Setahun
lalu, Mirdan melewatkan kesempatan emas untuk menjadi seorang pegawai negeri di
lingkup pemerintahan ibu kota negara. Pada tahap seleksi bidang yang hanya
menyisakan tiga orang, ia memilih untuk tidak mengikui tes atas alasan sakit.
Padahal, jika memang mau, ia bisa saja memaksakan diri untuk sesaat, seperti
yang akan dilakukan para pendaftar yang lain.
Namun
di luar pengetahuan orang-orang, kala itu, Mirdan tidak benar-benar sakit. Ia
hanya mencari-cari alasan untuk tidak melanjutkan kompetisi yang telah ia mulai
dengan cara culas. Pada tahap seleksi berkas, ia telah menyertakan dokumen sertifikat
kecakapan berbahasa Inggris yang asli tapi palsu, sampai ia lolos pada
tahap-tahap selanjutnya.
Di
balik keputusannya untuk mundur dari seleksi, Mirdan tak sedikit pun merasa
rendah diri atas kapasitasnya. Saat kuliah, ia tergolong mahasiswa yang cerdas
dan aktif berorganisasi. Tetapi pada soal persyaratan administrasi, pada soal kecakapan
berbahasa Inggris yang kadang-kadang ia pikir tak berhubungan dengan
kerja-kerja pegawai nantinya, ia tak bisa apa-apa.
Mirdan
memang terlanjur menempuh jalan kecurangan, tetapi ia merasa lebih baik
terlambat untuk berhenti ketimbang tidak sama sekali. Ia takut menanggung beban
jika akhirnya ia dinyatakan lulus dan harus menjalani kehidupan yang ia peroleh
dengan cara yang salah. Ia takut jika akhirnya memperloleh gaji dan menggantungkan
hidup pada sesuatu yang haram.
Untuk
kesadaran soal prinsip “hanya dengan cara yang baik orang dapat memperoleh
hasil yang baik” yang kini ia tegakkan di sepanjang perjalanan, pikiran Mirdan pun
tak terbebani lagi oleh rasa bersalah. Ia merasa telah mengambil keputusan
penting di dalam hidupnya. Ia yakin, dengan cara yang baik, ia akan mendapatkan
pekerjaan yang baik pula.
Selain
soal cara yang salah, kemunduran Mirdan juga atas pertimbangan persahabatan dan
kemanusiaan. Belakangan waktu, ia tahu kalau salah satu pesaingnya di tes
bidang adalah seorang teman baiknya selama kuliah. Karena itulah, ia merasa
akan sangat biadab jika ia menjadi pemenang dan mengambil hak sahabat baiknya sendiri.
“Aku
tak tahu harus mengatakan apa,” kata Riki, sahabatnya, melalui saluran telepon,
pada satu waktu setelah ia dinyatakan lulus dalam seleksi dan ditetapkan
sebagai calon pegawai negeri.
“Kau
tak harus mengatakan apa-apa,” balas Mirdan. “Kau tahu sendiri, aku tak ikut tes
karena sakit”
“Ya.
Walaupun aku tahu juga, kau pasti mengalahkan aku jika saja kau ikut tes. Kau jelas
lebih hebat dariku,” timpal Riki.
Mirdan
mendengus, lalu tertawa pendek. “Jangan berkata begitu. Kau memang lebih pantas
mendapatkan posisi itu. Sejak awal, aku memang sudah kalah,” balas Mirdan,
memaksudkan rahasianya tentang dokumen illegal yang ia sertakan dalam seleksi
berkas.
Riki
pun tertawa pendek. “Baiklah kalau begitu,” katanya. “Aku hanya berharap, semoga
ke depan, jalanmu mulus, dan kau bisa menjadi abdi negara. Aku tahu, kau orang
baik, dan masalah pegawai negeri saat ini adalah soal integritas.”
Diam-diam,
Mirdan merasa tersinggung. “Amin!” pungkas Mirdan.
Obrolan
mereka pun berakhir dengan saling menguatkan harapan.
Dan
untuk memulai jalan yang baik, tahun ini, Mirdan pun bertekad untuk kembali
melamar menjadi calon begawai negeri setelah berhasil mendapatkan sertifikat kecakapan
berbahasa Inggris secara sah. Dan untuk tahun ini, ia berencana untuk kembali
melamar satu jabatan seperti tahun lalu demi sejawat dengan sahabat baiknya, tanpa
perlu melakoni cara-cara yang culas.
Namun
pagi ini, ketika ia mencari informasi di media sosial tentang lowongan yang
hendak ia lamar, ia pun terkejut setelah menemukan sebuah berita tentang Riki,
sahabat baiknya, yang dikabarkan tak jadi dilantik sebagai pegawai negeri setelah
kedapatan menjadi saluran kongkalikong pejabat dan pengusaha dalam sebuah aksi
korupsi.
Seketika,
Mirdan terenyuh menyaksikan akhir dari segala yang telah ia ikhlaskan kepada
sahabat baiknya sendiri. Namun pada sisi yang lain, ia seolah mendapatkan
dorongan yang besar untuk memenangkan seleksi tahun ini dan menjadi abdi negara
yang penuh integritas, sebagaimana tekadnya sejak awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar