Sabtu, 14 Desember 2019

Salah Taktik

Sore yang pelik bagi Rion. Pujaan hatinya memendam kedongkolan terhadap dirinya. Sang kekasih cemberut saja di sampingnya, meski di balik kemudi, ia berulang kali melontarkan kata-kata pancingan untuk memulai obrolan yang hangat. Dan baginya, sebagaimana bagi semua lelaki, diam adalah pembalasan paling menyakitkan dari seorang perempuan.
 
Musabab perkara sebenarnya bukan hal yang fatal. Rion tahu, sang kekasih hanya kesal karena merasa kurang diperhatikan. Apalagi setelah kemarin, ketika Rion telat menunaikan janji untuk datang menjemput dan membawanya ke restoran. Sedang sang kekasih tahu, ia terlambat karena ia larut dalam perbincangan dengan seorang perempuan, teman kuliahnya, di kampus.

Tentu saja, sebagai seorang kekasih, Rion telah berusaha menebus kekeliruannya dengan cara yang pantas. Pagi tadi, ia telah memberikan sebungkus cokelat untuk sang kekasih, beserta permohonan maaf dan janji untuk menjadi lebih peduli. Namun bagi sang kekasih, tindakan itu sepertinya belum cukup untuk menawar kekesalan hatinya yang terlanjur membengkak.

Akhirnya, untuk saat ini, Rion menyerah untuk berupaya. Ia hanya berharap semoga kekesalan sang kekasih segera mereda dengan sendirinya, dan mereka kembali bercanda ria seperti sebelumnya. Karena itu, ia pun memutuskan untuk mendiamkan keadaan, lantas menyetel siaran radio untuk mengisi keheningan yang berkepanjangan.

Sampai akhirnya, di tengah pikiran yang kalut, nada pesan dari ponsel Rion berdering. Ia pun menunduk dan mengecek pesan yang masuk. Namun seketika saja, mobilnya bersenggolan dengan sepeda motor gandeng seorang penjual sayuran yang hendak melambung dari sisi kiri. Bodi mobilnya pun tergores, sedang sang pedagang jatuh beserta sayur-mayurnya. 

Sontak, Rion jadi kalap. Ia lantas menghela-embuskan napas yang panjang untuk menenangkan diri dan menyusun strategi yang tepat. Ia jelas tak ingin gegabah dan bertindak bodoh. Hingga akhirnya, ia terpikir untuk menjadikan peristiwa nahas yang ia alami sebagai kesempatan untuk membuktikan rasa perhatian dan kepeduliannya kepada sang kekasih.

Sesaat kemudian, dengan sikap yakin, Rion turun dari mobilnya. “Bapak bisa bawa motor tidak?” ketusnya kemudian, setengah menggertak, sebagaimana sikap yang akan diambil oleh setiap pengemudi mobil mewah yang berhadapan dengan pengemudi kendaraan biasa.

Seketika, sang pedagang yang meringis kesakitan, tampak kehilangan nyali.

“Kalau berkendara, yang benar, Pak! Masa melambung dari sebelah kiri?” bentak Rion lagi.

Sang pedagang tampak terpojok. Ia tetap saja duduk di tepi jalan sambil mengurut-urut lututnya.

“Tindakan bodoh Bapak telah berakibat fatal. Aku bisa saja menuntut ganti rugi jutaan rupiah untuk ongkos perbaikan bodi mobilku yang rusak. Atau aku bisa saja melaporkan bapak ke polisi,” ancam Rion dengan raut wajah yang serius.

Sontak, Sang pedagang  jadi sangat ketakutan. “Maafkan aku, Pak. Maafkan aku,” serunya, lirih, terkesan memohon.

Rion mendecak sekali, seolah menolak untuk memberi maaf. “Tak usah mengiba begitu, Pak. Kata maaf tidak akan mampu menggantikan kerugian yang aku alami. Tapi aku memang tak akan menuntut ganti rugi, karena aku tahu Bapak tak akan sanggup membayar. Soal mobil, tak ada masalah,” tuturnya, dengan intonasi suara yang merendah.

Mulut sang pedagang pun gagu. Matanya berkaca-kaca.

“Bagiku, permasalahan sebenarnya karena Bapak nyaris mencelakakan seseorang yang sangat aku cintai,” lanjut Rion, menyinggung inti rencana dengan nada tinggi.

Sang pedagang tertunduk takut dengan raut wajah yang muram.

Tangan kanan Rion lalu menunjuk-nunjuk sang pedagang. “Kalau saja kekasihku kenapa-kenapa, tak tanggung-tanggung, aku akan menyeret Bapak ke dalam penjara!” hardik Rion, penuh penegasan.

“Maafkan aku, Pak. Maafkan aku,” iba sang pedagang lagi, seolah-olah ia tak mampu menyusun kalimat yang lain.

Rion mendengus. “Sudah, jangan minta maaf padaku. Minta maaflah pada kekasihku!” titahnya

Dengan raut meringis menahan sakit, sang pedagang pun berdiri dengan susah payah, kemudian melangkah tertatih-tatih menuju ke hadapan kekasih Rion. 

Sebaliknya, kekasih Rion balas mendekat.

“Maafkan aku, Bu,” tutur sang pedagang dengan raut penuh penyesalan.

Kekasih Rion pun mengangguk-angguk. “Sudah, Pak. Saya maafkan,” balasnya, dengan nada suara yang lembut.

“Oke, perkara kita sudah selesai sampai di sini,” sela Rion kemudian. “Lain kali, Bapak harus berhati-hati kalau berkendara.”

Sang pedagang mengangguk tegas. “Pasti, Pak.”

Rion lantas masuk ke dalam mobil, disusul sang kekasih.

Seketika saja, Rion merasa telah menjadi seorang lelaki sejati. Ia merasa telah menampakkan dirinya sebagai pelindung yang tangguh bagi sang kekasih.

Namun apa yang dilakukan Rion, ternyata tidak mengubah apa-apa. Sang kekasih masih saja diam dan cemberut.

Selang beberapa saat, tibalah sang kekasih di depan rumahnya. Ia pun segera turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Rion.

Sontak saja, Rion merasa gagal dan kecewa. Namun ia yakin, lambat-laun, sang kekasih akan menyadari arti ketulusan hati dan kehadiran dirinya selama ini.

Akhirnya, untuk sementara, Rion pulang dengan perasaan yang harap-harap cemas atas perubahan sikap sang kekasih.

Sesaat setelah sampai di rumah, Rion pun berusaha melepas penat dan mengurai kekalutan dengan berbaring di atas kasurnya yang empuk. 

Namun tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari sang kekasih masuk ke telepon genggamnya: Hubungan kita cukup sampai di sini. Aku tak suka laki-laki yang abai pada kekasihnya, apalagi yang suka bertindak kasar!”

Seketika, Rion kelimpungan. Selama ini, ia merasa tak pernah bertindak kasar kepada sang kekasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar