waktu sepanjang durasi
perkenalannya dengan sang lelaki untuk berdamai dengan masa lalu. Atau bisa
jadi, ia harus menghabiskan sisa hidupnya untuk menyambut hari yang baru.
Sungguh,
Nurmi sulit melupakan kenangan bersama lelaki dambaannya itu. Seorang lelaki
yang tampak baik dan rupawan, yang terlanjut menjadi satu-satunya gambaran
lelaki yang sempurna di dalam benaknya. Seorang lelaki yang senantiasa
memberikan perhatian kepadanya, yang berhasil membuatnya merasa seperti seorang
ratu.
Meskipun
merasakan kekecewaan yang mendalam, sampai kini, Nurmi tak sanggup menyalahkan
sang lelaki, apalagi mencapnya sebagai pengkhianat. Bagi Nurmi, lelaki
idamannya itu hanya lalai, sampai diperdaya oleh seorang perempuan yang kini
menjadi istrinya. Bagi Nurmi, sang pujaan hanya sedang tersesat, dan suatu saat
akan kembali kepadanya.
Akhirnya,
persoalan Nurmi menjadi sangat rumit untuk diurai. Bukan saja karena ia telah
jatuh sejatuh-jatuhnya dalam buaian sang lelaki, tapi juga karena ia tidak
pernah membagikan masalah hatinya kepada siapa pun, termasuk ibunya. Selama ini,
cerita cintanya berlangsung secara sembunyi-sembunyi di dalam dunia maya dan
dunia nyata, sehingga tak ada yang mungkin bisa menyelamatkannya selain dirinya
sendiri.
Namun
sebagai Ibu, Mirna bisa memahami kekalutan hati Nurmi. Ia tahu bahwa di usia
anak perempuannya yang telah menginjak seperempat abad, kerisauan soal pasangan
hiduplah yang tengah mendera hatinya. Apalagi setelah ia mendengar informasi
dari beberapa saksi mata bahwa Nurmi pernah terlihat berjalan-jalan dengan
seorang lelaki di tengah kota, dan sekarang tidak lagi.
Atas
keprihatinannya terhadap keadaan sang anak, maka sore ini, di sebuah sofa yang
menghadap ke jendela samping rumah, Mirna pun membuka suara. “Anakku yang
cantik, ceritakanlah kepada Ibu jika kau ada masalah.”
Nurmi
bergeming. Seolah tak mendengar.
“Apa
seseorang telah menyakiti hatimu? Seorang lelaki?”
Nurmi
tetap terdiam.
Akhirnya,
Mirna pun berinisiatif menuturkan nasihatnya dengan lemah lembut., “Soal
laki-laki, kita perempuan memang tak boleh terlalu ambil pusing, Nak. Yakinlah,
seorang yang memang ditakdirkan untukmu, suatu saat akan datang dan menetap
untukmu, selamanya. Tetapi seseorang yang memang bukan untukmu, akan tetap pergi,
sekeras apa pun kau mempertahankannya.”
Nurmi
tampak tersentuh mendengar penuturan sang ibu. Otot-otot wajahnya pun perlahan
melunak.
“Jodoh
tak akan ke mana, Nak,” tutur Mirna, kemudian menggenggam tangan sang anak.
“Kau sendiri tahu kisah Ibu dan Ayahmu. Kami bertemu meski kami berasal dari
daerah yang berjauhan. Kami pun baru bertemu saat usia kami sudah menginjak kepala
tiga. Namun akhinya, kami menikah dan hidup bahagia.”
Nurmi
menatap ibunya sejenak, kemudian menunduk-menyembunyikan wajahnya yang sayu.
“Yakinlah,
Nak, semua akan indah pada waktunya. Jika kau sabar menunggu sampai seorang
lelaki yang tepat datang meminangmu, kau akan hidup bahagia. Sebaliknya, jika
kau melawan waktu dengan memaksakan seseorang menjadi pendamping hidupmu, maka
bisa jadi kau akan hidup bersamanya, namun pasti akan berujung pada
penderitaan,” kata Mirna lagi, lantas mengusap-usap rambut sang anak. “Tak
selamanya yang baik datang di awal waktu, Nak. Bisa jadi, ia datang di akhir
waktu.”
Sesaat
kemudian, Nurmi pun menyeka bulir-bulir air mata yang tergelincir di pipinya.
“Bersabarlah!”
pungkas Mirna, kemudian beranjak ke sisi ruang yang lain.
Seketika,
Nurmi merasa telah mendapatkan kekuatan yang dahsyat untuk meredam rasa
kecewanya.
Di
tengah kegamangan, Nurmi pun mencoba belajar melawan kecenderungan hati yang
selama ini membuatnya semakin terpuruk. Ia mencoba mengikuti nasihat-nasihat
ibunya. Maka dengan segera, ia masuk lagi ke ruang dunia maya, tepat di bilik
kisahnya, tempat ia bertemu untuk kali pertama dengan sang lelaki pujaan.
Maksudnya bukan untuk melanjutkan cerita yang telah terhenti, tetapi untuk
menghapus segenap cerita yang lalu.
Sampai
akhirnya, di beranda media sosial yang telah lama ia tinggalkan, terpampanglah
kabar tentang seorang perempuan yang nyaris tewas dianiaya oleh seorang lelaki
yang menikahinya sebulan lalu setelah mereka berkenalan di media sosial. Dan sontak
saja, Nurmi pun terkejut kala melihat foto wajah yang menyertai informasi itu.
Sebuah foto yang tampak serupa dengan wajah lelaki pujaan hatinya.
Seketika,
Nurmi mendapatkan tambahan kekuatan untuk segera menyembuhkan luka-luka hatinya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar