Rabu, 11 Desember 2019

Biji-Biji Beras

Dorman mencemaskan kehidupannya. Ia khawatir jika tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagai pemulung, pendapatannya sangat minim. Apalagi di usia yang sudah lebih dari enam puluh tahun, ia sudah tak berdaya lagi menempuh perjalanan yang jauh untuk mengumpulkan botol-botol bekas dan besi tua. 
 
Setiap hari, selepas memulung, Dorman selalu bingung memikirkan nasib hidupnya yang tak menentu. Di tengah menungan, pikirannya akan disesaki masalah-masalah kebutuhan hidup yang tak terduga di masa tua, kala penghasilannya malah semakin menurun. Ia takut jika terserang penyakit, lantas kehabisan uang untuk sekadar membeli beras.

Namun setiap hari pula, Dorman menyasikan ironi. Pada pagi, siang, dan sore hari, Buri, tetangganya, akan menghambur beras untuk kawanan ayamnya, terutama untuk dua ekor ayam aduan yang ia beli seharga belasan juta. Padahal, Dorman merasa, anak manusia seperti dirinya lebih membutuhkan beras itu untuk bertahan hidup.

Setiap kali menyaksikan rutinitas Buri, tentu saja, Dorman merasa terenyuh. Ia tak habis pikir bagaimana bisa seseorang begitu peduli pada binatang dan mengabaikan sesamanya manusia. Ia seolah tak bisa menerima bahwa orang-orang seperti Buri bisa terhibur dengan memanjakan ayam aduan dan mengabaikan tetangganya. 

Tetapi ketidakwarasan yang terjadi, telah dipahami Dorman sejak awal. Atas penolakannya terhadap kebiasaan warga mengadu ayam, ia dengan terang-terangan menolak calon ketua RT yang pro aksi perjudian. Imbasnya, setelah kawanan penjudi memenangkan pemilihan, ia pun dikeluarkan dari daftar penerima bantuan beras dari pemerintah. 

Akhirnya, orang-orang berkecukupan yang kemudian dimasukkan sebagai penerima bantuan beras, termasuk Buri, malah bertindak mubazir. Mereka memperuntukkan beras pembagian sebagai pakan ternak karena menganggap mutunya sangat rendah, meski bagi Dorman beras semacam itu masih sangat layak untuk dimakan.

Terima atau tidak, Dorman harus menerima kebiadaban itu. Ia tak bisa apa-apa. Ia harus membiasakan diri ketimbang memprotes. Daripada mengharapkan beras bantuan untuk bertahan hidup, ia lebih memilih mencampur beras hasil jerih payahnya dengan tumbukan jagung kering yang tampak lebih cocok jadi pakan ternak, kemudian menyantapnya tanpa lauk yang memadai. 

Dan malam ini, di tengah kekhidmatan bersantap, istrinya, perempuan yang sepantaran dengannya, kembali menyinggung permasalahan itu, “Apa tak ada yang bisa Bapak lakukan agar kita kembali menjadi penerima beras bantuan? Penghasilan kita dari memulung sangat pas-pasan untuk membeli beras sendiri.”

Dorman menelan kunyahan makanan di dalam mulutnya, lalu mendengus-meremehkan. “Lebih baik kita tidak makan dari pada turut bersepakat dengan para penjudi itu!”

“Tapi harus sampai kapan, Pak?” sergah sang istri. “Apakah kita akan terus-menerus begini?”

“Ya, sampai kita dipimpin oleh orang yang baik, yang memberikan apa yang menjadi hak kita bukan karena kita berpihak pada kebiadabannya,” balas Dorman.

Sang istri mengembuskan napas yang panjang. “Aku kira, itu berarti selama-lamanya, Pak. Aku yakin sebagaian besar warga yang senang mengadu ayam, akan tetap memilih aparat-aparat yang mendukung aksi haram mereka.”

Dorman tertawa pendek. “Ya, kalau begitu, mau apa lagi. Asalkan kita tidak terlibat,” katanya, kemudian meneguk air untuk menendaskan sisa-sisa makanan di saluran pencernaannya. “Tapi aku yakin, satu saat, Tuhan akan mendatangkan azab kepada mereka, sampai akhirnya mereka kapok.”

“Semoga,” ketus istrinya, seolah-olah memang sudah tak ada lagi daya untuk menyadarkan para warga yang tersesat itu.

Obrolan mereka pun selesai.

Dan saat lewat tengah malam, hujan pun turun. Tidak terlalu deras, namun selalu mampu membuat volume air sungai di belakang rumahnya, naik.

Hingga akhirnya, di tengah bulir-bulir hujan yang menderu, sayup-sayup, terdengarlah kokokan ayam dari teras rumah Buri, tepat di samping rumah Dorman. Kokokan ayam-ayam itu riuh rendah, dan akan senyap sejenak setelah koakan yang panjang.

Dorman tak mau peduli tentang apa yang terjadi, meski ia tahu kalau ayah-ayam Buri dalam bahaya. Dipikirnya, barangkali, ayam-ayam subur itu tengah bertarung dengan kawanan ular.

Lekas, Dorman kembali memejamkan mata, hingga terjatuh pulas.

Ketika pagi menjelang, Dorman pun duduk di teras depan rumahnya. Hingga akhirnya, ia melihat Buri yang meneteng sepiring beras, tampak kelimpungan setelah menyaksikan dua ekor ayam aduannya lenyap dari dalam sangkar yang terbuat dari bambu.

Dorman tak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar