“Bapak
suka tepat ini?” tanyaku, setelah beberapa menit kami duduk bersampingan, di
teras terbuka sebuah kafe yang menghadap ke hamparan laut, dan kami hanya terdiam.
Akhirnya,
ia yang bergeming dengan tatapan kosong ke depan, terusik juga. Perlahan, ia lalu
mengangguk kecil, menoleh padaku, kemudian mengutarakan pendapatnya, “Ya.
Tempat ini nyaman untuk menenangkan hati dan pikiran,” katanya, dengan raut
sendu. “Jika kau ingin merasakannya, cobalah terdiam, dan pandangi bentangan
alam di depan sana.”
Sesuai
sarannya, mataku pun menyasar laut yang luas di bawah langit kelabu. Dan aku
sepakat dengan pendapatnya. Ada kedamaian kurasa kala memandangi ombak
susul-menyusul, diiringi embusan angin sepoi, juga suara desiran yang
menjeda-jeda.
Nyaris
saja aku memantik percakapan basa-basi lebih lanjut. Namun setelah kutoleh
dirinya, kuurungkan kembali. Ia tampak enggan memperpanjang percakapan. Wajahnya
kuyu, seakan tak berselera melakukan apa-apa, selain terdiam menikmati suasana.
Dan akhirnya, aku pun bungkam, kemudian menjalani ritual serupa yang ia
lakukan.
Selanjutnya,
detik demi detik berganti, dan kami saling mengabaikan. Menikmati waktu untuk
diri sendiri. Seakan-akan tak ada persoalan yang pantas dijadikan pembahasan. Seakan-akan
kami tak pernah disatukan oleh objek permasalahan yang sama. Aku dan dia, hanya
terpaku pada menungan masing-masing. Aku teringat masa lalu dengan sikap yang
bersahabat, dan kuyakin, dirinya pun demikian, meski dengan sikap emosional.
Tapi
syukurlah, aku tak terjebak dalam keheningan yang suram. Langit yang cerah, terhias
bulan dan bintang-bintang, hadir sebagai pelarian mataku. Alunan musik, juga
masih terdengar mengalun, mengatasi suara alam yang lirih. Dan tentu saja,
beberapa orang tampak berlalu lalang, mendetakkan langkah mereka di lantai. Di
antara mereka, ada juga yang duduk mengobrol, terdengar berdesis-desis, sambil
mendentingkan piring-piring hidangan.
Namun
akhirnya, sekian waktu berlalu, aku jadi risih. Tentu saja, terasa aneh kala
duduk berdekatan dengan seorang kenalan, namun tak saling berbagi kata dalam
waktu yang lama. Merasa tak dipedulikan. Sedang orang lain, akan menduga telah
terjadi pertengkaran. Tapi kutilik lagi, mengobrol dengannya, memang bukanlah
pilihan yang tepat. Aku tak sepantasnya memaksa ia berkata, kecuali ia memang
ingin. Aku hanyalah seorang sopir pribadi yang cukup mengantar, atau
menemaninya jika perlu.
Dan
malam ini, tepat setahun setelah kematian istrinya, ia memang memintaku menemani,
tanpa tugas tambahan yang lain. Kurasa, ia kalut atas kenangan bersama istrinya
dalam durasi waktu yang singkat, dan butuh teman berbagi yang siap mendengarkan
keluh-kesah, kapan pun ia mau. Tentu saja, aku tak punya alasan untuk menolak,
kecuali bahwa aku merasa kurang patut duduk semeja dengannya. Satu alasan yang
lagi-lagi, tak akan ia terima.
Kupikir,
kerendahan hatinya, memang tak tertandingi. Ia tak memandang orang lain dari
sisi fisik dan materi. Ia berbeda dibanding lelaki berkasta dan berduit pada
umumnya. Dan karena itu pula, ia sudi menerimaku untuk bekerja padanya, tanpa
perlu kumohon dengan sangat. Ia tak tampak risih kalau kami seruang. Tak jijik,
atau bahkan takut pada rupa wajahku yang menyeramkan, yang jadi tak elok setelah
meninggalkan bekas luka bakar akibat kecelakaan kerja, empat tahun lalu.
Akhirnya,
di sinilah aku, di sebuah kafe, tepat di atas bukit batu yang menjorok ke laut.
Layaknya berada di geladak utama sebuah kapal. Sebuah tempat dengan pemandangan
yang menawan. Tempat yang mampu menghadirkan suasana yang nyaman untuk
bermain-main dengan kenangan, seperti yang ia lakukan. Mungkin untuk mengenang
tawa canda kebersamaan, atau meresapi pahitnya perpisahan.
Aku
yang bingung harus berbuat apa, kala kami hanya terdiam di belakang deret
hidangan yang tergeletak, akhirnya pasrah juga, dan memilih menghempaskan diri
dalam kenangan. Kuingat lagi saat terakhir kita di kafe ini, di masa
lampau. Dengan perasaan bimbang, kau menuturkan citamu tentang kita dan masa
depan. Kau menuturkan harapan, agar kelak, aku datang kembali, menawar cinta
suci yang kau miliki, pada kedua orang tuamu.
Waktu
bergulir cepat. Bersama mentari pagi, kulihat kau melambaikan tangan di teras
kafe ini. Memang, setelah mengobrol dan bersantap untuk terakhir kalinya, aku memintamu
agar tak mengiringiku sampai ke dermaga, sebab takut kau semakin berat berpisah,
sampai aku tak jadi pergi untuk mencari bekal masa depan kita. Dan perlahan, kapal
semakin menjauh, hingga lenyaplah kau dari pandanganku yang pergi. Pergi,
sembari bertekad untuk pulang meminangmu, suatu saat nanti.
Keputusan
meninggalkanmu, tidaklah mudah. Aku tahu kau mengerti. Kau paham bahwa kerja
kerasku di tempat yang jauh, teruntuk kita juga. Kelak, aku akan menemui kembali dalam
keadaan yang mapan. Aku akan mempersuntingmu dengan jaminan bahwa kau akan
hidup bahagia bersamaku. Aku akan membeli rumah, sepeda motor, juga membangun usaha
kecil-kecilan dari pendapatan yang kuhasilkan. Dan atas itu, aku yakin, ayahmu,
tak akan lagi menolak keinginanku menikahimu.
Dan
akhirnya, kenyataan jauh berbeda. Rencana, tinggallah rencana. Takdir berkata lain. Sebuah kecelakaan tragis
menimpaku. Sebuah kecelakaan kerja yang membenamkan bentuk wajahku, sebagaimana
yang kau kenal. Pada satu hari, pabrik tempatku bekerja, mengalami kebakaran.
Aku berlari, namun kakiku terjegal sebuah benda, hingga aku terjatuh, di depan kobaran
api yang merayap cepat. Hingga kutemukanlah diriku setelahnya. Satu diri dengan
raga yang tampak menyeramkan.
Atas
ketidakpercayaan diri, aku pun mengurungkan niat untuk hidup bersamamu. Kubunuh
sekalian cinta yang kubawa pergi darimu. Kuredam rindu, hingga tak ada hasrat
untuk pulang. Semua kulakutan untukmu. Jelas, aku tak ingin kau menyambut
kedatanganku, sebagaimana janjimu untuk menunggu sampai aku pulang, tapi dengan
rasa keterpaksaan saja. Aku tak ingin jika kelak, kau tak lagi memuji
senyumanku sepenuh hati, seperti dahulu.
“Apa
kau pernah jatuh cinta pada seorang wanita?” selidik majikanku, seketika, sampai
kekhidmatanku di alam kenangan, buyar.
Aku
pun menoleh padanya, dan berucap dengan kalimat yang sedikit nyeleneh. “Jelek-jelek begini, aku juga
laki-laki, Pak,” balasku, berharap kebekuan suasana, benar-benar berakhir.
Senyumnya
merekah sejenak. “Apa kau yakin dia mencintaimu setulus-tulusnya?”
Aku
pun merenung sejenak atas pertanyaan itu. Sampai akhirnya, kuyakin, bahwa
sepanjang yang kutahu saat kebersamaan kita dahulu, kau memang mencintaiku, “Ya,
aku yakin dia mencintaiku.”
Dia
tak segera menanggapi. Tampak terseret kembali ke alam perenungan, sambil
memandang hamparan laut dengan tatapan hampa.
Hingga
beberapa detik berlalu, ia menuturkan kisahnya sendiri, tanpa perlu kutanya.
“Dahulu, aku sangat mencintai istriku. Entah bagaimana dia padaku. Tapi sepintas,
aku tak yakin cintaku berbalas sepenuhnya.”
Pastilah,
aku tersentak mendengar pengakuannya. Tapi aku diam saja, sembari berharap ia
menyambung cerita hidupnya segera.
“Aku
yakin, ia memendam banyak rahasia dariku. Termasuk tentang kafe ini. Ia selalu
suka menghabiskan waktu di sini, tanpa menuturkan padaku sebuah alasan yang
meyakinkan. Sampai akhirnya, aku tahu juga, dia pernah larut dalam kasih
bersama seorang lelaki sebelum aku. Dan tanpa kejujuran darinya pun, aku bisa
menebak, bahwa mereka punya kisah yang mendalam di sini,” sambungnya lagi.
Dan
tanpa bisa menahan rasa penasaran, seketika, aku pun bertanya, “Lalu, apa Bapak
tak lagi mencintainya karena itu?”
“Sama
sekali tidak,” katanya, tanpa jeda yang lama. “Aku sadar, hanya menjadi masa
depannya, sehingga tak mungkin menggantikan seseorang di masa lalunya.” Dia
lalu menoleh padaku. Tampak ada senyuman di balik wajahnya yang sayu. “Bahkan
jika mungkin, aku ingin menyampaikan terima kasih pada seseorang lelaki yang
telah mengisi hari-harinya sebelum aku. Kau tahu sendiri, kebersamaan kami
hanya berlangsung setahun. Dan aku yakin, seorang lelaki di masa lalu, yang aku
maksud, telah memberinya kebahagiaan dalam waktu yang panjang. Tidakkah
aku beruntang budi pada pada lelaki itu?”
Aku
bungkam saja mendengar ketulusan hatinya dalam mencinta. Dengan sadar, aku
mengabaikan permintaan tanggapan di akhir kalimatnya.
Tiba-tiba,
ia bertanya tentang sesosok wanita pujaanku di masa lalu, “Oh, ya. Coba
ceritakan padaku tentang perempuan yang telah membuatmu jatuh cinta di masa
lalu?”
Sontak,
perasaanku jadi kalang-kabut. Aku kelimpungan mencari penjelasan yang tepat. Dan
akhirnya, aku putuskan untuk menyentil sedikit tentangmu, tanpa keinginan untuk
mengulas terlalu jauh. “Tak ada yang menarik untuk dibahas tentang dia. Yang
pasti, setelah perpisahan kami, aku tahu, ia telah menikah dengan lelaki yang begitu
tulus mencintainya. Seorang lelaki yang ikhlas mendalampingi hidupnya hingga
maut menjemput, beserta rangkaian kenangan tentang kami, yang kutahu, terus ia
simpan baik-baik.”
Dan
syukurlah, ia tak menyelidik atas jawabanku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar