Sore
tadi, penunjuk jalan di dasar bukit menuju rumahku, lenyap. Padahal, tanda jasa
itu baru saja terpampang dua hari lalu. Aku baru tahu tengah hari tadi, setelah
seorang warga memberi tahuku. Di papan persegi yang terbentang pada tiang balok
kayu itu, tertulis sebuah nama: Jumang. Sang pemilik nama adalah almarhum Ayahku
sendiri. Selama hidupnya, ia memang berjasa bagi warga di desaku. Hanya
segelintir orang yang tahu dan mengakui baktinya, termasuk aku.
Sebenarnya,
aku tak pernah meminta para mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk membuat
plang itu. Tapi, mereka tiba-tiba saja menegakkannya tanpa berkonsultasi
denganku. Kuduga, mungkin karena saran dari beberapa masyarakat desa yang tahu
jelas sepak terjang Ayahku. Bisa jadi juga karena rumah peninggalan orang tuaku,
adalah satu-satunya rumah yang bertahan di bukit, di tengah kebun. Rumah warga
lainnya, telah berkumpul di tanah datar, di lembah.
Kuingat
lagi pesan ayahku dahulu, kalau keikhlasan adalah sumber kebahagian, juga nyawa
dari amalan. Tanpa keikhlasan, kehidupan akan dirisaukan dengan
perhitungan-perhitungan duniawi. Jelas, aku terilhami prinsip hidup itu.
Karenanya, kuyakini, plang nama tak berarti apa-apa bagi ayahku, dan aku.
Sampai
kini, aku jadi risih sendiri melihat perjibakuan orang-orang demi tanda jasa. Sengaja
mengumbar kebaikan, agar dipuji dan dipuja sebagai orang berbakti. Apa-apa,
dasarnya pamrih. Parahnya, ada juga yang menobatkan dirinya sendiri sebagai pahlawan.
Sungguh memilukan.
Syukurlah,
almarhum Ayahku adalah pendidik sejati. Ia selalu mengajariku hikmah, sampai
aku paham betapa menentramkannya ikhlas berbuat baik bagi sesama. Buktinya, ia tak
pernah memacing keegoisanku, termasuk membanding-bandingkan pencapaian
individualku dengan anak orang lain, sebagaimana kebiasaan orang tua yang
menganggap gelar pengakuan adalah segalanya.
Beberapa
tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, prestasiku tidaklah menonjol.
Padahal, jika dipikir-pikir, persaingan tidaklah terlalu berat. Tak ada otak jebolan
kota yang katanya pintar-pintar. Sekolahku hanya jadi favorit bagi masyarakat
dari beberapa desa. Jarak yang dekat jadi alasan utama.
Pada
halaman sekolah itu, di samping jalan desa, terpampang susunan huruf dari
aluminium: SMA Amir Bakti. Ya, sekolah itu hanya sebuah lembaga pendidikan
swasta milik Yayasan Amir Bakti, sebuah yayasan yang mengelola sekolah dari
jenjang SD sampai SMA.
Selama
sekolah di sana, aku tak pernah meraih ranking I kelas. Paling banter, hanya
ranking IV. Prestasiku jelas jauh tertinggal dari Dion Bakara, anak Bapak Amir
Bakti, sang pemilik yayasan. Dia selalu ranking I umum. Padahal, ia sering kali
tak masuk kelas karena izin turut serta ayahnya ke luar kota.
Tapi
untungnya, setiap kali aku pulang ke rumah dengan menenteng rapor berisi nilai
yang tak maksimal, ayahku tak pernah kecewa. Itu tak masalah baginya. Ia memang
tak pernah memasang target bahwa aku harus meraih ranking I. Aku saja yang
merasa harus mempersembahkan yang terbaik untuknya. Apalagi kutahu, biaya
sekolah yang dipatok pihak yayasan, tergolong mahal. Sedangkan penghasilan
Ayahku dari hasil kebun jambu mete, tak seberapa.
Di
setiap pengakuanku atas kegagalan, ayahku malah berpesan kalau semua
penghargaan untuk diri sendiri, tak lebih berharga daripada berbuat kebaikan
untuk sesama, meski tanpa penghargaan sedikit pun. Karena prinsip itu pula, aku
diajarinya agar terbiasa berbuat baik bagi sesama, tanpa pamrih.
Salah
satu bakti Ayahku bagi masyarakat, adalah kegigihannya membentuk jalan menanjak
yang melintas di samping rumahku. Banyak sore yang dilaluinya selama hidup
untuk mencangkul sedikit demi sedikit lereng bukit. Sampai akhirnya, jalan itu
dapat dilintasi masyarakat dengan kendaraan bermotor menuju ke lahan
perkebunannya.
Plang
nama jalan itulah yang kini lenyap.
“Ayah tidak marah kan kalau aku tak ranking I
di kelas?” tanya Suman, anakku yang kini duduk di kelas kelas IV SD. Ia adalah
siswa di SD Amir Bakti, sekolahku dahulu. Ia sepertinya tak kuasa untuk segera
mengetahui kesanku terhadap isi rapornya, setelah sedari tadi, aku tak
menanyainya.
“Tak
mengapa Nak. Ranking itu kan hanya berguna untuk dirimu saja. Yang lebih
penting, adalah menjadi berguna bagi banyak orang. Makanya, kau harus bersekolah
tinggi-ringgi, bukan untuk mencari ranking dan gelar juara, tapi agar kau
berilmu. Nah, nanti kau gunakan ilmumu untuk memberi kemanfaatan bagi orang
lain,” pesanku. Sebenarnya, aku hanya mengggulang wejangan Ayahku dahulu.
Diam-diam,
meski tak memperoleh ranking, aku akan berusaha menyekolahkan Suman hingga janjang
pendidikan formal setinggi-tingginya. Kuharap suatu saat, ia akan memiliki
kedudukan, sehingga mampu berkontribusi dalam memperbaiki sistem kehidupan yang
telah mencabik-cabik norma. Ia tak boleh sepertiku, seorang petani, tamatan SMA,
yang hanya bermimpi tentang keadilan dan keteladanan.
Entah
sudah beberapa kali aku menawarkan diri untuk menjadi guru honorer di Yayasan
Umar Bakti, tapi selalu ditolak. Di sana, guru-guru haruslah sanak saudara sang
pemilik yayasan. Padahal, aku selalu berhasrat mendidik anak-anak lain agar tak
terus-terusan dibutakan predikat duniawi, yang akan membuat mereka lupa diri
akan esensinya sebagai manusia.
Suman
yang sedari tadi hanya tertegun setelah mendengarkan balasanku, kembali
bersuara, “Eh, Ayah tahu tidak, kalau kepala sekolahku, Bapak Dion, yang teman
sekolah ayah itu, tadi dijemput polisi loh. Kata warga sih, dia korupsi uang
iuran sekolah,” jelasnya. Mimiknya tak setegang sebelumnya.
“Oh,
ya? Ayah baru tahu.” Aku pura-pura kaget mendengarnya, walau sebenarnya, sejak
kemarin aku sudah mengetahuinya. Bahkan jauh sebelumnya, aku telah menduga. “Makanya,
selain sekolahmu harus tinggi-tinggi, kau juga harus menjaga kemuliaan hatimu.
Tak usah mengejar kakuasaan dan sederet penghargaan, apalagi menjadi orang kaya
dari uang haram. Sekolah itu, ya supaya jadi orang benar. Jangan sekali-kali
mengambil hak orang lain.”
Ia
khidmat mendengar nasihatku. Sambil tersenyum, ia berucap, “Iya, Ayah. Aku akan
jadi anak yang baik seperti yang ayah inginkan,” tuturnya.
“Baiklah,
saatnya kau pergi tidur. Besok kan kamu libur. Bangun cepat-cepat, agar kita bisa
ke bukit. Saluran air tersumbat lagi. Kau bisa kan bantu Ayah?” tanyaku.
Dua
tahun lalu, demi mewujudkan keteladanan Ayahku, memang telah kubangun
penampungan air di samping rumahku. Selain untuk keperluan keluarga kecilku,
air yang tampungan air dari sungai kecil di lereng bukit itu, juga mengalir ke
rumah warga di lembah. Jika dahulu, warga harus membeli air kala musim kemarau
berkepanjangan, sekarang tidak lagi. Syukurlah.
“Baik
Ayah,” balasnya, takzim.
Di
malam yang dingin ini, aku kembali menerawang jauh ke masa laluku. Aku
bersyukur, dianugerahi sosok ayah yang begitu berpengaruh bagi kepribadianku.
Kantukku
tak tertahankan lagi. Aku pun lekas mematikan api sisa pemasakan, sekaligus penghangat
badan dari selimut embun yang dingin. Hanya tersisa bara dari pembakaran kayu
plang penunjuk jalan yang diduga hilang oleh warga. Aku sengaja melenyapkannya
demi pesan ayahku. Dengan cara itu, aku menjaga penghargaan yang setinggi-tinggi baginya: keikhlasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar