Sejak
senja berlalu, kekhawatiran mendalam, melanda perasaan Hartono dan Ainun.
Sepasang suami istri itu, tak henti-hentinya berdoa agar anaknya, Alian, pulang
ke rumah dengan selamat. Hanya itu yang bisa mereka lakukan, sebab segala upaya
telah ditempuh. Warga desa telah menelusuri aliran sungai dan hamparan
bebukitan. Tapi hasilnya tetap nihil. Anak kelas 2 sekolah dasar itu, hilang
tanpa jejak.
Keadaan
sungguh mencemaskan. Alian memang sering keluyuran untuk bermain di lapangan
desa, bermandi ria di sungai, atau menjelajah perkebunan di bukit untuk mencari
jambu biji yang tumbuh liar, tapi semua itu dilakukannya sepulang sekolah,
bersama teman-temannya yang lain. Sebelum pergi bermain, ia bahkan senantiasa
berpamitan, lalu pulang sebelum gelap.
Kekalutan
atas kehilangan sang anak, membuat Ainun dan Hartono terlibat dalam perdebatan
sengit. Mereka saling menyalahkan untuk sebab yang belum pasti. Hartono menduga
Alian pergi karena istrinya terlalu memanjakan sang anak, sehingga menjadi anak
yang tak hormat dan patuh pada pesan orang tua. Sebuah metode pendidikan yang
jelas tak disukainya.
Di
sisi lain, Ainun menilai Alian minggat karena didikan sang suami yang terlalu
keras. Ia tak henti-hentinya menyinggung sejumlah hardikan suaminya kepada
Alian, hanya karena anak mereka itu, melakukan kenakalan yang sebenarnya masih
wajar untuk ukuran anak-anak. Ainun yakin Alian pergi untuk menghindari hukuman
atas kesalahannya yang entah apa.
Waktu
terus berjalan. Lewat jam 8 malam, terdengarlah ketukan di daun pintu. Suara
serak menyahutkan salam, diiringi tangis seorang anak lelaki. Suara tangis itu,
jelas tak asing di telinga Ainun. Ia pun segera menyibak pintu dengan setengah
berlari. Dan benar saja, di samping Karto, lelaki tua yang sehari-hari bekerja
sebagai petani singkong, Alian berdiri-tertunduk, sambil menyeka air matanya.
“Aku
menemukannya, tertidur di balai kebunku, Bu. Ia sepertinya kelelahan,” jelas Karto.
Ainun
berlutut di depan sang anak, kemudian memeluknya. Seketika, ia turut meneteskan
air mata. “Terima kasih banyak, Pak.”
“Sama-sama,
Bu,” balas Lelaki tua itu, lalu pergi.
“Kau
baik-baik saja kan, Nak? Kau benar-benar membuat kami khawatir,” telisik Ainun
seketika.
Alian
berat untuk membalas. Rasa bersalah membuat tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Maafkan aku, Bu,” balasnya terbata-bata. “Aku ketiduran di rumah kebun Pak
Karto.”
Hartono
datang menyusul. “Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang?” timpal Hartono.
Nada suaranya meninggi, meski rasa iba membuatnya tak segarang sebelumnya.
Ainun
segera mencampak betis sang suami. Memberikan isyarat untuk bersikap lebih lembut.
“Ibu selalu memaafkanmu, Nak. Tapi Ibu minta, kalau kau ada masalah apa-apa,
cerita saja pada Ibu,” pinta Ainun.
Hartono
menahan kata-katanya, sambil berupaya melekat-lekatkan dua sisi gagang kecamata
bacanya yang patah tepat di tengah, antara lensa kanan dan kiri. Lem yang
digunakannya pagi tadi, ternyata tak mempan. Terpaksa ia mengamati kondisi anaknya,
hanya dengan menggunakan satu sisi lensa kacamatanya.
“Sekarang
kau berkemas-kemas, makan, lalu beristirahat,” tuntun Ainun.
“Ya,
istirahatlah cepat,” sergah Hartono. “Besok, kau harus membantuku memperbaiki
kacamata yang patah ini. Pagi-pagi, kau harus bangun dan membeli lem di warung
sebelah. Beli lem yang daya rekatnya bagus.”
Ainun
melotot. Ia tak terima dengan sikap sang suami. “Berkemas-kemaslah cepat, Nak.
Besok, biar aku yang memperbaiki kacamata Ayahmu,” sanggahnya, sembari
mengusap-usap rambut sang anak. “Lagian, bukan kau juga yang merusak kacamata itu.
Itu salah Ayahmu sendiri. Lah, masa kacamata ditaruh di bawah telapak kaki.
Memang mata kaki bisa rabun?” ledeknya.
Hartono
sedikit kecewa. Ia merasa hukuman ringan itu harusnya disetujui sang istri.
“Tapi…” Alian
seperti ingin memperjelas sesuatu.
“Tak
ada tapi-tapian lagi. Ayo, bergegas,” tutur Ainun, sambil menuntun sang anak
untuk segera berkemas.
Seketika,
Alian bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia heran, bagaimana bisa Ayah-Ibunya
tak curiga. Padahal, pagi tadi, ia tak sengaja menjatuhkan kacamata baca itu ke
lantai, hingga terpisah menjadi dua bagian.
Beberapa
detik berlalu, ia berhasil membuat kesimpulan berdasarkan perkataan
Ayah-Ibunya. Hatinya pun tenang, sebab sungguh, tak ada kesalahan yang ia
lakukan atas patahnya kacamata baca itu. Ia baru tahu.
Dan
kini, alasannya untuk minggat dari rumah, akan menjadi rahasianya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar