Hidup
Hasni sejahtera berkat usaha warung makan miliknya. Meski hidup menjanda dengan
satu orang anak, ia tetap sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, dahulu,
di masa awal kepergian suaminya tanpa alasan, hidupnya sungguh sengsara. Ia
harus menjual barang-barang berharga miliknya untuk bertahan hidup.
Seiring
waktu, dalam sekejap, bekal hidup Hasni benar-benar tandas. Perhiasan dan
perabotan habis terjual, sedang ia tak memiliki sumber pendapatan. Terpaksa, ia
bertahan hidup dengan sumbangan dari orang lain. Sampai akhirnya, seorang
tetangganya menawarkan pinjaman sebanyak Rp. 2.000.000, tanpa bunga, dan ia
menerimanya dengan senang hati.
Namun
kesenangan Hasni hanya berlangsung sesaat. Satu setengah bulan kemudian, di
pertengahan tempo pelunasan, ia jadi kelimpungan. Uang pinjamannya sisa Rp.
500.000, dan ia tak punya tabungan dari kerja memulung yang belakangan ia
lakoni. Jika terus-menerus begitu, ia sadar, tak akan bisa melunasi utangnya sesuai
waktu.
Akhirnya,
Hasni berpikir keras demi pelunasan. Dan satu pagi, perhatiannya tiba-tiba tertuju
pada nasi kuning sisa sarapan anaknya. Seketika, ia terpikir untuk berjualan
nasi kuning di pagi hari. Maka tanpa menunda waktu, keesokan harinya, ia pun memasak
nasi kuning dalam porsi yang besar, lantas menjajakannya di depan rumah atau di
sekeliling kompleks.
Lambat
laun, usaha Hasni pun berkembang menjadi warung. Ia berhasil menuai kesuksesan
dalam waktu yang cepat. Orang-orang berdatangan dengan sendirinya, dan ia tak
harus berjualan keliling lagi. Hingga akhirnya, ia berhasil mengumpulkan uang
untuk melunasi segenap utangnya sesuai waktu yang telah ditentukan.
Di
tengah kehidupan yang makmur, pada satu hari, perhatian Hasni tertuju pada
Rasmin, seorang mahasiswa, pelangggan setianya, yang tampak didera masalah
keuangan. Jika dahulu lelaki itu acap kali memesan nasi kuning porsi lengkap, belakangan,
ia hanya memesan setengah porsi. Bahkan sejak seminggu yang lalu, lelaki itu
mulai makan dengan cara berutang.
Tentu
saja, Hasni dengan senang hati memberikan utang makanan kepada Rasmin. Sebagai
orang yang pernah merasakan kesulitan hidup, ia paham betapa kalutnya perasaan
Rasmin di tengah perut yang keroncongan, sedang tak ada daya untuk mendapatkan
makanan. Ia paham kalau berutang adalah pilihan terakhir bagi Rasmin yang benar-benar
sudah tak punya apa-apa.
Atas
rasa empatinya, sebulan yang lalu, Hasni bahkan ikhlas menawarkan utang kepada
Rasmin sebanyak Rp.3.000.000, tanpa bunga, setelah lelaki itu menyampaikan
keluh kesahnya. Rasmin mengaku membutuhkan sejumlah uang untuk membayar ongkos
kuliah, sedang ayahnya telah kehabisan tabungan setelah dipecat dari sebuah
perusahaan swasta setahun yang lalu.
Rasmin
pun menyambut pinjaman darinya dengan senang hati.
Hingga
kini, Hasni tak sedikit pun memusingkan tentang bagaimana Rasmin akan melunasi
utang-utangnya. Apalagi, ia tahu sendiri kalau Rasmin belum mempunyai pekerjaan
dan hanya tampak berleha-leha di lingkungan kompleks. Tapi Hasni berprasangka
baik saja kalau setiap orang yang berutang akan berupaya untuk melunasi
utang-utangnya, sebagaimana dirinya dahulu.
Sampai
akhirnya, hari ini, sebulan sebelum jatuh tempo pelunasan di rentang enam bulan
waktu peminjaman, Rasmin datang ke warungnya. “Ini, Bu,” kata Rasmin, sambil
menyodorkan sebuah amplop yang menggembung. “Ini uang untuk melunasi utang
ongkos kuliahku, juga utang bayaran makananku selama ini.”
Hasni
pun terkaget. “Kenapa cepat sekali, Nak? Kan boleh bulan depan saja, toh?”
selidiknya, dengan suara yang lemah lembut. “Apa kau sudah mendapatkan kiriman
dari orang tuamu?”
Rasmin
menggeleng. “Tidak, Bu,” jawabnya, kemudian tersenyum singkat. “Sejak dua bulan
yang lalu, aku telah bekerja di sebuah toko sebagai seorang pramuniaga. Dari gaji
yang kuterima, aku menyisihkan sebagian untuk melunasi utang-utangku pada Ibu.”
Mata
Hasni jadi berkaca-kaca. “Wah, itu berarti kau sudah mandiri. Kau tidak lagi menggantungkan
hidup pada kedua orang tuamu. Itu sikap hidup yang mulia, Nak.”
Rasmin
tersenyum lepas. “Terima kasih, Bu.”
Tanpa
kuasa membalas kata, Hasni mengangguk haru, sembari mengenang perjuangan
hidupnya dahulu. Sebuah perjuangan untuk mendapatkan penghasilan demi melunasi utang-utangnya,
sebagaimana yang telah dilakukan Rasmin.
Hasni
merasa berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar