Rabu, 18 November 2015

Cinta dalam Amarah

Teringat lagi semasih kanak-kanak. Sosok ayah seperti pahlawan bagiku. Aku beruntung memilikinya. Ia selalu membuatku merasa lebih hebat dari teman-teman sepermainanku. Jika ayah temanku kebanyakan pegawai yang berangkat kerja setiap pagi dan pulang petang, ayah selalu ada untukku setiap waktu. Dia akan senang hati melakukan segala yang kupinta. Sering ia membuatkanku mobil-mobilan dari sisa kayu tukangannya. Pernah juga ia membuatkanku miniatur rumah yang rumit nan indah saat aku memperoleh ranking I di kelas. Hadiah-hadiah itu pun kupamerkan kepada teman-temanku, yang ayahnya tentu tak sehebat ayahku.

Sikap ayah terhadapku mulai berubah saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia tak lagi ramah seperti saat aku masih kanak-kanak. Banyak pintaku yang tak disetujuinya. Ia bahkan sering membalasku dengan nada tinggi. Selalu ia pungkaskan jika sikapnya demi kebaikanku. Tapi kurasa tidak. Sepertinya ia tak mempedulikan aku lagi. Padahal aku anak tunggalnya. Bahkan sepengetahuanku, ia menanti hingga 12 tahun sampai Tuhan menakdirkan ibu melahirkanku. Tapi sudahlah. Kubiarkan saja mulutnya berkotek setiap waktu. Telingaku yang keseringan memanas juga tak akan menghayati khutbahnya yang panjang lebar. 

Pernah kala itu, aku memaksanya untuk membelikanku sepeda motor. Kuharap ia mengerti rasanya dipecundangi teman-teman sekolah yang bebas lalu lalang mengendarai motor. Ia bersedia, asalkan tipe motor jadul, lagi bekas. Tapi tetap kupaksakan motor model termutakhir dan baru. Aku tak menerima alasannya jika ia tak memiliki cukup uang. Meski tak pernah kuhitung penghasilannya dari hasil bertukang, kurasa keinginan anak satu-satunya lebih penting daripada segalanya. Akhirnya, keadaan menjadi serba salah. Apalagi jika kusadari ibuku yang berperingai lembut turut bersedih.

Sikap ayah yang kuanggap tak bersahabat berulang lagi setamatku SMP. Ia memaksaku melanjutkan sekolah ke SMA yang jaraknya 5 kilometer dari rumah. Padahal waktu itu, aku sama sekali tak berselera lagi menjadi anak sekolahan yang banyak aturan. Aku ingin seperti beberapa teman sekelasku yang direstui orang tuanya untuk tak melanjutkan sekolah. Mereka menjalani kehidupan seperti yang mereka inginkan. Menjadi buruh pabrik dan segera menikah. Bisa juga menjadi pengangguran atau pekerja serabutan. Asalkan bebas.

Tapi apa daya, ayahku tetap memaksa. Ia bahkan naik pitam waktu aku merengek tak mau ke sekolah. Amarahnya pun memuncak kali itu. Sedang ibuku, untuk pertama kalinya, kulihat menangis bersedih. Aku pun terpaksa mengiyakan. Tapi parahnya, permintaanku sejak SMP agar dibelikan motor baru sepertinya mustahil terpenuhi. Ia terus saja memaksaku berangkat ke sekolah, melewati jalan berkerikil yang penuh kubangan lumpur. Mengendarai motor bebek bututnya yang berkarat dan tak bertenaga. Akhirnya, tak jarang aku terpaksa jadi montir dadakan akibat motor bersejarah itu mogok di tengah tanjakan.

Tindakan ayahku yang otoriter masih berlanjut. Lagi dan lagi. Setamat SMA, ia memaksaku melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Padahal aku telah lama menanti untuk lulus bangku SMA, lalu bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Ibuku pun merelakan jika aku memaksa tinggal di kampung menemani mereka. Tapi tetap ayahku memaksa. Dilema tentunya. Ayah bak tuhan di bumi. Ibuku pun jadi mengikut. Akhirnya aku mengalah lagi.

Aku pun berangkat ke kota tanpa belas kasih pada ayahku, untuk melanjutkan kuliah. Aku mengambil jurusan teknik mesin. Syukurlah, ayahku tak mengatur sampai detail tentang jurusan yang harus kuambil. Ia memang harus mengalah. Telah ada kesepakatan bahwa aku akan melanjutkan kuliah dengan jurusan yang aku pilih sendiri. Pertimbangan lainnya karena aku telah banyak berprektik mengutak-atik mesin motor tua ayahku. Sudah ada pengalaman. Aku juga menonjol dalam pelajaran fisika dan matematika. 

Dengan berat hati, aku pun harus tinggal di rumah pamanku saat kuliah. Ia saudara kandung ayahku yang tentu saja punya nasib yang lebih beruntung. Ia adalah seorang guru SD dan istrinya menjual barang segala rupa di toko kecilnya. Terpaksa juga aku nyambi jadi penjaga toko, demi menawar rasa seganku pada mereka. Jika bekerja, aku merasa masih punya harga diri untuk meminta bantuan mereka jika aku perlu. Termasuk berharap tipnya. Apalagi ayahku tentu tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhanku di kota. 

***

Tak terasa, aku telah duduk di semester akhir, semester delapan. Kuusahakan untuk selesai secepatnya agar tidak merepotkan panamku. Hidup dari usaha dan belas kasih orang lain memang tidak bisa semau-maunya. Rasa segan dan malu mengalahkan segalanya. Aku ingin segera sarjana dan menjadi manusia yang merdeka seutuhnya.

Waktu bergulir. Empat tahun sudah aku kuliah. Entah bagaimana keadaan orang tuaku sekarang. Aku kadang malas memikirkan mereka. Mereka juga sepertinya tak memikirkanku, seperti seharusnya orang tua memikirkan anaknya. Itu juga sebabnya, semenjak kuliah, aku baru dua kali pulang kampung. Itupun bukan kemauanku, dan bukan pada hari lebaran. Terpaksa saja. Mendesak karena penyakit kanker paru-paru akut yang diidap ayahku kambuh. 

Selepas menyandang gelar sarjana, aku optimis kehidupanku menjadi lebih baik. Karena prestasiku, aku telah dipastikan menjadi seorang kayawan di sebuah perusahaan otomotif. Kenyataan itu membuatku mulai berpikir tentang jalan hidup yang sebenarnya terpaksa kutempuh. Kubayangkan jika waktu dulu aku mengikuti mauku untuk menjadi pengangguran setamat SMA, tentu keadaanku tak sebaik sekarang. Kudengar juga dari kampung, kalau teman baikku yang ngotot tak melanjutkan pendidikannya, kini telah dibui. Ia menjadi pecandu barang terlarang. Suatu hari ia memalak dan menganiaya orang tuanya karena ingin nyandu. 

Aku mulai merasa berdosa. Mulai kusadari bahwa akulah yang selama ini egois, bukan ayahku. Terlebih pamanku banyak bercerita tentang ayahku yang sesungguhnya. Sangat menyentuh. Paman juga yang menyadarkanku untuk segera pulang kampung sehari setelah wisuda, untuk menemui orang tuaku segera. Rasa rinduku pun menggebu-gebu. Rasa takut juga mulai menggerayangi, kalau-kalau waktu tak mengizinkan aku mengucap maaf, hingga ayah atau ibuku pergi selamanya. 

Sesampainya di kampung, di rumah sederhana ayah dan ibuku, aku pun melihat mereka sedang bersenda gurau di bawah kolong rumah. Kurasa mereka masih seperti dulu, tampak bersahaja. Saling berbalas tutur dengan akrab dan penuh kasih sayang. Tak pernah memicu pertengkaran yang berujung perpecahan di antara mereka. Kuterka, mereka pasti memperbincangkan tentang cerita yang telah berulang-ulang mereka bahas. Begitulah cara mereka meredam kesepian. 

Aku pun sampai di belakang mereka, tanpa mereka sadari. Wajah mereka tampak terkejut waktu menyadari kedatanganku. Ibuku langsung memeluk, mendaratkan ciuman di dahiku, dan menangis haru. Sedang ayahku hanya berdiri di sampingnya. Tak melakukan hal serupa. Hanya tersenyum hingga terlihat gigi ompongnya. Sepertinya ia mengira aku masih seperti dulu yang menganggapnya tak bersahabat. Tapi jelas wajahnya juga menyiratkan haru yang mendalam. Aku pun segera menyalimi mereka dan memohon maaf.

***

Kini kami berkumpul kembali dalam satu keluarga. Waktu-waktu kami habiskan untuk berbagi cerita tentang aktivitasku selama berkuliah di kota. Sebaliknya, mereka juga membagikanku kisahnya di kampung selama aku pergi. Di sela-sela waktu membalas rindu itu, kami juga sering mengerjakan mebel pesanan orang secara bersama sama. 

Di sela istirahat, kuperhatikan baik-baik sekeliling rumah. Pandanganku tersita pada satu tiang rumah yang lapuk. Setelah kepergianku ke kota, tiang itu ternyata tak juga dibenahi ayah. Padahal kutahu ia ahli sebagai tukang kayu.

“Ayah, kenapa tiang rumah yang lapuk ini taki diganti-ganti? Sepertinya rumah ini akan goyang jika tiang ini benar-benar patah,” tanyaku.

Ayah yang sedang mengetam papan untuk memenuhi pesanan, menoleh pada tiang yang aku maksud. “Oh, itu masih tahan. Apalagi kalau cuma kami berdua di atas rumah. Tak bakal goyang,” jawab ayah, disusul batuknya yang kering. 

Aku tak ingin membalas jawabannya. Enggan aku meneruskan percakapan tentang keadaan mereka. Bukan berarti aku masih seperti dulu, yang egois dan tak peduli. Sebaliknya, kini aku benar-benar memahami, betapa kasih ayahku tanpa pamrih. Tanpa ayahku mengakuinya, aku tahu tiang rumah tak kunjung dibenahi karena ia tak mampu lagi. Jelas dari fisiknya, ia kini tak lagi muda untuk dapat membenahi tiang itu. Dengan peralatan pertukangan yang sederhana, tanpa listrik tentunya, kuyakin tenaganya seok-seokan jika melakukannya. 

Kutahu juga, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat orang tuaku sangat perhitungan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Bagi mereka, asalkan bisa makan dan rumah masih bisa meneduhkan, itu saja sudah cukup. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari upah tukangan ayahku yang tentu tak menentu. Tak seperti dulu waktu masih kuat, ayahku biasa turut menjadi pemborong untuk pembangunan fasilitas umum. Tapi karena sudah tua dan penyakit yang diidapnya, ia hanya bisa menunggu pesanan di rumah. 

Ada kenyataan yang membuatku tergugah dan merasa sangat terharu, meskipun ayahku tak jujur mengakuinya. Kutahu selama ini, ia banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidupku selama kuliah. Bahkan ia pun melawan penyakitnya dan berobat seadanya. Aku tahu itu dari cerita pamanku di kota. Ia membocorkan rahasia ayahku. Paman mengatakannya selepas aku diwisuda.

“Paman, terima kasih telah memenuhi kebutuhanku selama kuliah. Aku tak tahu, dapatkah aku menggapai gelar sarjana jika bukan atas bantuan paman,” tuturku di rumah pamanku, sekembalinya kami dari prosesi wisuda. 

Ayah dan ibuku tak datang di acara wisudaku karena aku tak memberitahu mereka.

Paman hanya tersenyum seperti biasa. “Jangan berterima kasih padaku. Pulanglah segera dan berterima kasih pada ayah dan ibumu. Merekalah yang sesungguhnya berkorban untukmu,” balas paman, sambil tersenyum. Mengingatkanku pada wajah ayah, yang waktu itu, tentu saja masih kuanggap tak bersahabat.

“Mungkin aku cari kerja dulu. Aku ragu punya masa depan kalau pulang kampung. Meneruskan usaha ayahku sepertinya kurang menguntungkan untuk kehidupanku kelak,” balasku, berharap pamanku mengiyakan maksudku.

“Pulanglah cepat. Melihat kau telah sarjana dan baik-baik saja sudah cukup membuat ayah dan ibumu bahagia. Tak perlu harus membawa segepok uang untuk membuat mereka bangga,” sanggah pamanku.

“Aku tak mencari duit untuk mereka paman. Aku mencari uang untuk hidupku sendiri. Jika pun harus berbalas budi, selayaknya ke pamanlah aku lakukan itu,” balasku. Berharap ia merasa berharga bagiku dan tersentuh.

“Aku mengerti bagaimana perasaanmu pada ayahmu Nak. Tapi kau harus sadari, jika dia tak keras padamu, mungkin kau sekarang hanya menjadi pemuda pengangguran yang tak punya masa depan,” tuturnya. Nasihat yang tak meresap di hatiku waktu itu.

Paman pun melanjutkan ceritanya, “Terpaksa aku harus bercerita. Ada rahasia yang kuharap kau tak mengatakan pada ayahmu bahwa aku telah membocorkannya padamu,” tuturnya. Membuatku fokus secara refleks. “Sebenarnya, ayahmulah yang selama ini membiayai semua kuliahmu. Kau tahu, dengan usaha toko dan gajiku sebagai guru, tentu tak cukup untuk membiayai kebutuhan 7 orang sepupumu yang banyak maunya. Terus terang, sejak kau dikirim ayahmu ke sini, ia telah menitipkan uang hasil tabungannya untuk kuliahmu. Katanya ia mulai menabung sejak kau di bangku SD. Semuanya untuk kau gunakan sampai menjadi sarjana.” 

Mendengar itu, mulutku jadi kaku, tak bisa berkata-kata. Paman pun melanjutkan ceritanya tanpa komentarku, “Tapi ayahmu telah menitip pesan kepadaku agar tak memberitahukannya padamu. Ia takut kau tak sudi menerimanya jika kau tahu, kalau uang yang kuberikan padamu selama ini adalah pemberian ayahmu. Atau bisa jadi kau masih menuruti sifat kekanak-kanakanmu, lalu menggunakan uang hasil jerih payah ayahmu itu secara boros. Sedang kau tahu sendiri, penghasilannya sangat tak memadai,” jelas pamanku. 

Aku hanya terdiam dan merasa gusar dalam hati. Mengutuk diri sendiri. Betapa selama ini aku menjadi anak yang betul-betul tak bersyukur dan durhaka. “Seharusnya paman mengatakannya sejak dulu,” tuturku.

“Aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi aku merahasiakannya demi kebaikanmu juga. Terlebih itu pesan dari ayahmu,” pungkas pamanku.

Sejak mengetahui itu, aku mulai menyadari bahwa aku telah salah menganggap ayahku tak sedikitpun memahami dan mencintaiku. Aku mulai rindu untuk membalas cinta ayahku seperti caranya. Diam-diam, aku bertekad menabung gajiku dari perusahaan nantinya untuk membangun rumah dan menghajikan ayah dan ibuku. Tentu juga untuk mengobati penyakit ayahku sampai sembuh total. 

Kusadari sudah bahwa cinta tak selamanya berupa pujian dan manjaan, sebagaimana ibu memperlakukanku. Ayahku yang selama ini bersikap tegas, ternyata menyatakan cintanya dengan cara yang lain, yaitu dalam diam dan amarahnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar