Rasti
akhirnya menikah setelah menginjak usia 40 tahun. Ia menikah dengan Gibran,
seorang lelaki yang dua puluh tahun lebih muda darinya. Seorang lelaki yang
membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama, setahun yang lalu, di negeri seberang.
Seorang lelaki yang mengingatkan ia pada wajah mantan kekasihnya di masa
lampau, yang pulang ke kampungnya, dan tak kembali.
Gayung
bersambut. Gibran pun jatuh hati padanya. Meski usianya sudah tak terhitung
muda untuk memulai pernikahan, sang pujaan hati sama sekali tak pernah
mempermasalahkan. Sang belahan jiwa tulus menerima keadaan dirinya seperti apa
adanya, seperti juga kedua calon mertuanya, sampai akhirnya mereka menikah
tanpa ada rintangan yang berarti.
Namun
baru setengah bulan pernikahan, sikap Rasti malah berubah. Ia merengek. Ia
berkeras ingin memiliki rumah sendiri sebagai sepasang suami istri. Ia mengaku
tidak nyaman berbagi atap dengan kedua mertuanya. Ia merasa akan lebih tenteram
jika ia dan sang suami menjalani kehidupan rumah tangga tanpa campur tangan
siapa-siapa, bahkan mertua sekalipun.
Tapi
bagi Gibran, keinginan Rasti sulit ia kabulkan. Pasalnya, ia baru bekerja selama
lima bulan di sebuah perusahaan swasta, dan ia belum memiliki tabungan yang cukup
untuk membeli sebuah rumah. Akhirnya, ia hanya bisa meminta agar sang istri
bersabar dan menyesuaikan diri untuk hidup bersama kedua orang tuanya yang sama
sekali tak mempermasalahkan apa-apa.
Sayang,
Sial bagi Gibran. Rasti sepertinya tak bisa menerima alasan. Sang istri seolah
tidak akan baik-baik saja selama mereka belum memiliki rumah sendiri. Dan akhirnya,
atas cintanya yang begitu besar, ia pun bersedia untuk memenuhi permintaan sang
istri dalam waktu yang secepat-cepatnya, meski ia sendiri belum tahu harus mendapatkan
uang dari mana.
Kemudian,
tanpa terduga, satu hari saat ia dan ayahnya tengah mengerjakan sebuah rakitan
pagar besi di bengkel las mereka, ayahnya pun menyela dengan sebuah tukasan, “Sepertinya,
ada masalah dengan istrimu.”
Sontak,
Gibran pun menatap sang ayah lekat-lekat. “Maksud Ayah?” tanya Gibran yang
sedari tadi berjongkok mengukur besi bahan terali pagar.
Sang
ayah lantas memandangnya dengan tatapan yang tenang. “Aku melihat kalau istrimu
kurang nyaman tinggal bersama kami.”
Mulut
Gibran pun tercekat atas dakwaan benar dari sang ayah.
“Aku
rasa, ia ingin kalau kalian membina rumah tangga di rumah milik kalian sendiri,”
tutur sang ayah lagi, kemudian kembali mengukur rangka pagar. “Keinginannya
itu memang wajar, Nak. Sebaiknya memang begitu bagi orang yang sudah
berkeluarga. Ibumu, di awal pernikahan kami, juga selalu mendesak agar aku segera
membeli rumah untuk kami sendiri.”
Gibran
mengangguk-angguk lesu. “Tapi aku belum memiliki uang yang cukup untuk membeli
rumah, Ayah,” jujurnya, sedikit segan.
“Kalau
membeli tak sanggup, ya, dicicil dululah, Nak,” saran sang ayah. “Yang penting,
kalian punya rumah sendiri, dan istrimu bisa hidup tenteram.”
“Untuk
mencicil pun, aku juga belum punya uang yang cukup untuk membayar uang muka,
Ayah,” keluh Gibran, lalu meletakkan meteran dan duduk di lantai yang berdebu. “Kalau
pun gabungan uangku dan uang istriku mencukupi untuk uang muka, mungkin kami
tak akan bisa membayar angsurannya per bulan, dan kami malah bisa kena perkara.”
Seketika,
ayahnya pun mendengus kasihan. “Kalau soal uang muka dan cicilan di bulan-bulan
awal, biar aku yang talangi, Nak,” turur sang ayah, lalu turut menjeda
pekerjaan. “Jangan khawatir soal itu. Khawatirkanlah soal kenyamanan dan
kebahagiaan istrimu.”
Gibran
pun merasa sangat senang. “Terima kasih, Ayah!” katanya, lantas tersenyum
bahagia.
Ayahnya
pun mengangguk-angguk dengan senyuman yang penuh ketulusan. “Nah, untuk rumah,
aku punya pilihan untukmu. Aku yakin, istrimu pasti suka,” tutur sang ayah yang
merupakan seorang mantan mahasiwa arsitektur yang gagal memperoleh gelar
sarjana.
Gibran
mengangguk setuju. “Baiklah.”
Waktu
bergulir cepat.
Berselang
tiga hari, Gibran dan Rasti pun berpindah ke rumah mereka sendiri. Sebuah rumah
yang mereka miliki atas pilihan dan bantuan dana dari ayah Gibran.
“Kamu
suka dengan rumah kita?” tanya Gibran kemudian, di ruang tamu rumah mereka yang
minimalis dan elegan.
Rasti
pun tersenyum manis. “Ini adalah rumah yang kuimpi-impikan sejak dahulu,” jawabnya,
sembari teringat pada rancangan rumah idaman yang dilukis mantan kekasihnya dahulu,
seorang mahasiswa arsitektur, kala mereka berleha-leha di taman kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar