Minggu, 01 Februari 2015

Untuk Anonim

Jariku kembali menari di atas butiran tombol laptop. Merangkai cerita tentang kita. Entah dari mana mulainya. Yang pasti kumulai saat rindu ini sedemikian memuncak. Sepertinya mudah. Cerita tak butuh direkayasa. Hanya butuh keberanian mengungkapkan secuil kesan yang kusimpan di balik kepalaku. Takutku jika suatu saat kau memahami cerita ini. Tapi ah…Sudahlah, kupastikan tak terlintas sepenggal namaku pun di benakmu. Apalagi berharap kau mengetik namaku di Mbah Google lalu menemukan celotehan ini. Yang jelas, cerita ini tentangmu, seseorang yang kurindukan, entah berujung atau tidak. Ya, itu kamu! 
 
Aku mulai saja berkisah ketika pertama kali kumenerawang bola matamu di balik lensa kacamata. Saat itu kita saling berhadapan di ruang 3x4, tempat kita dan semua sering berteduh ketika langit musimnya menangis. Matamu sipit, ngangennin. Layaknya mata kucing kesayanganku yang kedipnya saja menggemaskan. Pipimu tembam. Aku ingin sekali menariknya sepasang ke samping. Membuat hidungmu yang kategori pesek semakin susut. Ingin kugambarkan satu per satu rangkaian ragamu. Ah…, cukup itu saja. Aku takut jika kau bercermin dan menyadari  itu adalah dirimu. Yang jelas, hayalanku tinggi. Kalaupun tentang kita nyata, anak kita akan sangat lucu jika mencangkok gen wajahmu yang manis. Ya, lumayan untuk menutupi wajahku yang menurut sebagian temanku garang. Tapi entahlah, mungkin bagi wanita, aku malah dianggap macho. Persepsi keindahan kan beda-beda. Intinya, tentang dirimu, memang cantik, manis, menarik, lucu, imut…, sempurna di mataku. Aku melihat dirimu secara utuh. Tidak seperti seorang temanku yang hanya memuji dan terpaku pada bibirmu yang katanya bentuk love.

Banyak yang ingin aku ceritakan. Kau mungkin tak bisa berikan saran momen yang mana lagi baiknya kuceritakan di paragraf ini. Ya sudahlah, aku pilih cerita ketika kau memintaku mengantarmu ke suatu tempat untuk membeli sesuatu yang ragamu sangat butuhkan. Itu bukan tentang bahan tata rias wajah yang akan menutupi kecantikan alamimu. Benda itu tentang kelangsungan hidupmu. Namanya… Ah, tidak usah aku perinci. Jangan sampai kejujuran rasa ini kau tanggapi jikalau Tuhan menakdirkanmu menemukan di kotak rahasiaku ini. Aku takut kata “Tidak”. Yang jelas, siang mendung itu kau menghubungiku dengan tutur kata yang sangat segan. Padahal jika kau tahu, mengantarmu keliling dunia pun akulah yang bahagia. Tapi selalu kutepis anggapan jika kau membutuhkanku daripada teman yang lain. Penyangkalan diriku untuk kali ini, “Ya wajarlah Dia minta tolong, cuma Aku yang kebetulan punya motor. Kan di rumah kecil, teman-teman lain sangat terilhami aliran kiri”. Begitulah. Tapi untuk waktu itu, terima kasih putri “angin”. 

Kesan kedua kutuliskan saat kau bertanya sesuatu. Sangat aneh. Kau mempertanyakan teori tentang ilmu pengetahuan alam. Padahal kau kan tahu sendiri, kita mendalami rumpun ilmu sosial yang sama. Tak pernah kusangka kau akan bertanya, “Kenapa…”. Hampir saja bagian ini tak kusensor. Maaf jikalaupun matamu ditakdirkan mengeja rangakaian cerita kita ini. Tak ada niat membuatmu rusuh sendiri dan menebak-nebak, “Apakah itu Aku?” Haha, aku tenggelam dalam imajinasi lagi. Tak mungkinlah kau mencari dirimu dalam cerita ini. Kembali ke pertanyaanmu itu, tapi tak terlalu banyak bahan untuk bagian ini. Percakapan kita lewat pesan singkat, pendek. Sisanya pun obrolan serius tentang rumah kecil yang mempertemukan kita. Cuma di bahasan pertanyaan itu, aku merasa tak diacuhkan. Seribu jawab yang kupendam dari hasil telusurku di buku SMA dulu, sepertinya tak kau butuh setelah mengakhiri obrolan. Terus terang, aku suka berkhayal tentang alasanmu bertanya. Sekadar membanggakan diri bahwa kau ternyata mengandalkanku, lebih dari orang IPA yang seharusnya kau tanyai. Kenapa kau begitu? Ah..., sudahlah! Aku baiknya melawan diri sendiri lagi.

Segalanya berakhir setelah kau memasuki dunia lain. Tertutup kemungkinan bagiku mencuri bagian dirimu untuk kurekam sebagai ceritaku sendiri, tentang kita. Aku berharap, aturan surgawi benar menuntun dirimu. Seharusnya aku kesal, tapi jiwaku malah terkesima melihatmu meninggalkan dunia di saat kau masih menjadi bintang di rumah kecil. Mudah-mudahan kau ria bersama bidadari lainnya. Ke mana ceritaku mendapat sinopsis sepeninggalmu? Tak mungkin ada yang lain. Jika mencoba menghempaskan diri pada sosok lain, selalu akhirnya mereka hanya jadi pembanding bahwa kau lebih baik. Kukagumi sikapmu tak berlebihan. Selalu menanti kapan kau mulai lagi setiap kali menghentikan tawamu yang pendek. Sangat kurindukan itu. Ah… Mungkin dapat teralihkan rinduku jika rasa ini hanya kulekatkan pada ragamu. Tapi aku juga rindu jiwamu. Ketika yang lain masih berjibaku jadi artis, momoles diri menjadi dewi amor, mengemis pujian para mata keranjang, menganggap diri paling berharga, merelakan diri mereka ditelanjangi, dan…, kau malah melangkah ke tingkatan lebih tinggi. Pandanganku pun menengadah ke atas, mencari ragamu di masa lalu, hingga mencintai kebaikan jiwamu di masa depan. Tunggulah, karena aku masih menyusun anak tangga mengapai tingkatanmu. Aku akan mengatakan kejujuran rasaku yang tak keriput oleh waktu. Kapan? Aku juga masih bertanya-tanya.

Sampai detik ini aku masih merindukanmu. Tapi kurelakan kau menapaki jalanmu. Entah kenapa, padahal aku harusnya geram. Tapi pikirku, setidaknya kau telah meninggalkan dunia penuh perangkap. Takutku hanya jika kemungkinan itu mustahil untukku, ketika Tuhan tidak menunjukkan arah ke tempatmu bertapa, sedangkan kau tak mungkinlah kembali. Bukan itu saja, lebih lagi takutku jika jalanmu menuju ke sana dituntun seorang bidadara. Kau merindukannya di balik sekat dalam dunia yang sama. Masih ada kemungkinan kalian dipertemukan. Dialah yang kau rindukan, sadangkan aku merindukanmu di dunia yang lain. Terus terang, cerita tentang masa lalumu membuatku ragu tenang masa depan kita. Kutelusuri juga, ternyata kau pernah di persinggahan lain, di rumah lain yang mungkin sangat berkesan bagimu dahulu. Masalahnya, kupersepsikan semua orang sama, bahwa yang mempersatukan keabadian rasa adalah kebersamaan di masa lalu. Sedangkan aku? Mungkin tak secuil kisah kita pun yang kau anggap kenangan manis. Ya, sudahlah. Kau adalah kemustahilan tapi masih kupaksakan niscaya. Tak perlu salahkan dirimu jika kau tahu tentang ini, kalaupun itu. Jangan kembali ke duniaku, penuh hayal ketidakpastian, karena saat ini kau berada di dunia pengharapan untuk keniscayaan. Aku harap kau tak geram cerita ini kutuliskan. Kalau menitihkan air mata haru? Ah, imajinasiku memuncak lagi, padahal ini bukan fiksi.

Aku masih belajar menjaga duniaku dari kutukan dunia yang orang istilahkan kedipan mata anak iblis. Meski harus melawan diri sendiri, aku pastikan bertahan pada nilai sendiri, hingga kau menggenapiku, lalu kembali ke nilai itu lagi. Kuharap variabel formula kocak itu adalah kita. Aku akan berdoa dan bersedekah untuk mengubah takdir jika hasilnya kutahu bukanlah kita berdua. Mungkin nanti, akan kucari dirimu ketika sungguh kusanggup memuliakanmu dalam genggamanku karena Tuhan. Bertahanlah! Kalau pun bukan aku, tetaplah yang memuliakan dirimu. Akhirnya, jangan pernah tanya siapa orang dengan kata ganti Aku dalam cerita ini jikalaupun kau penasaran, itu adalah orang yang kau kenal, walau hanya sebatas kawan.

“Cerita tertulis hanya untuk menyejarahkan rindu. Suatu saat akan kubuka sehingga kusadari lagi wujud, nada, dan bau menyimpan kesan bersamamu. Bahwa sinar mentari dan butiran hujan menyimpan cerita kita. Aku sadar di tempat yang berbeda, rindu yang menghadirkanmu di sisiku. Jadi, biarkan aku merindu…”

Pukul 11.50-13.20, Minggu, 1 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar