Sabtu, 07 Desember 2019

Gaji Pertama

Setelah melalui masa-masa menganggur yang sangat menjemukan, akhirnya Hasrin berhasil juga mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko. Meski itu bukanlah perkerjaan yang ia idam-idamkan, ia tetap menjalaninya sebagai rutinitas yang berguna untuk sementara waktu. Atau paling tidak, ia tak lagi menggantungkan kehidupannya dari hasil jerih payah orang tuanya di kampung.
 
Dan saat ini, sampailah Hasrin pada hari yang ia tunggu-tunggu sejak hari pertama ia bekerja. Sudah sebulan berlalu, dan gaji pertama akan ia terima sebagai karyawan baru. Walaupun tak menerima gaji penuh seperti karyawan tetap, ia sudah merasa sangat senang. Setidaknya, ia akan bisa mengisi perut dari hasil keringatnya sendiri.

Setelah menerima seamplop gaji dari bendahara perusahaan dengan perasaan yang mendebarkan, kini, Harsin pun bingung tentang apa yang harus ia lakukan dengan gaji pertama yang sangat mengesankan itu. Hingga perlahan-lahan, wajah orang-orang yang berperan penting di dalam kehidupannya pun bermunculan dan terbayang silih berganti.

Namun atas gaji yang terhitung rendah, Hasrin merasa perlu menetapkan prioritas tentang siapa yang sepatutnya ia senangkan atas gaji pertamanya itu. Ia terus menimbang secara baik-baik karena ia pun tak sudi menghabiskan gaji pertamanya untuk membalas budi semua orang terdekatnya saat ini juga. Apalagi, ia punya keinginan untuk memanjakan dirinya sendiri.

Terpaksa, untuk sebagian gaji yang hendak ia sisihkan, Hasrin pun melakukan seleksi dan eliminasi. Ia menimbang orang tuanya, dan ia merasa kalau mereka yang hidup berkecukupan tidaklah membutuhkan uang dari dirinya. Ia menimbang sababatnya, dan ia merasa kalau mereka terlalu banyak dan terlalu boros.

Akhirnya, pilihan Hasrin jatuh pada kekasihnya, Mila. Ia merasa sepatutnya menyisihkan gaji pertamanya untuk sang pujaan hati. Apalagi, ia memang terlanjur banyak bercerita tentang kehidupannya kini kepada sang kekasih, sampai terucap janji untuk melakoni jamuan yang spesial setelah ia menerima gaji pertama. 

Atas hasrat yang menggebu, maka setelah jam pulang kantor tiba di sore ini, Hasrin pun bergegas pulang. Ia hendak mempersiapkan diri untuk perjamuan yang romantis malam nanti. Hingga akhirnya, lima belas menit kemudian, ia pun sampai di teras indekosnya sembari membawa sebagain gaji pertamanya setelah ia memasukkan sebagiannya lagi ke dalam tabungan bank.

Setelah memarkirkan sepeda motor, Hasrin pun bergegas masuk ke dalam kamar indekosnya tanpa menjumpai Bido, teman sekamarnya. Tanpa berleha-leha, ia pun lekas memulai persiapan untuk menyambut malam spesial dengan sang kekasih. Ia cepat-cepat menanggalkan segenap atribut kantornya dan segera membasuh badan.

Selepas mandi, Hasrin pun tiba di ruang kamar saat Bido telah sampai terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Bido tampak tidak berselera menyapa dirinya dengan sepatah kata pun. Namun ia tak mau ambil pusing dengan masalah pribadi sahabatnya itu, dan ia fokus saja untuk membenahi penampilan dirinya sebelum bertemu dengan sang kekasih beberapa saat lagi.

Hingga akhirnya, kesialan pun datang. Setelah persiapannya mantap dan hendak berangkat, Hasrin malah kehilangan seamplop sebagian gaji pertamanya yang sore tadi ia simpan di dalam saku celananya selepas dari ATM. Sontak saja, ia jadi kelimpungan. Ia pun segera memeriksa segenap sisi ruang kamar, hingga menelusuri ulang jejak pulangnya di antara bank dan ATM.

Nahas, pencariannya tidak berhasil.

Sesaat kemudian, ia pun kembali ke dalam kamar dengan perasaan kalut. Sebagian gaji pertamanya hilang, dan ia terancam kehilangan kekasih karena melanggar janji. Uang itu hilang, dan ia tak tahu harus menemukannya di mana. Uang itu hilang, dan ia belum juga sempat menyenangkan satu pun orang terdekatnya.

Persoalan semakin rumit sebab Hasrin tak sanggup meminta pendapat Bido yang tampak kurang ramah setelah kehilangan pekerjaan di sebuah perusahaan. Kerumitan sesungguhnya terjadi kerena Hasrin enggan meminta pendapat Bido sebab ia berutang kepada sahabatnya itu, dan ia telah pura-pura lupa dalam waktu yang lama. Ia merasa akan sangat aneh ketika ia mengaku tengah kehilangan sejumlah uang dengan nilai yang melebihi nilai utangnya.

“Ada apa? Sepertinya kau punya masalah besar?” tanya Bido yang sedari tadi tampak bermasa bodoh.

Hasrin menggeleng. “Tidak ada apa-apa.”

“Kalau tidak ada masalah, kenapa kau lalu-lalang seperi orang gila?”

Sekali lagi, Hasrin mengelak, “Aku kehilangan kunci motorku, dan aku telah menemukannya di teras depan.”

Dengan sikap biasa, Bido mengangguk-angguk saja, seolah menerima jawaban itu sebagai kebenaran yang tidak patut lagi dipertanyakan.

Mereka kemudian saling mendiamkan.

Tiba-tiba, telepon genggam Hasrin berdering. Ia pun menerima sumpah serapah dari sang kekasih yang mendongkol karena ia tak kunjung menjemput.

Untuk beberapa saat, Hasrin dan Bido kembali menjeda tanpa kata.

Sampai akhirnya, Bido pun membuka suara atas penampilan Hasrin yang begitu rapi namun tak juga beranjak pergi, “Kau tak jadi keluar?”

Hasrin mengangguk lemas. “Tidak jadi.”

“Tidak jadi kenapa? Kamu kehabisan bensin lagi?”

Hasrin kembali mengangguk.

“Bido lalu mengeluarkan isi dompetnya, kemudian menyerahkan selembar uang Rp. 50.000 yang tampak baru.

Hasrin menerima dengan wajah lesu.

“Masih kurang?” tanya Bido.

Hasrin menganguk lagi.

Bido lalu menambahkan tiga lembar uang Rp. 50.000.

Hasrin pun menerima sodoran Bido dengan perasaan yang penuh terima kasih, “Hitung saja dengan utang-utangku yang dahulu,” katanya, penuh keseganan.

Bido mendengus. “Jangan pikirkan itu. Anggap saja semua utangmu lunas. Anggap saja aku sedang berderma untuk seseorang yang memang membutuhkan. Seperi yang kau  bilang, kau belum punya pekerjaan sampai saat ini, dan aku paham keadaanmu.”

Hasrin tersentuh. “Terima kasih kalau begitu. Tapi suatu saat, aku pasti akan membalasnya.”

Bido mengangguk pelan.

Hasrin pun bergegas ke luar teras dengan tanya-tanya atas sikap Bido yang tiba-tiba menjadi sangat dermawan. Lebih dermawan dari biasanya. Tapi lagi-lagi, ia tak ingin ambil pusing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar