Selasa, 10 Desember 2019

Nilai Bahagia

Sejak berangkat dari rumahnya dengan menumpang mobil sewa, Romlah, seorang janda berumur 62 tahun, senantiasa memerhatikan setengah karung biji cokelat kering miliknya. Ia tampak khawatir kalau-kalau hasil taninya itu lenyap digondol maling. Apalagi ia telah bersusah payah mengumpulkan biji per biji buah kakao itu dari kebunnya yang sempit.
 
Sesampainya di pasar, Romlah pun menunjung biji cokelatnya ke sana-sini. Ia menyinggahi setiap pedagang untuk mencari harga yang tepat. Ia melakukan perbandingan, dan hanya akan melepas cokelatnya pada pedagang yang memasang harga tertinggi. Apalagi, sebagai petani kecil, tentu saja ia tak ingin rugi di tengah permainan harga para pedagang.

Sampai akhirnya, pada pedagang yang kelima, Romlah pun menemukan kecocokan harga. Jika empat pedagang sebelumnya mematok harga Rp. 22.000/kg, pedagang kelima sanggup mematok harga Rp. 22.500/kg. Dan bagi Romlah, selisih itu sudah sangat berarti di tengah ongkos tani yang meningkat akibat penyakit kakao yang beragam dan pelik.

Setelah mengantongi uang hasil kerjanya, Romlah pun melangkah ke area pasar dengan wajah berseri-seri. Ia senang telah mendapatkan keberuntungan dalam mencari bekal penghidupan. Sampai akhirnya, di pesimpangan jalan, ia bertemu dengan sekampungnya, Sima, yang baru saja keluar dari kios seorang pedagang sambil menentang karung kosong. 

Seketika, Romlah tertarik berbagi pengalaman. “Habis jual cokelat, Bu?” tanya Romlah dengan suara pelan. 

Sima yang tampak lebih muda setengah umur dari Romlah, tersenyum dan menjawab dengan lemah lembut. “Iya, Bu. Saya jual setengah karung kecil untuk membeli keperluan sehari-hari.”

Raut wajah Romlah seketika berubah prihatin. “Aduh, kenapa jual di sini, Bu? Harusnya jual di Pak Amin. Dia berani beli cokelat lebih mahal ketimbang di sini,” tuturnya setengah berbisik, seolah memahami hukum rahasia dagang.

“Memangnya dia pasang harga berapa per kilo?” tanya Sima dengan suara pelan.

“Rp. 22.5000!” bisik Romlah dengan nada penuh tekanan.

Seakan menyesal, Sima mendengus pasrah, “Ya, tak apa-apalah, Bu. Mungkin memang bukan rezekiku.”

Atas rasa kasihannya, Romlah pun menepuk-nepuk lengan Sima. “Ya, sangat disayangkan,” tuturnya dengan raut prihatin. “Tapi ini pelajaran, Bu. Sebagai petani, kita tidak boleh dibodoh-bodohi para pedangang. Kita harus cerdas mencari harga yang baik.”

Sima pun tersenyum. “Itu benar, Bu. Memang harus begitu,” balasnya. “Tapi…,” Sima tak sanggup merampungkan kalimatnya.

“Tapi apa, Bu?” tanya Romlah.

Sima menggeleng. “Tak apa-apa.”

“Baiklah kalau begitu, aku pamit dulu, hendak ke pasar,” tutur Romlah, sembari tersenyum.

Sima mengangguk. “Baiklah, Bu.”

Dengan raut yang masih menampakkan rasa senangnya, Romlah pun melangkah pergi.

Perlahan-lahan, Sima balik memandang prihatin pada Romlah. Berdasarkan pengalaman, ia yakin betul kalau perempuan yang hidup sebatang kara itu baru saja terkena jebakan timbangan culas yang dipasang Pak Amin. Namun setelah menimbang-bimbang, ia memutuskan untuk tidak berkata jujur demi menjaga kebahagiaan perempuan tua itu hari ini. Mungkin pada kesempatan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar