Di
usia senjanya, Dori masih memendam satu keisauan mendalam. Pasalnya, Milan,
anak bungsunya, belum juga menikah. Padahal, anak yang terbilang luwes dalam
bergaul itu, telah menginjak usia kepala tiga. Dori jelas khawatir jika
sepeninggalnya, sang anak tak menemukan pendamping hidup. Sungguh, ia telah
merasakan sendiri, betapa getirnya hidup tanpa seorang istri.
Sebenarnya,
segala upaya telah dilakukan Dori untuk menikahkan sang anak. Beberapa gadis
desa atau anak kerabatnya sendiri, telah ia tawari, hingga beberapa menunjukkan
sikap penerimaan untuk menikah dengan Milan. Itu tidaklah sulit, sebab
keluarganya begitu terpandang dan disegani warga kampung. Tapi akhirnya, Milan
tetap tak berelera. Ia menolak keras semua tawaran itu.
Dori
pun pasrah mengurusi masalah perjodohan anaknya. Ia tak mau lagi ambil pusing.
Sebagai seorang ayah, ia merasa sudah cukup melakukan upaya untuk menikahkan
sang anak. Sampai akhirnya, datanglah hari yang tak diduga-duga, di saat Milan
mengungkapkan keinginannya untuk menikahi seorang wanita.
“Ayah,
aku ingin menikah dengan Santi,” tutur Milan dengan sikap sopan.
Bukannya
semringah mendengar kabar itu, Dori yang tengah menikmati tehnya di pagi hari, malah
terkaget. “Apa? Kau ingin menikahi janda beranak satu?”
Milan
mengangguk segan.
Seperti
tak habis pikir, Dori menggeleng-gelengkan kepala. “Nak, kau ini anakku. Anak
seorang pengusaha kaya yang terpandang di desa ini. Mana bisa kau menikah
dengan seorang wanita yang tak benar seperti itu?”
Meski
sedikit tak enak dengan penuturan ayahnya, Milan tetap berusaha mengendalikan
dirinya. Ia tak ingin kalau tujuannya tak tercapai hanya karena salah berucap. “Aku
paham Ayah. Bahkan aku telah memikirkannya matang-matang. Dan aku merasa,
menikahi seorang janda seperti Santi, tak ada bedanya dengan menikahi seorang
gadis. Itu bahkan baik, agar aku bisa menafkahi hidup keluarga kecilnya yang
tak menentu, juga menghilangkan fitnah yang berseliweran. Aku sanggup, Ayah.”
Dori
tetap pada sikapnya. “Aku paham tentang itu, Nak. Tapi dia janda dengan cara
yang tak beradab. Jandanya bukan karena ditinggal mati suaminya, tapi bergaul
dengan sosok lelaki yang tak jelas, yang tak pernah diketahui siapa sampai kini.”
“Aku
tahu, Ayah. Tapi apa salahnya jika begitu? Bukankah semua orang punya masa
lalu? Lagi pula, kehinaan orang, akan menjadi kemuliaan kita, jika saja kita
menyelamatkannya dari kehinaan itu,” tutur Milan.
Dori
tetap menampakkan sikap tak terima, meski ia sedikit meluluh melihat kehendak
kuat sang anak. “Tapi…”
“Ayah,”
sela Milan seketika, “Kalau tidak dengan Santi, aku tak akan menikah seumur
hidupku.”
Mendengar
tekad sang anak, mulut Dori seperti tersekat. Ia merasa tak punya pilihan lain
selain mengalah. Apalagi, akan lebih buruk jika Milan benar-benar tak menikah
sepanjang hidupnya.
Dan
obrolan selanjutnya pun, hanya membahas tentang prosesi pernikahan Milan dengan
Santi.
Sungguh,
atas persetujuan ayahnya, Milan benar-benar bersyukur. Tak lama lagi, ia akan
menunaikan janjinya pada Santi. Sebuah janji nikah dua tahun lalu, kala Santi
mengaku hamil. Sebuah janji untuk menebus dosanya sendiri. Janji untuk
mengembalikan sang anak pada ayahnya sendiri.
“Nak,
karena ini sudah jadi keputusanmu, aku ingin kau menyegerakannya. Kalau bisa,
jangan sampai bulan depan,” tutur Dori.
Milan
mengangguk senang, dengan satu senyuman yang membungkus semua rahasia masa
lalunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar