Belantara
hutan terlalu sempit bagi Rukas. Sebagai pemburu, hasratnya tak pernah surut
untuk menjajaki belukar demi belukar. Rasa penasarannya tak juga berbatas untuk
menguak rahasia-rahasia alam yang penuh kejutan. Dan hasilnya, ia selalu mendapatkan
hewan buruan untuk dirinya sendiri atau untuk dijual kepada orang lain.
Sasaran
utama Rukas adalah burung. Burung apa saja yang menarik dan bernilai ekonomi.
Selain laku dibeli oleh para pencinta burung, hasil buruannya itu, juga menjadi
penghias di teras rumahnya sendiri. Tak hanya sebagai pajangan, burung-burung
peliharaannya itu, juga sering ia ikutkan dalam lomba-lomba berhadiah, dan
sesekali mendapatkan juara.
Namun
kegilaan Rukas pada burung, harus berakhir sebulan yang lalu. Ketika tengah
melakukan aksi perburuan, tiba-tiba, polisi penjaga hutan datang dan
menyergapnya. Ia tak bisa apa-apa selain pasrah dan menyerahkan diri. Hingga
akhirnya, ia ditahan di dalam sel atas dugaan tindak pidana yang berkaitan
dengan perlindungan hewan langka.
Sebulan
mendekam di dalam tahanan untuk menjalani proses hukum, Rukas merasa benar-benar
tersiksa. Bukan karena hantaman fisik, tapi karena ia kehilangan kebebasan. Ia
masih punya kaki, namun ia tak bisa ke mana-mana. Sedang sebagai seorang
pemburu sejati yang gemar melanglang buana, jelas, berdiam diri adalah derita.
Tetapi
Rukas beruntung. Setelah menjalani proses pemeriksaan yang panjang, ia akhirnya
dibebaskan dan hanya mendapatkan peringatan. Meski dianggap salah telah
memasuki kawasan hutan lindung untuk berburu, namun aparat sama sekali tidak
menemukan bukti bahwa Rukas telah memangsa burung-burung yang dikatagorikan
langka dan dilindungi oleh aturan hukum.
Biarpun
lepas dari jeratan hukum, Rukas sudah terlajur merasakan hukuman yang begitu
berat bagi dirinya. Sebuah hukuman yang membuat ia sadar betapa berharganya
arti sebuah kebebasan. Sampai akhirnya, ia terilhami untuk membenci segala ketidakbebasan,
dan ia tak ingin jiwanya atau jiwa-jiwa yang lain merasakan hal itu lagi.
Maka
setelah keluar dari tahanan, Rukas pun duduk termenung di teras depan rumahnya,
sembari menimbang-nimbang nilai dari aksi perburuan yang telah ia lakukan
selama ini. Dan untuk perenungan yang ia mulai sebulan yang lalu, akhirnya, ia
mendapatkan kesimpulan yang tak sabar untuk segera ia ungkapkan kepada istinya.
“Bu,
aku telah merasakan nikmatnya kebebasan menjelajahi bumi ini, dan aku pun telah
merasakan pedihnya terkurung di balik jeruji,” tutur Rukas, sembari memandang
burung-burung di atas teras rumahnya.
Sang
istri yang tengah menuangkan kopi ke dalam gelas, sontak bertanya-tanya atas
penuturannya. “Lalu kenapa, Pak?”
“Aku
ingin melepas semua burung-burung kita!” ketusnya.
Seketika
saja, istrinya terkaget. Ia tak menyangka kalau Rukas rela meninggalkan hobi yang
selama ini memberikan keuntungan ekomoni yang lumayan. “Bapak sudah gila?”
tukasnya, lantas duduk dengan raut kesal. “Bapak kan sudah berkorban banyak
untuk mendapatkan burung-burung itu. Masa dilepas begitu saja?”
Rukas
menggeleng pelan. “Tapi pengorbanan yang telah kulakukan, tidak ada apa-apanya
dibanding dosa-dosaku terhadap burung-burung itu, Bu,” sanggahnya dengan sikap
biasa. “Bagaimana pun, habitat burung adalah seluas alam raya ini, dan aku
telah memenjarakan mereka di dalam sangkar untuk waktu yang sangat lama.” Ia
jeda melepas batuk. “Mereka seharusnya bebas ke mana pun mereka mau.”
“Tapi
kan mereka itu binatang, Pak!” sanggah istrinya, tampak geregetan. “Bagaimana
pun, maksud segala ciptaan yang ada di bumi ini, ya, untuk manusia. Kalau kita
senang memelihara burung, ya, apa masalahnya? Toh, mereka juga kita beri makan.”
Rukas
lalu menoleh kepada istrinya dengan tatapan yang sendu. “Lalu, mau Ibu
bagaimana?”
“Ya,
kalau memang Bapak tidak mau lagi memelihara burung, ya, jangan dilepaskan
begitu saja dong. Ada baiknya kalau Bapak menjualnya ke orang lain,” jawab
istinya dengan nada suara yang menurun.
Rukas
mendengus. “Tapi kalau begitu, ya, sama saja, Bu. Orang yang membeli
burung-burung itu, pasti akan mengurungnya di dalam sangkar, dan aku tak setuju
dengan itu.”
Sang
istri sontak melempar wajah ke arah burung. “Ya, itu pendapat Bapak. Bagi saya
tak apa-apa. Yang penting kan bukan kita lagi yang mengurungnya, dan kita juga tidak
rugi, ketimbang melepaskannya begitu saja.”
Merasa
tak akan ada titik temu, Rukas berhenti membalas, dan perdebatan mereka pun
berakhir.
Keesokan
harinya, saat masih pagi, Rukas pun menurunkan semua sangkar yang menggantung
di atas teras rumahnya. Sangkar-sangkar yang berjumlah lima belas itu kemudian
ia susun di atas mobil bak terbuka miliknya.
Sontak,
istrinya yang tak mendapatkan penjelasan apa-apa, segera datang menyelidik.
“Mau dibawa ke mana burung-burungnya, Pak?” tanyanya dengan raut penuh curiga.
“Mau
aku bawa ke pasar untuk dijual, Bu,” jawab Rukas dengan sikap biasa. “Aku kira,
ini keputusan yang bisa kita setujui bersama-sama.”
Sang
istri pun pasrah. “Baiklah kalau begitu. Terserah Bapak saja.”
Sesaat
kemudian, Rukas berangkat. Namun pada pertigaan jalan, ia tak menganbil jalur
yang mengarah ke pasar. Ia malah berbelok ke jalur yang menuju ke arah hutan, ke
tempatnya melakukan perburuan hingga tertangkap penjaga hutan sebulan yang lalu.
Ia ingin melepaskan burung-burung itu di habitat aslinya, dan ia punya uang
tabungan yang cukup untuk mengelabui sang istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar