Hari
ini adalah hari ulang tahun bagi Sardi. Ia genap berusia 24 tahun. Karena itu,
ia ingin melakukan terebosan besar. Ia ingin mendaulat seorang perempuan, teman
dekatnya, untuk menjadi seorang kekasih. Dan berbekal gaji pertamanya sebagai
karyawan baru di sebuah perusahaan swasta, ia akan melakoni adegan sakral yang
penuh keromantisan.
Setelah
lebih dari satu jam menunggu, Sardi tetap sabar demi harapan. Ia enyahkan
segala keraguan atas kecondongan hati sang perempuan terhadapnya. Ia yakin
bahwa calon kekasihnya itu akan datang menemuinya, meski terlambat. Ia yakin
bahwa sang pujaan hanya sedang dilanda masalah, hingga tak datang tepat waktu
dan tak sempat memberi kabar lewat saluran telepon.
Setengah
jam kemudian, Sardi masih saja menunggu. Ia berusaha untuk tetap menjaga
harapan, meski restoran akan berhenti melayani pemesanan setengah jam kemudian,
dan tutup satu jam setelahnya. Ia berusaha untuk tetap yakin bahwa segenap
kegalauan yang selama ini ia pendam terhadap sang perempuan, akan tuntas malam
ini juga, meskipun di akhir waktu.
Namun
setelah setengah jam kemudian, sang pujaan belum juga muncul. Keyakinan Sardi
pun goyah. Akal sehatnya mulai menggugat perasaannya yang buta. Tetapi demi
secuil harapan, ia bertekad untuk tetap menunggu hingga ujung waktu. Sampai
akhirnya, restoran tutup satu jam kemudian, dan ia harus rela membunuh segenap
harapannya sendiri.
Dengan
perasaan kecewa, Sardi pun melangkah keluar dari restoran. Ia pergi
meninggalkan dua gelas kopi yang tandas selama waktu menunggu. Ia pulang ke
rumah dengan perasaan yang tak keruan. Ia kalut membayangkan betapa teganya
sang pujaan hati memberikannya harapan sejauh ini jika kemudian ia
meruntuhkannya sendiri di puncak penantian.
Sepanjang
perjalanan pulang, Sardi pun mulai meluluhkan kekaguman terhadap gambaran sang
pujaan hati di dalam memorinya. Ia berusaha memupuskan seluruh kesan
menyenangkan dari adegan-adegan kedekatan mereka di segenap ruang dan waktu. Ia
mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa perasaannya selama ini hanyalah buah
kesalahan berpikirnya saja.
Kini,
Sardi mencoba untuk menerima kenyataa pahit bahwa memang tak ada orang yang
benar-benar peduli kepada dirinya. Tak ada orang yang tahu dan memberikan ucapan
selamat atas hari ulang tahunnya, sembari menyampaikan doa-doa terbaik. Bahkan seorang
teman dekatnya, seorang perempuan yang telah ia tempatkan di sisi terbaik
hatinya, juga tidak.
Sampai
akhirnya, setengah jam berselang, Sardi pun tiba di rumahnya dengan perasaan
galau. Seperti biasa, ia kembali menjumpai Ibunya yang selalu sabar membukakan
pintu, entah jam berapa pun ia pulang. Seorang perempuan dan satu-satunya orang
yang setia menemani kehidupannya di satu rumah yang sederhana.
Dengan
sikap lesu, Sardi lantas menghempaskan badannya ke sofa tanpa mengucapkan sepatah
kata pun.
“Kenapa
cemberut begitu, Nak? Ada masalah apa?” tanya ibunya dengan penuh curiga.
Seolah
tak mendengar pertanyaan sang ibu, Sardi lalu menoleh pada jam dinding.
Setengah jam lagi, hari akan berganti. Ia pun memastikan kalau memang tidak
akan ada ucapan selamat ulang tahun untuk dirinya. Ia bahkan memastikan kalau
sang pujaan hati tak akan menyampaikan permohonan maaf, alih-alih ucapan
selamat sebelum hari ulang tahunnya berlalu.
“Ceritakanlah
pada Ibu kalau kau ada masalah, Nak!” pinta sang ibu, penuh keprihatinan.
Sardi
menggeleng-geleng. Memberikan isyarat kalau ia baik-baik saja. “Tak ada masalah
apa-apa, Bu.”
Ibunya
pun tersenyum simpul. “Oh, iya, aku hampir lupa. Tadi, waktu aku membereskan
isi lemari, aku menemukan akta kelahiranmu. Dan aku baru sadar, kalau hari ini,
kau berulang tahun,” katanya, lantas menggenggam tangan kanan sang anak.
“Selamat ulang tahun, ya, Nak!”
Sontak,
perasaan Sardi pun tersentuh.
“Aku
doakan, semoga kau mendapatkan kesuksesan di umurmu yang sekarang. Aku berharap
kau akan segera mendapatkan perkerjaan, juga jodoh,” harapnya, sembari
mengusap-usap punggung tangan sang anak.
“Amin,”
balas Sardi, lantas tersenyum haru. “Terima kasih banyak, Bu. Aku juga berharap
segala yang terbaik untuk Ibu,” katanya, sembari terbayang rahasianya sendiri
tentang ia yang telah berhasil memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan swasta
sebulan yang lalu, juga ia yang baru saja diabaikan oleh seorang perempuan yang
ia duga adalah jodohnya.
Ibunya
kembali tersenyum. “Oh, iya. Sebenarnya, tadi aku sudah memasak makanan
favoritmu sebagai tanda perayaan dan rasa syukur. Kalau kau mau, makanlah
sana.”
Sardi
pun mengagguk-angguk dengan perasaan yang penuh keharuan. Ia merasa berdosa
telah mengabaikan ibunya yang penuh cinta demi seorang perempuan yang malah
mengabaikannya.
Tiba-tiba,
sebuah pesan singkat dari sang perempuan yang telah membautnya kecewa, masuk ke
dalam telepon genggamnya: Maaf, aku tak
sempat datang, aku ada urusan mendadak. Maaf karena aku baru mengabarimu
sekarang. Kau tak marah, kan?”
Sardi
menutup layar pesan dan memutuskan untuk tidak mengirimkan balasan.
Sesaat
kemudian, ia beranjak ke meja makan dan menjumpai nasi goreng favorit racikan
ibunya.
Tanpa
menunda waktu, ia pun makan dengan sangat berselera, sembari sesekali menatap haru
pada ibunya yang tampak kumal dengan daster yang lusuh.
Seketika,
ia punya rencana baru atas gaji pertamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar