Kau
hadir tanpa perasaan. Datang membawa beban, lalu pergi tanpa rasa bersalah. Kau
robot! Sulit bagimu memahami tanda tanya dariku yang beraninya membisu.
Seharusnya cukup kau sadari kejanggalan sikapku. Andai kau peka, hitung saja
betapa seringnya kupaksakan duduk di depan kursi favoritmu saat di
perpustakaan, tempatmu biasanya tertunduk menyorot buku. Atau kenapa seringnya
kelas mata kuliah pilihanmu sama denganku. Tidakkah keganjilan itu aneh bagimu,
seaneh perasaan tak terartikan darinya berasal? Cobalah masuk dalam
ketidakwarasanku, sadarlah, rekahkan senyummu padaku. Setelah itu, cukup iyakan
saja pintaku, lalu masuklah ke dalam bangunan surga anganku.
Lagi-lagi
akhirnya, risaunya penantian panjang memaksaku terbangun sendiri. Nyatanya,
kita hanya saling mendiamkan. Selama tanda tanya masih tersangkut di balik
kerongkonganku, kepastian tentang perasaan itu pun masih mustahil.
Hidup
memang penuh kemunafikan. Terkadang terpaksa jujur, seringnya berdusta. Seperti
aku saat sebisa mungkin terlihat cuek, padahal menyorot keluguan wajah manismu.
Sejujurnya kupuji manisnya lengkungan pipimu yang timbul tenggelam, tapi pasti
kutampakkan sikap tak acuh. Ya, kau sering tersenyum sejenak dan sekadarnya
kala serius membaca komik di perpustakaan. Bodohku, ketika tingkahmu memberiku
alasan memulai percakapan, lidahku selalu kelu. Ujung-ujungnya kulontarkan
pertanyaan klasik, “Besok kita sekelas kan?” Itulah pertanyaan pelarian dan
favoritku tiap kali di penghujung pertemuan. Sejujurnya tak kubutuhkan
jawabanmu. Maksudku hanya memastikan besok kau datang kuliah dan kita
dipertemukan di ruang itu lagi. Rugilah kubodohi diriku, pura-pura memandangi kosong
buku, sembari menantimu. Tapi sampai pintu digembok, kau tak juga muncul.
Kusengaja juga tak meminta semua jadwal kuliahmu. Takutku jika mati kutu
berhadapan denganmu, sedangkan pertanyaan itu tak berlaku lagi.
Gilaku
mungkin tak menemukan titik waras. Sebabnya hanya satu, rasa unik yang kupendam
terhadapmu. Tak ingin kunamakan itu cinta, sebab maknanya telah bergeser,
terkesan murahan. Mungkin tepatnya kukagumi dirimu, tapi sangat. Coba kutes,
kuacak-acak wajahmu di hanyalku. Gigimu yang berbaris rapi kurontokkan, matamu
yang jernih kujangkitkan katarak, dan kutaburi rambut di sekeliling bibirmu.
Hingga sia-sia semua kala senyum tak berperasaanmu itu menghancurkan imajinasi
kocakku. Kucari akar masalahnya. Mungkin sugesti itu dari keanggunanmu. Kugambarkanlah
perilaku dirimu di benakku seperti Nenek Lampir. Tapi nyatanya kau lebih suka
diam dan berucap seadanya. Sial! Entah bisakah rasa itu didefinisikan dengan
satu kata saja. Akhirnya kubenci kau seperti dirimu adanya. Aku menyerah.
Padamu hanya ada alasan kukagumi. Tapi masih, kewarasan adalah kemunafikkan
bagiku. Lebih baik kurasa dihukum mati daripada jujur untuk satu horor itu.
Sepertinya selama aku masih bisa berkhayal, aku tetap gila.
Kau
pendiam atau pemendam, aku tak mengerti. Sepertinya kau gemar menulis
sepertiku. Kucoba menempatkanmu seperti diriku, penulis rapuh yang hanya bisa
jujur lewat tulisan. Kutelusurilah keberadaanmu di internet. Kudapati blog
tempatmu seharusnya me-ngoceh secara subjektif dan lebih terbuka. Tapi hanya
kujumpai tulisan ilmiah. Sisanya beberapa penggalan tulisan dengan bahasa
khayalan yang lebih memusingkan daripada rumus kimia. Kutanya di sisimu,
pernahkah terbersit rasa penasaran tentang diriku, mengulikku di internet, lalu
menemukan jika belakangan ini dirimu selalu kujadikan tokoh utama cerita pendek
di blogku? Yang ada, kau masih saja tanpa rasa seperti dulu. Lebih suka
mengangguk daripada mengatakan “iya”. Kaulah lawan terberat bagiku selama jadi
petopeng. Mungkin selamanya. Jangan-jangan kau petopeng juga? Tapi masalahnya,
tak sekali pun kulihat kau tertawa kegirangan pada orang lain, lalu pura-pura
buang muka di hadapanku. tampaknya kau adil bersikap terhadap semua orang,
seperti kau adil pada dirimu sendiri.
Tiga
hari sudah aku tak melihatmu. Entah bagaimana kabarmu. Tak ada alasan masuk
akal dan bermartabat menanyaimu tentang kabar. Kita tak punya relasi selain
kebiasaan yang sama, melahap kata-kata buku di perpustakaan. Tak kutahu juga di
mana harus menemukanmu. Di luar kelas, hanya di ruang baca nan senyap itu kau
sering kujumpai. Waktu beranjak hingga dua minggu setelahnya. Masih tak kulihat
juga wajahmu. Banyak pasang mata berkeliaran, semuanya liar. Tak kudapati mata
tajam dan pemalu sepertimu. Aku menyerah. Kuniatkan untuk hari-hari selanjutnya,
berhenti memata-mataimu.
Awalnya
kurasa berat. Tapi terbiasa juga. Kini kuingat-ingat lagi, semasih
berharap-harap cemas menemuimu tiap esok dengan setengah mati. Kini malah
kupikir lucu, ternyata pernah aku bertekad mengakhiri hidup jika khayal tentang
kita kau hancurkan. Tapi sudahlah, aku harus bisa sepertimu yang tak peduli.
Tentang cerita pendek bersambung di blogku dengan kau sebagai tokoh utamanya,
akan kuakhiri ceritanya secara menyedihkan. Kutuliskan, si lelaki penulis yang
pemendam, ditinggal mati wanita inspirasinya, hingga membakar novel gubahannya
yang hampir rampung.
Sepertinya
kepergianmu membuatku semakin waras. Ternyata salahku dulu menenggelamkan diri
dalam kubangan lumpur khayalku. Seiring bayanganmu yang semakin usang, sedikit
demi sedikit juga konsentrasiku semakin jernih, termasuk fokusku menyelami
makna bacaan. Itulah saat paling mengasyikkan. Hari Senin datang, bak
menyambangi wanita pujaan. Aku rela menunggu hari Minggu terlewatkan, sekadar
terpaku menikmati rubrik cerpen pada koran di perpustakaan. Maklum,
berlangganan koran terkendala pertimbangan uang makan.
Selama
aku jadi penikmat tulisan cerita pendek, penulis di koran kali ini kurasa
pendatang baru. Namanya sama dengan sosok yang sedang kuhapuskan dari
kebiasaanku. Pasti cuma kebetulan saja. Namanya memang pasaran. Tapi sekilas,
cerita pendeknya menarik dibaca. Judulnya menggelitikku, “Rahasia Batin Si
Petopeng”. Mulai kueja rangkaian kata demi kata. Aku suka cara bertuturnya.
Kunikmati cara penggambarannya yang sangat detail. Ceritanya juga menarik.
Mungkin karena kebetulan menyentuh tentang keakuanku. Kurasa tulisan ini
dikhususkan untukku. Berhasil dia menghanyutkanku dalam alurnya. Aku dibuat
seakan menjadi tokoh utama. Bahasanya sederhana dengan plot yang tak membingungkan
membuat ceritanya mudah dipahami. Aku semakin larut. Sangat mengasyikkan. Boleh
juga jadi referensi. Beda dan unik.
“Aku meninggalkan gudang buku itu
semasih menyimpan rasa tak karuan pada sesosok pengunjung setianya. Dialah
alasanku sering berkunjung ke sana, hingga tertarik membaca dan menulis.
Sikapnya begitu dingin dan mengesankan. Makanya dengan segen-segan aku suka
dekat dengannya dalam kesenyapan di ruang baca itu. Sebab dengan maluku,
beralasan jika tak banyak bicara panjang lebar dengannya. Maklumlah, penjaganya
akan menegur jika terlalu ribut dan mengganggu pembaca lain. Kami berdua
bisanya sama-sama terdiam, hingga penjaga meminta kami keluar menjelang tutup,
kala sore. Kami lalu keluar tanpa perasaan. Tak ada yang tersisa, kecuali khayalan
bersamanya yang semakin meninggi.
Entah bagaimana dan kapan rahasia
batin ini akan terungkap. Tidak juga dia berusaha menanyaiku terus terang. Aku
juga tak mungkin menjawab tanpa pertanyaan. Jalan seperti masih panjang. Tapi
kepercayaan diriku meyakinkan, kemungkinan rasaku menyambut sepertinya ada.
Kutelusuri tulisan pada blog pribadinya. Terlalu jelas tuturnya jika harus
mengingkari belakangan ini aku selalu jadi tokoh utama cerpennya. Bisa kuterka
diriku di setiap gubahannya.
Tapi kecewanya, kisah itu telah
berakhir, tak lama setelah kuputuskan rihat sejenak berkunjung ke perpustakaan.
Kuredam kegirangan bahwa semuanya karenaku. Aku sendiri sudah tak tahan saja.
Bertemu dengannya seperti pembunuhan diri secara berencana, dan diulang-ulang.
Lelah kurasa menumpuk beban ilusi jika bertemu dengannya lagi. Hanya lewat
tulisan, kejujuran tentang rasa ini kuberanikan. Sama seperti caranya, kalau
pun aku benar menerka bahwa dia menyimpan rasa sepertiku. Terus terang, aku tak
ingin cerita dalam keakuanku itu berakhir. Tapi sepertinya benar, aku hanya
merasa-rasa.”
Aku
tersentak di tiga paragraf itu. Ternyata diamnya selama ini menyimpan sejuta
harapan. Aku harus kembali berpikir keras, bagaimana melanjutkan cerita yang
kuanggap telah berakhir.
“Permisi,
bisa pinjam korannya?” Suara wanita dari arah depan membuatku tesentak. Seperti
sangat berkesan. Kumenengadah, hingga tampak wajah dia, tokoh utama ceritaku,
yang membuatku sering berkhayal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar