Aku
akhirnya pulang ke kampung. Aku harus menjalani masa skors dari pihak kampus
setelah aku ketahuan terlibat dalam pesta minuman keras dengan teman-teman
lelakiku. Sebuah hura-hura di lingkungan kampus yang berujung huru-hara dengan sekelompok
mahasiswa lain di tengah kewarasan yang tinggal separuh, dan aku baru
menginsafinya setelah itu terjadi.
Masa
skors yang kuterima, terhitung sangat lama untuk kuhabiskan dengan berleha-leha
di tengah kota. Aku merasa melipatgandakan kesalahan jika aku hanya tinggal
meratapi dan menutupi keadaanku yang memalukan dari orang-orang yang mengenalku.
Apalagi, uang sewa indekosku adalah uang kiriman dari ibuku di kampung yang tak
lain adalah sisa harta peninggalan ayahku.
Entah
siapa yang patut kupersalahkan atas aib yang kini harus kusembunyikan dari
mereka yang belum tahu, terutama orang-orang di kampung. Aku hanya bisa
mempersalahkan diriku yang telah turut pada tingkah jail teman-teman kotaku
yang gemar melanggar aturan, sedang aku hanya anak kampung dari keluarga yang
bukan siapa-siapa, dan aku harus rela menjadi kambing hitam.
Diam-diam,
aku sungguh telah mengkhianati harapan ibuku. Ia telah merestui kepergianku ke
kota agar aku terdidik menjadi orang yang baik, dan kelak pulang sebagai orang
yang sukses. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Aku malah pulang akibat
tingkah luguku yang berakibat fatal, dan ia pasti sangat malu jika mengatahui
kenyataan yang sesungguhnya.
Tetapi
setidaknya, aku tak akan melukai perasaannya atas laku bodohku kali ini. Aku
tak akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dan ia yang gagap teknologi
tak akan pernah tahu. Aku hanya akan mengatakan kalau aku sedang berada di masa
libur kuliahku dan pulang karena sedang rindu padanya, hingga ia akan tersentuh
ketimbang curiga.
Berada
di kampung, jelas akan membuat perasaanku membaik. Aku akan tenang tanpa harus memburu
kesenangan-kesenangan semu seperti di kota. Setidaknya, aku tak lagi berurusan
dengan riuhnya dunia malam sebab aliran listrik negara pun tak ada. Aku tak lagi
terperangkap dalam liarnya dunia maya sebab jaringan telepon dan internet pun bermasalah.
Kembali
dalam kehidupan pedesaan yang sempit dan hening, akan mendamaikan perasaanku,
seolah kehilangan beban. Aku tak akan lagi menggalaukan undangan teman-temanku
untuk berkeliaran di tengah malam. Aku tak akan lagi penasaran untuk mengecek dan
merisukan sebaran informasi di halaman media sosial tentang diriku yang sedang
menanggung aib.
Dan
sesampainya di kampung, ketika hari sudah menjelang, aku pun menyaksikan ibuku yang
duduk menyendiri di teras depan rumah, sembari menapis beras di sekeliling ayam-ayam
yang lahap mematuk ampas.
Seketika
pula, ia berdiri sembari memicingkan mata. Ia lalu tampak keheranan.
Aku
lekas memeluknya, seolah-olah aku hendak menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan
yang telah membuatku kembali.
“Kenapa
tidak berkabar kalau kau akan pulang?” tanya ibuku dengan raut haru.
Aku
melayangkan senyuman untuk menyembunyikan kegalauanku. “Aku ingin memberikan
kejutan kepada Ibu,” balasku, bermaksud mencairkan suasana. “Lagi pula,
bagaimana aku harus berkabar? Ibu kan tak punya handphone.”
Ibuku
pun tersenyum semringah. “Tapi ada apa sampai kau pulang mendadak begini, Nak?”
Aku
menggeleng dengan sikap biasa. “Tak ada apa-apa, Bu. Aku hanya rindu pada Ibu.
Aku mencemaskan keadaan Ibu,” jawabku, sebagaimana yang telah kukonsepkan
sebelumnya. “Lagi pula, aku sedang libur semester. Ada baiknya jika aku pulang
menemani Ibu,” kataku lagi, dengan keyakinan bahwa ia tak akan memahami soal jadwal
perkuliahan.
Ibuku
tampak haru, seolah-olah bangga memiliki anak yang perhatian sepertiku. “Sebaiknya,
jangan terlalu mengkhawatirkan Ibu, Nak. Pikirkanlah baik-baik tentang
kuliahmu.”
Aku
mengangguk polos. “Tapi apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya lupa
pada orang tua sendiri,” timpalku, berharap meninggikan harga diriku di matanya.
Rona
wajah ibuku pun menyuratkan kebahagiaan.
Tiba-tiba,
dari dalam rumah, Riman, kakakku yang lebih tua tiga tahun dariku, keluar
sambil menyelempang baju, seperti baru saja bangun dari tidur. Ia lantas
menatapku dengan pandangan sinis, sembari mendengus-meremehkan. Dan tanpa
berkata-kata, ia berlalu begitu saja.
“Hai,
Man, mau ke mana?” sergah ibuku. “Adikmu datang kok tak kau sahut-sahuti?”
Riman
tertawa pendek. “Aku punya handphone yang
canggih, Bu. Aku tahu ia akan datang. Aku pun tahu kenapa ia datang mendadak,”
katanya, lantas menyalakan mesin motor dengan bunyi yang bising.
Seketika,
lidahku kelu. Perasaanku menciut. Aku yakin, ia sudah mengetahui aibku di kota.
Ia tahu segalanya melalui media sosial. Ia tahu segalanya dari teks dan gambar
yang menyebar tentangku di dunia maya.
“Dasar anak berandal! Tak punya sopan santun!”
ketus ibuku.
Riman
pun beranjak pergi. Dan aku tahu, seperti sebelum-sebelumnya, ia akan berangkat
ke desa seberang untuk melakoni pesta tuak. Dan sebagaimana kebiasaan anak-anak
lelaki di kampung, ibuku telah berpasrah menyaksikan keadaan itu.
“Aku
bingung harus bagaimana lagi untuk mengubah tingkah Kakakmu itu,” keluh Ibuku,
lantas menoleh padaku. “Tapi setidaknya, kau tidak menyusahkan aku seperti dia.”
Aku
mengangguk polos.
“Siti,
sebagai anak perempuan, kau harus sekolah tinggi-tinggi. Kelak ketika kau sudah
sukses dan berkeluarga, tinggallah di kota agar anakmu tumbuh dalam lingkungan
yang baik,” harap Ibuku.
Aku mengangguk saja. “Tentu, Bu,” kataku, dengan keinsafan yang mendalam.
Hening
beberapa saat.
Ibuku
lantas berdeham. “Sepertinya, Ibu perlu juga punya handphone yang canggih, Nak. Ibu sebaiknya belajar mengunakan Facebook,
supaya ibu bisa melihat keadaanmu di kota, dan kau bisa melihat keadaan Ibu di
sini melalui layar. Apalagi, kata orang-orang, jaringan internet di sini sudah
bagus.”
Aku
pun jadi kelimpungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar