Sabtu, 30 Juli 2016

Jasa Tanpa Nama

Sore tadi, penunjuk jalan di dasar bukit menuju rumahku, lenyap. Padahal, tanda jasa itu baru saja terpampang dua hari lalu. Aku baru tahu tengah hari tadi, setelah seorang warga memberi tahuku. Di papan persegi yang terbentang pada tiang balok kayu itu, tertulis sebuah nama: Jumang. Sang pemilik nama adalah almarhum Ayahku sendiri. Selama hidupnya, ia memang berjasa bagi warga di desaku. Hanya segelintir orang yang tahu dan mengakui baktinya, termasuk aku.
 
Sebenarnya, aku tak pernah meminta para mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk membuat plang itu. Tapi, mereka tiba-tiba saja menegakkannya tanpa berkonsultasi denganku. Kuduga, mungkin karena saran dari beberapa masyarakat desa yang tahu jelas sepak terjang Ayahku. Bisa jadi juga karena rumah peninggalan orang tuaku, adalah satu-satunya rumah yang bertahan di bukit, di tengah kebun. Rumah warga lainnya, telah berkumpul di tanah datar, di lembah.

Kuingat lagi pesan ayahku dahulu, kalau keikhlasan adalah sumber kebahagian, juga nyawa dari amalan. Tanpa keikhlasan, kehidupan akan dirisaukan dengan perhitungan-perhitungan duniawi. Jelas, aku terilhami prinsip hidup itu. Karenanya, kuyakini, plang nama tak berarti apa-apa bagi ayahku, dan aku. 

Sampai kini, aku jadi risih sendiri melihat perjibakuan orang-orang demi tanda jasa. Sengaja mengumbar kebaikan, agar dipuji dan dipuja sebagai orang berbakti. Apa-apa, dasarnya pamrih. Parahnya, ada juga yang menobatkan dirinya sendiri sebagai pahlawan. Sungguh memilukan. 

Syukurlah, almarhum Ayahku adalah pendidik sejati. Ia selalu mengajariku hikmah, sampai aku paham betapa menentramkannya ikhlas berbuat baik bagi sesama. Buktinya, ia tak pernah memacing keegoisanku, termasuk membanding-bandingkan pencapaian individualku dengan anak orang lain, sebagaimana kebiasaan orang tua yang menganggap gelar pengakuan adalah segalanya. 

Beberapa tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, prestasiku tidaklah menonjol. Padahal, jika dipikir-pikir, persaingan tidaklah terlalu berat. Tak ada otak jebolan kota yang katanya pintar-pintar. Sekolahku hanya jadi favorit bagi masyarakat dari beberapa desa. Jarak yang dekat jadi alasan utama. 

Pada halaman sekolah itu, di samping jalan desa, terpampang susunan huruf dari aluminium: SMA Amir Bakti. Ya, sekolah itu hanya sebuah lembaga pendidikan swasta milik Yayasan Amir Bakti, sebuah yayasan yang mengelola sekolah dari jenjang SD sampai SMA. 

Selama sekolah di sana, aku tak pernah meraih ranking I kelas. Paling banter, hanya ranking IV. Prestasiku jelas jauh tertinggal dari Dion Bakara, anak Bapak Amir Bakti, sang pemilik yayasan. Dia selalu ranking I umum. Padahal, ia sering kali tak masuk kelas karena izin turut serta ayahnya ke luar kota.  

Tapi untungnya, setiap kali aku pulang ke rumah dengan menenteng rapor berisi nilai yang tak maksimal, ayahku tak pernah kecewa. Itu tak masalah baginya. Ia memang tak pernah memasang target bahwa aku harus meraih ranking I. Aku saja yang merasa harus mempersembahkan yang terbaik untuknya. Apalagi kutahu, biaya sekolah yang dipatok pihak yayasan, tergolong mahal. Sedangkan penghasilan Ayahku dari hasil kebun jambu mete, tak seberapa. 

Di setiap pengakuanku atas kegagalan, ayahku malah berpesan kalau semua penghargaan untuk diri sendiri, tak lebih berharga daripada berbuat kebaikan untuk sesama, meski tanpa penghargaan sedikit pun. Karena prinsip itu pula, aku diajarinya agar terbiasa berbuat baik bagi sesama, tanpa pamrih.

Salah satu bakti Ayahku bagi masyarakat, adalah kegigihannya membentuk jalan menanjak yang melintas di samping rumahku. Banyak sore yang dilaluinya selama hidup untuk mencangkul sedikit demi sedikit lereng bukit. Sampai akhirnya, jalan itu dapat dilintasi masyarakat dengan kendaraan bermotor menuju ke lahan perkebunannya. 

Plang nama jalan itulah yang kini lenyap.

 “Ayah tidak marah kan kalau aku tak ranking I di kelas?” tanya Suman, anakku yang kini duduk di kelas kelas IV SD. Ia adalah siswa di SD Amir Bakti, sekolahku dahulu. Ia sepertinya tak kuasa untuk segera mengetahui kesanku terhadap isi rapornya, setelah sedari tadi, aku tak menanyainya. 

“Tak mengapa Nak. Ranking itu kan hanya berguna untuk dirimu saja. Yang lebih penting, adalah menjadi berguna bagi banyak orang. Makanya, kau harus bersekolah tinggi-ringgi, bukan untuk mencari ranking dan gelar juara, tapi agar kau berilmu. Nah, nanti kau gunakan ilmumu untuk memberi kemanfaatan bagi orang lain,” pesanku. Sebenarnya, aku hanya mengggulang wejangan Ayahku dahulu.

Diam-diam, meski tak memperoleh ranking, aku akan berusaha menyekolahkan Suman hingga janjang pendidikan formal setinggi-tingginya. Kuharap suatu saat, ia akan memiliki kedudukan, sehingga mampu berkontribusi dalam memperbaiki sistem kehidupan yang telah mencabik-cabik norma. Ia tak boleh sepertiku, seorang petani, tamatan SMA, yang hanya bermimpi tentang keadilan dan keteladanan. 

Entah sudah beberapa kali aku menawarkan diri untuk menjadi guru honorer di Yayasan Umar Bakti, tapi selalu ditolak. Di sana, guru-guru haruslah sanak saudara sang pemilik yayasan. Padahal, aku selalu berhasrat mendidik anak-anak lain agar tak terus-terusan dibutakan predikat duniawi, yang akan membuat mereka lupa diri akan esensinya sebagai manusia. 

Suman yang sedari tadi hanya tertegun setelah mendengarkan balasanku, kembali bersuara, “Eh, Ayah tahu tidak, kalau kepala sekolahku, Bapak Dion, yang teman sekolah ayah itu, tadi dijemput polisi loh. Kata warga sih, dia korupsi uang iuran sekolah,” jelasnya. Mimiknya tak setegang sebelumnya. 

“Oh, ya? Ayah baru tahu.” Aku pura-pura kaget mendengarnya, walau sebenarnya, sejak kemarin aku sudah mengetahuinya. Bahkan jauh sebelumnya, aku telah menduga. “Makanya, selain sekolahmu harus tinggi-tinggi, kau juga harus menjaga kemuliaan hatimu. Tak usah mengejar kakuasaan dan sederet penghargaan, apalagi menjadi orang kaya dari uang haram. Sekolah itu, ya supaya jadi orang benar. Jangan sekali-kali mengambil hak orang lain.”

Ia khidmat mendengar nasihatku. Sambil tersenyum, ia berucap, “Iya, Ayah. Aku akan jadi anak yang baik seperti yang ayah inginkan,” tuturnya. 

“Baiklah, saatnya kau pergi tidur. Besok kan kamu libur. Bangun cepat-cepat, agar kita bisa ke bukit. Saluran air tersumbat lagi. Kau bisa kan bantu Ayah?” tanyaku.

Dua tahun lalu, demi mewujudkan keteladanan Ayahku, memang telah kubangun penampungan air di samping rumahku. Selain untuk keperluan keluarga kecilku, air yang tampungan air dari sungai kecil di lereng bukit itu, juga mengalir ke rumah warga di lembah. Jika dahulu, warga harus membeli air kala musim kemarau berkepanjangan, sekarang tidak lagi. Syukurlah.

“Baik Ayah,” balasnya, takzim.

Di malam yang dingin ini, aku kembali menerawang jauh ke masa laluku. Aku bersyukur, dianugerahi sosok ayah yang begitu berpengaruh bagi kepribadianku.

Kantukku tak tertahankan lagi. Aku pun lekas mematikan api sisa pemasakan, sekaligus penghangat badan dari selimut embun yang dingin. Hanya tersisa bara dari pembakaran kayu plang penunjuk jalan yang diduga hilang oleh warga. Aku sengaja melenyapkannya demi pesan ayahku. Dengan cara itu, aku menjaga penghargaan yang setinggi-tinggi baginya: keikhlasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar