Kali
ini, musim durian memburuk. Bunga buahnya banyak berguguran didera kemarau
berkepanjangan. Rata-rata, yang tinggal menjadi buah, hanya hitungan belasan
per pohon. Akibatnya, durian menjadi barang langka yang dicari-cari untuk
dikonsumsi sendiri, atau dijual ke pedagang dengan harga mahal.
Nasib
Marji pun memburuk. Empat pohon duriannya cuma menghasilkan satu-dua buah,
meski bunganya semarak dan menjanjikan di awal waktu. Bahkan akibat kemarau
ekstrem, daun-daun pohon itu mulai menguning dan berguguran. Seperti sedang
menuju kematian. Padahal, pohon-pohon itu sangat membantu perekonomiannya di
musim-musim sebelumnya.
Atas
nasib buruk Marji, Baslan juga kena getahnya. Sebagai pedagang buah durian, ia
telah kehilangan salah satu sumber pasokan utama untuk varietas durian yang
berkualitas dan harga yang bersaing. Akhirnya, ia pun terancam gagal untuk menjual
durian di ibu kota kabupaten akibat buah durian yang mungkin hanya cukup untuk jadi
santapan para petani sendiri.
Di
tengah kondisi durian yang memprihatinkan, Marji dan Baslan yang kehilangan
sumber pendapatan, akhirnya dirundung kekecewaan yang mendalam. Mereka kecewa
membayangkan hasil penen yang memuasakan di tahun kemarin, dan sama sekali
tidak ada di tahun ini. Mereka kecewa pada musim kemarau yang berkepanjangan
atau musim hujan yang datang terlambat.
Sampai
akhirnya, sore ini, ketika mereka baru saja menengok pohon durian milik Marji
yang mengkhawatirkan, mereka pun duduk merenung di tepi sungai selepas berendam
di air yang jernih. Lalu tiba-tiba saja, satu buah durian tampak terombang-ambing
di atas permukaan sungai. Seolah melihat harta karun, mereka pun berebut, dan
Marji mendapatkannya lebih dahulu.
Sesaat
kemudian, tergeletaklah buah durian itu di antara mereka.
“Kita
apakan durian ini?” tanya Marji, pura-pura meminta pendapat, bermaksud
mengolok.
“Terserah
kau saja,” jawab Baslan, sedikit kesal. “Yang dapat lebih dulu, kan, kau. Jadi,
itu hakmu. Kau mau apakan juga, terserah.”
Marji
lalu menggamit pinggang Baslan. “Jangan judes begitu,” ketusnya, disusul cekikan
yang meledek. “Aku sih mau menikmatinya saja. Tapi aku tak tega melihatmu
menahan nafsu,” sentilnya. “Ayolah, kita santap sama-sama!”
Baslan
mendengus. “Eh, sadar, buah durian itu tidak jatuh dari langit!” singgungnya,
dengan tatapan yang tak sanggup menjurus kepada lawan bicaranya. “Aku takut
orangnya datang mencari.”
Marji
sontak tertawa. “Aduh, kalau durian hanyut begini, ya, sudah jadi benda tak
bertuanlah!”
Baslan
bergeming.
Dengan
berbekal patahan ranting kayu, Marji pun membelah durian itu seorang diri. Maka
tampaklah jejeran isi durian yang menggugah selera. “Kalau kau tak mau, biar
aku saja yang menghabiskan. Jangan menyesal ya!” ledek Marji lagi, lantas
tertawa patah-patah.
Setelah
melirik durian itu sejenak, hasrat Baslan pun memuncak. Dengan sedikit
malu-malu, ia lantas mengambil sebiji isi durian itu, kemudian mengulumnya
seketika.
Marji
sontak melepas tawa.
“Enak
sekali rupanya,” aku Baslan, kemudian melepas tawa kesenangan.
Tak
berselang lama, isi buah durian itu habis tersantap.
Lalu
tiba-tiba, tampaklah seorang lelaki di hulu sungai. Langkahnya cepat menyusuri
tepian berbatu dan sesekali memandang ke aliran sungai.
Seketika,
Marji dan Baslan jadi curiga.
Tanpa
pikir panjang, Baslan dan Marji pun melemparkan kulit dan biji durian itu ke
aliran sungai.
Sesaat
kemudian, lelaki itu, Noto, akhirnya sampai di dekat mereka.
“Cari
apa, Pak?” tanya Marji, penuh curiga.
Noto
yang sudah berumur kepala enam, tersenyum singkat dan menampakkan giginya yang rontok.
“Anu, Pak. Buah durianku terjatuh ke sungai. Aku sedang mencarinya.”
Baslan
terkejut. Ia lantas menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya.
“Bagaimana
ceritanya?” tanya Marji dengan raut yang kalap.
“Pohonnya
memang di pingir sungai, Pak,” terang Noto.
Marji
dan Baslan pun saling memandang.
Noto
mendengus keluh. “Sudah sejauh ini, tapi aku tak juga mendapatkannya.”
“Kalau
begitu, mungkin buah durian Bapak telah hanyut jauh,” tutur Baslan sembari
memampang raut prihatin. “Aku sarankan, Bapak ikhlaskan saja buah durian itu.”
Raut
Noto seketika berubah lesu. “Tapi buah durian itu sangat berharga bagiku, Pak.
Jauh-jauh hari, aku telah berencana untuk menjualnya demi keperluan
sehari-hari.” Ia lalu turut duduk di atas hamparan kerikil. “Harga durian
sekarang mahal.”
“Tapi
sekarang sudah hampir malam, Pak. Arus di bawah juga tampak deras,” kata Marji.
Noto
pun tampak bersedih. Seolah putus asa.
“Begini
saja. Bapak kan tahu aku pedagang durian. Untuk menanggulangi nasib buruk Bapak
kali ini, aku rela membeli durian Bapak dengan harga di atas rata-rata,” tawar
Baslan. “Bapak masih punya buah durian, kan?”
Noto
mengangguk pelan. “Masih, Pak. Masih ada lima buah di atas pohonnya.”
“Ya,
sudah kalau begitu. Nanti, jual ke aku saja buah durian Bapak itu. Aku pasti
membelinya dengan harga yang memuaskan,” tutur Baslan dengan sikap yang
meyakinkan. “Bapak pulanglah.”
Noto
pun mengangguk tegas dengan rona wajah yang tenang. “Baiklah,” katanya. “Terima
kasih, Pak.”
“Sama-sama,”
balas Baslan.
Noto
lalu beranjak setelah melayangkan senyuman senang.
Baslan
memandang gusar pada Marji.
Marji
berpaling dan menunduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar