Selasa, 10 Desember 2019

Anak Perempuan

Aku sungguh prihatin pada Rina, anak perempuanku yang baru saja menginjak usia dewasa. Seminggu telah berlalu, tetapi ia masih saja mengurung diri di dalam kamar. Aku, pun istriku, jadi bingung dan tak tahu harus bagaimana. Apalagi, kami tak tahu perihal masalah yang tengah mendera perasaannya. Ia tak pernah bercerita, dan kami pun tak pernah menyelidik.
 
Sampai akhirnya, istriku mendapat bocoran informasi dari teman-teman Rina di sekolah. Kabarnya, Rina telah ditinggal pergi begitu saja oleh seorang lelaki yang ia idam-idamkan, dan sang lelaki pun tampak mengidamkannya sejak awal. Bahkan kabarnya, ia dan si lelaki telah mengucap janji untuk menjadi sepasang kekasih, dan akan setia selama-lamanya.

Untuk meredam kemelut hatinya, sore ini, sepulang kerja, aku dan istriku menghadap kepadanya. Kami berencana memberikan nasihat yang bisa membuatnya bangkit dari keterpurukan. Kami tak ingin menunda-nunda hingga keadaannya semakin memburuk, sampai ia tak sanggup kembali pada kehidupan nyata, sebagaimana terjadi pada seorang perempuan yang kutahu pasti.

“Bersabarlah, Nak. Kau masih terlalu muda untuk memusingkan soal cinta,” tutur istriku, setelah kata-kata pengantar yang panjang.

Rina bergeming. Pandangannya kosong.

Aku tetap saja menahan kata dan membiarkan mereka berbincang dari hati ke hati sebagai sesama perempuan. Aku rasa, lebih baik begitu.

“Aku tahu bagaimana perasaanmu, Nak. Aku paham. Aku sudah melaluinya di masa lalu,” kata istriku lagi, lantas mencoba memberikan bahan perbandingan, “Tapi aku pun tahu, Nak, tak baik jika memperturut perasaan tanpa akal sehat. Kau harus bisa membendungnya, seperti yang aku lakukan di masa mudaku.”

Rina terdiam saja, seolah tak mendengar. 

“Kau mesti menyadari, banyak hal penting yang harus engkau gapai untuk masa depanmu ketimbang larut dalam kesedihan yang berkepanjangan,” sambung istriku lagi, seolah yakin kalau Rina mendengar dan hanya tak sanggup membalas.

Nyatanya, Rina masih tak acuh.

“Kau harus memahami, Nak, apa yang kau rasakan sekarang hanyalah cinta monyet yang semu. Sebuah ikatan yang terjalin di atas ketidakseriusan dan permainan belaka,” tutur istriku lagi, terdengar emosional. “Kalau memang yang kau anggap cinta itu adalah cinta, kenapa dia meninggalkanmu begitu saja? Kenapa dia membiarkanmu seperti ini?”

Tanpa terduga, air mata Rina menetes.

Hatiku pun tersentuh.

“Nak, tak ada gunanya memikirkan seseorang yang memang tidak mencintaimu!” tandas istriku.

Rina pun tertunduk lesu.

Istriku turut meneteskan air mata. “Cinta yang sesungguhnya itu seperti cinta Ibu dan Ayahmu, Nak. Cinta yang diikat secara sungguh-sungguh dengan tali pernikahan,”

Aku jadi terharu.

Hening sesaat.

Dengan langkah pelan, aku lantas mendekat Rina di tepi kasur. Aku lalu duduk dan mengusap-usap rambutnya. “Betul kata Ibumu, Nak,” selaku, bermaksud menambahkan nasihat-nasihat yang kira-kira berguna. “Aku ini laki-laki, dan aku tahu kalau laki-laki yang mencintai seorang perempuan, hanyalah laki-laki yang benar-benar menikahinya. Selain itu, tidak.”

Istriku menoleh padaku sekilas dengan mata yang basah.

“Cinta itu harus dibangun di atas kesamaan rasa, Nak, seperti aku mencintai Ibumu, dan Ibumu mencintai aku,” kataku lagi, sebagaimana yang kupikirkan saja. “Yakinlah, suatu saat, kau akan menemukan cintamu dengan sendirinya. Kau akan menikah dengan seorang lelaki yang hanya ingin bersamamu sampai ajal menjemput, sebagaimana aku terhadap Ibumu.”

Rina yang masih saja tak berkata-kata, lantas merebahkan tubuhnya, seolah-olah ingin menyendiri dan berdialog dengan hatinya saja.

Kami pun beranjak keluar dari kamarnya, dan berharap ia segera membaik.

Seketika, seutuh pikiranku kembali mengenangmu. Kembali mengenang tentang janjiku padamu. Satu janji bahwa aku akan menikahimu. Sebuah pernikahan yang tak pernah terjadi setelah aku memilih untuk menikah dengan seorang perempuan yang menjadi istriku saat ini.

Dan sudah sejak lama, aku tahu bahwa kau tak pernah baik-baik saja setelah aku pergi. Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, aku mendengar kabar bahwa kau tak sanggup lagi mempertahankan kewarasanmu atas luka-luka yang kutorehkan, dan kau harus menjalani proses penyembuhan.

Aku merasa berdosa padamu.

“Sekarang Bapak tahu, karma itu benar-benar ada!” kata istriku dengan raut sedih, lalu berpaling menyembunyikan kekalutannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar