Senin, 10 Februari 2020

Tangkapan Layar

Aku akhirnya pulang ke kampung. Aku harus menjalani masa skors dari pihak kampus setelah aku ketahuan terlibat dalam pesta minuman keras dengan teman-teman lelakiku. Sebuah hura-hura di lingkungan kampus yang berujung huru-hara dengan sekelompok mahasiswa lain di tengah kewarasan yang tinggal separuh, dan aku baru menginsafinya setelah itu terjadi.

Masa skors yang kuterima, terhitung sangat lama untuk kuhabiskan dengan berleha-leha di tengah kota. Aku merasa melipatgandakan kesalahan jika aku hanya tinggal meratapi dan menutupi keadaanku yang memalukan dari orang-orang yang mengenalku. Apalagi, uang sewa indekosku adalah uang kiriman dari ibuku di kampung yang tak lain adalah sisa harta peninggalan ayahku.

Entah siapa yang patut kupersalahkan atas aib yang kini harus kusembunyikan dari mereka yang belum tahu, terutama orang-orang di kampung. Aku hanya bisa mempersalahkan diriku yang telah turut pada tingkah jail teman-teman kotaku yang gemar melanggar aturan, sedang aku hanya anak kampung dari keluarga yang bukan siapa-siapa, dan aku harus rela menjadi kambing hitam.

Diam-diam, aku sungguh telah mengkhianati harapan ibuku. Ia telah merestui kepergianku ke kota agar aku terdidik menjadi orang yang baik, dan kelak pulang sebagai orang yang sukses. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Aku malah pulang akibat tingkah luguku yang berakibat fatal, dan ia pasti sangat malu jika mengatahui kenyataan yang sesungguhnya.

Tetapi setidaknya, aku tak akan melukai perasaannya atas laku bodohku kali ini. Aku tak akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dan ia yang gagap teknologi tak akan pernah tahu. Aku hanya akan mengatakan kalau aku sedang berada di masa libur kuliahku dan pulang karena sedang rindu padanya, hingga ia akan tersentuh ketimbang curiga.

Berada di kampung, jelas akan membuat perasaanku membaik. Aku akan tenang tanpa harus memburu kesenangan-kesenangan semu seperti di kota. Setidaknya, aku tak lagi berurusan dengan riuhnya dunia malam sebab aliran listrik negara pun tak ada. Aku tak lagi terperangkap dalam liarnya dunia maya sebab jaringan telepon dan internet pun bermasalah.

Kembali dalam kehidupan pedesaan yang sempit dan hening, akan mendamaikan perasaanku, seolah kehilangan beban. Aku tak akan lagi menggalaukan undangan teman-temanku untuk berkeliaran di tengah malam. Aku tak akan lagi penasaran untuk mengecek dan merisukan sebaran informasi di halaman media sosial tentang diriku yang sedang menanggung aib.

Dan sesampainya di kampung, ketika hari sudah menjelang, aku pun menyaksikan ibuku yang duduk menyendiri di teras depan rumah, sembari menapis beras di sekeliling ayam-ayam yang lahap mematuk ampas.

Seketika pula, ia berdiri sembari memicingkan mata. Ia lalu tampak keheranan. 

Aku lekas memeluknya, seolah-olah aku hendak menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan yang telah membuatku kembali. 

“Kenapa tidak berkabar kalau kau akan pulang?” tanya ibuku dengan raut haru.

Aku melayangkan senyuman untuk menyembunyikan kegalauanku. “Aku ingin memberikan kejutan kepada Ibu,” balasku, bermaksud mencairkan suasana. “Lagi pula, bagaimana aku harus berkabar? Ibu kan tak punya handphone.”

Ibuku pun tersenyum semringah. “Tapi ada apa sampai kau pulang mendadak begini, Nak?”

Aku menggeleng dengan sikap biasa. “Tak ada apa-apa, Bu. Aku hanya rindu pada Ibu. Aku mencemaskan keadaan Ibu,” jawabku, sebagaimana yang telah kukonsepkan sebelumnya. “Lagi pula, aku sedang libur semester. Ada baiknya jika aku pulang menemani Ibu,” kataku lagi, dengan keyakinan bahwa ia tak akan memahami soal jadwal perkuliahan.

Ibuku tampak haru, seolah-olah bangga memiliki anak yang perhatian sepertiku. “Sebaiknya, jangan terlalu mengkhawatirkan Ibu, Nak. Pikirkanlah baik-baik tentang kuliahmu.”

Aku mengangguk polos. “Tapi apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya lupa pada orang tua sendiri,” timpalku, berharap meninggikan harga diriku di matanya.

Rona wajah ibuku pun menyuratkan kebahagiaan.

Tiba-tiba, dari dalam rumah, Riman, kakakku yang lebih tua tiga tahun dariku, keluar sambil menyelempang baju, seperti baru saja bangun dari tidur. Ia lantas menatapku dengan pandangan sinis, sembari mendengus-meremehkan. Dan tanpa berkata-kata, ia berlalu begitu saja.

“Hai, Man, mau ke mana?” sergah ibuku. “Adikmu datang kok tak kau sahut-sahuti?”

Riman tertawa pendek. “Aku punya handphone yang canggih, Bu. Aku tahu ia akan datang. Aku pun tahu kenapa ia datang mendadak,” katanya, lantas menyalakan mesin motor dengan bunyi yang bising.

Seketika, lidahku kelu. Perasaanku menciut. Aku yakin, ia sudah mengetahui aibku di kota. Ia tahu segalanya melalui media sosial. Ia tahu segalanya dari teks dan gambar yang menyebar tentangku di dunia maya.

“Dasar anak berandal! Tak punya sopan santun!” ketus ibuku.

Riman pun beranjak pergi. Dan aku tahu, seperti sebelum-sebelumnya, ia akan berangkat ke desa seberang untuk melakoni pesta tuak. Dan sebagaimana kebiasaan anak-anak lelaki di kampung, ibuku telah berpasrah menyaksikan keadaan itu.

“Aku bingung harus bagaimana lagi untuk mengubah tingkah Kakakmu itu,” keluh Ibuku, lantas menoleh padaku. “Tapi setidaknya, kau tidak menyusahkan aku seperti dia.”

Aku mengangguk polos.

“Siti, sebagai anak perempuan, kau harus sekolah tinggi-tinggi. Kelak ketika kau sudah sukses dan berkeluarga, tinggallah di kota agar anakmu tumbuh dalam lingkungan yang baik,” harap Ibuku.

Aku mengangguk saja. “Tentu, Bu,” kataku, dengan keinsafan yang mendalam.  

Hening beberapa saat.

Ibuku lantas berdeham. “Sepertinya, Ibu perlu juga punya handphone yang canggih, Nak. Ibu sebaiknya belajar mengunakan Facebook, supaya ibu bisa melihat keadaanmu di kota, dan kau bisa melihat keadaan Ibu di sini melalui layar. Apalagi, kata orang-orang, jaringan internet di sini sudah bagus.”

Aku pun jadi kelimpungan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar