Tatkala
kegaduhan akibat perilaku Zaskia Gotik yang menghina lambing negara belum
berakhir, anggota DPR yang digelari “yang terhormat” malah membuat kegaduhan
baru. Peristiwa bersejarah nan memalukan itu terjadi ketika Zaskia menghadiri talkshow Sosialisasi Empat Pilar di
Kompleks Parleman Senayan, Jakarta, (7/4), yang mengangkat tema: Pancasila
Hidup Kita. Kegiatan itu digagas Fraksi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dengan mengajak para pekerja seni. Pada saat itulah, Pimpinan Fraksi PKB di MPR
RI Abdul Kadir Karding memberikan gelar Duta Pancasila kepada Zaskia. Sehari
setelahnya, Zaskia juga dikukuhkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai Dokter
Klinik Pancasila.
Peristiwa
pengangkatan Duta Pancasila itu tentu tak boleh dianggap angin lalu, melainkan
harus dikritisi demi menjaga muruah Pancasila. Harga diri kita sebagai bangsa
yang besar, jelas dilecehkan dengan sederet tindakan tak berperikebangsaan.
Mirisnya lagi, kejadian memalukan itu malah dipelopori oleh para pejabat negara
yang notabene didaulat untuk mewakili aspirasi segenap lapisan bangsa Indonesia.
Kalau kejadian semacam itu dianggap biasa, yaitu ketika anak bangsa Indonesia
sendiri tak menghargai bahkan menghina lambang negara yang menyimbolkan
sila-sila Pancasila, maka sungguh telah hilang martabat kita sebagai bangsa.
Untuk itu, tak usah berkhayal jadi bangsa yang besar di mata dunia, jika
demikian.
Persoalan
penghinaan lambang negara seharusnya tak boleh dianggap sepele. Sebuah lambang
negara seyogianya menjadi pegangan dan kebanggaan kita sebagai bangsa. Terlebih,
lambang negara merupakan simbol yang menyiratkan nilai-nilai kebangsaan secara
mendalam, yang berakar dari sejarah perjuangan bangsa. Di lambang itulah, kita
sebagai bangsa yang plural mengikatkan diri sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Belum
lagi jika mengingat betapa panjang perjuangan para pendahulu bangsa untuk merebut
kemerdekaan dan menciptakan masterpiece semisal
Pancasila dan lambang negara berupa Burung Garuda. Mereka telah mengorbankan segenap
jiwa dan raga demi kita sebagai bangsa. Tentu tak pantaslah jika sepeninggal
mereka, Pancasila dan lambang negara hanya dijadikan sekadar simbol yang tiada
artinya, apalagi “diremehkan”. Sungguh kita adalah bangsa yang lupa diri dan
tak tahu malu, jika demikian.
Penobatan
Zaskia sebagai Duta Pancasila, sungguh menggalaukan. Apalagi proses hukum
terkait sangkaan penghinaan lambang negara yang ia lakukan, masih berkutat di
jajaran penyidik Polda Metro Jaya. Ujup-ujup, ia malah didaulat sebagai Duta
Pancasila. Entah di mana muka kita sebagai bangsa ditaruh, jika ke depan, Sang
Duta Pancasila itu malah dinyatakan bersalah secara hukum karena menghina
lambang negara. Jika nanti demikian,
tentu jiwa kebangsaan kita akan ternodai.
Bukan
berarti nada penolakan atas dinobatkannya Zaskia sebagai Duta Pancasila
menyalahi asas praduga tak bersalah, sebab secara hukum, bisa saja perbuatannya
tak memenuhi unsur perbuatan pidana sebagaimana rumusan aturan positif,
sehingga ia dinyatakan tak bersalah secara hukum. Belum lagi jika kita
menggunakan tafsir gramatikal atas pasal yang disangkakan kepadanya, yaitu
Pasal 154a KUHP. Untuk dapat dipidananya seseorang, pasal tersebut menyatakan: barang siapa menodai bendera kebangsaan
Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan
pidana….
Tafsir
kata “menodai” di Pasal 154a KUHP tentu membutuhkan penafsiran dan kajian
mendalam, tentang bagaimana dan dalam bentuk apa sebuah perbuatan bisa
dikategorikan menodai. Tapi setidaknya, menurut tafsir R. Soesilo (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP]: 1995), menodai ialah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menghina.
Pasal
sangkaan lain adalah Pasal 68 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaaan. Pasal tersebut mensyaratkan beberapa
unsur pidana untuk dapat berlakunya sanksi pidana, sebagaimana bunyinya: setiap orang yang mencoret, menulisi,
menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina,
atau merendahkan kehormatan Lambang Negara… dipidana dengan….
Ketentuan
Pasal 68 UU No. 24/2009 di atas menekankan pada perlakuan tak senonoh terhadap lambang
negara secara fisik, bukan verbal. Sedangkan yang terjadi pada kasus Zaskia
adalah tindakan verbal. Ditambah lagi, untuk dapat dipidananya seseorang, tidak
hanya mengharuskan terpenuhinya unsur actus
reus (perbuatan), tetapi juga unsur mens
rea (sikap batin). Oleh karena itu, jika pun unsur perbuatan dalam bentuk
tindakan tercela terpenuhi, tetapi karena unsur kesalahan tak terpenuhi akibat tak
ada maksud untuk mencela, maka seseorang tersebut tak dapat dipidana.
Tanpa
maksud mendahului proses hukum, namun melihat dari dua kemungkinan pasal yang
menjeratnya, jelas bahwa Pasal 154a KUHP lebih memungkinkan karena tidak
membuat klausul tertutup bagi unsur-unsur perbuatannya. Meski begitu, jika
menilik asas peraturan perundang-undangan, maka ketentuan UU 24/2009 lebih tepat
digunakan, karena aturan tersebut lebih baru dan secara khusus memang diadakan
untuk mengakomodir pengaturan identitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,
serta perlindungannya. Untuk itu, putusan akhir dan nasib Zaskia atas kasus
ini, tentu harus merujuk pada putusan pengadilan yang in kracht.
Belum
atau tidak adanya keputusan in kracht bahwa
Zaskia bersalah, bukan berari bahwa ia layak dan beralasan untuk diangkat jadi
Duta Pancasila. Setidaknya, menurut etika berbangsa, dia jelas tak layak
menyandang kedudukan itu. Kelakar tak senonohnya di stasiun TV swasta yang
disiarkan secara langsung itu, jelas perbuatan yang seharusnya tidak boleh
terjadi.
Sikap
tak terpuji Zaskia sulit dikatakan tak disengaja. Alasannya, sebagai warga
negara yang memperingati hari kemerdekaan setiap tahunnya sebagai peringatan Hari
Proklamasi Kemerdekaan, tentu teringat jelas bahwa hari bersejarah itu jatuh
pada tangggal 17 Agustus. Tapi bagi Zaskia, hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada
tanggal 32 Agustus, padahal penanggalan masehi saja maksimal sampai tanggal 31
per bulannya. Juga pernyataannya bahwa lambang sila kelima Pancaila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, adalah bebek nungging. Sulit menghilangkan kesan bahwa jawaban tersebut
adalah kesengajaan Si Pemilik Goyang Itik itu. Sebuah tindakan enteng untuk menjadikan
lambang negara sebagai bahan candaan, kalau tak mau dikatakan objek “pelecehkan”.
Jika
merefleksikannya pribadi dan sikap Zaskia terhadap Pancasila dan lambang
negara, sebagai bangsa yang masih “merasa memiliki”, tentu pertanyaan tak
berujung akan muncul di benak kita, yang menegaskan bahwa Zaskia tak pantaslah
dinobatkan sebagai Duta Pancasila. Bagaimana mungkin, seseorang yang menghina,
atau paling tidak terkesan mengolok-olok Pancasila, dianggap punya kapasitas
sebagai Duta Pancasila.
Kualitas
pribadi seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk mengangkat seseorang
sebagai Duta Pancasila. Bukan saja dari segi pengetahuannya terkait sejarah dan
substansi pancasila dan lambang negara, tetapi juga bagaimana ia mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan kesehariannya. Duta Pancasila seharusnya seorang
pribadi yang dapat diteladani anak bangsa dalam memaknai dan menjunjung tinggi
Pancasila.
Lewat
tulisan ini, Penulis berusaha mewakili hati nurani bangsa yang merasa tidak
diwakili lagi oleh para pengemban kedaulatan rakyat, yaitu mereka yang telah
lupa daratan. Penulis mencoba berdiri di posisi seharusnya, yang diabaikan oleh
para “penyambung lidah rakyat”. Mencoba melakukan kritik pada mereka yang goyah
idealisme kerakyatan dan kebangsaannya kala berhadapan dengan selebriti, atau
kala disorot gemerlapnya kamera media yang menawarkan popularitas dan
pencitraan. Harapannya, kejadian memalukan dan kekecewaan rakyat atas para wakilnya
tak lagi berlanjut, sehingga tak terus menggilas martabat lembaga negara akibat
perilaku kolot dan latah segelintir oknum pejabat.
Lewat
tulisan ini, tak ada maksud untuk mengklaim seseorang lebih memahami dan
menjunjung tinggi pancasila, sedangkan yang lainnya dianggap tak pancasilais
sama sekali. Siapalah yang lebih tahu dan lebih berhak menghakimi. Tujuan
tulisan ini hanya ingin menegaskan bahwa Pancasila bukanlah objek “permainan”.
Untuk itu, tak pantaslah seseorang –entah dia paham dan mengamalkan Pancasila
atau tidak- yang setidaknya tak menghormati dan menghargai Pancasila untuk
didaulat sebagai Duta Pancasila.
Jangan
sampailah sederet kejadian “pelecehan” identitas kebangsaan dan kenegaraan ini dianggap
biasa saja, sehingga menjadi contoh buruk yang malah ditiru demi mencari “nama
dan kedudukan” secara instan. Tatkala kebaikan telah dianggap benar jika
digapai dengan cara yang buruk semacam itu, sungguh memiriskan. Tungguhlah
kehancuran bangsa ini akan tiba, jika demikian. Untuk itu, demi dan atas nama
bangsa Indonesia, dengan ini, menggugat penobatan Zaskia Gotik sebagai Duta
Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar