Jumat, 29 April 2016

Kisah Paling Romantis

Sejak mengenalmu, aku mulai memendam rasa dari waktu ke waktu. Sudah sejak lama. Itu urusanku sendiri. Kau tak perlu tahu. Pastinya kau tak akan tahu. Semua tingkah lakuku, abai tentangmu. Prinsip nonkotradiksi logika, tak berlaku pada caraku mengagumimu. Aku menginginkanmu, tapi aku ingin kau menjauhiku. Aku ingin membuatmu bahagia, tapi memuji saja, aku tak mau. Aku tak memedulikanmu, sekaligus merasa orang paling peduli padamu.
 
Mungkin kau tak pernah berencana mengingat peristiwa berkesan tentang kita. Salah satunya saat kau memenangi lomba karya tulis ilmiah. Kala itu, teman segeng kita di kampus memberimu kata-kata selamat yang terkesan membual. Aku sama sekali tak berselera meniru mereka. Bukan berarti aku menganggapmu tak layak menjadi pemenang. Aku hanya tak yakin kau akan merasa pujianku berharga. Sulit membayangkan kau tersanjung kegirangan karenaku, sebagaimana yang lain juga. Paling kau hanya berterima kasih dengan senyuman terpaksa.

Pernah juga saat kali pertama kau mengenakan kacamata. Teman-teman kita sontak melemparkan pujian bahwa kau tampak menawan. Aku malah tak berhasrat mengomentarimu. Walaupun kata-kata mereka melebar ke unsur-unsur kerupawananmu yang lain, itu tak merisaukanku. Aku memilih tak peduli. Aku yakin tak akan ada pujian yang berarti bagimu. Selain dirimu, tak ada yang tahu siapa pemilik pujian yang mampu menggetarkanmu. Karena itu, melontarkan pernyataan saja, semisal wah, kamu sudah pakai kecamata ya, aku tak ingin.  

Sampai pada hal sepele yang telah dianggap lumrah dan tak akan menampakkan perasaanku padamu, aku juga tak ingin melakukannya. Aku tahu kau doyan mengunggah status di media sosial. Isinya kebanyakan bukan tentang curahan hatimu, tetapi tentang pengetahuan atau nasihat-nasihat bijak. Itu adalah kesempatan emasku memberimu pujian jika memang halanganku menyatakan perasaan adalah rasa malu. Tapi bukan karena itu aku bungkam. Akhirnya, untuk mengklik ikon suka pada statusmu saja, aku tak sudi, apalagi untuk mengomentarinya.

Sekali lagi, bukan tanpa alasan aku enggan menampakkan sedikit pun kesanku padamu. Kurasa, kau terlalu baik untuk dipermainkan. Apalagi, kau juga tak akan takluk oleh gombalan. Kalau pun narsisku meningkat dan yakin ada celah untukku menggelitik perasaanmu yang membeku, masih kurasa tidak perlu melakukannya. Aku tak ingin kau terbuai dalam angan-angan karenaku. Aku tak mau merenggutmu sebelum waktunya. Nanti saja, pujian terbaik akan kulontarkan jika itu bukan gombalan lagi. Itu pun kalau kau ditakdirkan bersamaku.

Sebenanarnya, modalku tak benar-benar kosong untuk mendapatkan perhatianmu. Meski mungkin aku keok pada banyak segi dibanding lelaki lain, tapi kelihaianku bermaian musik kikira membuatmu berpikir berat menolakku. Apalagi sudah menjadi keyakinan umum kalau kelemahan perempuan terletak di telinganya, sedangkan kelemahan lelaki di matanya. Aku jelas takluk dengan tampakanmu. Tapi aku tak yakin kau akan tersentuh mendengar senandungku. Jadinya, aku tak akan melantunkan sebuah lagu pun di hadapanmu, kecuali di sisi gelap kamarku yang sunyi.

Ringkas kata dari apa yang sebelumnya kuutarakan: aku tak ingin kau menyukaiku. Dalam sadar ataupun ketidaksadaranku, aku tak ingin ada sikapku yang mempermainkan perasaanmu. Apalagi, aku juga tak berhasrat seperti orang lain yang membanggakan kenangan masa lalunya yang murahan. Sama sekali tak menarik bagiku menjadi penakluk perasaanmu, hanya untuk membuktikan akulah yang terhebat di antara lelaki. Aku sama sekali tak bercita-cita memajang fotomu di ruang masa laluku, kelak. Apalagi menyombongkan kepada khalayak bahwa kau ada di sederet wajah yang takluk di bawah rayuanku. 

Biarkanlah takdir bekerja dalam waktu. Jika suatu saat kita bersama, maka rasa dalam senyap ini akan menjadi bahan nostalgia. Kita akan mengenang betapa indahnya cara Tuhan menyibak rahasia-Nya tentang kita. Jika pun kau bersama yang lain, setidaknya kau tak perlu memikirkanku. Tak akan ada kenangan yang menjebak kita. Itulah caraku. Kau tahu cara paling tak adil dalam mencintai? Yaitu ketika seseorang membenci kita hanya karena perbandingan. Dia tak ada alasan menerima kekurangan kita, karena ia melihat kelebihan orang lain. Ia lebih suka larut dalam masa lalu yang dirasanya indah, ketimbang menjalani masa depan bersama-sama. Sungguh!

Dan seiring waktu, akhirnya, kau kini tak lagi seperti yang dulu. Belakangan, unggahan statusmu tak lagi muncul di media sosial. Duniamu nyata, tak lagi maya. Kau benar-benar hilang dari pemantauan orang-orang. Tapi tidak bagiku. Kau masih dalam duniaku. Kau bahkan dalam kendaliku. Kita sama-sama bisa mengendalikan satu sama lain. Ya, dari sekian dugaanku tentang akhir kisah kita, ternyata keraguankulah yang menjadi kenyataan. Kini, kita benar-benar bersama dalam ikatan cinta sejati.

Kebersamaan kita adalah hadiah terindah. Jauh-jauh hari sebelumnya, aku tak pernah yakin akan memilikimu dalam kenyataan. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri memintamu menikah denganku. Caraku itu kurasa paling tepat. Aku tak ingin sekadar menyukaimu. Aku ingin mencintaimu. Bagiku, cinta adalah nikah. Terus terang, aku menyukai wajahmu yang elok. Tapi suatu saat, waktu akan memudarkannya. Jika karena suka itu, aku pastilah meninggalkanmu suatu saat. Tapi semua itu tak akan terjadi, sebab sekarang, aku benar-benar mencintaimu, atas nama Tuhan. Ikatan kita lahir dan batin. Tak akan lekang oleh waktu. 

Cara kita mencintai, tak berbeda. Pandanganmu ternyata serupa denganku. Tentang kita, haruslah disatukan dalam cinta yang sesungguhnya. Terikat dalam batin yang suci. Tak perlu semua orang tahu. Setiap orang punya kehidupan cinta masing-masing. Tak perlu saling menilai. Jelas itu berbeda dengan prinsip kebanyakan orang di zaman anomali ini. Mereka gemar mengunggah foto keberduaan mereka yang murahan di media sosial, hanya untuk menunjukkan kebersamaan mereka yang sebenarnya penuh kehampaan. Mereka berharap mendapat pujian palsu dari kepalsuan mereka.

Sekali lagi, tak usahlah kemesraan digembar-gemborkan. Cinta bukan untuk dipamer. Jelas bahwa merekalah yang berhak, yang paling merasakan tentang rasa kebersamaan. Tak perlulah diumbar-umbar, apalagi hanya untuk memancing rasa iri dan amarah dari orang-orang yang pernah berhasrat mendapatkan kita. Kurasa memang tak perlu, sebab kita tak punya sosok di masa lalu yang pantas untuk disampahi. Cinta kita, hanya tantang kita berdua, aku dan kamu, selamanya.

 “Bagaimana bisa cara kita mencintai persis sama?” tanyaku, sambil tetap fokus pada layar ketikan. Jariku mulai lambat merangkai huruf di balik tombol-tombol laptopku. 

“Aku pernah membaca tulisan ceritamu. Itu membuatku sependapat denganmu tentang bagaimana cinta yang sesungguhnya,” jawabmu, setelah sedari tadi bersusah payah menawarkan skenario ending untuk cerita yang kutuliskan. 

“Tulisan yang mana? Perasaan, aku tak pernah menulis tentang persoalan cinta,” tegasku sambil bertanya-tanya pada diri sendiri. Aku jelas ingin segera mengetahui cerita yang kau tuduhkan. Karena itu, aku sepaham denganmu untuk segera menamatkan rangkaian tulisan ceritaku yang terlanjur kepanjangan.

“Kau memang belum pernah menulisnya. Kau sedang menulisnya sekarang. Judulnya: Kisah Paling Romantis,” balasmu setelah lama termenung, meniruku. 

Syukurlah, kau mengerti bahwa aku sedang berpikir keras merangkai judul. Aku menyetujui saran judulmu. Kuketik segera dengan penuh semangat. Itu kurasa sangat pas untuk pesan yang ingin kusampaikan. 

“Lalu, siapa kau?” tanyaku lagi, sambil berusaha meneguhkan keyakinan bahwa semua ini benar-benar nyata.

“Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah dirimu yang kesepian. Aku adalah kau yang sendiri. Sadarlah, tak akan ada yang mau mengerti dan sependapat dengan pandanganmu tentang cinta. Semua yang kau pikir tentang cinta sejati itu, hanya ilusi. Kau tak akan menemukannya dalam dunia nyata,” jawabmu, persis seperti jawabanku sendiri. Ya, aku. 

Aku adalah kau. Kau adalah aku.

Lalu? Tamat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar