Rabu, 18 Desember 2019

Rumah Sendiri

Rasti akhirnya menikah setelah menginjak usia 40 tahun. Ia menikah dengan Gibran, seorang lelaki yang dua puluh tahun lebih muda darinya. Seorang lelaki yang membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama, setahun yang lalu, di negeri seberang. Seorang lelaki yang mengingatkan ia pada wajah mantan kekasihnya di masa lampau, yang pulang ke kampungnya, dan tak kembali.
 
Gayung bersambut. Gibran pun jatuh hati padanya. Meski usianya sudah tak terhitung muda untuk memulai pernikahan, sang pujaan hati sama sekali tak pernah mempermasalahkan. Sang belahan jiwa tulus menerima keadaan dirinya seperti apa adanya, seperti juga kedua calon mertuanya, sampai akhirnya mereka menikah tanpa ada rintangan yang berarti.

Namun baru setengah bulan pernikahan, sikap Rasti malah berubah. Ia merengek. Ia berkeras ingin memiliki rumah sendiri sebagai sepasang suami istri. Ia mengaku tidak nyaman berbagi atap dengan kedua mertuanya. Ia merasa akan lebih tenteram jika ia dan sang suami menjalani kehidupan rumah tangga tanpa campur tangan siapa-siapa, bahkan mertua sekalipun.

Tapi bagi Gibran, keinginan Rasti sulit ia kabulkan. Pasalnya, ia baru bekerja selama lima bulan di sebuah perusahaan swasta, dan ia belum memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah rumah. Akhirnya, ia hanya bisa meminta agar sang istri bersabar dan menyesuaikan diri untuk hidup bersama kedua orang tuanya yang sama sekali tak mempermasalahkan apa-apa.

Sayang, Sial bagi Gibran. Rasti sepertinya tak bisa menerima alasan. Sang istri seolah tidak akan baik-baik saja selama mereka belum memiliki rumah sendiri. Dan akhirnya, atas cintanya yang begitu besar, ia pun bersedia untuk memenuhi permintaan sang istri dalam waktu yang secepat-cepatnya, meski ia sendiri belum tahu harus mendapatkan uang dari mana.

Kemudian, tanpa terduga, satu hari saat ia dan ayahnya tengah mengerjakan sebuah rakitan pagar besi di bengkel las mereka, ayahnya pun menyela dengan sebuah tukasan, “Sepertinya, ada masalah dengan istrimu.”

Sontak, Gibran pun menatap sang ayah lekat-lekat. “Maksud Ayah?” tanya Gibran yang sedari tadi berjongkok mengukur besi bahan terali pagar.

Sang ayah lantas memandangnya dengan tatapan yang tenang. “Aku melihat kalau istrimu kurang nyaman tinggal bersama kami.”

Mulut Gibran pun tercekat atas dakwaan benar dari sang ayah.

“Aku rasa, ia ingin kalau kalian membina rumah tangga di rumah milik kalian sendiri,” tutur sang ayah lagi, kemudian kembali mengukur rangka pagar. “Keinginannya itu memang wajar, Nak. Sebaiknya memang begitu bagi orang yang sudah berkeluarga. Ibumu, di awal pernikahan kami, juga selalu mendesak agar aku segera membeli rumah untuk kami sendiri.”

Gibran mengangguk-angguk lesu. “Tapi aku belum memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah, Ayah,” jujurnya, sedikit segan.

“Kalau membeli tak sanggup, ya, dicicil dululah, Nak,” saran sang ayah. “Yang penting, kalian punya rumah sendiri, dan istrimu bisa hidup tenteram.”

“Untuk mencicil pun, aku juga belum punya uang yang cukup untuk membayar uang muka, Ayah,” keluh Gibran, lalu meletakkan meteran dan duduk di lantai yang berdebu. “Kalau pun gabungan uangku dan uang istriku mencukupi untuk uang muka, mungkin kami tak akan bisa membayar angsurannya per bulan, dan kami malah bisa kena perkara.”

Seketika, ayahnya pun mendengus kasihan. “Kalau soal uang muka dan cicilan di bulan-bulan awal, biar aku yang talangi, Nak,” turur sang ayah, lalu turut menjeda pekerjaan. “Jangan khawatir soal itu. Khawatirkanlah soal kenyamanan dan kebahagiaan istrimu.”

Gibran pun merasa sangat senang. “Terima kasih, Ayah!” katanya, lantas tersenyum bahagia.

Ayahnya pun mengangguk-angguk dengan senyuman yang penuh ketulusan. “Nah, untuk rumah, aku punya pilihan untukmu. Aku yakin, istrimu pasti suka,” tutur sang ayah yang merupakan seorang mantan mahasiwa arsitektur yang gagal memperoleh gelar sarjana.

Gibran mengangguk setuju. “Baiklah.”

Waktu bergulir cepat.

Berselang tiga hari, Gibran dan Rasti pun berpindah ke rumah mereka sendiri. Sebuah rumah yang mereka miliki atas pilihan dan bantuan dana dari ayah Gibran.

“Kamu suka dengan rumah kita?” tanya Gibran kemudian, di ruang tamu rumah mereka yang minimalis dan elegan.

Rasti pun tersenyum manis. “Ini adalah rumah yang kuimpi-impikan sejak dahulu,” jawabnya, sembari teringat pada rancangan rumah idaman yang dilukis mantan kekasihnya dahulu, seorang mahasiswa arsitektur, kala mereka berleha-leha di taman kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar