Sabtu, 07 Desember 2019

Uang Penebus

Roda waktu telah membawa kehidupan Silam pada posisi yang berbeda. Ia telah menanggalkan kemiskinan yang penuh kepahitan. Ia sudah berhasil menjadi seorang pengusaha kuliner yang hidup berkecukupan. Ia memiliki sebuah warung makan dengan omzet yang perlahan-lahan menanjak dan membuatnya semakin sejahtera.
 
Setiap kali terbayang kehidupannya di masa lalu, Silam merasa sangat bersyukur. Kehidupannya sudah jauh membaik, dan ia merasa semakin ringan menjalani hidup. Jika dahulu ia bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, kini ia telah mampu menyedekahi orang lain. Ia bahkan gemar berderma karena ia mengerti betapa nelangsanya hidup dalam kemiskinan.

Namun empati Silam terhadap orang miskin, sebenarnya tidak terbangun melalui cerita yang sederhana. Dalam waktu yang panjang, ia telah mengarsipkan kisah masa lalu yang terkenang sebagai aib baginya. Karena kemiskinanlah, dahulu kala, ia terpaksa melakoni pekerjaan haram untuk melanjutkan hidup, dan ia tak ingin orang lain terpenjara dalam lingkaran setan yang sama.

Meski tak pernah berurusan dengan hukum atas aksi culasnya, sampai sekarang, Silam masih terpenjara oleh rasa berdosa. Ia merasa punya kesalahan yang harus ia tebus kepada orang-orang yang dahulu telah menjadi korban kebejatannya. Salah satu caranya adalah menyedekahkan sebagian penghasilan warung yang sebenarnya ia bangun dari hasil copet dan curian.

Tetapi menyantuni orang-orang miskin saja, ternyata tidak cukup untuk menghapuskan rasa bersalah di dalam hati Silam. Setiap saat, ia selalu terpikir tentang wajah orang-orang yang dahulu ia rugikan dengan tangan jailnya. Karena itu, sampai kini, ia masih memendam tekad untuk menebus hasil curian yang ia dapat dari setiap korbannya.

Kini, di tengah kehendaknya menebus dosa, Silam kembali mengunjungi kota yang dahulu pernah menjadi medan pencuriannya. Ia datang untuk membuka cabang usaha warungnya, dan ia pun disambut oleh kenangan tentang aksi haramnya. Ia terkenang peristiwa kala ia mencopet dompet tebal seorang lelaki berpakaian necis yang secara langsung menjadi permodalan bisnisnya.

Untuk kemungkinan-kemungkinan menemukan korban pencuriannya, mata Silam pun penuh awas memandang setiap sisi ruang kota yang kini telah banyak berubah. Hingga tanpa terkira, matanya tertuju kepada seorang lelaki yang duduk menghadap sebuah kaleng biskuit. Seorang lelaki penampilan kumal yang sesekali menyodorkan kaleng celengannya kepada para pejalan kaki.

Dengan penuh keheranan, Silam pun menghampiri sang pengemis. Ia merasa terkejut atas kebetulan yang ia jumpai. Ia ingat betul kalau pengemis itu adalah korban aksi copetnya yang paling ia cari. Seorang yang dahulu merupakan lelaki berdompet tebal dan berpakaian necis, namun kini telah menjadi seorang pengemis dengan penampilan yang tidak keruan.

Tentu saja Silam merasa terenyuh. Rasa bersalah menghujam hatinya begitu dalam. Ia yakin kalau aksi copetnya dahulu telah mengubah sang lelaki menjadi seorang pengemis, sedang dari hasil copetnya itu ia sendiri malah berhasil menjadi seorang yang sejahtera. Ia merasa telah memutar roda nasib dengan cara yang biadab, dan ia merasa takut dikutuk.

Maka tanpa pikir, Silam pun mengeluarkan seamplop uang dari dalam tasnya, lantas memasukkan seluruhnya ke dalam celengan sang pengemis. Ia memberikan segepok uang itu tanpa perhitungan sedikit pun. Ia merasa uang curian yang ia dapat dari sang pengemis dahulu telah beranak-pinak melalui usaha bisnisnya, dan ia harus menebusnya dengan perhitungan ganti rugi dan ganti untung.

Melihat jumlah sumbangan Silam, sang pengemis pun terperangah. Tanpa perlu menghitung jumlah sumbangan itu, sang pengemis sadar telah mendapatkan uang sumbangan yang lebih dari semestinya sebagai seorang pengemis yang kerap kali hanya diberi uang receh. “Terima kasih banyak, Pak,” tutur sang pengemis sambil menyalami tangan Silam. 

Silam hanya mengangguk-angguk dan tak berkata-kata, seolah sadar bahwa ia memang tak patut menerima ucapan terima kasih.

“Terima kasih, Pak,” ulang sang pengemis.

Dengan perasaan bersalah, Silam pun menyahut, “Sama-sama, Pak,” katanya, lalu menepuk-nepuk lengan sang pengemis, seolah-olah tengah memberikan semangat hidup. “Apa yang saya berikan, sejatinya, memang adalah hak Bapak.”

Raut wajah sang pengemis tampak haru. “Saya doakan, semoga kehidupan Bapak semakin sejahtera.”

“Amin,” balas Silam seketika. “Saya doakan juga, semoga kehidupan Bapak segera membaik. Semoga roda nasib segera mengantarkan bapak pada kehidupan yang sejahtera. Bersabarlah, Pak,” tuturnya lagi, seolah-olah tengah menasehati dirinya sendiri di masa lalu.

Sang pengemis pun mengangguk-angguk dengan mata berkaca-kaca. “Sekali lagi, terima kasih, Pak,” kata sang pengemis lagi.

Tanpa membalas, Silam pun beranjak dengan perasaan bersalah yang amat dalam.

Detik demi detik bergulir, beban dosa Silam pun sedikit terasa ringan. Setidaknya, ia telah menyelesaikan satu misi pokok yang telah lama menyesaki pikirannya, meski itu tak berarti mencerabut keseluruhan rasa bersalah yang telah mengakar di dalam jiwanya.

Tiga jam berlalu, sore pun menjelang.

Di tengah rehat, ketika urusan bisnisnya sudah selesai, Silam lantas memilih untuk mengurai kepenatannya di sebuah restoran yang mewah. Ia hendak merenungi apa yang telah dan sebaiknya akan ia lakukan demi meluluhkan segenap perasaan berdosanya. Ia ingin berdamai dengan masa lalunya sendiri agar ia tenang mengembangkan bisnis warungnya di masa depan.

Lantas, di tengah perenungan, seketika saja, perhatian Silam terarah pada rombongan tamu yang baru saja memasuki restoran. Fokus matanya jatuh tepat di wajah seorang lelaki yang telah ia jumpai beberapa jam yang lalu. Seorang lelaki pengemis yang telah ia santuni dengan sepenuh hati. Seorang pengemis yang kini berpenampilan menawan, seperti yang ia saksikan di tahun-tahun yang lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar