Lina
sudah kehabisan cara untuk mendapatkan cinta Rahim, suaminya, secara utuh. Ia meyakini
kalau sang suami senantiasa terbayang-bayang atas mantan istrinya yang telah
meninggal lima tahun yang lalu, walaupun mereka sendiri sudah menikah dua tahun
yang lalu. Meski sadar sebagai orang kedua yang tak mungkin mengenyahkan cinta
orang pertama, ia tetap berusaha.
Laku
mendua di dalam hati sang suami, memang tidak tampak dalam tindak-tanduknya.
Sang suami tetap bertutur dan bersikap baik kepadanya. Namun kenyataan itu
tidak berarti cukup baginya. Ia tetap merasa kecewa melihat sikap suaminya yang
dingin, yang acapkali tidak memperlakukannya dengan hangat, dan ia menyakini itu
karena bayang-bayang sang mendiang.
Atas
hubungan mereka yang tidak juga mencair, Lina pun menyalahkan keadaan. Ia
menyalahkan segala benda-benda kenangan antara sang suami dengan mantan
istrinya di dalam rumah yang saat ini mereka tinggali. Ia meyakini bahwa selama
benda-benda itu tidak disingkirkan, selama itu pula mantan istri sang suami akan
tetap bergentayangan dan mengganggu hubungan mereka.
Namun
sebaliknya, Rahim malah tak mengendus adanya rasa cemburu pada istrinya. Ia mengira
keadaan rumah tangganya baik-baik saja. Paling tidak, ia dan istrinya sama-sama
konsisten menunaikan tanggung jawab terhadap satu sama lain. Semua perihal
kerumahtanggaan masih berlangsung dengan baik, dan sama sekali tak terjadi
percekcokan yang hebat di antara mereka.
Perihal
hubungan mereka, tampak saja berlangsung sebagaimana mestinya. Tak ada masalah
lahiriah. Karena itu, tanpa sedikit pun rasa bersalah, Rahim merasa tak perlu
meminta maaf atas isi hatinya yang mendua. Ia merasa kemenduaan itu wajar dan
tak perlu dipersoalkan. Ia merasa kalau sang istri telah memahami keadaannya,
dan ia tak akan cemburu untuk seseorang yang telah tiada.
Sampai
sekarang, Rahim pun merasa telah memberikan segala yang sepatutnya ia diberikan
kepada sang istri, meski tidak termasuk sebagian ruang hatinya. Bagi Rahim,
hanya itu yang bisa dan sudah secukupnya ia lakukan. Ia mencintai mantan
istrinya di masa lalu, dan ia mencintai istrinya kini untuk masa depan, dan
kedua momentum itu tidak patut dipertentangkan.
Dan
hari ini, tepat di hari peringatan kematian istri pertamanya, Rahim pun merasa
perlu untuk meluruhkan rasa rindunya. Seperti tahun-tahun yang lalu, ia pun
mengunjungi kuburan sang istri untuk menyampaikan pesan-pesan cintanya di atas
pusara. Ia yakin, di alam sana, sang mendiang akan menyambut ketulusan cintanya
yang tak berbatas ruang.
Seperti
sebelumnya pula, Rahim tak sekali pun menceritakan soal ziarahnya kepada sang
istri. Ia merasa tak patut jika membeberkan soal kerinduannya kepada almarhumah
istri pertamanya di kala ia semestinya mencurahkan cintanya kepada sang istri
keduanya saat ini.
Sampai
akhirnya, di tengah kekhidmatan ziarah, Rahim pun mendapatkan kabar buruk dari sang
istri. Melalui telepon, istrinya mengabarkan bahwa api tengah melahap di sisi belakang
rumah mereka dan mulai melahap sisi-sisi rumah yang lain secara perlahan. Meski
istri dan anaknya tak mengapa, namun bagi Rahim, keberadaan jiwa yang tak kasat
mata juga mesti diselamatkan.
Dengan
pikiran yang disesaki kemungkinan-kemungkinan terburuk, Rahim pun bergegas
pulang dengan sepeda motornya. Sepanjang perjalanan, ia pun dihantui oleh
bayang-bayangan terburuk tentang rumahnya yang habis dilahap api, sampai ia
kehilangan segala yang ia miliki, terutama benda-benda yang menyimpan kenangan
tentang almarhum istrinya.
Sekitar
lima belas menit kemudian, Rahim pun tiba di halaman depan rumahnya dan menjumpai
api yang mulai padam disirami para pemadam kebakaran. Ia pun melangkah menuju
ke sisi anak dan istrinya yang duduk temenung melihat keadaan bangunan rumah
mereka yang tinggal seperempat.
“Syukurlah!”
kata Rahim kemudian saat menyadari keadaan rumahnya tak seburuk yang ia
bayangkan.
Seketika,
Lina terkejut mendengar ucapan suaminya. “Apa yang patut disyukuri, Pak? Rumah
kita nyaris habis dilalap api!”
Rahim
pun menoleh kepada sang istri. “Kita memang patut bersyukur, Bu. Setidaknya,
masih tersisa dua kamar yang bisa kita tinggali,” kata Rahim, sembari terbayang
album foto almarhumah istri pertamanya yang kemungkinan masih terjaga baik di
dalam lemari kamarnya yang tidak terbakar. “Akan lebih menyedihkan jika akhirnya
segalanya hangus dilalap api.”
Sontak
saja, Lina merasa aneh melihat tangapan suaminya.
Sesaat
kemudian, Rahim pun duduk di samping anak semata wayangnya. “Jangan bersedih,
Nak. Kita baik-baik saja,” tuturnya, lantas mengusap-usap punggung sang anak. “Ayah
janji, dalam waktu cepat, Ayah akan kembali membangun rumah kita dengan bentuk
dan rupa yang persis seperti sebelumnya.”
Sontak,
diam-diam, Lina merasa tidak setuju dengan model yang direncanakan sang suami.
“Ayah
akan kembali membuatkan perabotan rumah yang persis seperti sebelumnya,
termasuk perabotan di kamarmu,” janji Rahim kepada anaknya. “Kamu setuju kan?
Kamu suka kalau begitu, Nak?”
Anaknya
pun mengangguk yakin dengan raut wajah yang masih menyiratkan kesedihan.
Lina menahan kata dengan perasaan kecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar