Jariku kembali menari di atas
butiran tombol laptop. Merangkai cerita tentang kita. Entah dari mana mulainya.
Yang pasti kumulai saat rindu ini sedemikian memuncak. Sepertinya mudah. Cerita
tak butuh direkayasa. Hanya butuh keberanian mengungkapkan secuil kesan yang
kusimpan di balik kepalaku. Takutku jika suatu saat kau memahami cerita ini.
Tapi ah…Sudahlah, kupastikan tak terlintas sepenggal namaku pun di benakmu.
Apalagi berharap kau mengetik namaku di Mbah Google lalu menemukan celotehan
ini. Yang jelas, cerita ini tentangmu, seseorang yang kurindukan, entah
berujung atau tidak. Ya, itu kamu!
Aku mulai saja berkisah ketika
pertama kali kumenerawang bola matamu di balik lensa kacamata. Saat itu kita
saling berhadapan di ruang 3x4, tempat kita dan semua sering berteduh ketika
langit musimnya menangis. Matamu sipit, ngangennin.
Layaknya mata kucing kesayanganku yang kedipnya saja menggemaskan. Pipimu
tembam. Aku ingin sekali menariknya sepasang ke samping. Membuat hidungmu yang
kategori pesek semakin susut. Ingin kugambarkan satu per satu rangkaian
ragamu. Ah…, cukup itu saja. Aku takut jika kau bercermin dan menyadari itu
adalah dirimu. Yang jelas, hayalanku tinggi. Kalaupun tentang kita nyata, anak
kita akan sangat lucu jika mencangkok gen wajahmu yang manis. Ya, lumayan untuk
menutupi wajahku yang menurut sebagian temanku garang. Tapi entahlah, mungkin
bagi wanita, aku malah dianggap macho. Persepsi
keindahan kan beda-beda. Intinya, tentang dirimu, memang cantik, manis,
menarik, lucu, imut…, sempurna di mataku. Aku melihat dirimu secara utuh. Tidak
seperti seorang temanku yang hanya memuji dan terpaku pada bibirmu yang katanya
bentuk love.
Banyak yang ingin aku ceritakan.
Kau mungkin tak bisa berikan saran momen yang mana lagi baiknya kuceritakan di
paragraf ini. Ya sudahlah, aku pilih cerita ketika kau memintaku mengantarmu ke
suatu tempat untuk membeli sesuatu yang ragamu sangat butuhkan. Itu bukan
tentang bahan tata rias wajah yang akan menutupi kecantikan alamimu. Benda itu
tentang kelangsungan hidupmu. Namanya… Ah, tidak usah aku perinci. Jangan
sampai kejujuran rasa ini kau tanggapi jikalau Tuhan menakdirkanmu menemukan di
kotak rahasiaku ini. Aku takut kata “Tidak”. Yang jelas, siang mendung itu kau
menghubungiku dengan tutur kata yang sangat segan. Padahal jika kau tahu,
mengantarmu keliling dunia pun akulah yang bahagia. Tapi selalu kutepis
anggapan jika kau membutuhkanku daripada teman yang lain. Penyangkalan diriku
untuk kali ini, “Ya wajarlah Dia minta tolong, cuma Aku yang kebetulan punya
motor. Kan di rumah kecil, teman-teman lain sangat terilhami aliran kiri”.
Begitulah. Tapi untuk waktu itu, terima kasih putri “angin”.
Kesan kedua kutuliskan saat kau
bertanya sesuatu. Sangat aneh. Kau mempertanyakan teori tentang ilmu
pengetahuan alam. Padahal kau kan tahu sendiri, kita mendalami rumpun ilmu
sosial yang sama. Tak pernah kusangka kau akan bertanya, “Kenapa…”. Hampir saja
bagian ini tak kusensor. Maaf jikalaupun matamu ditakdirkan mengeja rangakaian
cerita kita ini. Tak ada niat membuatmu rusuh sendiri dan menebak-nebak,
“Apakah itu Aku?” Haha, aku tenggelam dalam imajinasi lagi. Tak mungkinlah kau
mencari dirimu dalam cerita ini. Kembali ke pertanyaanmu itu, tapi tak terlalu
banyak bahan untuk bagian ini. Percakapan kita lewat pesan singkat, pendek.
Sisanya pun obrolan serius tentang rumah kecil yang mempertemukan kita. Cuma di
bahasan pertanyaan itu, aku merasa tak diacuhkan. Seribu jawab yang kupendam
dari hasil telusurku di buku SMA dulu, sepertinya tak kau butuh setelah
mengakhiri obrolan. Terus terang, aku suka berkhayal tentang alasanmu bertanya.
Sekadar membanggakan diri bahwa kau ternyata mengandalkanku, lebih dari orang
IPA yang seharusnya kau tanyai. Kenapa kau begitu? Ah..., sudahlah! Aku baiknya
melawan diri sendiri lagi.
Segalanya berakhir setelah kau
memasuki dunia lain. Tertutup kemungkinan bagiku mencuri bagian dirimu untuk
kurekam sebagai ceritaku sendiri, tentang kita. Aku berharap, aturan surgawi
benar menuntun dirimu. Seharusnya aku kesal, tapi jiwaku malah terkesima
melihatmu meninggalkan dunia di saat kau masih menjadi bintang di rumah kecil.
Mudah-mudahan kau ria bersama bidadari lainnya. Ke mana ceritaku mendapat
sinopsis sepeninggalmu? Tak mungkin ada yang lain. Jika mencoba menghempaskan
diri pada sosok lain, selalu akhirnya mereka hanya jadi pembanding bahwa kau
lebih baik. Kukagumi sikapmu tak berlebihan. Selalu menanti kapan kau mulai
lagi setiap kali menghentikan tawamu yang pendek. Sangat kurindukan itu. Ah…
Mungkin dapat teralihkan rinduku jika rasa ini hanya kulekatkan pada ragamu.
Tapi aku juga rindu jiwamu. Ketika yang lain masih berjibaku jadi artis,
momoles diri menjadi dewi amor, mengemis pujian para mata keranjang, menganggap
diri paling berharga, merelakan diri mereka ditelanjangi, dan…, kau malah
melangkah ke tingkatan lebih tinggi. Pandanganku pun menengadah ke atas,
mencari ragamu di masa lalu, hingga mencintai kebaikan jiwamu di masa depan.
Tunggulah, karena aku masih menyusun anak tangga mengapai tingkatanmu. Aku akan
mengatakan kejujuran rasaku yang tak keriput oleh waktu. Kapan? Aku juga masih
bertanya-tanya.
Sampai detik ini aku masih
merindukanmu. Tapi kurelakan kau menapaki jalanmu. Entah kenapa, padahal aku
harusnya geram. Tapi pikirku, setidaknya kau telah meninggalkan dunia penuh
perangkap. Takutku hanya jika kemungkinan itu mustahil untukku, ketika Tuhan
tidak menunjukkan arah ke tempatmu bertapa, sedangkan kau tak mungkinlah
kembali. Bukan itu saja, lebih lagi takutku jika jalanmu menuju ke sana
dituntun seorang bidadara. Kau merindukannya di balik sekat dalam dunia yang
sama. Masih ada kemungkinan kalian dipertemukan. Dialah yang kau rindukan,
sadangkan aku merindukanmu di dunia yang lain. Terus terang, cerita tentang
masa lalumu membuatku ragu tenang masa depan kita. Kutelusuri juga, ternyata kau
pernah di persinggahan lain, di rumah lain yang mungkin sangat berkesan bagimu
dahulu. Masalahnya, kupersepsikan semua orang sama, bahwa yang mempersatukan
keabadian rasa adalah kebersamaan di masa lalu. Sedangkan aku? Mungkin tak
secuil kisah kita pun yang kau anggap kenangan manis. Ya, sudahlah. Kau adalah
kemustahilan tapi masih kupaksakan niscaya. Tak perlu salahkan dirimu jika kau
tahu tentang ini, kalaupun itu. Jangan kembali ke duniaku, penuh hayal
ketidakpastian, karena saat ini kau berada di dunia pengharapan untuk
keniscayaan. Aku harap kau tak geram cerita ini kutuliskan. Kalau menitihkan
air mata haru? Ah, imajinasiku memuncak lagi, padahal ini bukan fiksi.
Aku masih belajar menjaga
duniaku dari kutukan dunia yang orang istilahkan kedipan mata anak iblis. Meski
harus melawan diri sendiri, aku pastikan bertahan pada nilai sendiri, hingga
kau menggenapiku, lalu kembali ke nilai itu lagi. Kuharap variabel formula
kocak itu adalah kita. Aku akan berdoa dan bersedekah untuk mengubah takdir
jika hasilnya kutahu bukanlah kita berdua. Mungkin nanti, akan kucari dirimu
ketika sungguh kusanggup memuliakanmu dalam genggamanku karena Tuhan.
Bertahanlah! Kalau pun bukan aku, tetaplah yang memuliakan dirimu. Akhirnya,
jangan pernah tanya siapa orang dengan kata ganti Aku dalam cerita ini
jikalaupun kau penasaran, itu adalah orang yang kau kenal, walau hanya sebatas
kawan.
“Cerita tertulis
hanya untuk menyejarahkan rindu. Suatu saat akan kubuka sehingga kusadari lagi
wujud, nada, dan bau menyimpan kesan bersamamu. Bahwa sinar mentari dan butiran
hujan menyimpan cerita kita. Aku sadar di tempat yang berbeda, rindu yang
menghadirkanmu di sisiku. Jadi, biarkan aku merindu…”
Pukul 11.50-13.20, Minggu, 1
Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar