Tak
ada musim yang menyenangkan bagi Randi. Sampai umurnya delapan tahun kini, ia jelas
tak menikmati masa kanak-kanaknya. Semua masa permainan dilewatinya dengan
hampa. Musim karet, kelereng, wayang, tak pernah dinikmatinya. Untuk menonton keseruan
teman-temannya saja, ia tak ada waktu. Di sore hari, sepulang sekolah, tanpa
diperintah, ia sadar diri menyusul kakaknya, Firman, ke padang rumput,
mengurusi ternak tetangga yang dikelola keluarganya dengan sistem bagi hasil.
Kalaupun tak ada kerjaan, ia malu untuk turut bermain. Ia tak punya mainan yang
bisa dibanggakan. Orang tuanya melakukan program penghemat. Uang untuk belanja mainan,
tak dianggarkan.
Musim
kemarau kali ini, sepertinya akan terganti musim hujan tanpa kesan yang menyenangkan
bagi Randi. Anak-anak di kampungnya tengah senang-senangnya mengayuh pedal
sepeda di mana-mana. Keriuhan mereka terdengar di setiap sudut kampung. Tapi
sekali lagi, tidak untuknya. Ia harus merelakan musim permainan sepeda berlalu
begitu saja. Menjauh di bukit dan berusaha tak mengacuhkan suara riang
anak-anak kampung. Ia terpaksa tampil lebih dewasa dibanding taman sebayanya.
Kebutuhan sekolahnya di masa mendatang, memaksanya untuk bekerja keras
mengumpulkan uang.
“Kau
tak usah memaksakan diri ke sini terus. Sekali-kali kau bermainlah bersama
teman-temanmu. Jangan takut pada ayah. Aku tak akan memberitahukannya,” tutur
kakaknya, Firman, kepadanya, saat mereka tengah istirahat sehabis menebar pakan
ternak. “Kau masih anak-anak. Kau jangan paksakan dirimu seperti aku. Usiaku
sudah 18 tahun. Memang sudah seharusnya aku bekerja keras untuk masa depanku,
juga masa depanmu tentunya.”
Randi
tak menjadi semringah. Ia tahu betul, sang kakak yang perhatian, akan berusaha
menghiburnya jika sedang murung. Saran untuk pergi bermain seperti itu, sudah yang
ke sekian kalinya. Tapi ia tak tertarik mempertimbangkannya. Turut bermain
dengan teman sebaya, hanya akan membuat ia merasa semakin kesepian. Ia tak
punya sepeda untuk musim ini. Mungkin akan berulang untuk musim selanjutnya.
“Andai
saja aku punya sepeda, tanpa Kakak sarankan, aku pasti telah menghilang dari
sini sedari tadi. Ah…,” tuturnya sambil mengacak-acak rambut bagian
belakangnya.
Firman
yang duduk di samping adiknya, tak membalas dengan kata-kata. Ia tak ada jalan
keluar. Meski begitu, ia sangat berhasrat untuk memberikan sebuah kejutan untuk
adik semata wayangnya. Namun minimnya pendapatan dari hasil memelihara ternak
tetangga, hanya cukup untuk kebutuhan yang paling primer. Kalaupun ada
lebihnya, akan disakukan ayahnya, ditabung untuk masa depan pendidikan mereka
berdua.
Sejak
sore itu, Firman berjanji pada dirinya sendiri memberikan hadiah kepada
adiknya, sebuah sepeda. Ia merasa sangat iba melihat adiknya begitu kerasanya
meredam jiwa kekanak-kanakannnya. Dia tak mau menunggu besok. Saat malam
datang, ia pun melakukan sebuah pekerjaan gelap. Ia tahu di mana ayahnya selama
ini menyimpan tabungan. Ia berencana menilep beberapa lembar untuk membelikan
adiknya sepeda baru. Ia menduga, ayahnya yang pikun dan tak menerapkan sistem
administrasi keuangan secara baik, tak akan menyadari.
Keesokan
harinya, sesampai di padang pemeliharaan ternak, Randi terheran melihat
sebuah sepeda baru bersandar pada tiang gubuk. Melihat itu, membuat angannya tentang
sepeda semakin menggila.
“Kak,
ini sepeda siapa?” tanya Randi, penasaran.
Firman
yang tengah mencincang dedaunan untuk pakan ternak, segera berbalik, menoleh ke
adiknya yang tampak terheran. “Itu punyamu. Aku yang beli untukmu. Aku harap
kau bisa sekali-kali pergi bermain sepeda bersama teman-temanmu,” balasnya.
Randi tercengang. Ia tak menyangka kakaknya akan memberinya hadiah seberharga itu.
“Aku
beli dari hasil tabungan. Kau tak usah beritahu Ayah,” titah Firman.
Randi
hanya mengangguk. Ia tersenyum kegirangan. “Terima kasih Kak,” balasnya.
Tanpa
pikir panjang, kini, sepeda baru telah ditunggangi Randi. Wajahnya begitu
semringah. Kini, bisa jadi, ia membuat teman sebayanya iri. Sepeda baru itu adalah
merek terbaik dari yang pernah dimiliki anak-anak di kampungnya.
Melihat
adiknya senang, tentu membuat Firman merasa bahagia. Tapi asal-usul sepeda itu
harus dirahasiakannya. Agar tak ketahuan, Firman telah miminta kepada adiknya
agar tak menampakkan sepeda itu di depan sang ayah. Karena itu, setiap kali
selesai dipakai, sepeda itu disimpan di teras atap gubuk.
Tapi
nahas. Di sore itu juga, Ayah mereka yang sakit-sakitan, melakukan operasi
mendadak. Randi pun berusaha secepat mungkin menyembunyikan sepeda di atas
gubuk. Tapi kemunculan ayah mereka yang tiba-tiba, membuat rahasia itu
terbongkar.
“Sepeda
baru itu punyamu? Kau dapat dari mana uang untuk membelinya? Kau tak mencuri
kan?” tanya ayah mereka seketika.
Firman
dan Randi hanya bersetatap berkali-kali. “Kak Firman yang membelikanku, Ayah.
Ia beli dari hasil tabungannya,” jalas Randi.
“Hasil
tabunganku maksudnya?” tanya balik Ayahnya, tegas. “Jawab Firman!”
“Iya.
Aku beli dari tabungan hasil ternak kita Ayah,” balas Firman dengan intonasi
datar.
“Oh
begitu. Aku benar-benar sudah pikun. Aku kira, uang tabunganku ditilep
pencuri,” tutur sang Ayah sambil tertawa pendek, seperti baru tersadarkan. “Jadi
benar kan kalau aku telah memberikan segepok uang sekitar Rp. 500.000 padamu?”
Firman jadi tak habis pikir dengan dugaan sang Ayah, tapi kekeliruan itulah yang ia inginkan. “Iya.
Ayah pasti lupa. Kemarin Ayah memberikannya padaku."
Sang Ayah lalu terdiam beberapa saat, seperti berusaha mengingat bagaimana peristiwa serah terima uang itu terjadi. “Oh. Syukurlah. Ternyata kau anak yang bisa dipercaya Firman. Aku selalu was-was, jangan-jangan kau menggunakan uang itu untuk persoalan lain. Ternyata kau menggunakannya sesuai pintaku, untuk membelikan sepeda baru bagi adikmu. Ah, syukurlah kau masih pengertian pada adikmu.”
Firman
melemparkan senyuman pada adiknya, sambil memicingkan mata kirinya. Randi yang
masih berdiri kaku, hanya melongo, tak mengerti tentang kejadian sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar