Jumat, 20 Desember 2019

Durian Hanyut

Kali ini, musim durian memburuk. Bunga buahnya banyak berguguran didera kemarau berkepanjangan. Rata-rata, yang tinggal menjadi buah, hanya hitungan belasan per pohon. Akibatnya, durian menjadi barang langka yang dicari-cari untuk dikonsumsi sendiri, atau dijual ke pedagang dengan harga mahal.
 
Nasib Marji pun memburuk. Empat pohon duriannya cuma menghasilkan satu-dua buah, meski bunganya semarak dan menjanjikan di awal waktu. Bahkan akibat kemarau ekstrem, daun-daun pohon itu mulai menguning dan berguguran. Seperti sedang menuju kematian. Padahal, pohon-pohon itu sangat membantu perekonomiannya di musim-musim sebelumnya.

Atas nasib buruk Marji, Baslan juga kena getahnya. Sebagai pedagang buah durian, ia telah kehilangan salah satu sumber pasokan utama untuk varietas durian yang berkualitas dan harga yang bersaing. Akhirnya, ia pun terancam gagal untuk menjual durian di ibu kota kabupaten akibat buah durian yang mungkin hanya cukup untuk jadi santapan para petani sendiri.

Di tengah kondisi durian yang memprihatinkan, Marji dan Baslan yang kehilangan sumber pendapatan, akhirnya dirundung kekecewaan yang mendalam. Mereka kecewa membayangkan hasil penen yang memuasakan di tahun kemarin, dan sama sekali tidak ada di tahun ini. Mereka kecewa pada musim kemarau yang berkepanjangan atau musim hujan yang datang terlambat.

Sampai akhirnya, sore ini, ketika mereka baru saja menengok pohon durian milik Marji yang mengkhawatirkan, mereka pun duduk merenung di tepi sungai selepas berendam di air yang jernih. Lalu tiba-tiba saja, satu buah durian tampak terombang-ambing di atas permukaan sungai. Seolah melihat harta karun, mereka pun berebut, dan Marji mendapatkannya lebih dahulu.

Sesaat kemudian, tergeletaklah buah durian itu di antara mereka.

“Kita apakan durian ini?” tanya Marji, pura-pura meminta pendapat, bermaksud mengolok.

“Terserah kau saja,” jawab Baslan, sedikit kesal. “Yang dapat lebih dulu, kan, kau. Jadi, itu hakmu. Kau mau apakan juga, terserah.”

Marji lalu menggamit pinggang Baslan. “Jangan judes begitu,” ketusnya, disusul cekikan yang meledek. “Aku sih mau menikmatinya saja. Tapi aku tak tega melihatmu menahan nafsu,” sentilnya. “Ayolah, kita santap sama-sama!”

Baslan mendengus. “Eh, sadar, buah durian itu tidak jatuh dari langit!” singgungnya, dengan tatapan yang tak sanggup menjurus kepada lawan bicaranya. “Aku takut orangnya datang mencari.”

Marji sontak tertawa. “Aduh, kalau durian hanyut begini, ya, sudah jadi benda tak bertuanlah!” 

Baslan bergeming.

Dengan berbekal patahan ranting kayu, Marji pun membelah durian itu seorang diri. Maka tampaklah jejeran isi durian yang menggugah selera. “Kalau kau tak mau, biar aku saja yang menghabiskan. Jangan menyesal ya!” ledek Marji lagi, lantas tertawa patah-patah.

Setelah melirik durian itu sejenak, hasrat Baslan pun memuncak. Dengan sedikit malu-malu, ia lantas mengambil sebiji isi durian itu, kemudian mengulumnya seketika.

Marji sontak melepas tawa.

“Enak sekali rupanya,” aku Baslan, kemudian melepas tawa kesenangan.

Tak berselang lama, isi buah durian itu habis tersantap.

Lalu tiba-tiba, tampaklah seorang lelaki di hulu sungai. Langkahnya cepat menyusuri tepian berbatu dan sesekali memandang ke aliran sungai. 

Seketika, Marji dan Baslan jadi curiga.

Tanpa pikir panjang, Baslan dan Marji pun melemparkan kulit dan biji durian itu ke aliran sungai.

Sesaat kemudian, lelaki itu, Noto, akhirnya sampai di dekat mereka.

“Cari apa, Pak?” tanya Marji, penuh curiga.

Noto yang sudah berumur kepala enam, tersenyum singkat dan menampakkan giginya yang rontok. “Anu, Pak. Buah durianku terjatuh ke sungai. Aku sedang mencarinya.”

Baslan terkejut. Ia lantas menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya.

“Bagaimana ceritanya?” tanya Marji dengan raut yang kalap.

“Pohonnya memang di pingir sungai, Pak,” terang Noto.

Marji dan Baslan pun saling memandang.

Noto mendengus keluh. “Sudah sejauh ini, tapi aku tak juga mendapatkannya.”

“Kalau begitu, mungkin buah durian Bapak telah hanyut jauh,” tutur Baslan sembari memampang raut prihatin. “Aku sarankan, Bapak ikhlaskan saja buah durian itu.”

Raut Noto seketika berubah lesu. “Tapi buah durian itu sangat berharga bagiku, Pak. Jauh-jauh hari, aku telah berencana untuk menjualnya demi keperluan sehari-hari.” Ia lalu turut duduk di atas hamparan kerikil. “Harga durian sekarang mahal.”

“Tapi sekarang sudah hampir malam, Pak. Arus di bawah juga tampak deras,” kata Marji.

Noto pun tampak bersedih. Seolah putus asa.

“Begini saja. Bapak kan tahu aku pedagang durian. Untuk menanggulangi nasib buruk Bapak kali ini, aku rela membeli durian Bapak dengan harga di atas rata-rata,” tawar Baslan. “Bapak masih punya buah durian, kan?”

Noto mengangguk pelan. “Masih, Pak. Masih ada lima buah di atas pohonnya.”

“Ya, sudah kalau begitu. Nanti, jual ke aku saja buah durian Bapak itu. Aku pasti membelinya dengan harga yang memuaskan,” tutur Baslan dengan sikap yang meyakinkan. “Bapak pulanglah.”

Noto pun mengangguk tegas dengan rona wajah yang tenang. “Baiklah,” katanya. “Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama,” balas Baslan.

Noto lalu beranjak setelah melayangkan senyuman senang.

Baslan memandang gusar pada Marji.

Marji berpaling dan menunduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar