Aku
sungguh prihatin pada Rina, anak perempuanku yang baru saja menginjak usia
dewasa. Seminggu telah berlalu, tetapi ia masih saja mengurung diri di dalam kamar.
Aku, pun istriku, jadi bingung dan tak tahu harus bagaimana. Apalagi, kami tak
tahu perihal masalah yang tengah mendera perasaannya. Ia tak pernah bercerita,
dan kami pun tak pernah menyelidik.
Sampai
akhirnya, istriku mendapat bocoran informasi dari teman-teman Rina di sekolah. Kabarnya,
Rina telah ditinggal pergi begitu saja oleh seorang lelaki yang ia idam-idamkan, dan sang lelaki pun tampak mengidamkannya sejak awal. Bahkan kabarnya, ia dan si lelaki telah mengucap janji
untuk menjadi sepasang kekasih, dan akan setia selama-lamanya.
Untuk
meredam kemelut hatinya, sore ini, sepulang kerja, aku dan istriku menghadap
kepadanya. Kami berencana memberikan nasihat yang bisa membuatnya bangkit dari
keterpurukan. Kami tak ingin menunda-nunda hingga keadaannya semakin memburuk,
sampai ia tak sanggup kembali pada kehidupan nyata, sebagaimana terjadi pada
seorang perempuan yang kutahu pasti.
“Bersabarlah,
Nak. Kau masih terlalu muda untuk memusingkan soal cinta,” tutur istriku,
setelah kata-kata pengantar yang panjang.
Rina
bergeming. Pandangannya kosong.
Aku
tetap saja menahan kata dan membiarkan mereka berbincang dari hati ke hati
sebagai sesama perempuan. Aku rasa, lebih baik begitu.
“Aku
tahu bagaimana perasaanmu, Nak. Aku paham. Aku sudah melaluinya di masa lalu,”
kata istriku lagi, lantas mencoba memberikan bahan perbandingan, “Tapi aku pun
tahu, Nak, tak baik jika memperturut perasaan tanpa akal sehat. Kau harus bisa
membendungnya, seperti yang aku lakukan di masa mudaku.”
Rina
terdiam saja, seolah tak mendengar.
“Kau
mesti menyadari, banyak hal penting yang harus engkau gapai untuk masa depanmu
ketimbang larut dalam kesedihan yang berkepanjangan,” sambung istriku lagi,
seolah yakin kalau Rina mendengar dan hanya tak sanggup membalas.
Nyatanya,
Rina masih tak acuh.
“Kau
harus memahami, Nak, apa yang kau rasakan sekarang hanyalah cinta monyet yang
semu. Sebuah ikatan yang terjalin di atas ketidakseriusan dan permainan belaka,”
tutur istriku lagi, terdengar emosional.
“Kalau memang yang kau anggap cinta itu adalah cinta, kenapa dia meninggalkanmu
begitu saja? Kenapa dia membiarkanmu seperti ini?”
Tanpa
terduga, air mata Rina menetes.
Hatiku
pun tersentuh.
“Nak,
tak ada gunanya memikirkan seseorang yang memang tidak mencintaimu!” tandas
istriku.
Rina
pun tertunduk lesu.
Istriku
turut meneteskan air mata. “Cinta yang sesungguhnya itu seperti cinta Ibu dan
Ayahmu, Nak. Cinta yang diikat secara sungguh-sungguh dengan tali pernikahan,”
Aku
jadi terharu.
Hening
sesaat.
Dengan
langkah pelan, aku lantas mendekat Rina di tepi kasur. Aku lalu duduk dan mengusap-usap
rambutnya. “Betul kata Ibumu, Nak,” selaku, bermaksud menambahkan
nasihat-nasihat yang kira-kira berguna. “Aku ini laki-laki, dan aku tahu kalau
laki-laki yang mencintai seorang perempuan, hanyalah laki-laki yang benar-benar
menikahinya. Selain itu, tidak.”
Istriku
menoleh padaku sekilas dengan mata yang basah.
“Cinta
itu harus dibangun di atas kesamaan rasa, Nak, seperti aku mencintai Ibumu, dan
Ibumu mencintai aku,” kataku lagi, sebagaimana yang kupikirkan saja. “Yakinlah,
suatu saat, kau akan menemukan cintamu dengan sendirinya. Kau akan menikah
dengan seorang lelaki yang hanya ingin bersamamu sampai ajal menjemput, sebagaimana
aku terhadap Ibumu.”
Rina
yang masih saja tak berkata-kata, lantas merebahkan tubuhnya, seolah-olah ingin
menyendiri dan berdialog dengan hatinya saja.
Kami
pun beranjak keluar dari kamarnya, dan berharap ia segera membaik.
Seketika,
seutuh pikiranku kembali mengenangmu. Kembali mengenang tentang janjiku padamu.
Satu janji bahwa aku akan menikahimu. Sebuah pernikahan yang tak pernah terjadi
setelah aku memilih untuk menikah dengan seorang perempuan yang menjadi istriku
saat ini.
Dan sudah sejak lama, aku tahu bahwa kau tak pernah baik-baik saja
setelah aku pergi. Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, aku mendengar kabar bahwa kau tak sanggup lagi mempertahankan kewarasanmu
atas luka-luka yang kutorehkan, dan kau harus menjalani proses penyembuhan.
Aku
merasa berdosa padamu.
“Sekarang
Bapak tahu, karma itu benar-benar ada!” kata istriku dengan raut sedih, lalu
berpaling menyembunyikan kekalutannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar