Rabu, 04 Desember 2019

Ijazah

Seperti hari-hari yang lalu, hari ini, Raslan kembali menjalani kehidupan yang keras demi istri dan anaknya. Raslan kembali melakoni pekerjaannya di atas tumpukan sampah pada sebuah tempat pembuangan akhir. Ia kembali mengais rezeki di antara barang-barang yang dianggap sudah tak berharga oleh para pemiliknya.
 
Raslan memang tak punya pilihan lain selain menjadi pemulung. Apalagi, ia tak pernah menamatkan jenjang pendidikan. Ia putus sekolah di bangku SD karena kemiskinan. Sebab itulah, ia tak bisa bergumul dalam persaingan kerja yang selalu mempersyaratkan lembar ijazah, dan ia pun melakoni pekerjaan sebagai pemulung seperti almarhum ayahnya.

Meski hidup dengan pekerjaan yang dipandang rendahan, Raslan sama sekali tak merasa rendah diri. Semua pekerjaan baik baginya, asalkan halal. Namun sesekali kala kepahitan hidup sedang menghimpitnya, timbul juga kegusaran atas nasib buruk yang membuatnya tak bisa bersekolah untuk mengejar cita-citanya sebagai seorang polisi yang dipandang bermartabat.

Dan sore ini, kegundahan yang menggugat takdir kembali muncul di dalam benaknya. Sebulan ke depan, anak pertamanya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama. Mau tak mau, ia harus mencari penghasilan yang lebih untuk perlengkapan sekolah sang anak. Apalagi, ia tak ingin anaknya berhenti sekolah dan hidup miskin seperti dirinya.

Seiring kerisauan hatinya kali ini, Raslan terus saja memilah dan mengarungkan benda berbahan plastik dan besi dari gundukan sampah. Tangannya cekatan mencari benda-benda berharga itu. Sampai akhirnya, di tengah aksi pencarinnya, tempaklah sebuah plastik berwarna putih yang tersimpul erat. Kantongan itu tampak berisi berkas-berkas bermap.

Dengan sedikit penasaran, Raslan pun menyibak dan mengamati isi kantongan tersebut. Meski tak tamat sekolah dasar, ia mampu mengeja tulisan-tulisan yang tertera di dalam lembaran-lembaran berkas itu. Dan akhirnya, ia pun mengetahui bahwa benda-benda itu adalah dokumen-dokumen yang sangat penting bagi masa depan setiap orang, termasuk ijazah.

Setelah mendapatkan identitas diri dan alamat sang pemilik pada lembaran dokumen, tanpa pikir panjang, Raslan pun beranjak meninggalkan sebuah karung pulungan yang belum penuh. Ia beranjak untuk segera mencari alamat sang pemilik berkas. Ia bertekad untuk segera bertemu dengan seseorang yang ia pikir tengah mencari-cari dokumen miliknya yang telah hilang.

Namun di luar daripada niat baiknya, keikhlasan Raslan selalu saja dikacaukan oleh angan-angan bahwa sang pemilik berkas akan memberinya hadiah setelah bertemu. Diam-diam, nafsunya menyeruak untuk menerima sejumlah uang dari sang pemilik berkas, sehingga ia tak perlu lagi terbebani atas biaya perlengkapan sekolah anaknya.

Untuk sikap pamrihnya itu, Raslan pun memulai misi pencarinnya tanpa mengganti pakaian dan membersihkan badannya terlebih dahulu. Ia berpikir bahwa penampakan dirinya yang sebagaimana adanya di hadapan sang pemilik berkas, akan membuat dirinya mendapatkan tanda terima kasih yang tak terduga.

Dan tak berselang lama, setelah menumpang ojek sekitar 15 menit, Raslan pun tiba di depan sebuah rumah, sebagaimana alamat yang tertera di dalam dokumen.

Dengan sedikit segan, Raslan pun menyapa seseorang yang tampak sepantaran dengannya, “Permisi, Pak?” sapa Raslan kepada lelaki yang sedang asyik merapikan kerikil di halaman rumahnya itu.

“Ada apa?” tanya orang itu dengan raut wajah yang datar.

Raslan pun mencoba menerka dengan menyebut sebuah nama yang tertera pada berkas dokumen “Dengan Pak Darmin?”

Lelaki itu jadi tampak bertanya-tanya dengan raut judes, seolah-olah ia merasa terusik. “Iya. Ada urusan apa?”

Raslan pun merekahkan senyuman, seperti ingin menampakkan kesan bersahabat. “Anu, Pak. Saya menemukan berkas milik bapak ini di tempat sampah,” katanya, lantas menyodorkan semap berkas yang dimaksud.

Lelaki itu pun terbelalak melihat map sodoran Raslan. Tangannya tampak berat untuk menyambut.

Jantung Raslan pun berdebar menanti raut kesenangan dari sang lelaki. Ia tak sabar mendengar ucapan terima kasih dan ajuan ongkos balas budi.

“Untuk apa kau mengembalikan berkas ini padaku, he!” ketus lelaki itu kemudian, dengan wajah beringas. Ia lantas menghempaskan berkas itu ke tanah.

Sontak, Raslan terkejut dan kebingungan. “Bukankah ini berkas yang penting, Pak?”

“Penting apanya, Bodoh?” sergah si lelaki dengan nada membentak.

“!ni ijazah, Pak! Ijazah itu penting!” sanggah Raslan.

“Penting sialnya!” balas sang pemilik berkas, kemudian menyepak dan menginjak-injak berkas-berkas itu.

Raslan terperangah dan tak habis pikir.

“Lembaran-lembaran semacam ini tidak penting, Bodoh! Lembaran-lembaran semacam ini tidak menjamin untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik!” tuturnya, seolah sedang menceramahi seseorang. “Ambillah kalau kau mau! Ambil!”

Tanpa pikir panjang, Raslan pun segera pergi dengan tangan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar