Sejak
mengenalmu, aku mulai memendam rasa dari waktu ke waktu. Sudah sejak lama. Itu
urusanku sendiri. Kau tak perlu tahu. Pastinya kau tak akan tahu. Semua tingkah
lakuku, abai tentangmu. Prinsip nonkotradiksi logika, tak berlaku pada caraku mengagumimu.
Aku menginginkanmu, tapi aku ingin kau menjauhiku. Aku ingin membuatmu bahagia,
tapi memuji saja, aku tak mau. Aku tak memedulikanmu, sekaligus merasa orang
paling peduli padamu.
Mungkin
kau tak pernah berencana mengingat peristiwa berkesan tentang kita. Salah
satunya saat kau memenangi lomba karya tulis ilmiah. Kala itu, teman segeng
kita di kampus memberimu kata-kata selamat yang terkesan membual. Aku sama sekali
tak berselera meniru mereka. Bukan berarti aku menganggapmu tak layak menjadi
pemenang. Aku hanya tak yakin kau akan merasa pujianku berharga. Sulit
membayangkan kau tersanjung kegirangan karenaku, sebagaimana yang lain juga. Paling
kau hanya berterima kasih dengan senyuman terpaksa.
Pernah
juga saat kali pertama kau mengenakan kacamata. Teman-teman kita sontak melemparkan
pujian bahwa kau tampak menawan. Aku malah tak berhasrat mengomentarimu.
Walaupun kata-kata mereka melebar ke unsur-unsur kerupawananmu yang lain, itu
tak merisaukanku. Aku memilih tak peduli. Aku yakin tak akan ada pujian yang
berarti bagimu. Selain dirimu, tak ada yang tahu siapa pemilik pujian yang mampu
menggetarkanmu. Karena itu, melontarkan pernyataan saja, semisal wah, kamu sudah pakai kecamata ya, aku
tak ingin.
Sampai
pada hal sepele yang telah dianggap lumrah dan tak akan menampakkan perasaanku
padamu, aku juga tak ingin melakukannya. Aku tahu kau doyan mengunggah status
di media sosial. Isinya kebanyakan bukan tentang curahan hatimu, tetapi tentang
pengetahuan atau nasihat-nasihat bijak. Itu adalah kesempatan emasku memberimu
pujian jika memang halanganku menyatakan perasaan adalah rasa malu. Tapi bukan
karena itu aku bungkam. Akhirnya, untuk mengklik ikon suka pada statusmu saja, aku tak sudi,
apalagi untuk mengomentarinya.
Sekali
lagi, bukan tanpa alasan aku enggan menampakkan sedikit pun kesanku padamu.
Kurasa, kau terlalu baik untuk dipermainkan. Apalagi, kau juga tak akan takluk
oleh gombalan. Kalau pun narsisku meningkat dan yakin ada celah untukku
menggelitik perasaanmu yang membeku, masih kurasa tidak perlu melakukannya. Aku
tak ingin kau terbuai dalam angan-angan karenaku. Aku tak mau merenggutmu
sebelum waktunya. Nanti saja, pujian terbaik akan kulontarkan jika itu bukan
gombalan lagi. Itu pun kalau kau ditakdirkan bersamaku.
Sebenanarnya,
modalku tak benar-benar kosong untuk mendapatkan perhatianmu. Meski mungkin aku
keok pada banyak segi dibanding lelaki lain, tapi kelihaianku bermaian musik
kikira membuatmu berpikir berat menolakku. Apalagi sudah menjadi keyakinan umum kalau
kelemahan perempuan terletak di telinganya, sedangkan kelemahan lelaki di
matanya. Aku jelas takluk dengan tampakanmu. Tapi aku tak yakin kau akan
tersentuh mendengar senandungku. Jadinya, aku tak akan melantunkan sebuah lagu
pun di hadapanmu, kecuali di sisi gelap kamarku yang sunyi.
Ringkas
kata dari apa yang sebelumnya kuutarakan: aku tak ingin kau menyukaiku. Dalam
sadar ataupun ketidaksadaranku, aku tak ingin ada sikapku yang mempermainkan
perasaanmu. Apalagi, aku juga tak berhasrat seperti orang lain yang
membanggakan kenangan masa lalunya yang murahan. Sama sekali tak menarik bagiku
menjadi penakluk perasaanmu, hanya untuk membuktikan akulah yang terhebat di
antara lelaki. Aku sama sekali tak bercita-cita memajang fotomu di ruang masa
laluku, kelak. Apalagi menyombongkan kepada khalayak bahwa kau ada di sederet
wajah yang takluk di bawah rayuanku.
Biarkanlah
takdir bekerja dalam waktu. Jika suatu saat kita bersama, maka rasa dalam
senyap ini akan menjadi bahan nostalgia. Kita akan mengenang betapa indahnya
cara Tuhan menyibak rahasia-Nya tentang kita. Jika pun kau bersama yang lain,
setidaknya kau tak perlu memikirkanku. Tak akan ada kenangan yang menjebak
kita. Itulah caraku. Kau tahu cara paling tak adil dalam mencintai? Yaitu ketika seseorang
membenci kita hanya karena perbandingan. Dia tak ada alasan menerima kekurangan
kita, karena ia melihat kelebihan orang lain. Ia lebih suka larut dalam masa
lalu yang dirasanya indah, ketimbang menjalani masa depan bersama-sama.
Sungguh!
Dan
seiring waktu, akhirnya, kau kini tak lagi seperti yang dulu. Belakangan, unggahan statusmu
tak lagi muncul di media sosial. Duniamu nyata, tak lagi maya. Kau benar-benar
hilang dari pemantauan orang-orang. Tapi tidak bagiku. Kau masih dalam duniaku.
Kau bahkan dalam kendaliku. Kita sama-sama bisa mengendalikan satu sama lain.
Ya, dari sekian dugaanku tentang akhir kisah kita, ternyata keraguankulah yang
menjadi kenyataan. Kini, kita benar-benar bersama dalam ikatan cinta sejati.
Kebersamaan
kita adalah hadiah terindah. Jauh-jauh hari sebelumnya, aku tak pernah yakin akan
memilikimu dalam kenyataan. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri memintamu menikah
denganku. Caraku itu kurasa paling tepat. Aku tak ingin sekadar menyukaimu. Aku
ingin mencintaimu. Bagiku, cinta adalah nikah. Terus terang, aku menyukai
wajahmu yang elok. Tapi suatu saat, waktu akan memudarkannya. Jika karena suka itu,
aku pastilah meninggalkanmu suatu saat. Tapi semua itu tak akan terjadi, sebab sekarang,
aku benar-benar mencintaimu, atas nama Tuhan. Ikatan kita lahir dan batin. Tak
akan lekang oleh waktu.
Cara
kita mencintai, tak berbeda. Pandanganmu ternyata serupa denganku. Tentang kita, haruslah
disatukan dalam cinta yang sesungguhnya. Terikat dalam batin yang suci. Tak perlu semua orang tahu. Setiap orang punya
kehidupan cinta masing-masing. Tak perlu saling menilai. Jelas itu berbeda
dengan prinsip kebanyakan orang di zaman anomali ini. Mereka gemar mengunggah
foto keberduaan mereka yang murahan di media sosial, hanya untuk menunjukkan
kebersamaan mereka yang sebenarnya penuh kehampaan. Mereka berharap mendapat pujian
palsu dari kepalsuan mereka.
Sekali lagi,
tak usahlah kemesraan digembar-gemborkan. Cinta bukan untuk dipamer. Jelas
bahwa merekalah yang berhak, yang paling merasakan tentang rasa kebersamaan.
Tak perlulah diumbar-umbar, apalagi hanya untuk memancing rasa iri dan amarah
dari orang-orang yang pernah berhasrat mendapatkan kita. Kurasa memang tak perlu,
sebab kita tak punya sosok di masa lalu yang pantas untuk disampahi. Cinta
kita, hanya tantang kita berdua, aku dan kamu, selamanya.
“Bagaimana bisa cara kita mencintai persis
sama?” tanyaku, sambil tetap fokus pada layar ketikan. Jariku mulai lambat merangkai
huruf di balik tombol-tombol laptopku.
“Aku
pernah membaca tulisan ceritamu. Itu membuatku sependapat denganmu tentang
bagaimana cinta yang sesungguhnya,” jawabmu, setelah sedari tadi bersusah payah
menawarkan skenario ending untuk cerita
yang kutuliskan.
“Tulisan
yang mana? Perasaan, aku tak pernah menulis tentang persoalan cinta,” tegasku sambil
bertanya-tanya pada diri sendiri. Aku jelas ingin segera mengetahui cerita yang
kau tuduhkan. Karena itu, aku sepaham denganmu untuk segera menamatkan
rangkaian tulisan ceritaku yang terlanjur kepanjangan.
“Kau
memang belum pernah menulisnya. Kau sedang menulisnya sekarang. Judulnya: Kisah
Paling Romantis,” balasmu setelah lama termenung, meniruku.
Syukurlah,
kau mengerti bahwa aku sedang berpikir keras merangkai judul. Aku menyetujui
saran judulmu. Kuketik segera dengan penuh semangat. Itu kurasa sangat pas
untuk pesan yang ingin kusampaikan.
“Lalu,
siapa kau?” tanyaku lagi, sambil berusaha meneguhkan keyakinan bahwa semua ini
benar-benar nyata.
“Aku
bukan siapa-siapa. Aku adalah dirimu yang kesepian. Aku adalah kau yang
sendiri. Sadarlah, tak akan ada yang mau mengerti dan sependapat dengan pandanganmu
tentang cinta. Semua yang kau pikir tentang cinta sejati itu, hanya ilusi. Kau
tak akan menemukannya dalam dunia nyata,” jawabmu, persis seperti jawabanku sendiri.
Ya, aku.
Aku
adalah kau. Kau adalah aku.
Lalu?
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar