Rabu, 19 September 2018

Seorang Gadis di Balik Jendela

Aku masih terjerat dalam kehampaan. Tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga merampungkan satu tulisan pun. Hidupku terasa sangat sia-sia karenanya. Hari-hari kulalui hanya dengan berharap bahwa aku akan menandaskan satu cerita sebelum hari berganti, tapi semua berakhir pada kegagalan. Aku seperti kehilangan inspirasi di tengah motivasiku yang menggebu untuk terus menulis.
 
Memang benar kalau seorang penulis harus mengambil jeda. Seorang penulis butuh selingan untuk membaca buku atau bercengkerama dengan alam sekitar demi menemukan ide-ide cerita yang segar. Jikalau tidak, cerita akan berkutat pada satu ranah persoalan, sehingga rentan menimbulkan cerita yang berulang. Dan tentu saja, seorang penulis selalu ingin memperbarui kualitas karyanya, dan tak ingin dicap monoton.

Tapi jeda yang kulalui, mungkin sudah terlalu lama. Bahkan kini, aku seperti kehilangan jalan yang dulu kurintis dan selalu kutapaki untuk menemukan satu cerita menakjubkan dalam waktu yang singkat. Aku seperti kehilangan keterampilan dan kembali seperti penulis pemula yang selalu kebingunan mengawali tulisan, hingga seringkali mengakhiri tulisan dengan menghapusnya kembali. Aku seolah kehabisan daya sebagai penulis fiksi.

Dengan perasaan yang galau, sedari tadi aku hanya berlalu lalang di dalam kamarku yang sunyi. Terus mengamati objek di segala arah, dan berharap ada satu cerita yang dapat kurangkai darinya. Sesekali juga kulayangkan pandangan ke luar jendela, ke hamparan tetumbuhan dan bentangan danau sambil berdoa semoga ada ilham cerita darinya. Kuamati pula anak manusia yang berlalu di jalan bawah sana, dan bermunajat semoga ada laku dari mereka yang bisa menjadi bahan ceritaku.

Dari lantai empat bangunan tempatku berada, aku bisa menyaksikan keindahan alam yang terlupakan, orang-orang yang mondar-mandir dan tak saling menyapa, juga objek-objek acak lainnya. Semua mengandung masalah yang bisa kuramu dalam sebuah cerita. Namun tetap saja, sulit bagiku merangkai komponen-komponen itu ke dalam satu cerita yang utuh. Dan lagi-lagi, aku mulai berpikir untuk berhenti saja menjadi seorang penulis fiksi yang selalu berkutat dengan imajinasi, kemudian banting setir menjadi seorang penulis berita yang menulis keadaan apa adanya.

Hingga akhirnya, mataku tertuju pada seorang gadis pada sebuah balai kecil di tepi danau yang jauh dari lintasan manusia. Seorang gadis yang mengenakan baju putih berlengan panjang, dengan rok bercorak batik bunga-bunga. Ia terlihat menyendiri saja di samping sebuah buku dan tas ransel. Sesekali memandang jauh ke arah danau yang tampak tak bertepi, atau tunduk termenung ke arah rerumputan yang tumbuh liar. Dan seketika, aku merasa ada ketidaklaziman pada dirinya yang patut menjadi inspirasi ceritaku.

Perlahan-lahan, aku mulai mengondisikan diriku menjadi dirinya. Menjadikan ia sebagai objek bagiku untuk menemukan tanya dan pengandaian-pengandaian, sebagaimana penulis fiksi yang pada dasarnya hanya menjawab pertanyaan yang ia ciptakan sendiri tentang “bagaimana jika”. Hingga aku mulai membayangkan kalau-kalau dirinya adalah seorang wanita yang dilanda kegundahan sebab takdir Tuhan tak kunjung mempertemukan ia dengan belahan jiwanya.

Beberapa waktu kemudian, ia tampak menyobek sehalaman kertas buku tulis yang tergeletak di sampingnya. Ia lalu menulis pada kertas yang menumpu di pahanya, secara menjeda-jeda. Aku pun menduga kalau ia sedang menulis sebuah puisi penantian untuk seorang kekasih yang masih di alam misteri. Kupikir begitu sebab ia tampak berkhayal dengan penuh kekhidmatan, bukannya gelisah dengan penuh kesedihan atau kekesalan seakan-akan ia sedang mengutuk seseorang yang telah ia kenal sebelumnya.

Tak berselang lama, ia tampak meletakkan secarik kertas yang telah ia tulisi dengan kata-kata. Ia kemudian menumpukan kedua kakinya di atas lantai balai, lalu memeluknya begitu erat, seolah-orang itu adalah raga sesosok manusia. Sembari memandang sang surya yang mulai menjingga di ufuk barat, ia terlihat mengatup-ngatupkan mulutnya, seperti sedang bernyayi. Dan kukira, ia tengah melantunkan lagu-lagu penantian yang menggambarkan kerapuhannya dalam penantian.

Setelah berlalu waktu yang lama, ternyata sang gadis betah juga. Sesekali ia hanya mencoba melegakan badan dengan terlentang sejenak, menyelonjorkan kaki ke bawah lantai, atau menggerakkan badan ke samping kiri dan kanan secara bergantian. Sampai akhirnya, mentari benar-benar tenggelam. Yang tersisa hanya cahaya temaram dari bulan yang memantul ke permukaan danau. Namun tetap saja ia tak beranjak-pergi ke mana-mana.

Gelap malam pun kini menyamarkan penampakan sang gadis dari pandanganku. Aku tak bisa lagi melihat raut wajahnya yang sendu. Tapi aku masih melihat siluet raganya di balik bias cahaya bulan di danau. Aku masih sanggup menerka kala ia mengeluarkan seperangkat alat dan botol-botol dari tasnya, atau ketika ia berdiri dan tampak memasang tali di langit-langit balai bak memasang ayunan. Dan aku sungguh menyukai ketidakjelasan itu, sebab pikiranku bisa memunculkan pengandaian-pengandaian liar yang kubutuhkan untuk membuat cerita yang dramatis dan tragis.

Namun atas konsep cerita yang tak utuh di benakku sedari awal, akhirnya aku terjebak pada jalan cerita yang buntu. Alur cerita yang kurangkai terkesan abstrak dan mengawang-awang. Aku pun kelimpungan mencari akhir yang mengesankan. Sejak tadi, aku hanya merangkai huruf-huruf deskriptif tentang dirinya dalam beberapa halaman, dan aku tak punya konsep tentang konflik dan klimaks yang masuk akal.

Berjuanglah aku dengan pikiran seluruhnya. Kukerahkan daya imajinasiku untuk meramu akhir yang baik. Aku punya beberapa opsi. Namun akhirnya, aku memilih menandaskan cerita dengan menyatakan bahwa si gadis ditemukan oleh seorang lelaki pencari ikan yang kemudian menjadi kekasihnya, meski itu jelas akhir cerita yang terkesan biasa. Tapi aku tak punya pilihan yang lebih baik. Aku jelas tak suka memasukkan unsur mistik yang tak realistis dalam cerita, semisal menyatakan bahwa ia adalah bidadari yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Pun, aku tak punya ketegaan untuk menyatakan bahwa ia mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke dalam danau.

Puas atau tidak, aku tetaplah senang sebab aku telah berhasil menyelesaikan satu cerita. Aku seperti kembali menemukan bagian diriku yang telah menghilang sejak lama. Dan untuk ambisi yang biasa-biasa saja, aku pun mengunggah tulisan itu di blog pribadiku yang telah terabaikan dalam waktu yang lama, sambil berharap semoga ada beberapa orang yang akan tersesat di dunia maya dan sudi membacanya. Setelah itu, aku pun mengucapkan selamat malam di dalam hati untuk si gadis misterius, dan mulai menyambut mimpiku dalam lelap dengan perasaan yang tenang.

Dan akhirnya, waktu bergulir cepat. Pagi telah tiba. Cahaya mentari merasuk ke dalam ruang kamarku. Aku pun terbangun setelah melalui tidur pulas yang menenangkan. Lekas kemudian, aku menyibak jendela dan mengecek keberadaan si gadis. Hingga kusaksikanlah akhir tentang dirinya yang begitu menyesakkan, yang dalam cerita pun tak tega kunyatakan: si gadis tampak terbujur kaku dengan kaki yang tak sampai menapak di tanah; Lehernya terikat pada sutas tali yang menggantung di langit-langit balai.

Seketika, aku merasa suasana pagi jadi sangat dingin dan kelabu. Aku menggigil sepenuh jiwaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar