Sejak
berangkat dari rumahnya dengan menumpang mobil sewa, Romlah, seorang janda
berumur 62 tahun, senantiasa memerhatikan setengah karung biji cokelat kering
miliknya. Ia tampak khawatir kalau-kalau hasil taninya itu lenyap digondol
maling. Apalagi ia telah bersusah payah mengumpulkan biji per biji buah kakao itu
dari kebunnya yang sempit.
Sesampainya
di pasar, Romlah pun menunjung biji cokelatnya ke sana-sini. Ia menyinggahi
setiap pedagang untuk mencari harga yang tepat. Ia melakukan perbandingan, dan
hanya akan melepas cokelatnya pada pedagang yang memasang harga tertinggi.
Apalagi, sebagai petani kecil, tentu saja ia tak ingin rugi di tengah permainan
harga para pedagang.
Sampai
akhirnya, pada pedagang yang kelima, Romlah pun menemukan kecocokan harga. Jika
empat pedagang sebelumnya mematok harga Rp. 22.000/kg, pedagang kelima sanggup
mematok harga Rp. 22.500/kg. Dan bagi Romlah, selisih itu sudah sangat berarti di
tengah ongkos tani yang meningkat akibat penyakit kakao yang beragam dan pelik.
Setelah
mengantongi uang hasil kerjanya, Romlah pun melangkah ke area pasar dengan wajah
berseri-seri. Ia senang telah mendapatkan keberuntungan dalam mencari bekal
penghidupan. Sampai akhirnya, di pesimpangan jalan, ia bertemu dengan
sekampungnya, Sima, yang baru saja keluar dari kios seorang pedagang sambil
menentang karung kosong.
Seketika,
Romlah tertarik berbagi pengalaman. “Habis jual cokelat, Bu?” tanya Romlah
dengan suara pelan.
Sima
yang tampak lebih muda setengah umur dari Romlah, tersenyum dan menjawab dengan
lemah lembut. “Iya, Bu. Saya jual setengah karung kecil untuk membeli keperluan
sehari-hari.”
Raut
wajah Romlah seketika berubah prihatin. “Aduh, kenapa jual di sini, Bu?
Harusnya jual di Pak Amin. Dia berani beli cokelat lebih mahal ketimbang di
sini,” tuturnya setengah berbisik, seolah memahami hukum rahasia dagang.
“Memangnya
dia pasang harga berapa per kilo?” tanya Sima dengan suara pelan.
“Rp.
22.5000!” bisik Romlah dengan nada penuh tekanan.
Seakan
menyesal, Sima mendengus pasrah, “Ya, tak apa-apalah, Bu. Mungkin memang bukan
rezekiku.”
Atas
rasa kasihannya, Romlah pun menepuk-nepuk lengan Sima. “Ya, sangat disayangkan,”
tuturnya dengan raut prihatin. “Tapi ini pelajaran, Bu. Sebagai petani, kita
tidak boleh dibodoh-bodohi para pedangang. Kita harus cerdas mencari harga yang
baik.”
Sima
pun tersenyum. “Itu benar, Bu. Memang harus begitu,” balasnya. “Tapi…,” Sima
tak sanggup merampungkan kalimatnya.
“Tapi
apa, Bu?” tanya Romlah.
Sima
menggeleng. “Tak apa-apa.”
“Baiklah
kalau begitu, aku pamit dulu, hendak ke pasar,” tutur Romlah, sembari
tersenyum.
Sima
mengangguk. “Baiklah, Bu.”
Dengan
raut yang masih menampakkan rasa senangnya, Romlah pun melangkah pergi.
Perlahan-lahan,
Sima balik memandang prihatin pada Romlah. Berdasarkan pengalaman, ia yakin
betul kalau perempuan yang hidup sebatang kara itu baru saja terkena jebakan
timbangan culas yang dipasang Pak Amin. Namun setelah menimbang-bimbang, ia
memutuskan untuk tidak berkata jujur demi menjaga kebahagiaan perempuan tua itu
hari ini. Mungkin pada kesempatan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar