Setelah
melalui masa-masa menganggur yang sangat menjemukan, akhirnya Hasrin berhasil
juga mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko. Meski itu bukanlah perkerjaan
yang ia idam-idamkan, ia tetap menjalaninya sebagai rutinitas yang berguna
untuk sementara waktu. Atau paling tidak, ia tak lagi menggantungkan kehidupannya
dari hasil jerih payah orang tuanya di kampung.
Dan
saat ini, sampailah Hasrin pada hari yang ia tunggu-tunggu sejak hari pertama
ia bekerja. Sudah sebulan berlalu, dan gaji pertama akan ia terima sebagai
karyawan baru. Walaupun tak menerima gaji penuh seperti karyawan tetap, ia
sudah merasa sangat senang. Setidaknya, ia akan bisa mengisi perut dari hasil
keringatnya sendiri.
Setelah
menerima seamplop gaji dari bendahara perusahaan dengan perasaan yang
mendebarkan, kini, Harsin pun bingung tentang apa yang harus ia lakukan dengan
gaji pertama yang sangat mengesankan itu. Hingga perlahan-lahan, wajah orang-orang
yang berperan penting di dalam kehidupannya pun bermunculan dan terbayang silih
berganti.
Namun
atas gaji yang terhitung rendah, Hasrin merasa perlu menetapkan prioritas
tentang siapa yang sepatutnya ia senangkan atas gaji pertamanya itu. Ia terus menimbang
secara baik-baik karena ia pun tak sudi menghabiskan gaji pertamanya untuk
membalas budi semua orang terdekatnya saat ini juga. Apalagi, ia punya keinginan
untuk memanjakan dirinya sendiri.
Terpaksa,
untuk sebagian gaji yang hendak ia sisihkan, Hasrin pun melakukan seleksi dan
eliminasi. Ia menimbang orang tuanya, dan ia merasa kalau mereka yang hidup
berkecukupan tidaklah membutuhkan uang dari dirinya. Ia menimbang sababatnya,
dan ia merasa kalau mereka terlalu banyak dan terlalu boros.
Akhirnya,
pilihan Hasrin jatuh pada kekasihnya, Mila. Ia merasa sepatutnya menyisihkan gaji
pertamanya untuk sang pujaan hati. Apalagi, ia memang terlanjur banyak bercerita
tentang kehidupannya kini kepada sang kekasih, sampai terucap janji untuk
melakoni jamuan yang spesial setelah ia menerima gaji pertama.
Atas
hasrat yang menggebu, maka setelah jam pulang kantor tiba di sore ini, Hasrin
pun bergegas pulang. Ia hendak mempersiapkan diri untuk perjamuan yang romantis
malam nanti. Hingga akhirnya, lima belas menit kemudian, ia pun sampai di teras
indekosnya sembari membawa sebagain gaji pertamanya setelah ia memasukkan sebagiannya
lagi ke dalam tabungan bank.
Setelah
memarkirkan sepeda motor, Hasrin pun bergegas masuk ke dalam kamar indekosnya tanpa
menjumpai Bido, teman sekamarnya. Tanpa berleha-leha, ia pun lekas memulai
persiapan untuk menyambut malam spesial dengan sang kekasih. Ia cepat-cepat menanggalkan
segenap atribut kantornya dan segera membasuh badan.
Selepas
mandi, Hasrin pun tiba di ruang kamar saat Bido telah sampai terlebih dahulu. Tak
seperti biasa, Bido tampak tidak berselera menyapa dirinya dengan sepatah kata
pun. Namun ia tak mau ambil pusing dengan masalah pribadi sahabatnya itu, dan
ia fokus saja untuk membenahi penampilan dirinya sebelum bertemu dengan sang
kekasih beberapa saat lagi.
Hingga
akhirnya, kesialan pun datang. Setelah persiapannya mantap dan hendak
berangkat, Hasrin malah kehilangan seamplop sebagian gaji pertamanya yang sore
tadi ia simpan di dalam saku celananya selepas dari ATM. Sontak saja, ia jadi
kelimpungan. Ia pun segera memeriksa segenap sisi ruang kamar, hingga menelusuri
ulang jejak pulangnya di antara bank dan ATM.
Nahas,
pencariannya tidak berhasil.
Sesaat
kemudian, ia pun kembali ke dalam kamar dengan perasaan kalut. Sebagian gaji
pertamanya hilang, dan ia terancam kehilangan kekasih karena melanggar janji. Uang
itu hilang, dan ia tak tahu harus menemukannya di mana. Uang itu hilang, dan ia
belum juga sempat menyenangkan satu pun orang terdekatnya.
Persoalan
semakin rumit sebab Hasrin tak sanggup meminta pendapat Bido yang tampak kurang
ramah setelah kehilangan pekerjaan di sebuah perusahaan. Kerumitan sesungguhnya
terjadi kerena Hasrin enggan meminta pendapat Bido sebab ia berutang kepada
sahabatnya itu, dan ia telah pura-pura lupa dalam waktu yang lama. Ia merasa
akan sangat aneh ketika ia mengaku tengah kehilangan sejumlah uang dengan nilai
yang melebihi nilai utangnya.
“Ada
apa? Sepertinya kau punya masalah besar?” tanya Bido yang sedari tadi tampak
bermasa bodoh.
Hasrin
menggeleng. “Tidak ada apa-apa.”
“Kalau
tidak ada masalah, kenapa kau lalu-lalang seperi orang gila?”
Sekali
lagi, Hasrin mengelak, “Aku kehilangan kunci motorku, dan aku telah
menemukannya di teras depan.”
Dengan
sikap biasa, Bido mengangguk-angguk saja, seolah menerima jawaban itu sebagai
kebenaran yang tidak patut lagi dipertanyakan.
Mereka
kemudian saling mendiamkan.
Tiba-tiba,
telepon genggam Hasrin berdering. Ia pun menerima sumpah serapah dari sang
kekasih yang mendongkol karena ia tak kunjung menjemput.
Untuk
beberapa saat, Hasrin dan Bido kembali menjeda tanpa kata.
Sampai
akhirnya, Bido pun membuka suara atas penampilan Hasrin yang begitu rapi namun
tak juga beranjak pergi, “Kau tak jadi keluar?”
Hasrin
mengangguk lemas. “Tidak jadi.”
“Tidak
jadi kenapa? Kamu kehabisan bensin lagi?”
Hasrin
kembali mengangguk.
“Bido
lalu mengeluarkan isi dompetnya, kemudian menyerahkan selembar uang Rp. 50.000 yang
tampak baru.
Hasrin
menerima dengan wajah lesu.
“Masih
kurang?” tanya Bido.
Hasrin
menganguk lagi.
Bido
lalu menambahkan tiga lembar uang Rp. 50.000.
Hasrin
pun menerima sodoran Bido dengan perasaan yang penuh terima kasih, “Hitung saja
dengan utang-utangku yang dahulu,” katanya, penuh keseganan.
Bido
mendengus. “Jangan pikirkan itu. Anggap saja semua utangmu lunas. Anggap saja
aku sedang berderma untuk seseorang yang memang membutuhkan. Seperi yang
kau bilang, kau belum punya pekerjaan
sampai saat ini, dan aku paham keadaanmu.”
Hasrin
tersentuh. “Terima kasih kalau begitu. Tapi suatu saat, aku pasti akan
membalasnya.”
Bido
mengangguk pelan.
Hasrin
pun bergegas ke luar teras dengan tanya-tanya atas sikap Bido yang tiba-tiba
menjadi sangat dermawan. Lebih dermawan dari biasanya. Tapi lagi-lagi, ia tak
ingin ambil pusing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar