Jumat, 20 Desember 2019

Yang Selalu Ada

Hari ini adalah hari ulang tahun bagi Sardi. Ia genap berusia 24 tahun. Karena itu, ia ingin melakukan terebosan besar. Ia ingin mendaulat seorang perempuan, teman dekatnya, untuk menjadi seorang kekasih. Dan berbekal gaji pertamanya sebagai karyawan baru di sebuah perusahaan swasta, ia akan melakoni adegan sakral yang penuh keromantisan.
 
Setelah lebih dari satu jam menunggu, Sardi tetap sabar demi harapan. Ia enyahkan segala keraguan atas kecondongan hati sang perempuan terhadapnya. Ia yakin bahwa calon kekasihnya itu akan datang menemuinya, meski terlambat. Ia yakin bahwa sang pujaan hanya sedang dilanda masalah, hingga tak datang tepat waktu dan tak sempat memberi kabar lewat saluran telepon.

Setengah jam kemudian, Sardi masih saja menunggu. Ia berusaha untuk tetap menjaga harapan, meski restoran akan berhenti melayani pemesanan setengah jam kemudian, dan tutup satu jam setelahnya. Ia berusaha untuk tetap yakin bahwa segenap kegalauan yang selama ini ia pendam terhadap sang perempuan, akan tuntas malam ini juga, meskipun di akhir waktu.

Namun setelah setengah jam kemudian, sang pujaan belum juga muncul. Keyakinan Sardi pun goyah. Akal sehatnya mulai menggugat perasaannya yang buta. Tetapi demi secuil harapan, ia bertekad untuk tetap menunggu hingga ujung waktu. Sampai akhirnya, restoran tutup satu jam kemudian, dan ia harus rela membunuh segenap harapannya sendiri.

Dengan perasaan kecewa, Sardi pun melangkah keluar dari restoran. Ia pergi meninggalkan dua gelas kopi yang tandas selama waktu menunggu. Ia pulang ke rumah dengan perasaan yang tak keruan. Ia kalut membayangkan betapa teganya sang pujaan hati memberikannya harapan sejauh ini jika kemudian ia meruntuhkannya sendiri di puncak penantian.

Sepanjang perjalanan pulang, Sardi pun mulai meluluhkan kekaguman terhadap gambaran sang pujaan hati di dalam memorinya. Ia berusaha memupuskan seluruh kesan menyenangkan dari adegan-adegan kedekatan mereka di segenap ruang dan waktu. Ia mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa perasaannya selama ini hanyalah buah kesalahan berpikirnya saja.

Kini, Sardi mencoba untuk menerima kenyataa pahit bahwa memang tak ada orang yang benar-benar peduli kepada dirinya. Tak ada orang yang tahu dan memberikan ucapan selamat atas hari ulang tahunnya, sembari menyampaikan doa-doa terbaik. Bahkan seorang teman dekatnya, seorang perempuan yang telah ia tempatkan di sisi terbaik hatinya, juga tidak. 

Sampai akhirnya, setengah jam berselang, Sardi pun tiba di rumahnya dengan perasaan galau. Seperti biasa, ia kembali menjumpai Ibunya yang selalu sabar membukakan pintu, entah jam berapa pun ia pulang. Seorang perempuan dan satu-satunya orang yang setia menemani kehidupannya di satu rumah yang sederhana.

Dengan sikap lesu, Sardi lantas menghempaskan badannya ke sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Kenapa cemberut begitu, Nak? Ada masalah apa?” tanya ibunya dengan penuh curiga.

Seolah tak mendengar pertanyaan sang ibu, Sardi lalu menoleh pada jam dinding. Setengah jam lagi, hari akan berganti. Ia pun memastikan kalau memang tidak akan ada ucapan selamat ulang tahun untuk dirinya. Ia bahkan memastikan kalau sang pujaan hati tak akan menyampaikan permohonan maaf, alih-alih ucapan selamat sebelum hari ulang tahunnya berlalu.

“Ceritakanlah pada Ibu kalau kau ada masalah, Nak!” pinta sang ibu, penuh keprihatinan.

Sardi menggeleng-geleng. Memberikan isyarat kalau ia baik-baik saja. “Tak ada masalah apa-apa, Bu.”

Ibunya pun tersenyum simpul. “Oh, iya, aku hampir lupa. Tadi, waktu aku membereskan isi lemari, aku menemukan akta kelahiranmu. Dan aku baru sadar, kalau hari ini, kau berulang tahun,” katanya, lantas menggenggam tangan kanan sang anak. “Selamat ulang tahun, ya, Nak!”

Sontak, perasaan Sardi pun tersentuh.

“Aku doakan, semoga kau mendapatkan kesuksesan di umurmu yang sekarang. Aku berharap kau akan segera mendapatkan perkerjaan, juga jodoh,” harapnya, sembari mengusap-usap punggung tangan sang anak.

“Amin,” balas Sardi, lantas tersenyum haru. “Terima kasih banyak, Bu. Aku juga berharap segala yang terbaik untuk Ibu,” katanya, sembari terbayang rahasianya sendiri tentang ia yang telah berhasil memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan swasta sebulan yang lalu, juga ia yang baru saja diabaikan oleh seorang perempuan yang ia duga adalah jodohnya.

Ibunya kembali tersenyum. “Oh, iya. Sebenarnya, tadi aku sudah memasak makanan favoritmu sebagai tanda perayaan dan rasa syukur. Kalau kau mau, makanlah sana.”

Sardi pun mengagguk-angguk dengan perasaan yang penuh keharuan. Ia merasa berdosa telah mengabaikan ibunya yang penuh cinta demi seorang perempuan yang malah mengabaikannya.

Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari sang perempuan yang telah membautnya kecewa, masuk ke dalam telepon genggamnya: Maaf, aku tak sempat datang, aku ada urusan mendadak. Maaf karena aku baru mengabarimu sekarang. Kau tak marah, kan?”

Sardi menutup layar pesan dan memutuskan untuk tidak mengirimkan balasan.

Sesaat kemudian, ia beranjak ke meja makan dan menjumpai nasi goreng favorit racikan ibunya. 

Tanpa menunda waktu, ia pun makan dengan sangat berselera, sembari sesekali menatap haru pada ibunya yang tampak kumal dengan daster yang lusuh.

Seketika, ia punya rencana baru atas gaji pertamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar