Sore
yang pelik bagi Rion. Pujaan hatinya memendam kedongkolan terhadap dirinya. Sang
kekasih cemberut saja di sampingnya, meski di balik kemudi, ia berulang kali melontarkan
kata-kata pancingan untuk memulai obrolan yang hangat. Dan baginya, sebagaimana
bagi semua lelaki, diam adalah pembalasan paling menyakitkan dari seorang
perempuan.
Musabab
perkara sebenarnya bukan hal yang fatal. Rion tahu, sang kekasih hanya kesal
karena merasa kurang diperhatikan. Apalagi setelah kemarin, ketika Rion telat
menunaikan janji untuk datang menjemput dan membawanya ke restoran. Sedang sang
kekasih tahu, ia terlambat karena ia larut dalam perbincangan dengan seorang
perempuan, teman kuliahnya, di kampus.
Tentu
saja, sebagai seorang kekasih, Rion telah berusaha menebus kekeliruannya dengan
cara yang pantas. Pagi tadi, ia telah memberikan sebungkus cokelat untuk sang
kekasih, beserta permohonan maaf dan janji untuk menjadi lebih peduli. Namun
bagi sang kekasih, tindakan itu sepertinya belum cukup untuk menawar kekesalan
hatinya yang terlanjur membengkak.
Akhirnya,
untuk saat ini, Rion menyerah untuk berupaya. Ia hanya berharap semoga kekesalan
sang kekasih segera mereda dengan sendirinya, dan mereka kembali bercanda ria
seperti sebelumnya. Karena itu, ia pun memutuskan untuk mendiamkan keadaan,
lantas menyetel siaran radio untuk mengisi keheningan yang berkepanjangan.
Sampai
akhirnya, di tengah pikiran yang kalut, nada pesan dari ponsel Rion berdering.
Ia pun menunduk dan mengecek pesan yang masuk. Namun seketika saja, mobilnya
bersenggolan dengan sepeda motor gandeng seorang penjual sayuran yang hendak
melambung dari sisi kiri. Bodi mobilnya pun tergores, sedang sang pedagang
jatuh beserta sayur-mayurnya.
Sontak,
Rion jadi kalap. Ia lantas menghela-embuskan napas yang panjang untuk
menenangkan diri dan menyusun strategi yang tepat. Ia jelas tak ingin gegabah
dan bertindak bodoh. Hingga akhirnya, ia terpikir untuk menjadikan peristiwa
nahas yang ia alami sebagai kesempatan untuk membuktikan rasa perhatian dan kepeduliannya
kepada sang kekasih.
Sesaat
kemudian, dengan sikap yakin, Rion turun dari mobilnya. “Bapak bisa bawa motor
tidak?” ketusnya kemudian, setengah menggertak, sebagaimana sikap yang akan
diambil oleh setiap pengemudi mobil mewah yang berhadapan dengan pengemudi
kendaraan biasa.
Seketika,
sang pedagang yang meringis kesakitan, tampak kehilangan nyali.
“Kalau
berkendara, yang benar, Pak! Masa melambung dari sebelah kiri?” bentak Rion
lagi.
Sang
pedagang tampak terpojok. Ia tetap saja duduk di tepi jalan sambil mengurut-urut
lututnya.
“Tindakan
bodoh Bapak telah berakibat fatal. Aku bisa saja menuntut ganti rugi jutaan
rupiah untuk ongkos perbaikan bodi mobilku yang rusak. Atau aku bisa saja melaporkan
bapak ke polisi,” ancam Rion dengan raut wajah yang serius.
Sontak,
Sang pedagang jadi sangat ketakutan.
“Maafkan aku, Pak. Maafkan aku,” serunya, lirih, terkesan memohon.
Rion
mendecak sekali, seolah menolak untuk memberi maaf. “Tak usah mengiba begitu,
Pak. Kata maaf tidak akan mampu menggantikan kerugian yang aku alami. Tapi aku
memang tak akan menuntut ganti rugi, karena aku tahu Bapak tak akan sanggup
membayar. Soal mobil, tak ada masalah,” tuturnya, dengan intonasi suara yang
merendah.
Mulut
sang pedagang pun gagu. Matanya berkaca-kaca.
“Bagiku,
permasalahan sebenarnya karena Bapak nyaris mencelakakan seseorang yang sangat
aku cintai,” lanjut Rion, menyinggung inti rencana dengan nada tinggi.
Sang
pedagang tertunduk takut dengan raut wajah yang muram.
Tangan
kanan Rion lalu menunjuk-nunjuk sang pedagang. “Kalau saja kekasihku kenapa-kenapa,
tak tanggung-tanggung, aku akan menyeret Bapak ke dalam penjara!” hardik Rion,
penuh penegasan.
“Maafkan
aku, Pak. Maafkan aku,” iba sang pedagang lagi, seolah-olah ia tak mampu
menyusun kalimat yang lain.
Rion
mendengus. “Sudah, jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada kekasihku!”
titahnya
Dengan
raut meringis menahan sakit, sang pedagang pun berdiri dengan susah payah, kemudian
melangkah tertatih-tatih menuju ke hadapan kekasih Rion.
Sebaliknya,
kekasih Rion balas mendekat.
“Maafkan
aku, Bu,” tutur sang pedagang dengan raut penuh penyesalan.
Kekasih
Rion pun mengangguk-angguk. “Sudah, Pak. Saya maafkan,” balasnya, dengan nada
suara yang lembut.
“Oke,
perkara kita sudah selesai sampai di sini,” sela Rion kemudian. “Lain kali,
Bapak harus berhati-hati kalau berkendara.”
Sang
pedagang mengangguk tegas. “Pasti, Pak.”
Rion
lantas masuk ke dalam mobil, disusul sang kekasih.
Seketika
saja, Rion merasa telah menjadi seorang lelaki sejati. Ia merasa telah
menampakkan dirinya sebagai pelindung yang tangguh bagi sang kekasih.
Namun
apa yang dilakukan Rion, ternyata tidak mengubah apa-apa. Sang kekasih masih
saja diam dan cemberut.
Selang
beberapa saat, tibalah sang kekasih di depan rumahnya. Ia pun segera turun dari
mobil, lalu masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada
Rion.
Sontak
saja, Rion merasa gagal dan kecewa. Namun ia yakin, lambat-laun, sang kekasih
akan menyadari arti ketulusan hati dan kehadiran dirinya selama ini.
Akhirnya,
untuk sementara, Rion pulang dengan perasaan yang harap-harap cemas atas
perubahan sikap sang kekasih.
Sesaat
setelah sampai di rumah, Rion pun berusaha melepas penat dan mengurai kekalutan
dengan berbaring di atas kasurnya yang empuk.
Namun
tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari sang kekasih masuk ke telepon genggamnya: Hubungan kita cukup sampai di sini. Aku tak
suka laki-laki yang abai pada kekasihnya, apalagi yang suka bertindak kasar!”
Seketika,
Rion kelimpungan. Selama ini, ia merasa tak pernah bertindak kasar kepada sang kekasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar