Sabtu, 07 Desember 2019

Ruang Jarak

Lina sudah kehabisan cara untuk mendapatkan cinta Rahim, suaminya, secara utuh. Ia meyakini kalau sang suami senantiasa terbayang-bayang atas mantan istrinya yang telah meninggal lima tahun yang lalu, walaupun mereka sendiri sudah menikah dua tahun yang lalu. Meski sadar sebagai orang kedua yang tak mungkin mengenyahkan cinta orang pertama, ia tetap berusaha. 
 
Laku mendua di dalam hati sang suami, memang tidak tampak dalam tindak-tanduknya. Sang suami tetap bertutur dan bersikap baik kepadanya. Namun kenyataan itu tidak berarti cukup baginya. Ia tetap merasa kecewa melihat sikap suaminya yang dingin, yang acapkali tidak memperlakukannya dengan hangat, dan ia menyakini itu karena bayang-bayang sang mendiang.

Atas hubungan mereka yang tidak juga mencair, Lina pun menyalahkan keadaan. Ia menyalahkan segala benda-benda kenangan antara sang suami dengan mantan istrinya di dalam rumah yang saat ini mereka tinggali. Ia meyakini bahwa selama benda-benda itu tidak disingkirkan, selama itu pula mantan istri sang suami akan tetap bergentayangan dan mengganggu hubungan mereka.

Namun sebaliknya, Rahim malah tak mengendus adanya rasa cemburu pada istrinya. Ia mengira keadaan rumah tangganya baik-baik saja. Paling tidak, ia dan istrinya sama-sama konsisten menunaikan tanggung jawab terhadap satu sama lain. Semua perihal kerumahtanggaan masih berlangsung dengan baik, dan sama sekali tak terjadi percekcokan yang hebat di antara mereka. 

Perihal hubungan mereka, tampak saja berlangsung sebagaimana mestinya. Tak ada masalah lahiriah. Karena itu, tanpa sedikit pun rasa bersalah, Rahim merasa tak perlu meminta maaf atas isi hatinya yang mendua. Ia merasa kemenduaan itu wajar dan tak perlu dipersoalkan. Ia merasa kalau sang istri telah memahami keadaannya, dan ia tak akan cemburu untuk seseorang yang telah tiada.

Sampai sekarang, Rahim pun merasa telah memberikan segala yang sepatutnya ia diberikan kepada sang istri, meski tidak termasuk sebagian ruang hatinya. Bagi Rahim, hanya itu yang bisa dan sudah secukupnya ia lakukan. Ia mencintai mantan istrinya di masa lalu, dan ia mencintai istrinya kini untuk masa depan, dan kedua momentum itu tidak patut dipertentangkan.

Dan hari ini, tepat di hari peringatan kematian istri pertamanya, Rahim pun merasa perlu untuk meluruhkan rasa rindunya. Seperti tahun-tahun yang lalu, ia pun mengunjungi kuburan sang istri untuk menyampaikan pesan-pesan cintanya di atas pusara. Ia yakin, di alam sana, sang mendiang akan menyambut ketulusan cintanya yang tak berbatas ruang.

Seperti sebelumnya pula, Rahim tak sekali pun menceritakan soal ziarahnya kepada sang istri. Ia merasa tak patut jika membeberkan soal kerinduannya kepada almarhumah istri pertamanya di kala ia semestinya mencurahkan cintanya kepada sang istri keduanya saat ini.

Sampai akhirnya, di tengah kekhidmatan ziarah, Rahim pun mendapatkan kabar buruk dari sang istri. Melalui telepon, istrinya mengabarkan bahwa api tengah melahap di sisi belakang rumah mereka dan mulai melahap sisi-sisi rumah yang lain secara perlahan. Meski istri dan anaknya tak mengapa, namun bagi Rahim, keberadaan jiwa yang tak kasat mata juga mesti diselamatkan.

Dengan pikiran yang disesaki kemungkinan-kemungkinan terburuk, Rahim pun bergegas pulang dengan sepeda motornya. Sepanjang perjalanan, ia pun dihantui oleh bayang-bayangan terburuk tentang rumahnya yang habis dilahap api, sampai ia kehilangan segala yang ia miliki, terutama benda-benda yang menyimpan kenangan tentang almarhum istrinya.

Sekitar lima belas menit kemudian, Rahim pun tiba di halaman depan rumahnya dan menjumpai api yang mulai padam disirami para pemadam kebakaran. Ia pun melangkah menuju ke sisi anak dan istrinya yang duduk temenung melihat keadaan bangunan rumah mereka yang tinggal seperempat.

“Syukurlah!” kata Rahim kemudian saat menyadari keadaan rumahnya tak seburuk yang ia bayangkan.

Seketika, Lina terkejut mendengar ucapan suaminya. “Apa yang patut disyukuri, Pak? Rumah kita nyaris habis dilalap api!”

Rahim pun menoleh kepada sang istri. “Kita memang patut bersyukur, Bu. Setidaknya, masih tersisa dua kamar yang bisa kita tinggali,” kata Rahim, sembari terbayang album foto almarhumah istri pertamanya yang kemungkinan masih terjaga baik di dalam lemari kamarnya yang tidak terbakar. “Akan lebih menyedihkan jika akhirnya segalanya hangus dilalap api.”

Sontak saja, Lina merasa aneh melihat tangapan suaminya.

Sesaat kemudian, Rahim pun duduk di samping anak semata wayangnya. “Jangan bersedih, Nak. Kita baik-baik saja,” tuturnya, lantas mengusap-usap punggung sang anak. “Ayah janji, dalam waktu cepat, Ayah akan kembali membangun rumah kita dengan bentuk dan rupa yang persis seperti sebelumnya.”

Sontak, diam-diam, Lina merasa tidak setuju dengan model yang direncanakan sang suami.

“Ayah akan kembali membuatkan perabotan rumah yang persis seperti sebelumnya, termasuk perabotan di kamarmu,” janji Rahim kepada anaknya. “Kamu setuju kan? Kamu suka kalau begitu, Nak?”

Anaknya pun mengangguk yakin dengan raut wajah yang masih menyiratkan kesedihan.

Lina menahan kata dengan perasaan kecut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar