Tak ada penentangan bahwa manusia cenderung malakukan balas budi. Mungkin
kodrat batin adalah jawaban kecenderungan universal itu. Pelbagai alasan dapat
menjadi motif balas budi, sekadar tanda terima kasih, ataukah mempertahankan
harga diri bahwa dia juga mampu memberi. Terlepas dari motif tersebut, yang
pasti, setiap orang akan merasakan dampak secara batin ketika telah menerima
pemberian.
Banyak orang tak pernah menyadari bahwa segala perilakunya merupakan reaksi
dari setiap aksi yang dilakukan orang lain. Kita merasa benci dan ingin melukai
seseorang tentu karena telah ada perilakunya yang membuat kita benci. Dalam hal
ini, perilaku mencakup perbuatan, perkataan, ataupun diamnya seseorang. Dalam
tataran paling abstrak, bisa saja benci itu muncul karena dia tidak pernah
memerhatikan kita-padahal batin kita menginginkan untuk dihiraukan-dan malah
memerhatikan orang lain.
Sebagai lawannya, orang terkadang terheran jika kita memberikan hadiah
berbentuk materi, atau sekadar mengucapkan terima kasih. Mereka tentu bertanya
pada dirinya, perbuatan baik apa yang telah dipersembahkannya sehingga kita
memberikan kebaikan kepadanya? Jika mencari jawabannya pada perilaku konkret,
takkan dia temukan alasan kebajikan kita. Tapi, kita sangat menyadari secara
abstrak kerohanian, banyak kebajikan yang telah ia berikan untuk kita. Bisa
saja itu ilmu, nasihat, dan pelajaran keluhuran budi yang lain. Dalam hal ini,
kita harus sepaham bahwa kebajikan tidak hanya terwujud dalam bentuk material,
tetapi bisa dalam bentuk pengajaran nilai tanpa kita sadari.
Konsep tentang keteladanan adalah dasar yang dapat digunakan untuk
menganalisis fenomena di atas. Konteksnya pun tak mengenal ruang dan waktu.
Meskipun tanpa persentuhan fisik, bahkan tanpa ada maksud dari “sang teladan”
untuk memberikan pengajaran nilai kepada kita secara langsung, tapi sebatas
menyaksikan perilakunya, kita telah terilhami seperangkat nilai.
Di tengah lapuknya rasa kegotongroyongan, seseorang tak akan mengacuhkan
kepentingan sosial jika tak terkait kepentingannya. Acuan tentang nilai
yang dianut dan diaktualisasikan adalah kepentingan diri sendiri. Ilustrasinya;
seseorang individualis melihat bongkahan batu di tengah jalan yang
remang-remang, tetapi karena dia telah berlalu dengan kendaraannya, ia tak akan
menoleh lagi batu itu. Dalam hatinya ia berkata, “Syukurlah ban motorku
tidak menginjak batu itu”.
Kita dapat memastikan, dalam pikiran dan hati orang tersebut masih
menisbihkan bahwa bisa saja orang yang melalui jalan itu setelahnya akan
menginjak batu di tengah jalan. Tapi egonya lebih menguasai rohaninya.
Argumentasi: Semoga orang lain bisa menghindari batu seperti tindakannya.
Tapi coba berfikir berbeda, ketika ada seorang dengan keadaan yang sama,
telah melewati bongkahan batu itu. Tapi, ia berusaha meminggirkan kendaraannya,
menyeberangi bahu jalan, lalu menyingkirkan batu itu. Bagaimana pendangan orang
terhadapnya?
Jika seseorang diberhentikan sejenak oleh “si penyingkir batu” untuk
menunaikan kebajikannya, meski sempat mengutuk sejenak karena merasa dihambat,
tetapi akan berubah 180 derajat saat ia menyadari bahwa ia telah diselamatkan.
Tindakan orang bijak itu telah menghindarkan batu dari enjakan ban motornya. Ia
akan berterima kasih sedalam-dalam hatinya, meskipun tak pernah terucapkan.
Dampaknya tidak sebatas itu, mekipun tak mengenal “si penyingkir batu”, ia
telah dirasuki sebuah pelajaran berharga tentang sebuah nilai. Belum lagi jika
banyak yang menyaksikan tindakan “si penyingkir batu”, mereka secara otomatis
akan menjadi murid-murid “sang guru nilai” itu.
Selanjutnya, orang tertolong itu akan terperangkap dalam sebuah sistem
kerohanian yang disebut balas budi. Sebuah utang kebajikan yang sangat
merisaukan jika tak dilampiaskan kepada orang lain. Aktualisasinya dapat
terlihat dari senantiasanya ia menolong orang lain sebagaimana ia pernah
ditolong. Di sinilah awal mula dari sebuah perputaran kebajikan, sebuah alur
dinamis yang pas diistilahkan siklus kebajikan.
Kedinamisan sebuah kebajikan merupakan sebuah konsep aksi-reaksi yang tak
pernah berhenti. Dalam ruang dan waktu, setiap orang tidak hanya mencari apa
yang bisa ia dapatkan, tapi sebisa mungkin memberi sebagaimana ia telah diberi.
Hukum implikasi pun akan berlaku, sebab jika memberi, pastilah ada penerima.
Sampai akhirnya kebajikan bergulir silih berganti. Setiap waktu, setiap orang
akan mendapatkan kebajikan tak terduga, lalu ia pun melakukan kebajikan tak
beralasan. Keadaan paling menakjubkan dapat terjadi, orang akan hidup madani
dalam kebersamaan, dengan memberikan kebajikan tanpa mencari alasan dan tak
mempertanyakan siapa si tertolong.
Argumentasi dan gambaran di atas hanyalah serpihan pemaknaan yang terangkum
dalam petuah, “Buatlah kebajikan tanpa mencari alasannya, kebajikan takkan
berhenti menghiasi kehidupanmu secara tak terduga.”
"Bacalah puisi dari hatimu, dengan hatimu, untuk hatimu. Kau akan
bijak dengan itu. Resapilah!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar