Roda
waktu telah membawa kehidupan Silam pada posisi yang berbeda. Ia telah
menanggalkan kemiskinan yang penuh kepahitan. Ia sudah berhasil menjadi seorang
pengusaha kuliner yang hidup berkecukupan. Ia memiliki sebuah warung makan dengan
omzet yang perlahan-lahan menanjak dan membuatnya semakin sejahtera.
Setiap
kali terbayang kehidupannya di masa lalu, Silam merasa sangat bersyukur. Kehidupannya
sudah jauh membaik, dan ia merasa semakin ringan menjalani hidup. Jika dahulu
ia bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, kini ia telah mampu menyedekahi
orang lain. Ia bahkan gemar berderma karena ia mengerti betapa nelangsanya
hidup dalam kemiskinan.
Namun
empati Silam terhadap orang miskin, sebenarnya tidak terbangun melalui cerita
yang sederhana. Dalam waktu yang panjang, ia telah mengarsipkan kisah masa lalu
yang terkenang sebagai aib baginya. Karena kemiskinanlah, dahulu kala, ia
terpaksa melakoni pekerjaan haram untuk melanjutkan hidup, dan ia tak ingin
orang lain terpenjara dalam lingkaran setan yang sama.
Meski
tak pernah berurusan dengan hukum atas aksi culasnya, sampai sekarang, Silam
masih terpenjara oleh rasa berdosa. Ia merasa punya kesalahan yang harus ia
tebus kepada orang-orang yang dahulu telah menjadi korban kebejatannya. Salah
satu caranya adalah menyedekahkan sebagian penghasilan warung yang sebenarnya
ia bangun dari hasil copet dan curian.
Tetapi
menyantuni orang-orang miskin saja, ternyata tidak cukup untuk menghapuskan rasa
bersalah di dalam hati Silam. Setiap saat, ia selalu terpikir tentang wajah
orang-orang yang dahulu ia rugikan dengan tangan jailnya. Karena itu, sampai
kini, ia masih memendam tekad untuk menebus hasil curian yang ia dapat dari
setiap korbannya.
Kini,
di tengah kehendaknya menebus dosa, Silam kembali mengunjungi kota yang dahulu pernah
menjadi medan pencuriannya. Ia datang untuk membuka cabang usaha warungnya, dan
ia pun disambut oleh kenangan tentang aksi haramnya. Ia terkenang peristiwa
kala ia mencopet dompet tebal seorang lelaki berpakaian necis yang secara langsung
menjadi permodalan bisnisnya.
Untuk
kemungkinan-kemungkinan menemukan korban pencuriannya, mata Silam pun penuh
awas memandang setiap sisi ruang kota yang kini telah banyak berubah. Hingga
tanpa terkira, matanya tertuju kepada seorang lelaki yang duduk menghadap
sebuah kaleng biskuit. Seorang lelaki penampilan kumal yang sesekali
menyodorkan kaleng celengannya kepada para pejalan kaki.
Dengan
penuh keheranan, Silam pun menghampiri sang pengemis. Ia merasa terkejut atas
kebetulan yang ia jumpai. Ia ingat betul kalau pengemis itu adalah korban aksi
copetnya yang paling ia cari. Seorang yang dahulu merupakan lelaki berdompet
tebal dan berpakaian necis, namun kini telah menjadi seorang pengemis dengan
penampilan yang tidak keruan.
Tentu
saja Silam merasa terenyuh. Rasa bersalah menghujam hatinya begitu dalam. Ia
yakin kalau aksi copetnya dahulu telah mengubah sang lelaki menjadi seorang
pengemis, sedang dari hasil copetnya itu ia sendiri malah berhasil menjadi
seorang yang sejahtera. Ia merasa telah memutar roda nasib dengan cara yang
biadab, dan ia merasa takut dikutuk.
Maka
tanpa pikir, Silam pun mengeluarkan seamplop uang dari dalam tasnya, lantas memasukkan
seluruhnya ke dalam celengan sang pengemis. Ia memberikan segepok uang itu tanpa
perhitungan sedikit pun. Ia merasa uang curian yang ia dapat dari sang pengemis
dahulu telah beranak-pinak melalui usaha bisnisnya, dan ia harus menebusnya
dengan perhitungan ganti rugi dan ganti untung.
Melihat
jumlah sumbangan Silam, sang pengemis pun terperangah. Tanpa perlu menghitung
jumlah sumbangan itu, sang pengemis sadar telah mendapatkan uang sumbangan yang
lebih dari semestinya sebagai seorang pengemis yang kerap kali hanya diberi
uang receh. “Terima kasih banyak, Pak,” tutur sang pengemis sambil menyalami
tangan Silam.
Silam
hanya mengangguk-angguk dan tak berkata-kata, seolah sadar bahwa ia memang tak
patut menerima ucapan terima kasih.
“Terima
kasih, Pak,” ulang sang pengemis.
Dengan
perasaan bersalah, Silam pun menyahut, “Sama-sama, Pak,” katanya, lalu
menepuk-nepuk lengan sang pengemis, seolah-olah tengah memberikan semangat
hidup. “Apa yang saya berikan, sejatinya, memang adalah hak Bapak.”
Raut
wajah sang pengemis tampak haru. “Saya doakan, semoga kehidupan Bapak semakin
sejahtera.”
“Amin,” balas Silam seketika. “Saya doakan juga, semoga kehidupan Bapak segera membaik. Semoga roda nasib segera mengantarkan bapak pada kehidupan yang sejahtera. Bersabarlah, Pak,” tuturnya lagi, seolah-olah tengah menasehati dirinya sendiri di masa lalu.
Sang
pengemis pun mengangguk-angguk dengan mata berkaca-kaca. “Sekali lagi, terima
kasih, Pak,” kata sang pengemis lagi.
Tanpa
membalas, Silam pun beranjak dengan perasaan bersalah yang amat dalam.
Detik
demi detik bergulir, beban dosa Silam pun sedikit terasa ringan. Setidaknya, ia
telah menyelesaikan satu misi pokok yang telah lama menyesaki pikirannya, meski
itu tak berarti mencerabut keseluruhan rasa bersalah yang telah mengakar di
dalam jiwanya.
Tiga
jam berlalu, sore pun menjelang.
Di
tengah rehat, ketika urusan bisnisnya sudah selesai, Silam lantas memilih untuk
mengurai kepenatannya di sebuah restoran yang mewah. Ia hendak merenungi apa
yang telah dan sebaiknya akan ia lakukan demi meluluhkan segenap perasaan berdosanya.
Ia ingin berdamai dengan masa lalunya sendiri agar ia tenang mengembangkan
bisnis warungnya di masa depan.
Lantas,
di tengah perenungan, seketika saja, perhatian Silam terarah pada rombongan
tamu yang baru saja memasuki restoran. Fokus matanya jatuh tepat di wajah seorang
lelaki yang telah ia jumpai beberapa jam yang lalu. Seorang lelaki pengemis
yang telah ia santuni dengan sepenuh hati. Seorang pengemis yang kini berpenampilan
menawan, seperti yang ia saksikan di tahun-tahun yang lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar