Sabtu, 14 Desember 2019

Penghapus Dahaga

Bunyi kedatangan penjual es krim, kembali terdengar dari arah bawah bukit. Seperti hari-hari kemarin, sang penjual yang entah datang dari mana, akan menanjaki bukit perkebunan cengkih yang belum terjangkau listrik, berkilo-kilo meter jaraknya, sekitar setengah jam lamanya. Sang penjual seolah ketagihan untuk datang karena es krim jualannya laku keras dibeli para pemetik cengkih yang kehausan diterpa sinar matahari.
 
Setiap kali penjual es krim datang, Ramu, seorang pemetik cengkih yang datang dari kampung yang jauh, selalu bersiap-siap untuk membeli demi istri, dan dua orang anaknya, juga dirinya sendiri. Ia, seperti juga pemetik yang lain, selalu berselera mencicipi es krim di tengah terik matahari. Apalagi, ia jelas tak ingin kalau anak bungsunya yang baru berumur 5 tahun akan menangis dan merengek sepanjang hari gara-gara tidak dibelikan es krim.

Namun setelah hari-hari kemarin, hari ini, Ramu bertekad meredam rasa kasihannya kepada sang anak. Ia telah kehabisan uang untuk membeli es krim yang tandas dilahap dalam sesaat. Sedang ia sudah terlalu banyak mengambil panjar gajinya untuk membeli rokok yang jelas lebih ia butuhkan ketimbang es. Dan terus-terusan mengambil panjar akan membuat gaji yang ia terima di akhir nanti, semakin susut dan tak menyenangkan.

Tetapi nyatanya, ketetapan hati memang tak sekokoh tiang listrik. Seiring bunyi kedatangan penjual es krim yang semakin mengencang, Ramu pun bimbang. Sampai setelah penjual es krim melewati rumah kebun dan ia tak lagi menahan, anaknya pun menangis. Sang anak lantas meronta-ronta sambil menggoyang-goyangkan tangga panjatannya. Sang anak terus saja meraung-raung, seakan-akan ia tak akan berhenti memprotes jika kemauannya tidak dipenuhi.

Maka dengan sangat terpaksa, Ramu pun menghadap kepada istri sang pemilik kebun, ke ibuku, dan mencoba meminta panjar gaji untuk yang ke sekian kalinya. Ia berencana membeli es krim untuk sang anak setelah sang penjual menuruni bukit. Namun Ramu harus kecewa. Ibuku  berkata bahwa uang di tangannya sudah terlalu minim untuk digunakan membeli es. Akhirnya, Ramu tak mendapatkan apa-apa, kecuali nasihat untuk tidak terlalu memanjakan sang anak.

Sesaat kemudian, penjual es krim menuruni bukit dan melewati rumah kebun, sedang Ramu tak juga menaham sang penjual seperti yang baru saja ia janjikan kepada sang anak. Sontak, sang anak pun berontak sejadi-jadinya.

Ramu lantas menghampiri sang anak. “Sabar, Nak. Besok, kalau cengkih kita sudah kering, Ayah akan menjualnya di kampung, lalu membeli es krim dan makanan ringan yang banyak untukmu,” janji Ramu, menunjuk pada beberapa liter cengkih yang ia peroleh dari seluasan kebun ayahku yang ia kerjakan dengan sistem bagi tanah. Pembagian yang baru akan dilakukan setelah pohon-pohon cengkih berumbuh besar. Namun kini, pohon cengkih di sana masih muda dan baru belajar berbuah. Maka sesuai kebiasaan, selama tanah belum dibagi, buahnya menjadi milik pekerja.

Akhirnya, setelah Ramu mengutarakan janji, sang anak berhenti meronta dan hanya bersungut-sungut kesal.

Atas perasaanku yang tersentuh melihat adegan mereka, aku pun kembali ke rumah kebun untuk menggugat ibuku, sebab aku yakin ia masih memegang uang yang cukup untuk menalangi ongkos pembeli es krim, “Apa salahnya memberi panjar pada Ramu, Bu. Toh, panjar itu akan terhitung sebagai potongan gajinya. Kita tak rugi satu rupiah pun, Bu.”

Ibuku berbalik dan menatapku, seolah tak senang melihat aku sepihak dengan Ramu. “Kalau soal beli es krim, aku bisa saja memberikan panjar, Nak. Tapi pikiranku lebih jauh dari sekadar soal itu,” tegasnya, dengan tatapan yang tajam. “Aku menduga jika penjual es krim itu adalah pencuri yang sedang memata-matai dan mencari peluang untuk mencuri cengkih kita. Buktinya, ia baru muncul tahun ini, ketika panen sedang besar-besarnya.”

Aku merasa tersentak mendengar pandangan ibuku.

“Kalau penjual itu sering-sering datang, aku khawatir, ia akan semakin mengenal kondisi kebun kita, dan satu saat ia akan melancarkan aksinya,” kata Ibuku lagi, dengan raut yang serius. “Kita harus waspada!”

Aku hanya mengangguk ragu dan tak menyanggah pendapatnya. Aku tak ingin membuatnya kesal. Namun di dalam hati, aku menilai kalau prasangkanya terlalu berlebihan terhadap seseorang yang hanya mencari rezeki di tengah peluang yang baik.

Sampai akhirnya, saat sore hampir selesai dan malam akan bermula, tiba-tiba, ibuku melangkah bergegas menuruni jalan setapak, ke arah rumah, ke arahku, “Aduh, apa kubilang, penjual es krim itu adalah pencuri!” tukasnya, dengan sikap kalap. “Cengkih jemuran kita di atas, hilang! Tinggal terpalnya!.”

Aku lantas mendengus. “Jangan menuduh-nuduh, Bu.”

“Bagaimana dibilang menuduh. Cengkih jemuran kita benar-benar hilang!” solot Ibuku.

Aku pun tertawa pendek. “Aduh, Bu. Akulah yang memungut cengkih itu. Aku sudah menggabungnya dengan cengkih kering di dalam kamar.”

Ibuku lantas mengembuskan napas yang panjang. “Ah, syukurlah!” katanya, seperti benar-benar percaya atas apa yang kukatakan. “Lain kali, sampaikanlah kebada Ibu kalau kau hendak memungut cengkih! Jangan bikin kaget begini!”

Aku hanya tersenyum.

Ibuku pun memasuki rumah kebun dengan sedikit kekesalan.

Sesaat kemudian, Ramu datang dengan wajah semringah. Ia datang bersama anaknya, sembari menenteng karung yang sepertinya berisi cengkih. Ia lantas berhenti di depanku, sambil tersenyum. “Buah cengkih dari kebun yang kukerja, di kebun bawah, sepertinya berasal dari bibit yang unggul,” tuturnya.

Aku pun menatapnya sembari memasang raut penuh tanya.

“Ternyata, keringnya tidak terlalu menyusut, dan terasa lebih berat dari yang kuperkirakan,” ungkapnya, sambil mengangkat-angkat cengkih kering miliknya.

Dengan sikap seolah-olah penarasan, aku lalu menyambut cengkih yang ia sodorkan, yang telah kutambahi dengan seterpal kecil cengkih kering milik orang tuaku, lantas pura-pura mengecek kesaksiannya, “Wah, sepertinya Bapak benar,” kataku, lalu tersenyum, kemudian mengembalikan cengkih itu kepadanya. “Ini berarti, Bapak bisa membeli es krim lagi untuk sang jagoan.”

Ramu mengangguk-angguk tegas. “Ya, pasti!” katanya, kemudian melangkah memasuki rumah kebun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar