Selasa, 08 Maret 2016

Hadiah untuk Adik

Tak ada musim yang menyenangkan bagi Randi. Sampai umurnya delapan tahun kini, ia jelas tak menikmati masa kanak-kanaknya. Semua masa permainan dilewatinya dengan hampa. Musim karet, kelereng, wayang, tak pernah dinikmatinya. Untuk menonton keseruan teman-temannya saja, ia tak ada waktu. Di sore hari, sepulang sekolah, tanpa diperintah, ia sadar diri menyusul kakaknya, Firman, ke padang rumput, mengurusi ternak tetangga yang dikelola keluarganya dengan sistem bagi hasil. Kalaupun tak ada kerjaan, ia malu untuk turut bermain. Ia tak punya mainan yang bisa dibanggakan. Orang tuanya melakukan program penghemat. Uang untuk belanja mainan, tak dianggarkan.

Musim kemarau kali ini, sepertinya akan terganti musim hujan tanpa kesan yang menyenangkan bagi Randi. Anak-anak di kampungnya tengah senang-senangnya mengayuh pedal sepeda di mana-mana. Keriuhan mereka terdengar di setiap sudut kampung. Tapi sekali lagi, tidak untuknya. Ia harus merelakan musim permainan sepeda berlalu begitu saja. Menjauh di bukit dan berusaha tak mengacuhkan suara riang anak-anak kampung. Ia terpaksa tampil lebih dewasa dibanding taman sebayanya. Kebutuhan sekolahnya di masa mendatang, memaksanya untuk bekerja keras mengumpulkan uang.

“Kau tak usah memaksakan diri ke sini terus. Sekali-kali kau bermainlah bersama teman-temanmu. Jangan takut pada ayah. Aku tak akan memberitahukannya,” tutur kakaknya, Firman, kepadanya, saat mereka tengah istirahat sehabis menebar pakan ternak. “Kau masih anak-anak. Kau jangan paksakan dirimu seperti aku. Usiaku sudah 18 tahun. Memang sudah seharusnya aku bekerja keras untuk masa depanku, juga masa depanmu tentunya.”

Randi tak menjadi semringah. Ia tahu betul, sang kakak yang perhatian, akan berusaha menghiburnya jika sedang murung. Saran untuk pergi bermain seperti itu, sudah yang ke sekian kalinya. Tapi ia tak tertarik mempertimbangkannya. Turut bermain dengan teman sebaya, hanya akan membuat ia merasa semakin kesepian. Ia tak punya sepeda untuk musim ini. Mungkin akan berulang untuk musim selanjutnya. 

“Andai saja aku punya sepeda, tanpa Kakak sarankan, aku pasti telah menghilang dari sini sedari tadi. Ah…,” tuturnya sambil mengacak-acak rambut bagian belakangnya.

Firman yang duduk di samping adiknya, tak membalas dengan kata-kata. Ia tak ada jalan keluar. Meski begitu, ia sangat berhasrat untuk memberikan sebuah kejutan untuk adik semata wayangnya. Namun minimnya pendapatan dari hasil memelihara ternak tetangga, hanya cukup untuk kebutuhan yang paling primer. Kalaupun ada lebihnya, akan disakukan ayahnya, ditabung untuk masa depan pendidikan mereka berdua.

Sejak sore itu, Firman berjanji pada dirinya sendiri memberikan hadiah kepada adiknya, sebuah sepeda. Ia merasa sangat iba melihat adiknya begitu kerasanya meredam jiwa kekanak-kanakannnya. Dia tak mau menunggu besok. Saat malam datang, ia pun melakukan sebuah pekerjaan gelap. Ia tahu di mana ayahnya selama ini menyimpan tabungan. Ia berencana menilep beberapa lembar untuk membelikan adiknya sepeda baru. Ia menduga, ayahnya yang pikun dan tak menerapkan sistem administrasi keuangan secara baik, tak akan menyadari. 

Keesokan harinya, sesampai di padang pemeliharaan ternak, Randi terheran melihat sebuah sepeda baru bersandar pada tiang gubuk. Melihat itu, membuat angannya tentang sepeda semakin menggila.

“Kak, ini sepeda siapa?” tanya Randi, penasaran.

Firman yang tengah mencincang dedaunan untuk pakan ternak, segera berbalik, menoleh ke adiknya yang tampak terheran. “Itu punyamu. Aku yang beli untukmu. Aku harap kau bisa sekali-kali pergi bermain sepeda bersama teman-temanmu,” balasnya.

Randi tercengang. Ia tak menyangka kakaknya akan memberinya hadiah seberharga itu.

“Aku beli dari hasil tabungan. Kau tak usah beritahu Ayah,” titah Firman.

Randi hanya mengangguk. Ia tersenyum kegirangan. “Terima kasih Kak,” balasnya.

Tanpa pikir panjang, kini, sepeda baru telah ditunggangi Randi. Wajahnya begitu semringah. Kini, bisa jadi, ia membuat teman sebayanya iri. Sepeda baru itu adalah merek terbaik dari yang pernah dimiliki anak-anak di kampungnya. 

Melihat adiknya senang, tentu membuat Firman merasa bahagia. Tapi asal-usul sepeda itu harus dirahasiakannya. Agar tak ketahuan, Firman telah miminta kepada adiknya agar tak menampakkan sepeda itu di depan sang ayah. Karena itu, setiap kali selesai dipakai, sepeda itu disimpan di teras atap gubuk. 

Tapi nahas. Di sore itu juga, Ayah mereka yang sakit-sakitan, melakukan operasi mendadak. Randi pun berusaha secepat mungkin menyembunyikan sepeda di atas gubuk. Tapi kemunculan ayah mereka yang tiba-tiba, membuat rahasia itu terbongkar.

“Sepeda baru itu punyamu? Kau dapat dari mana uang untuk membelinya? Kau tak mencuri kan?” tanya ayah mereka seketika.

Firman dan Randi hanya bersetatap berkali-kali. “Kak Firman yang membelikanku, Ayah. Ia beli dari hasil tabungannya,” jalas Randi.

“Hasil tabunganku maksudnya?” tanya balik Ayahnya, tegas. “Jawab Firman!”

“Iya. Aku beli dari tabungan hasil ternak kita Ayah,” balas Firman dengan intonasi datar.

“Oh begitu. Aku benar-benar sudah pikun. Aku kira, uang tabunganku ditilep pencuri,” tutur sang Ayah sambil tertawa pendek, seperti baru tersadarkan. “Jadi benar kan kalau aku telah memberikan segepok uang sekitar Rp. 500.000 padamu?”

Firman jadi tak habis pikir dengan dugaan sang Ayah, tapi kekeliruan itulah yang ia inginkan. “Iya. Ayah pasti lupa. Kemarin Ayah memberikannya padaku."

Sang Ayah lalu terdiam beberapa saat, seperti berusaha mengingat bagaimana peristiwa serah terima uang itu terjadi.  “Oh. Syukurlah. Ternyata kau anak yang bisa dipercaya Firman. Aku selalu was-was, jangan-jangan kau menggunakan uang itu untuk persoalan lain. Ternyata kau menggunakannya sesuai pintaku, untuk membelikan sepeda baru bagi adikmu. Ah, syukurlah kau masih pengertian pada adikmu.”

Firman melemparkan senyuman pada adiknya, sambil memicingkan mata kirinya. Randi yang masih berdiri kaku, hanya melongo, tak mengerti tentang kejadian sebenarnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar