Dorman
mencemaskan kehidupannya. Ia khawatir jika tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Sebagai pemulung, pendapatannya sangat minim. Apalagi di usia
yang sudah lebih dari enam puluh tahun, ia sudah tak berdaya lagi menempuh
perjalanan yang jauh untuk mengumpulkan botol-botol bekas dan besi tua.
Setiap
hari, selepas memulung, Dorman selalu bingung memikirkan nasib hidupnya yang
tak menentu. Di tengah menungan, pikirannya akan disesaki masalah-masalah
kebutuhan hidup yang tak terduga di masa tua, kala penghasilannya malah semakin
menurun. Ia takut jika terserang penyakit, lantas kehabisan uang untuk sekadar
membeli beras.
Namun
setiap hari pula, Dorman menyasikan ironi. Pada pagi, siang, dan sore hari, Buri,
tetangganya, akan menghambur beras untuk kawanan ayamnya, terutama untuk dua
ekor ayam aduan yang ia beli seharga belasan juta. Padahal, Dorman merasa, anak
manusia seperti dirinya lebih membutuhkan beras itu untuk bertahan hidup.
Setiap
kali menyaksikan rutinitas Buri, tentu saja, Dorman merasa terenyuh. Ia tak
habis pikir bagaimana bisa seseorang begitu peduli pada binatang dan
mengabaikan sesamanya manusia. Ia seolah tak bisa menerima bahwa orang-orang
seperti Buri bisa terhibur dengan memanjakan ayam aduan dan mengabaikan
tetangganya.
Tetapi
ketidakwarasan yang terjadi, telah dipahami Dorman sejak awal. Atas
penolakannya terhadap kebiasaan warga mengadu ayam, ia dengan terang-terangan
menolak calon ketua RT yang pro aksi perjudian. Imbasnya, setelah kawanan
penjudi memenangkan pemilihan, ia pun dikeluarkan dari daftar penerima bantuan
beras dari pemerintah.
Akhirnya,
orang-orang berkecukupan yang kemudian dimasukkan sebagai penerima bantuan
beras, termasuk Buri, malah bertindak mubazir. Mereka memperuntukkan beras
pembagian sebagai pakan ternak karena menganggap mutunya sangat rendah, meski
bagi Dorman beras semacam itu masih sangat layak untuk dimakan.
Terima
atau tidak, Dorman harus menerima kebiadaban itu. Ia tak bisa apa-apa. Ia harus
membiasakan diri ketimbang memprotes. Daripada mengharapkan beras bantuan untuk
bertahan hidup, ia lebih memilih mencampur beras hasil jerih payahnya dengan
tumbukan jagung kering yang tampak lebih cocok jadi pakan ternak, kemudian
menyantapnya tanpa lauk yang memadai.
Dan
malam ini, di tengah kekhidmatan bersantap, istrinya, perempuan yang sepantaran
dengannya, kembali menyinggung permasalahan itu, “Apa tak ada yang bisa Bapak
lakukan agar kita kembali menjadi penerima beras bantuan? Penghasilan kita dari
memulung sangat pas-pasan untuk membeli beras sendiri.”
Dorman
menelan kunyahan makanan di dalam mulutnya, lalu mendengus-meremehkan. “Lebih
baik kita tidak makan dari pada turut bersepakat dengan para penjudi itu!”
“Tapi
harus sampai kapan, Pak?” sergah sang istri. “Apakah kita akan terus-menerus
begini?”
“Ya,
sampai kita dipimpin oleh orang yang baik, yang memberikan apa yang menjadi hak
kita bukan karena kita berpihak pada kebiadabannya,” balas Dorman.
Sang
istri mengembuskan napas yang panjang. “Aku kira, itu berarti selama-lamanya,
Pak. Aku yakin sebagaian besar warga yang senang mengadu ayam, akan tetap
memilih aparat-aparat yang mendukung aksi haram mereka.”
Dorman
tertawa pendek. “Ya, kalau begitu, mau apa lagi. Asalkan kita tidak terlibat,”
katanya, kemudian meneguk air untuk menendaskan sisa-sisa makanan di saluran
pencernaannya. “Tapi aku yakin, satu saat, Tuhan akan mendatangkan azab kepada
mereka, sampai akhirnya mereka kapok.”
“Semoga,”
ketus istrinya, seolah-olah memang sudah tak ada lagi daya untuk menyadarkan
para warga yang tersesat itu.
Obrolan
mereka pun selesai.
Dan
saat lewat tengah malam, hujan pun turun. Tidak terlalu deras, namun selalu mampu
membuat volume air sungai di belakang rumahnya, naik.
Hingga
akhirnya, di tengah bulir-bulir hujan yang menderu, sayup-sayup, terdengarlah
kokokan ayam dari teras rumah Buri, tepat di samping rumah Dorman. Kokokan
ayam-ayam itu riuh rendah, dan akan senyap sejenak setelah koakan yang panjang.
Dorman
tak mau peduli tentang apa yang terjadi, meski ia tahu kalau ayah-ayam Buri dalam
bahaya. Dipikirnya, barangkali, ayam-ayam subur itu tengah bertarung dengan
kawanan ular.
Lekas,
Dorman kembali memejamkan mata, hingga terjatuh pulas.
Ketika
pagi menjelang, Dorman pun duduk di teras depan rumahnya. Hingga akhirnya, ia
melihat Buri yang meneteng sepiring beras, tampak kelimpungan setelah menyaksikan
dua ekor ayam aduannya lenyap dari dalam sangkar yang terbuat dari bambu.
Dorman
tak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar