Aku
masih terjerat dalam kehampaan. Tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga
merampungkan satu tulisan pun. Hidupku terasa sangat sia-sia karenanya. Hari-hari
kulalui hanya dengan berharap bahwa aku akan menandaskan satu cerita sebelum
hari berganti, tapi semua berakhir pada kegagalan. Aku seperti kehilangan
inspirasi di tengah motivasiku yang menggebu untuk terus menulis.
Memang
benar kalau seorang penulis harus mengambil jeda. Seorang penulis butuh
selingan untuk membaca buku atau bercengkerama dengan alam sekitar demi
menemukan ide-ide cerita yang segar. Jikalau tidak, cerita akan berkutat pada
satu ranah persoalan, sehingga rentan menimbulkan cerita yang berulang. Dan
tentu saja, seorang penulis selalu ingin memperbarui kualitas karyanya, dan tak
ingin dicap monoton.
Tapi
jeda yang kulalui, mungkin sudah terlalu lama. Bahkan kini, aku seperti kehilangan
jalan yang dulu kurintis dan selalu kutapaki untuk menemukan satu cerita
menakjubkan dalam waktu yang singkat. Aku seperti kehilangan keterampilan dan
kembali seperti penulis pemula yang selalu kebingunan mengawali tulisan, hingga
seringkali mengakhiri tulisan dengan menghapusnya kembali. Aku seolah kehabisan
daya sebagai penulis fiksi.
Dengan
perasaan yang galau, sedari tadi aku hanya berlalu lalang di dalam kamarku yang
sunyi. Terus mengamati objek di segala arah, dan berharap ada satu cerita yang
dapat kurangkai darinya. Sesekali juga kulayangkan pandangan ke luar jendela,
ke hamparan tetumbuhan dan bentangan danau sambil berdoa semoga ada ilham
cerita darinya. Kuamati pula anak manusia yang berlalu di jalan bawah sana, dan bermunajat semoga ada laku dari mereka yang bisa menjadi bahan
ceritaku.
Dari
lantai empat bangunan tempatku berada, aku bisa menyaksikan keindahan alam yang
terlupakan, orang-orang yang mondar-mandir dan tak saling menyapa, juga
objek-objek acak lainnya. Semua mengandung masalah yang bisa kuramu dalam
sebuah cerita. Namun tetap saja, sulit bagiku merangkai komponen-komponen itu ke
dalam satu cerita yang utuh. Dan lagi-lagi, aku mulai berpikir untuk berhenti saja
menjadi seorang penulis fiksi yang selalu berkutat dengan imajinasi, kemudian
banting setir menjadi seorang penulis berita yang menulis keadaan apa adanya.
Hingga
akhirnya, mataku tertuju pada seorang gadis pada sebuah balai kecil di tepi
danau yang jauh dari lintasan manusia. Seorang gadis yang mengenakan baju putih berlengan panjang, dengan rok
bercorak batik bunga-bunga. Ia terlihat menyendiri saja di samping sebuah buku
dan tas ransel. Sesekali memandang jauh ke arah danau yang tampak tak bertepi, atau
tunduk termenung ke arah rerumputan yang tumbuh liar. Dan seketika, aku merasa
ada ketidaklaziman pada dirinya yang patut menjadi inspirasi ceritaku.
Perlahan-lahan,
aku mulai mengondisikan diriku menjadi dirinya. Menjadikan ia sebagai objek bagiku
untuk menemukan tanya dan pengandaian-pengandaian, sebagaimana penulis fiksi
yang pada dasarnya hanya menjawab pertanyaan yang ia ciptakan sendiri tentang
“bagaimana jika”. Hingga aku mulai membayangkan kalau-kalau dirinya adalah
seorang wanita yang dilanda kegundahan sebab takdir Tuhan tak kunjung
mempertemukan ia dengan belahan jiwanya.
Beberapa
waktu kemudian, ia tampak menyobek sehalaman kertas buku tulis yang tergeletak di
sampingnya. Ia lalu menulis pada kertas yang menumpu di pahanya, secara
menjeda-jeda. Aku pun menduga kalau ia sedang menulis sebuah puisi penantian untuk
seorang kekasih yang masih di alam misteri. Kupikir begitu sebab ia tampak
berkhayal dengan penuh kekhidmatan, bukannya gelisah dengan penuh kesedihan atau
kekesalan seakan-akan ia sedang mengutuk seseorang yang telah ia kenal
sebelumnya.
Tak
berselang lama, ia tampak meletakkan secarik kertas yang telah ia tulisi dengan
kata-kata. Ia kemudian menumpukan kedua kakinya di atas lantai balai, lalu memeluknya
begitu erat, seolah-orang itu adalah raga sesosok manusia. Sembari memandang sang
surya yang mulai menjingga di ufuk barat, ia terlihat mengatup-ngatupkan mulutnya,
seperti sedang bernyayi. Dan kukira, ia tengah melantunkan lagu-lagu penantian
yang menggambarkan kerapuhannya dalam penantian.
Setelah
berlalu waktu yang lama, ternyata sang gadis betah juga. Sesekali ia hanya mencoba
melegakan badan dengan terlentang sejenak, menyelonjorkan kaki ke bawah lantai,
atau menggerakkan badan ke samping kiri dan kanan secara bergantian. Sampai
akhirnya, mentari benar-benar tenggelam. Yang tersisa hanya cahaya temaram dari
bulan yang memantul ke permukaan danau. Namun tetap saja ia tak beranjak-pergi ke
mana-mana.
Gelap
malam pun kini menyamarkan penampakan sang gadis dari pandanganku. Aku tak bisa
lagi melihat raut wajahnya yang sendu. Tapi aku masih melihat siluet raganya di
balik bias cahaya bulan di danau. Aku masih sanggup menerka kala ia
mengeluarkan seperangkat alat dan botol-botol dari tasnya, atau ketika ia
berdiri dan tampak memasang tali di langit-langit balai bak memasang ayunan. Dan
aku sungguh menyukai ketidakjelasan itu, sebab pikiranku bisa memunculkan
pengandaian-pengandaian liar yang kubutuhkan untuk membuat cerita yang dramatis
dan tragis.
Namun
atas konsep cerita yang tak utuh di benakku sedari awal, akhirnya aku terjebak pada
jalan cerita yang buntu. Alur cerita yang kurangkai terkesan abstrak dan
mengawang-awang. Aku pun kelimpungan mencari akhir yang mengesankan. Sejak tadi,
aku hanya merangkai huruf-huruf deskriptif tentang dirinya dalam beberapa
halaman, dan aku tak punya konsep tentang konflik dan klimaks yang masuk akal.
Berjuanglah
aku dengan pikiran seluruhnya. Kukerahkan daya imajinasiku untuk meramu akhir
yang baik. Aku punya beberapa opsi. Namun akhirnya, aku memilih menandaskan
cerita dengan menyatakan bahwa si gadis ditemukan oleh seorang lelaki pencari
ikan yang kemudian menjadi kekasihnya, meski itu jelas akhir cerita yang
terkesan biasa. Tapi aku tak punya pilihan yang lebih baik. Aku jelas tak suka
memasukkan unsur mistik yang tak realistis dalam cerita, semisal menyatakan bahwa
ia adalah bidadari yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Pun, aku tak punya
ketegaan untuk menyatakan bahwa ia mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan
diri ke dalam danau.
Puas
atau tidak, aku tetaplah senang sebab aku telah berhasil menyelesaikan satu
cerita. Aku seperti kembali menemukan bagian diriku yang telah menghilang sejak
lama. Dan untuk ambisi yang biasa-biasa saja, aku pun mengunggah tulisan itu di
blog pribadiku yang telah terabaikan dalam waktu yang lama, sambil berharap
semoga ada beberapa orang yang akan tersesat di dunia maya dan sudi membacanya.
Setelah itu, aku pun mengucapkan selamat malam di dalam hati untuk si gadis
misterius, dan mulai menyambut mimpiku dalam lelap dengan perasaan yang tenang.
Dan
akhirnya, waktu bergulir cepat. Pagi telah tiba. Cahaya mentari merasuk ke
dalam ruang kamarku. Aku pun terbangun setelah melalui tidur pulas yang menenangkan.
Lekas kemudian, aku menyibak jendela dan mengecek keberadaan si gadis. Hingga
kusaksikanlah akhir tentang dirinya yang begitu menyesakkan, yang dalam cerita
pun tak tega kunyatakan: si gadis tampak terbujur kaku dengan kaki yang tak
sampai menapak di tanah; Lehernya terikat pada sutas tali yang menggantung di
langit-langit balai.
Seketika,
aku merasa suasana pagi jadi sangat dingin dan kelabu. Aku menggigil sepenuh
jiwaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar