Memang
susah menemukan gambaran tepat tentang sesuatu jika dirangkai dari informasi
lisan maupun tulisan dari orang lain. Apalagi jika deskripsinya kurang
mendetail. Ataukah informan memang sengaja melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi
gambaran keadaannya, demi kepentingan tertentu.
Sebisanya,
kita hanya membayangkan dan menerka-nerka bagaimana sebenarnya objek yang
digambarkan informan. Dengan imajinasi liar, keadaan yang dihayalkan bisa jadi
lebih buruk atau lebih indah dari kenyataannya. Kurang tepat. Tapi yang pasti,
informasi simpang siur akan menumpuk rasa penasaran dan menuntut pembuktian.
Kita selalu ingin mencocokkan angan-angan dengan kenyataan.
Begitulah
kira-kira perasaanku tentang berlayar dan Selayar. Kesempatan membunuh
penasaran tentang kedua hal itu pun tak kusia-siakan. Setelah seorang teman
mengajakku menjadi surveyor sebuah
lembaga survei nasional di sana, aku pun mengiyakannya. Tugasku juga tak mudah.
Harus mewawancarai sepuluh orang masyarakat secara acak, demi mengisi kuisioner
tentang pemilukada Selayar. Aku ditempatkan di Kelurahan Benteng, di Ibu Kota
Kabupaten Kepulauan Selayar.
Pada
hari Minggu, 22 November lalu, menjadi waktu pertama kalinya aku merasakan
perjalanan dengan menumpang kapal. Pertama kali juga aku menginjakkan kaki di
Kabupaten Kepulauan Selayar. Di hari itulah aku menemukan kepastian, jawaban atas
rasa penarasanku selama ini, tentang berlayar dan Selayar.
Perjalananku
menggapai Selayar dimulai dari Makassar. Aku mengendari sepeda motor bersama
seorang temanku dari Jl. Perintis kemerdekaan IV, menuju Desa Bira,
Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar 200 km. Kami berangkat sekitar pukul 05.00
Wita, dan sampai di Bira pukul 08.45 Wita. Di sanalah kami akan menaiki kapal
menuju Kabupaten Kepulauan Selayar.
Motor melaju kencang. Apalagi
feri KM Bontoharu yang kami buru untuk menuju ke Selayar, kabarnya biasa berangkat
pukul 08.00 Wita. Syukur, kapal itu telat berangkat sehingga kami tak
ketinggalan. Setelah membayar Rp. 105.000,-, kami berdua dan sebuah sepeda motor,
dapat menumpang. Jika kulihat di tiket kapal, kalau tak salah, seseorang tanpa
kendaraan untuk diseberangkan, hanya perlu membayar Rp. 24.000,-. Harga itu
telah disubsidi pemerintah kata temanku.
Sekitar
pukul 10.30 Wita, feri KM Bontoharu pun berangkat. Banyak kesan pertama saat
berada di atas kapal yang tak kuduga sebelumnya. Jika sebelumnya kukira sebuah
kapal hanya bisa mengangkut beberapa sepeda motor, ternyata mobil bus dan truk
pun bisa diangkut. Sebelumnya juga kukira di atas kapal orang akan duduk
lesehan atau tidur dan berdiri di sembarang tempat secara tak teratur, tapi
ternyata kursi duduk tersedia secara rapi. Meski begitu, sayangnya, masih ada
juga orang tak berperikasih tidur di atas kursi meski telah diberikan
peringatan larangan. Akibatnya beberapa orang tak dapat duduk tenang.
Sebelumnya,
aku juga mendengar kata-kata dari orang-orang bahwa sulit menghindari mual dan
muntah kala menumpang di kapal. Ternyata tidak juga. Kurasa pulang ke kampungku
mengendarai mobil mini bus dan berhimpit-himpitan dengan penumpang lain, lebih
menantang. Kemungkinan muntah juga lebih besar karena udara yang pengap, bau
asap dan bau aneh-aneh lainnya, serta goncangan dahsyat akibat jalan yang
berlubang.
Di
kapal, sebaliknya. Aroma laut tercium mendamaikan dari embusan angin yang bebas
keluar masuk melalui jendela kapal yang terbuka. Ruang kapal yang luas juga
memungkinkan kita untuk berselonjoran, bahkan berjalan-jalan untuk melihat
pemandangan di tengah laut. Dan, kapal juga tak terasa berguncang seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Goyangannya bahkan terasa asyik, hanya berayun dari
kiri ke kanan. Sekitar pukul 12.30 Wita, sampailah kami di Pelabuhan
Penyeberangan Pamamata, Selayar. Aku sedikit pun tak merasa pusing, mual,
apalagi muntah.
Namun,
setelah kesan pertama itu kuceritakan kepada temanku yang asli orang Selayar,
ia berujar kalau aku beruntung menaiki kapal yang baik dalam keadaan yang baik
pula. Ia mengatakan kapal feri memang tak semenantang kapal kecil nan cepat (speedboat). Pada penyeberangan perintis
menuju kampungnya di pulau lain, speedboat
dengan ruang sempit dan goyangan dahsyat menjadi andalan. Ia menyarankanku
untuk mencobanya. Keberuntungan lainnya bagiku katanya, keadaan ombak kala itu memang
tenang, sehingga getaran di kapal menjadi tak terlalu.
Setelah
menginjakkan kaki di daratan utama Selayar, kami melanjutkan perjalanan dengan
mengendarai sepeda motor lagi. Pemandangan unik menyambut kami mengawali perjalanan
menuju Kota Benteng. Setelah melewati daerah pelabuhan, di 30% perjalanan awal yang
lengang, kami disuguhi pemandangan pepohonan perdu di pinggir jalan. Di antara
pepohonan itu, terlihat tumpukan batu yang tersusun rapi, membentuk petakan lahan.
Kuduga, itu adalah pagar untuk membatasi lahan-lahan di antara masyarakat. Sangat
tak lazim.
Di
sisa perjalanan selanjutnya, pada sisi kanan jalan akan terlihat pantai yang
membentang. Di kedua sisi jalan, pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur turut
mengiringi perjalanan. Hingga di pertengahan perjalanan menuju Kota Benteng
tampaklah perkampungan ramai di pinggir jalan. Rumah-rumah tersusun rapi
mengikuti alur jalan.
Setelah
perjalanan yang menyenangkan, sekitar pukul 14.30 Wita, sampailah kami di
penginapan, tempat melalui tiga hari untuk menyelesaikan tugas yang penuh tantangan.
Karena kecapekan, hari kedatangan berlalu dengan istirahat penuh.
Selama
dua hari setelahnya, aku pun mencari target responden di Kelurahan Benteng.
Mondar-mandir dan menelusuri setiap jalan selama itu untuk mencari target,
membuatku mengenal lika-liku daerah itu. Kota itu nampak tenteram, tanpa
huru-hara yang menggerahkan dan menakutkan. Tak perlu khawatir untuk
berjalan-jalan di tengah malam. Dengan masyarakatnya yang ramah-ramah, kurasa
tak salah jika menduga di sana tak ada preman, apalagi begal.
Di
penghujung hari ketiga di kota Selayar, tugasku akhirnya dipaksakan selesai setelah melewati “pertumpahan darah”. Syukurlah.
Keesokan
harinya, sekitar pukul 06.00 Wita (Rabu, 25 November 2014), dengan mengendarai
motor bersama temanku yang sebelumnya, kami menyusuri kembali jalan untuk pulang.
Hampir dua jam setelahnya, kami akhirnya sampai lagi di Pelabuhan Pamamata dan
kembali menaiki kapal yang kami tumpangi sebelumnya. Pagi itu, kapal berangkat
tepat waktu, pukul 08.00 Wita.
Akhirnya,
ada satu hal yang sulit dihindari di Selayar. Sebagai daerah yang jaraknya jauh
dari ibu kota Provinsi, Kabupaten Kepulauan Selayar pun masih kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan barang yang harus dipasok dari luar daerah. Tak heran jika jenis
barang tertentu menjadi langka dan harga menjadi lebih mahal, termasuk BBM. Tapi
itu tentu tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan ketenteraman yang diberikan
masyarakat dan alam Selayar.
Aku
bersyukur pernah ke Selayar. Kabupaten kepulauan yang menurut situs Wikipedia terdiri
dari sebanyak 130 buah pulau. Tak heran jika dari 1.357,03 km2 luas
wilayahnya, terdiri dari 12,91% daratan dan 87,09% lautan. Dari 11 kecamatannya
pun, hampir setengahnya terbentuk dari wilayah pulau-pulau, yaitu Pasimasunggu,
Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Pasimarannu, dan Pasilambena.
Begitulah
sekilas kesan pertamaku tentang berlayar dan Selayar. Aku mungkin tak penasaran
lagi tentang rasanya naik kapal. Tapi untuk selayar, kuharap ada waktu untuk
kembali kesana. Perjalanan singkat itu hanya membuatku tahu sekilas tentang Selayar.
Baru sedikit. Aku hanya di daratan utamanya saja. Suatu saat, aku ingin
mengenal Selayar sebagai kepulauan. Aku ingin berkunjung ke pulau-pulau
kecilnya. Mudah-mudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar