Bunyi
kedatangan penjual es krim, kembali terdengar dari arah bawah bukit. Seperti
hari-hari kemarin, sang penjual yang entah datang dari mana, akan menanjaki
bukit perkebunan cengkih yang belum terjangkau listrik, berkilo-kilo meter jaraknya,
sekitar setengah jam lamanya. Sang penjual seolah ketagihan untuk datang karena
es krim jualannya laku keras dibeli para pemetik cengkih yang kehausan diterpa
sinar matahari.
Setiap
kali penjual es krim datang, Ramu, seorang pemetik cengkih yang datang dari
kampung yang jauh, selalu bersiap-siap untuk membeli demi istri, dan dua orang
anaknya, juga dirinya sendiri. Ia, seperti juga pemetik yang lain, selalu
berselera mencicipi es krim di tengah terik matahari. Apalagi, ia jelas tak
ingin kalau anak bungsunya yang baru berumur 5 tahun akan menangis dan merengek
sepanjang hari gara-gara tidak dibelikan es krim.
Namun
setelah hari-hari kemarin, hari ini, Ramu bertekad meredam rasa kasihannya
kepada sang anak. Ia telah kehabisan uang untuk membeli es krim yang tandas
dilahap dalam sesaat. Sedang ia sudah terlalu banyak mengambil panjar gajinya
untuk membeli rokok yang jelas lebih ia butuhkan ketimbang es. Dan terus-terusan
mengambil panjar akan membuat gaji yang ia terima di akhir nanti, semakin susut
dan tak menyenangkan.
Tetapi
nyatanya, ketetapan hati memang tak sekokoh tiang listrik. Seiring bunyi
kedatangan penjual es krim yang semakin mengencang, Ramu pun bimbang. Sampai setelah
penjual es krim melewati rumah kebun dan ia tak lagi menahan, anaknya pun menangis.
Sang anak lantas meronta-ronta sambil menggoyang-goyangkan tangga panjatannya.
Sang anak terus saja meraung-raung, seakan-akan ia tak akan berhenti memprotes jika
kemauannya tidak dipenuhi.
Maka
dengan sangat terpaksa, Ramu pun menghadap kepada istri sang pemilik kebun, ke ibuku,
dan mencoba meminta panjar gaji untuk yang ke sekian kalinya. Ia berencana membeli
es krim untuk sang anak setelah sang penjual menuruni bukit. Namun Ramu harus kecewa.
Ibuku berkata bahwa uang di tangannya sudah
terlalu minim untuk digunakan membeli es. Akhirnya, Ramu tak mendapatkan
apa-apa, kecuali nasihat untuk tidak terlalu memanjakan sang anak.
Sesaat
kemudian, penjual es krim menuruni bukit dan melewati rumah kebun, sedang Ramu
tak juga menaham sang penjual seperti yang baru saja ia janjikan kepada sang
anak. Sontak, sang anak pun berontak sejadi-jadinya.
Ramu
lantas menghampiri sang anak. “Sabar, Nak. Besok, kalau cengkih kita sudah
kering, Ayah akan menjualnya di kampung, lalu membeli es krim dan makanan
ringan yang banyak untukmu,” janji Ramu, menunjuk pada beberapa liter cengkih yang
ia peroleh dari seluasan kebun ayahku yang ia kerjakan dengan sistem bagi
tanah. Pembagian yang baru akan dilakukan setelah pohon-pohon cengkih berumbuh
besar. Namun kini, pohon cengkih di sana masih muda dan baru belajar berbuah.
Maka sesuai kebiasaan, selama tanah belum dibagi, buahnya menjadi milik
pekerja.
Akhirnya,
setelah Ramu mengutarakan janji, sang anak berhenti meronta dan hanya bersungut-sungut
kesal.
Atas
perasaanku yang tersentuh melihat adegan mereka, aku pun kembali ke rumah kebun
untuk menggugat ibuku, sebab aku yakin ia masih memegang uang yang cukup untuk
menalangi ongkos pembeli es krim, “Apa salahnya memberi panjar pada Ramu, Bu.
Toh, panjar itu akan terhitung sebagai potongan gajinya. Kita tak rugi satu rupiah
pun, Bu.”
Ibuku
berbalik dan menatapku, seolah tak senang melihat aku sepihak dengan Ramu.
“Kalau soal beli es krim, aku bisa saja memberikan panjar, Nak. Tapi pikiranku lebih
jauh dari sekadar soal itu,” tegasnya, dengan tatapan yang tajam. “Aku menduga jika
penjual es krim itu adalah pencuri yang sedang memata-matai dan mencari peluang
untuk mencuri cengkih kita. Buktinya, ia baru muncul tahun ini, ketika panen
sedang besar-besarnya.”
Aku
merasa tersentak mendengar pandangan ibuku.
“Kalau
penjual itu sering-sering datang, aku khawatir, ia akan semakin mengenal
kondisi kebun kita, dan satu saat ia akan melancarkan aksinya,” kata Ibuku
lagi, dengan raut yang serius. “Kita harus waspada!”
Aku
hanya mengangguk ragu dan tak menyanggah pendapatnya. Aku tak ingin membuatnya kesal.
Namun di dalam hati, aku menilai kalau prasangkanya terlalu berlebihan terhadap
seseorang yang hanya mencari rezeki di tengah peluang yang baik.
Sampai
akhirnya, saat sore hampir selesai dan malam akan bermula, tiba-tiba, ibuku
melangkah bergegas menuruni jalan setapak, ke arah rumah, ke arahku, “Aduh, apa
kubilang, penjual es krim itu adalah pencuri!” tukasnya, dengan sikap kalap. “Cengkih
jemuran kita di atas, hilang! Tinggal terpalnya!.”
Aku
lantas mendengus. “Jangan menuduh-nuduh, Bu.”
“Bagaimana
dibilang menuduh. Cengkih jemuran kita benar-benar hilang!” solot Ibuku.
Aku
pun tertawa pendek. “Aduh, Bu. Akulah yang memungut cengkih itu. Aku sudah
menggabungnya dengan cengkih kering di dalam kamar.”
Ibuku
lantas mengembuskan napas yang panjang. “Ah, syukurlah!” katanya, seperti
benar-benar percaya atas apa yang kukatakan. “Lain kali, sampaikanlah kebada
Ibu kalau kau hendak memungut cengkih! Jangan bikin kaget begini!”
Aku
hanya tersenyum.
Ibuku
pun memasuki rumah kebun dengan sedikit kekesalan.
Sesaat
kemudian, Ramu datang dengan wajah semringah. Ia datang bersama anaknya,
sembari menenteng karung yang sepertinya berisi cengkih. Ia lantas berhenti di
depanku, sambil tersenyum. “Buah cengkih dari kebun yang kukerja, di kebun bawah,
sepertinya berasal dari bibit yang unggul,” tuturnya.
Aku
pun menatapnya sembari memasang raut penuh tanya.
“Ternyata,
keringnya tidak terlalu menyusut, dan terasa lebih berat dari yang kuperkirakan,”
ungkapnya, sambil mengangkat-angkat cengkih kering miliknya.
Dengan
sikap seolah-olah penarasan, aku lalu menyambut cengkih yang ia sodorkan, yang
telah kutambahi dengan seterpal kecil cengkih kering milik orang tuaku, lantas
pura-pura mengecek kesaksiannya, “Wah, sepertinya Bapak benar,” kataku, lalu tersenyum,
kemudian mengembalikan cengkih itu kepadanya. “Ini berarti, Bapak bisa membeli
es krim lagi untuk sang jagoan.”
Ramu
mengangguk-angguk tegas. “Ya, pasti!” katanya, kemudian melangkah memasuki
rumah kebun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar