Seperti
hari-hari yang lalu, hari ini, Raslan kembali menjalani kehidupan yang keras
demi istri dan anaknya. Raslan kembali melakoni pekerjaannya di atas tumpukan
sampah pada sebuah tempat pembuangan akhir. Ia kembali mengais rezeki di antara
barang-barang yang dianggap sudah tak berharga oleh para pemiliknya.
Raslan
memang tak punya pilihan lain selain menjadi pemulung. Apalagi, ia tak pernah
menamatkan jenjang pendidikan. Ia putus sekolah di bangku SD karena kemiskinan.
Sebab itulah, ia tak bisa bergumul dalam persaingan kerja yang selalu mempersyaratkan
lembar ijazah, dan ia pun melakoni pekerjaan sebagai pemulung seperti almarhum
ayahnya.
Meski
hidup dengan pekerjaan yang dipandang rendahan, Raslan sama sekali tak merasa
rendah diri. Semua pekerjaan baik baginya, asalkan halal. Namun sesekali kala kepahitan
hidup sedang menghimpitnya, timbul juga kegusaran atas nasib buruk yang
membuatnya tak bisa bersekolah untuk mengejar cita-citanya sebagai seorang polisi
yang dipandang bermartabat.
Dan
sore ini, kegundahan yang menggugat takdir kembali muncul di dalam benaknya.
Sebulan ke depan, anak pertamanya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang
sekolah menengah pertama. Mau tak mau, ia harus mencari penghasilan yang lebih
untuk perlengkapan sekolah sang anak. Apalagi, ia tak ingin anaknya berhenti sekolah
dan hidup miskin seperti dirinya.
Seiring
kerisauan hatinya kali ini, Raslan terus saja memilah dan mengarungkan benda berbahan
plastik dan besi dari gundukan sampah. Tangannya cekatan mencari benda-benda
berharga itu. Sampai akhirnya, di tengah aksi pencarinnya, tempaklah sebuah plastik
berwarna putih yang tersimpul erat. Kantongan itu tampak berisi berkas-berkas
bermap.
Dengan
sedikit penasaran, Raslan pun menyibak dan mengamati isi kantongan tersebut. Meski
tak tamat sekolah dasar, ia mampu mengeja tulisan-tulisan yang tertera di dalam
lembaran-lembaran berkas itu. Dan akhirnya, ia pun mengetahui bahwa benda-benda
itu adalah dokumen-dokumen yang sangat penting bagi masa depan setiap orang,
termasuk ijazah.
Setelah
mendapatkan identitas diri dan alamat sang pemilik pada lembaran dokumen, tanpa
pikir panjang, Raslan pun beranjak meninggalkan sebuah karung pulungan yang
belum penuh. Ia beranjak untuk segera mencari alamat sang pemilik berkas. Ia bertekad
untuk segera bertemu dengan seseorang yang ia pikir tengah mencari-cari dokumen
miliknya yang telah hilang.
Namun
di luar daripada niat baiknya, keikhlasan Raslan selalu saja dikacaukan oleh
angan-angan bahwa sang pemilik berkas akan memberinya hadiah setelah bertemu. Diam-diam,
nafsunya menyeruak untuk menerima sejumlah uang dari sang pemilik berkas, sehingga
ia tak perlu lagi terbebani atas biaya perlengkapan sekolah anaknya.
Untuk
sikap pamrihnya itu, Raslan pun memulai misi pencarinnya tanpa mengganti
pakaian dan membersihkan badannya terlebih dahulu. Ia berpikir bahwa penampakan
dirinya yang sebagaimana adanya di hadapan sang pemilik berkas, akan membuat
dirinya mendapatkan tanda terima kasih yang tak terduga.
Dan
tak berselang lama, setelah menumpang ojek sekitar 15 menit, Raslan pun tiba di
depan sebuah rumah, sebagaimana alamat yang tertera di dalam dokumen.
Dengan
sedikit segan, Raslan pun menyapa seseorang yang tampak sepantaran dengannya, “Permisi,
Pak?” sapa Raslan kepada lelaki yang sedang asyik merapikan kerikil di halaman rumahnya
itu.
“Ada
apa?” tanya orang itu dengan raut wajah yang datar.
Raslan
pun mencoba menerka dengan menyebut sebuah nama yang tertera pada berkas dokumen
“Dengan Pak Darmin?”
Lelaki
itu jadi tampak bertanya-tanya dengan raut judes, seolah-olah ia merasa
terusik. “Iya. Ada urusan apa?”
Raslan
pun merekahkan senyuman, seperti ingin menampakkan kesan bersahabat. “Anu, Pak.
Saya menemukan berkas milik bapak ini di tempat sampah,” katanya, lantas
menyodorkan semap berkas yang dimaksud.
Lelaki
itu pun terbelalak melihat map sodoran Raslan. Tangannya tampak berat untuk menyambut.
Jantung
Raslan pun berdebar menanti raut kesenangan dari sang lelaki. Ia tak sabar
mendengar ucapan terima kasih dan ajuan ongkos balas budi.
“Untuk
apa kau mengembalikan berkas ini padaku, he!” ketus lelaki itu kemudian, dengan
wajah beringas. Ia lantas menghempaskan berkas itu ke tanah.
Sontak,
Raslan terkejut dan kebingungan. “Bukankah ini berkas yang penting, Pak?”
“Penting
apanya, Bodoh?” sergah si lelaki dengan nada membentak.
“!ni
ijazah, Pak! Ijazah itu penting!” sanggah Raslan.
“Penting
sialnya!” balas sang pemilik berkas, kemudian menyepak dan menginjak-injak berkas-berkas
itu.
Raslan
terperangah dan tak habis pikir.
“Lembaran-lembaran
semacam ini tidak penting, Bodoh! Lembaran-lembaran semacam ini tidak menjamin untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik!” tuturnya, seolah sedang menceramahi seseorang.
“Ambillah kalau kau mau! Ambil!”
Tanpa
pikir panjang, Raslan pun segera pergi dengan tangan kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar