Jumat, 27 November 2015

Berlayar ke Selayar


Memang susah menemukan gambaran tepat tentang sesuatu jika dirangkai dari informasi lisan maupun tulisan dari orang lain. Apalagi jika deskripsinya kurang mendetail. Ataukah informan memang sengaja melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi gambaran keadaannya, demi kepentingan tertentu. 

Sebisanya, kita hanya membayangkan dan menerka-nerka bagaimana sebenarnya objek yang digambarkan informan. Dengan imajinasi liar, keadaan yang dihayalkan bisa jadi lebih buruk atau lebih indah dari kenyataannya. Kurang tepat. Tapi yang pasti, informasi simpang siur akan menumpuk rasa penasaran dan menuntut pembuktian. Kita selalu ingin mencocokkan angan-angan dengan kenyataan. 

Begitulah kira-kira perasaanku tentang berlayar dan Selayar. Kesempatan membunuh penasaran tentang kedua hal itu pun tak kusia-siakan. Setelah seorang teman mengajakku menjadi surveyor sebuah lembaga survei nasional di sana, aku pun mengiyakannya. Tugasku juga tak mudah. Harus mewawancarai sepuluh orang masyarakat secara acak, demi mengisi kuisioner tentang pemilukada Selayar. Aku ditempatkan di Kelurahan Benteng, di Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Selayar.

Pada hari Minggu, 22 November lalu, menjadi waktu pertama kalinya aku merasakan perjalanan dengan menumpang kapal. Pertama kali juga aku menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Selayar. Di hari itulah aku menemukan kepastian, jawaban atas rasa penarasanku selama ini, tentang berlayar dan Selayar. 

Perjalananku menggapai Selayar dimulai dari Makassar. Aku mengendari sepeda motor bersama seorang temanku dari Jl. Perintis kemerdekaan IV, menuju Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar 200 km. Kami berangkat sekitar pukul 05.00 Wita, dan sampai di Bira pukul 08.45 Wita. Di sanalah kami akan menaiki kapal menuju Kabupaten Kepulauan Selayar. 

Motor melaju kencang. Apalagi feri KM Bontoharu yang kami buru untuk menuju ke Selayar, kabarnya biasa berangkat pukul 08.00 Wita. Syukur, kapal itu telat berangkat sehingga kami tak ketinggalan. Setelah membayar Rp. 105.000,-, kami berdua dan sebuah sepeda motor, dapat menumpang. Jika kulihat di tiket kapal, kalau tak salah, seseorang tanpa kendaraan untuk diseberangkan, hanya perlu membayar Rp. 24.000,-. Harga itu telah disubsidi pemerintah kata temanku.

Sekitar pukul 10.30 Wita, feri KM Bontoharu pun berangkat. Banyak kesan pertama saat berada di atas kapal yang tak kuduga sebelumnya. Jika sebelumnya kukira sebuah kapal hanya bisa mengangkut beberapa sepeda motor, ternyata mobil bus dan truk pun bisa diangkut. Sebelumnya juga kukira di atas kapal orang akan duduk lesehan atau tidur dan berdiri di sembarang tempat secara tak teratur, tapi ternyata kursi duduk tersedia secara rapi. Meski begitu, sayangnya, masih ada juga orang tak berperikasih tidur di atas kursi meski telah diberikan peringatan larangan. Akibatnya beberapa orang tak dapat duduk tenang.

Sebelumnya, aku juga mendengar kata-kata dari orang-orang bahwa sulit menghindari mual dan muntah kala menumpang di kapal. Ternyata tidak juga. Kurasa pulang ke kampungku mengendarai mobil mini bus dan berhimpit-himpitan dengan penumpang lain, lebih menantang. Kemungkinan muntah juga lebih besar karena udara yang pengap, bau asap dan bau aneh-aneh lainnya, serta goncangan dahsyat akibat jalan yang berlubang. 

Di kapal, sebaliknya. Aroma laut tercium mendamaikan dari embusan angin yang bebas keluar masuk melalui jendela kapal yang terbuka. Ruang kapal yang luas juga memungkinkan kita untuk berselonjoran, bahkan berjalan-jalan untuk melihat pemandangan di tengah laut. Dan, kapal juga tak terasa berguncang seperti yang kubayangkan sebelumnya. Goyangannya bahkan terasa asyik, hanya berayun dari kiri ke kanan. Sekitar pukul 12.30 Wita, sampailah kami di Pelabuhan Penyeberangan Pamamata, Selayar. Aku sedikit pun tak merasa pusing, mual, apalagi muntah.

Namun, setelah kesan pertama itu kuceritakan kepada temanku yang asli orang Selayar, ia berujar kalau aku beruntung menaiki kapal yang baik dalam keadaan yang baik pula. Ia mengatakan kapal feri memang tak semenantang kapal kecil nan cepat (speedboat). Pada penyeberangan perintis menuju kampungnya di pulau lain, speedboat dengan ruang sempit dan goyangan dahsyat menjadi andalan. Ia menyarankanku untuk mencobanya. Keberuntungan lainnya bagiku katanya, keadaan ombak kala itu memang tenang, sehingga getaran di kapal menjadi tak terlalu. 

Setelah menginjakkan kaki di daratan utama Selayar, kami melanjutkan perjalanan dengan mengendarai sepeda motor lagi. Pemandangan unik menyambut kami mengawali perjalanan menuju Kota Benteng. Setelah melewati daerah pelabuhan, di 30% perjalanan awal yang lengang, kami disuguhi pemandangan pepohonan perdu di pinggir jalan. Di antara pepohonan itu, terlihat tumpukan batu yang tersusun rapi, membentuk petakan lahan. Kuduga, itu adalah pagar untuk membatasi lahan-lahan di antara masyarakat. Sangat tak lazim.

Di sisa perjalanan selanjutnya, pada sisi kanan jalan akan terlihat pantai yang membentang. Di kedua sisi jalan, pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur turut mengiringi perjalanan. Hingga di pertengahan perjalanan menuju Kota Benteng tampaklah perkampungan ramai di pinggir jalan. Rumah-rumah tersusun rapi mengikuti alur jalan.

Setelah perjalanan yang menyenangkan, sekitar pukul 14.30 Wita, sampailah kami di penginapan, tempat melalui tiga hari untuk menyelesaikan tugas yang penuh tantangan. Karena kecapekan, hari kedatangan berlalu dengan istirahat penuh. 

Selama dua hari setelahnya, aku pun mencari target responden di Kelurahan Benteng. Mondar-mandir dan menelusuri setiap jalan selama itu untuk mencari target, membuatku mengenal lika-liku daerah itu. Kota itu nampak tenteram, tanpa huru-hara yang menggerahkan dan menakutkan. Tak perlu khawatir untuk berjalan-jalan di tengah malam. Dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, kurasa tak salah jika menduga di sana tak ada preman, apalagi begal.

Di penghujung hari ketiga di kota Selayar, tugasku akhirnya dipaksakan selesai setelah melewati “pertumpahan darah”. Syukurlah.

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 Wita (Rabu, 25 November 2014), dengan mengendarai motor bersama temanku yang sebelumnya, kami menyusuri kembali jalan untuk pulang. Hampir dua jam setelahnya, kami akhirnya sampai lagi di Pelabuhan Pamamata dan kembali menaiki kapal yang kami tumpangi sebelumnya. Pagi itu, kapal berangkat tepat waktu, pukul 08.00 Wita. 

Akhirnya, ada satu hal yang sulit dihindari di Selayar. Sebagai daerah yang jaraknya jauh dari ibu kota Provinsi, Kabupaten Kepulauan Selayar pun masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan barang yang harus dipasok dari luar daerah. Tak heran jika jenis barang tertentu menjadi langka dan harga menjadi lebih mahal, termasuk BBM. Tapi itu tentu tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan ketenteraman yang diberikan masyarakat dan alam Selayar.

Aku bersyukur pernah ke Selayar. Kabupaten kepulauan yang menurut situs Wikipedia terdiri dari sebanyak 130 buah pulau. Tak heran jika dari 1.357,03 km2 luas wilayahnya, terdiri dari 12,91% daratan dan 87,09% lautan. Dari 11 kecamatannya pun, hampir setengahnya terbentuk dari wilayah pulau-pulau, yaitu Pasimasunggu, Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilambena.

Begitulah sekilas kesan pertamaku tentang berlayar dan Selayar. Aku mungkin tak penasaran lagi tentang rasanya naik kapal. Tapi untuk selayar, kuharap ada waktu untuk kembali kesana. Perjalanan singkat itu hanya membuatku tahu sekilas tentang Selayar. Baru sedikit. Aku hanya di daratan utamanya saja. Suatu saat, aku ingin mengenal Selayar sebagai kepulauan. Aku ingin berkunjung ke pulau-pulau kecilnya. Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar