Teringat
lagi semasih kanak-kanak. Sosok ayah seperti pahlawan bagiku. Aku beruntung memilikinya.
Ia selalu membuatku merasa lebih hebat dari teman-teman sepermainanku. Jika
ayah temanku kebanyakan pegawai yang berangkat kerja setiap pagi dan pulang petang,
ayah selalu ada untukku setiap waktu. Dia akan senang hati melakukan segala
yang kupinta. Sering ia membuatkanku mobil-mobilan dari sisa kayu tukangannya.
Pernah juga ia membuatkanku miniatur rumah yang rumit nan indah saat aku memperoleh
ranking I di kelas. Hadiah-hadiah itu pun kupamerkan kepada teman-temanku, yang
ayahnya tentu tak sehebat ayahku.
Sikap
ayah terhadapku mulai berubah saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Dia tak
lagi ramah seperti saat aku masih kanak-kanak. Banyak pintaku yang tak
disetujuinya. Ia bahkan sering membalasku dengan nada tinggi. Selalu ia
pungkaskan jika sikapnya demi kebaikanku. Tapi kurasa tidak. Sepertinya ia tak
mempedulikan aku lagi. Padahal aku anak tunggalnya. Bahkan sepengetahuanku, ia menanti
hingga 12 tahun sampai Tuhan menakdirkan ibu melahirkanku. Tapi sudahlah. Kubiarkan
saja mulutnya berkotek setiap waktu. Telingaku yang keseringan memanas juga tak
akan menghayati khutbahnya yang panjang lebar.
Pernah
kala itu, aku memaksanya untuk membelikanku sepeda motor. Kuharap ia mengerti
rasanya dipecundangi teman-teman sekolah yang bebas lalu lalang mengendarai
motor. Ia bersedia, asalkan tipe motor jadul, lagi bekas. Tapi tetap kupaksakan
motor model termutakhir dan baru. Aku tak menerima alasannya jika ia tak
memiliki cukup uang. Meski tak pernah kuhitung penghasilannya dari hasil
bertukang, kurasa keinginan anak satu-satunya lebih penting daripada segalanya.
Akhirnya, keadaan menjadi serba salah. Apalagi jika kusadari ibuku yang
berperingai lembut turut bersedih.
Sikap
ayah yang kuanggap tak bersahabat berulang lagi setamatku SMP. Ia memaksaku
melanjutkan sekolah ke SMA yang jaraknya 5 kilometer dari rumah. Padahal waktu
itu, aku sama sekali tak berselera lagi menjadi anak sekolahan yang banyak
aturan. Aku ingin seperti beberapa teman sekelasku yang direstui orang tuanya
untuk tak melanjutkan sekolah. Mereka menjalani kehidupan seperti yang mereka
inginkan. Menjadi buruh pabrik dan segera menikah. Bisa juga menjadi
pengangguran atau pekerja serabutan. Asalkan bebas.
Tapi
apa daya, ayahku tetap memaksa. Ia bahkan naik pitam waktu aku merengek tak mau
ke sekolah. Amarahnya pun memuncak kali itu. Sedang ibuku, untuk pertama
kalinya, kulihat menangis bersedih. Aku pun terpaksa mengiyakan. Tapi parahnya,
permintaanku sejak SMP agar dibelikan motor baru sepertinya mustahil terpenuhi.
Ia terus saja memaksaku berangkat ke sekolah, melewati jalan berkerikil yang
penuh kubangan lumpur. Mengendarai motor bebek bututnya yang berkarat dan tak
bertenaga. Akhirnya, tak jarang aku terpaksa jadi montir dadakan akibat motor bersejarah
itu mogok di tengah tanjakan.
Tindakan
ayahku yang otoriter masih berlanjut. Lagi dan lagi. Setamat SMA, ia memaksaku melanjutkan
pendidikan ke bangku kuliah. Padahal aku telah lama menanti untuk lulus bangku
SMA, lalu bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Ibuku pun merelakan jika aku
memaksa tinggal di kampung menemani mereka. Tapi tetap ayahku memaksa. Dilema
tentunya. Ayah bak tuhan di bumi. Ibuku pun jadi mengikut. Akhirnya aku
mengalah lagi.
Aku
pun berangkat ke kota tanpa belas kasih pada ayahku, untuk melanjutkan kuliah.
Aku mengambil jurusan teknik mesin. Syukurlah, ayahku tak mengatur sampai
detail tentang jurusan yang harus kuambil. Ia memang harus mengalah. Telah ada
kesepakatan bahwa aku akan melanjutkan kuliah dengan jurusan yang aku pilih
sendiri. Pertimbangan lainnya karena aku telah banyak berprektik mengutak-atik
mesin motor tua ayahku. Sudah ada pengalaman. Aku juga menonjol dalam pelajaran
fisika dan matematika.
Dengan
berat hati, aku pun harus tinggal di rumah pamanku saat kuliah. Ia saudara
kandung ayahku yang tentu saja punya nasib yang lebih beruntung. Ia adalah
seorang guru SD dan istrinya menjual barang segala rupa di toko kecilnya. Terpaksa
juga aku nyambi jadi penjaga toko, demi menawar rasa seganku pada mereka. Jika
bekerja, aku merasa masih punya harga diri untuk meminta bantuan mereka jika
aku perlu. Termasuk berharap tipnya. Apalagi ayahku tentu tak bisa diandalkan
untuk memenuhi kebutuhanku di kota.
***
Tak
terasa, aku telah duduk di semester akhir, semester delapan. Kuusahakan untuk
selesai secepatnya agar tidak merepotkan panamku. Hidup dari usaha dan belas
kasih orang lain memang tidak bisa semau-maunya. Rasa segan dan malu
mengalahkan segalanya. Aku ingin segera sarjana dan menjadi manusia yang
merdeka seutuhnya.
Waktu bergulir. Empat
tahun sudah aku kuliah. Entah bagaimana keadaan orang tuaku sekarang. Aku
kadang malas memikirkan mereka. Mereka juga sepertinya tak memikirkanku, seperti
seharusnya orang tua memikirkan anaknya. Itu juga sebabnya, semenjak kuliah,
aku baru dua kali pulang kampung. Itupun bukan kemauanku, dan bukan pada hari
lebaran. Terpaksa saja. Mendesak karena penyakit kanker paru-paru akut yang
diidap ayahku kambuh.
Selepas menyandang gelar sarjana, aku optimis kehidupanku menjadi lebih
baik. Karena prestasiku, aku telah dipastikan menjadi seorang kayawan di sebuah
perusahaan otomotif. Kenyataan itu membuatku mulai berpikir tentang jalan hidup
yang sebenarnya terpaksa kutempuh. Kubayangkan jika waktu dulu aku mengikuti
mauku untuk menjadi pengangguran setamat SMA, tentu keadaanku tak sebaik sekarang.
Kudengar juga dari kampung, kalau teman baikku yang ngotot tak melanjutkan
pendidikannya, kini telah dibui. Ia menjadi pecandu barang terlarang. Suatu
hari ia memalak dan menganiaya orang tuanya karena ingin nyandu.
Aku
mulai merasa berdosa. Mulai kusadari bahwa akulah yang selama ini egois, bukan
ayahku. Terlebih pamanku banyak bercerita tentang ayahku yang sesungguhnya.
Sangat menyentuh. Paman juga yang menyadarkanku untuk segera pulang kampung sehari
setelah wisuda, untuk menemui orang tuaku segera. Rasa rinduku pun
menggebu-gebu. Rasa takut juga mulai menggerayangi, kalau-kalau waktu tak
mengizinkan aku mengucap maaf, hingga ayah atau ibuku pergi selamanya.
Sesampainya
di kampung, di rumah sederhana ayah dan ibuku, aku pun melihat mereka sedang
bersenda gurau di bawah kolong rumah. Kurasa mereka
masih seperti dulu, tampak bersahaja. Saling berbalas tutur dengan akrab dan penuh
kasih sayang. Tak pernah memicu pertengkaran yang berujung perpecahan di antara
mereka. Kuterka, mereka pasti memperbincangkan tentang cerita yang telah
berulang-ulang mereka bahas. Begitulah cara mereka meredam kesepian.
Aku
pun sampai di belakang mereka, tanpa mereka sadari. Wajah mereka tampak
terkejut waktu menyadari kedatanganku. Ibuku langsung memeluk, mendaratkan
ciuman di dahiku, dan menangis haru. Sedang ayahku hanya berdiri di sampingnya.
Tak melakukan hal serupa. Hanya tersenyum hingga terlihat gigi ompongnya. Sepertinya
ia mengira aku masih seperti dulu yang menganggapnya tak bersahabat. Tapi jelas
wajahnya juga menyiratkan haru yang mendalam. Aku pun segera menyalimi mereka
dan memohon maaf.
***
Kini
kami berkumpul kembali dalam satu keluarga. Waktu-waktu kami habiskan untuk
berbagi cerita tentang aktivitasku selama berkuliah di kota. Sebaliknya, mereka
juga membagikanku kisahnya di kampung selama aku pergi. Di sela-sela waktu
membalas rindu itu, kami juga sering mengerjakan mebel pesanan orang secara
bersama sama.
Di
sela istirahat, kuperhatikan baik-baik sekeliling rumah. Pandanganku tersita
pada satu tiang rumah yang lapuk. Setelah kepergianku ke kota, tiang itu
ternyata tak juga dibenahi ayah. Padahal kutahu ia ahli sebagai tukang kayu.
“Ayah,
kenapa tiang rumah yang lapuk ini taki diganti-ganti? Sepertinya rumah ini akan
goyang jika tiang ini benar-benar patah,” tanyaku.
Ayah
yang sedang mengetam papan untuk memenuhi pesanan, menoleh pada tiang yang aku
maksud. “Oh, itu masih tahan. Apalagi kalau cuma kami berdua di atas rumah. Tak
bakal goyang,” jawab ayah, disusul batuknya yang kering.
Aku
tak ingin membalas jawabannya. Enggan aku meneruskan percakapan tentang keadaan
mereka. Bukan berarti aku masih seperti dulu, yang egois dan tak peduli.
Sebaliknya, kini aku benar-benar memahami, betapa kasih ayahku tanpa pamrih. Tanpa
ayahku mengakuinya, aku tahu tiang rumah tak kunjung dibenahi karena ia tak
mampu lagi. Jelas dari fisiknya, ia kini tak lagi muda untuk dapat membenahi
tiang itu. Dengan peralatan pertukangan yang sederhana, tanpa listrik tentunya,
kuyakin tenaganya seok-seokan jika melakukannya.
Kutahu
juga, keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat orang tuaku sangat perhitungan
untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Bagi mereka, asalkan bisa makan dan rumah
masih bisa meneduhkan, itu saja sudah cukup. Mereka hanya mengandalkan penghasilan
dari upah tukangan ayahku yang tentu tak menentu. Tak seperti dulu waktu masih
kuat, ayahku biasa turut menjadi pemborong untuk pembangunan fasilitas umum.
Tapi karena sudah tua dan penyakit yang diidapnya, ia hanya bisa menunggu
pesanan di rumah.
Ada
kenyataan yang membuatku tergugah dan merasa sangat terharu, meskipun ayahku
tak jujur mengakuinya. Kutahu selama ini, ia banting tulang demi memenuhi
kebutuhan hidupku selama kuliah. Bahkan ia pun melawan penyakitnya dan berobat
seadanya. Aku tahu itu dari cerita pamanku di kota. Ia membocorkan rahasia ayahku.
Paman mengatakannya selepas aku diwisuda.
“Paman,
terima kasih telah memenuhi kebutuhanku selama kuliah. Aku tak tahu, dapatkah
aku menggapai gelar sarjana jika bukan atas bantuan paman,” tuturku di rumah
pamanku, sekembalinya kami dari prosesi wisuda.
Ayah
dan ibuku tak datang di acara wisudaku karena aku tak memberitahu mereka.
Paman
hanya tersenyum seperti biasa. “Jangan berterima kasih padaku. Pulanglah segera
dan berterima kasih pada ayah dan ibumu. Merekalah yang sesungguhnya berkorban
untukmu,” balas paman, sambil tersenyum. Mengingatkanku pada wajah ayah, yang waktu
itu, tentu saja masih kuanggap tak bersahabat.
“Mungkin
aku cari kerja dulu. Aku ragu punya masa depan kalau pulang kampung. Meneruskan
usaha ayahku sepertinya kurang menguntungkan untuk kehidupanku kelak,” balasku,
berharap pamanku mengiyakan maksudku.
“Pulanglah
cepat. Melihat kau telah sarjana dan baik-baik saja sudah cukup membuat ayah
dan ibumu bahagia. Tak perlu harus membawa segepok uang untuk membuat mereka
bangga,” sanggah pamanku.
“Aku
tak mencari duit untuk mereka paman. Aku mencari uang untuk hidupku sendiri. Jika
pun harus berbalas budi, selayaknya ke pamanlah aku lakukan itu,” balasku. Berharap
ia merasa berharga bagiku dan tersentuh.
“Aku
mengerti bagaimana perasaanmu pada ayahmu Nak. Tapi kau harus sadari, jika dia
tak keras padamu, mungkin kau sekarang hanya menjadi pemuda pengangguran yang
tak punya masa depan,” tuturnya. Nasihat yang tak meresap di hatiku waktu itu.
Paman
pun melanjutkan ceritanya, “Terpaksa aku harus bercerita. Ada rahasia yang
kuharap kau tak mengatakan pada ayahmu bahwa aku telah membocorkannya padamu,”
tuturnya. Membuatku fokus secara refleks. “Sebenarnya, ayahmulah yang selama
ini membiayai semua kuliahmu. Kau tahu, dengan usaha toko dan gajiku sebagai
guru, tentu tak cukup untuk membiayai kebutuhan 7 orang sepupumu yang banyak
maunya. Terus terang, sejak kau dikirim ayahmu ke sini, ia telah menitipkan
uang hasil tabungannya untuk kuliahmu. Katanya ia mulai menabung sejak kau di
bangku SD. Semuanya untuk kau gunakan sampai menjadi sarjana.”
Mendengar
itu, mulutku jadi kaku, tak bisa berkata-kata. Paman pun melanjutkan ceritanya
tanpa komentarku, “Tapi ayahmu telah menitip pesan kepadaku agar tak
memberitahukannya padamu. Ia takut kau tak sudi menerimanya jika kau tahu,
kalau uang yang kuberikan padamu selama ini adalah pemberian ayahmu. Atau bisa jadi
kau masih menuruti sifat kekanak-kanakanmu, lalu menggunakan uang hasil jerih
payah ayahmu itu secara boros. Sedang kau tahu sendiri, penghasilannya sangat
tak memadai,” jelas pamanku.
Aku
hanya terdiam dan merasa gusar dalam hati. Mengutuk diri sendiri. Betapa selama
ini aku menjadi anak yang betul-betul tak bersyukur dan durhaka. “Seharusnya
paman mengatakannya sejak dulu,” tuturku.
“Aku
mengerti bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi aku merahasiakannya demi
kebaikanmu juga. Terlebih itu pesan dari ayahmu,” pungkas pamanku.
Sejak
mengetahui itu, aku mulai menyadari bahwa aku telah salah menganggap ayahku tak
sedikitpun memahami dan mencintaiku. Aku mulai rindu untuk membalas cinta ayahku
seperti caranya. Diam-diam, aku bertekad menabung gajiku dari perusahaan nantinya
untuk membangun rumah dan menghajikan ayah dan ibuku. Tentu juga untuk
mengobati penyakit ayahku sampai sembuh total.
Kusadari
sudah bahwa cinta tak selamanya berupa pujian dan manjaan, sebagaimana ibu
memperlakukanku. Ayahku yang selama ini bersikap tegas, ternyata menyatakan cintanya
dengan cara yang lain, yaitu dalam diam dan amarahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar