Terkadang
sangat menyesakkan membayangkan kita hanya hidup sekali. Bahwa waktu sedetik
lalu tidak dapat diulang kembali. Tapi dalam keterbatasan itulah, kita terpacu
berpikir untuk menempuh jalan terbaik di antara banyak pilihan. Bisa
dibayangkan, kita tidak akan menghargai waktu jika saja waktu bisa disetel.
Jika saat berbuat salah, kita menyesal, lalu kita kembali lagi tepat waktu itu
untuk menghindari kesalahan.
Pastinya,
waktu hidup telah ditetapkan secara rahasia. Sepertinya, lebih baik begitu
daripada mengetahui berapa lamanya kita bernapas. Betapa ringannya kita
menyia-nyiakan waktu di awal jika tahu jatah umur kita panjang. Bisa diatur,
bahwa setengah waktu hidup untuk keburukan, selebihnya untuk kebaikan. Bebas.
Juga ketika umur kita singkat, bisa dibayangkan gugupnya mengetahui sejam ke
depan kita akan meninggal. Mungkin tepat nesehat bahwa umur bukanlah ukuran
hidup berkualitas atau tidak, tetapi apa yang kita lakukan di sepanjang hidup
kita.
Memang
selalu banyak pilihan dalam kehidupan. Terserah kita mengikuti jalan kebaikan
atau keburukan, kebenaran atau kesalahan. Sebabnya, selalu ada cara menafsir
jalan yang tepat. Kalau pikiran menelisik tentang benar atau salah, baik atau
buruk merupakan urusan nurani. Pikiran dan nurani harus bekerja sama menetapkan
dan menempuh jalan terbaik. Jika nurani menjawab apakah sesuatu patut untuk
dilakukan atau tidak, maka pikiran menjawab bagaimana caranya mencapainya.
Dapat saja kita berpikir bagaimana cara mencuri agar tidak ketahuan, tapi
apakah mencuri itu baik? Atau dapat saja kita umrah berkali-kali dengan uang
curian, tapi apakah cara itu benar?
Jika
jujur pada diri sendiri, tidak ada kebaikan dan kebenaran yang tidak bisa
ditafsir secara pribadi. Kita punya pikiran yang tak terbatas, juga nurani sebagai
penuntut terbaik. Persis ketika orang mengatakan bahwa pencuri pasti menyadari
tindakannya salah. Dari itu, sepertinya tepat ketika dikatakan bahwa dosa
adalah pengingkaran. Bahwa keburukan adalah degradasi dari kebaikan.
Ringkasnya, kita berasal dari Sejatinya Kebenaran dan Kebaikan, sisa kita
mengikutinya atau tidak. Pantaslah dikatakan melawan diri sendiri adalah perang
terbesar, sebab jika setiap orang mampu menaklukkan dirinya untuk kebaikan dan
kebenaran, kehidupan keseluruhan manusia pasti lebih baik. Mari bertanya pada
diri sendiri.
Lalu
bagaimana kenyataan saat ini? Banyak orang yang menyesal di masa tuanya karena
mengikuti dirinya sendiri (baca: keinginan). Sengaja menempuh cara yang benar
untuk keburukan, atau menempuh cara yang salah untuk kebaikan. Seberapa sering
kita mendengarkan saran keangkuhan dan kebanggaan untuk menjadi pendosa mumpung
semasih mudah. Atau seberapa sering kita mendengarkan nasihat konyol sosok uzur
yang membanggakan piagam dosanya di masa muda untuk diwariskan kepada anak atau
cucunya. Semisal berkisah: “Nak, Ayah dulu waktu muda setiap hari mabuk, jangan
begitu ya”. Atau “Nak, semasih muda, waktu ayah dihabiskan untuk dibagi ke 10
teman dekat perempuan ayah. Tapi jangan ikuti. Kamu harus rajin belajar”.
Dengan cara itu, di benak malah terpatri bahwa masa muda memang digunakan untuk
mengukir tinta hitam. Tua nanti waktunya manghapus. Jawabnya: “Ayah juga dulu
begitu”. Fenomena ini masih sering dijumpai.
Ya,
saat kesalahan dan keburukan diangggap prestasi, maka orang pun berduyun-duyun
menempuh cara menjadi pemenang dan menertawakan dosanya. Jalan kebaikan dan
kebenaran akhirnya sepi. Di zaman sekarang, saat rasa malu dianggap menghalangi
perkembangan zaman dan aib pribadi diumbar sebagai prestasi, saat bicara kebenaran
dan kebaikan dianggap aneh bahkan ditertawakan, cahaya kemanusiaan masih ada
dari mereka yang teguh menyendiri meski dianggap tak waras. Bagaimana
menyembuhkan orang gila yang merasa dirinya waras? Bagaimana mengubah kelompok
manusia yang saling mendustai nurani? Mari sama-sama melawan dan mendidik diri
sendiri. Mengikuti nurani dan pikiran yang jernih, serta tidak memandang
kebaikan dan kebenaran hanya untuk waktu dan tempat tertentu. Lantunkanlah
puisi untuk jiwa sendiri.
“Aku masih dalam pertempuran
melawan diri sendiri. Tak ada keakuan diri lebih baik. Sebatas saling mengajak
kita yang penuh kekhilafan untuk bertempur bersama-masa, demi kita semua
manusia. Kalaupun tidak, setidaknya, akan selalu kuingatkan diri bahwa pernah
kutuliskan ini, yang akhirnya menyadarkanku kembali saat lupa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar