Sabtu, 14 Desember 2019

Sangkar

Belantara hutan terlalu sempit bagi Rukas. Sebagai pemburu, hasratnya tak pernah surut untuk menjajaki belukar demi belukar. Rasa penasarannya tak juga berbatas untuk menguak rahasia-rahasia alam yang penuh kejutan. Dan hasilnya, ia selalu mendapatkan hewan buruan untuk dirinya sendiri atau untuk dijual kepada orang lain.
 
Sasaran utama Rukas adalah burung. Burung apa saja yang menarik dan bernilai ekonomi. Selain laku dibeli oleh para pencinta burung, hasil buruannya itu, juga menjadi penghias di teras rumahnya sendiri. Tak hanya sebagai pajangan, burung-burung peliharaannya itu, juga sering ia ikutkan dalam lomba-lomba berhadiah, dan sesekali mendapatkan juara.

Namun kegilaan Rukas pada burung, harus berakhir sebulan yang lalu. Ketika tengah melakukan aksi perburuan, tiba-tiba, polisi penjaga hutan datang dan menyergapnya. Ia tak bisa apa-apa selain pasrah dan menyerahkan diri. Hingga akhirnya, ia ditahan di dalam sel atas dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan perlindungan hewan langka.

Sebulan mendekam di dalam tahanan untuk menjalani proses hukum, Rukas merasa benar-benar tersiksa. Bukan karena hantaman fisik, tapi karena ia kehilangan kebebasan. Ia masih punya kaki, namun ia tak bisa ke mana-mana. Sedang sebagai seorang pemburu sejati yang gemar melanglang buana, jelas, berdiam diri adalah derita. 

Tetapi Rukas beruntung. Setelah menjalani proses pemeriksaan yang panjang, ia akhirnya dibebaskan dan hanya mendapatkan peringatan. Meski dianggap salah telah memasuki kawasan hutan lindung untuk berburu, namun aparat sama sekali tidak menemukan bukti bahwa Rukas telah memangsa burung-burung yang dikatagorikan langka dan dilindungi oleh aturan hukum.

Biarpun lepas dari jeratan hukum, Rukas sudah terlajur merasakan hukuman yang begitu berat bagi dirinya. Sebuah hukuman yang membuat ia sadar betapa berharganya arti sebuah kebebasan. Sampai akhirnya, ia terilhami untuk membenci segala ketidakbebasan, dan ia tak ingin jiwanya atau jiwa-jiwa yang lain merasakan hal itu lagi.

Maka setelah keluar dari tahanan, Rukas pun duduk termenung di teras depan rumahnya, sembari menimbang-nimbang nilai dari aksi perburuan yang telah ia lakukan selama ini. Dan untuk perenungan yang ia mulai sebulan yang lalu, akhirnya, ia mendapatkan kesimpulan yang tak sabar untuk segera ia ungkapkan kepada istinya.

“Bu, aku telah merasakan nikmatnya kebebasan menjelajahi bumi ini, dan aku pun telah merasakan pedihnya terkurung di balik jeruji,” tutur Rukas, sembari memandang burung-burung di atas teras rumahnya.

Sang istri yang tengah menuangkan kopi ke dalam gelas, sontak bertanya-tanya atas penuturannya. “Lalu kenapa, Pak?”

“Aku ingin melepas semua burung-burung kita!” ketusnya. 

Seketika saja, istrinya terkaget. Ia tak menyangka kalau Rukas rela meninggalkan hobi yang selama ini memberikan keuntungan ekomoni yang lumayan. “Bapak sudah gila?” tukasnya, lantas duduk dengan raut kesal. “Bapak kan sudah berkorban banyak untuk mendapatkan burung-burung itu. Masa dilepas begitu saja?”

Rukas menggeleng pelan. “Tapi pengorbanan yang telah kulakukan, tidak ada apa-apanya dibanding dosa-dosaku terhadap burung-burung itu, Bu,” sanggahnya dengan sikap biasa. “Bagaimana pun, habitat burung adalah seluas alam raya ini, dan aku telah memenjarakan mereka di dalam sangkar untuk waktu yang sangat lama.” Ia jeda melepas batuk. “Mereka seharusnya bebas ke mana pun mereka mau.”

“Tapi kan mereka itu binatang, Pak!” sanggah istrinya, tampak geregetan. “Bagaimana pun, maksud segala ciptaan yang ada di bumi ini, ya, untuk manusia. Kalau kita senang memelihara burung, ya, apa masalahnya? Toh, mereka juga kita beri makan.”

Rukas lalu menoleh kepada istrinya dengan tatapan yang sendu. “Lalu, mau Ibu bagaimana?”

“Ya, kalau memang Bapak tidak mau lagi memelihara burung, ya, jangan dilepaskan begitu saja dong. Ada baiknya kalau Bapak menjualnya ke orang lain,” jawab istinya dengan nada suara yang menurun.

Rukas mendengus. “Tapi kalau begitu, ya, sama saja, Bu. Orang yang membeli burung-burung itu, pasti akan mengurungnya di dalam sangkar, dan aku tak setuju dengan itu.”

Sang istri sontak melempar wajah ke arah burung. “Ya, itu pendapat Bapak. Bagi saya tak apa-apa. Yang penting kan bukan kita lagi yang mengurungnya, dan kita juga tidak rugi, ketimbang melepaskannya begitu saja.”

Merasa tak akan ada titik temu, Rukas berhenti membalas, dan perdebatan mereka pun berakhir.

Keesokan harinya, saat masih pagi, Rukas pun menurunkan semua sangkar yang menggantung di atas teras rumahnya. Sangkar-sangkar yang berjumlah lima belas itu kemudian ia susun di atas mobil bak terbuka miliknya.

Sontak, istrinya yang tak mendapatkan penjelasan apa-apa, segera datang menyelidik. “Mau dibawa ke mana burung-burungnya, Pak?” tanyanya dengan raut penuh curiga.

“Mau aku bawa ke pasar untuk dijual, Bu,” jawab Rukas dengan sikap biasa. “Aku kira, ini keputusan yang bisa kita setujui bersama-sama.”

Sang istri pun pasrah. “Baiklah kalau begitu. Terserah Bapak saja.”

Sesaat kemudian, Rukas berangkat. Namun pada pertigaan jalan, ia tak menganbil jalur yang mengarah ke pasar. Ia malah berbelok ke jalur yang menuju ke arah hutan, ke tempatnya melakukan perburuan hingga tertangkap penjaga hutan sebulan yang lalu. Ia ingin melepaskan burung-burung itu di habitat aslinya, dan ia punya uang tabungan yang cukup untuk mengelabui sang istri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar