Rabu, 18 Desember 2019

Pelunasan

Hidup Hasni sejahtera berkat usaha warung makan miliknya. Meski hidup menjanda dengan satu orang anak, ia tetap sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, dahulu, di masa awal kepergian suaminya tanpa alasan, hidupnya sungguh sengsara. Ia harus menjual barang-barang berharga miliknya untuk bertahan hidup.
 
Seiring waktu, dalam sekejap, bekal hidup Hasni benar-benar tandas. Perhiasan dan perabotan habis terjual, sedang ia tak memiliki sumber pendapatan. Terpaksa, ia bertahan hidup dengan sumbangan dari orang lain. Sampai akhirnya, seorang tetangganya menawarkan pinjaman sebanyak Rp. 2.000.000, tanpa bunga, dan ia menerimanya dengan senang hati.

Namun kesenangan Hasni hanya berlangsung sesaat. Satu setengah bulan kemudian, di pertengahan tempo pelunasan, ia jadi kelimpungan. Uang pinjamannya sisa Rp. 500.000, dan ia tak punya tabungan dari kerja memulung yang belakangan ia lakoni. Jika terus-menerus begitu, ia sadar, tak akan bisa melunasi utangnya sesuai waktu.

Akhirnya, Hasni berpikir keras demi pelunasan. Dan satu pagi, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada nasi kuning sisa sarapan anaknya. Seketika, ia terpikir untuk berjualan nasi kuning di pagi hari. Maka tanpa menunda waktu, keesokan harinya, ia pun memasak nasi kuning dalam porsi yang besar, lantas menjajakannya di depan rumah atau di sekeliling kompleks.

Lambat laun, usaha Hasni pun berkembang menjadi warung. Ia berhasil menuai kesuksesan dalam waktu yang cepat. Orang-orang berdatangan dengan sendirinya, dan ia tak harus berjualan keliling lagi. Hingga akhirnya, ia berhasil mengumpulkan uang untuk melunasi segenap utangnya sesuai waktu yang telah ditentukan.

Di tengah kehidupan yang makmur, pada satu hari, perhatian Hasni tertuju pada Rasmin, seorang mahasiswa, pelangggan setianya, yang tampak didera masalah keuangan. Jika dahulu lelaki itu acap kali memesan nasi kuning porsi lengkap, belakangan, ia hanya memesan setengah porsi. Bahkan sejak seminggu yang lalu, lelaki itu mulai makan dengan cara berutang.

Tentu saja, Hasni dengan senang hati memberikan utang makanan kepada Rasmin. Sebagai orang yang pernah merasakan kesulitan hidup, ia paham betapa kalutnya perasaan Rasmin di tengah perut yang keroncongan, sedang tak ada daya untuk mendapatkan makanan. Ia paham kalau berutang adalah pilihan terakhir bagi Rasmin yang benar-benar sudah tak punya apa-apa. 

Atas rasa empatinya, sebulan yang lalu, Hasni bahkan ikhlas menawarkan utang kepada Rasmin sebanyak Rp.3.000.000, tanpa bunga, setelah lelaki itu menyampaikan keluh kesahnya. Rasmin mengaku membutuhkan sejumlah uang untuk membayar ongkos kuliah, sedang ayahnya telah kehabisan tabungan setelah dipecat dari sebuah perusahaan swasta setahun yang lalu.

Rasmin pun menyambut pinjaman darinya dengan senang hati.

Hingga kini, Hasni tak sedikit pun memusingkan tentang bagaimana Rasmin akan melunasi utang-utangnya. Apalagi, ia tahu sendiri kalau Rasmin belum mempunyai pekerjaan dan hanya tampak berleha-leha di lingkungan kompleks. Tapi Hasni berprasangka baik saja kalau setiap orang yang berutang akan berupaya untuk melunasi utang-utangnya, sebagaimana dirinya dahulu.

Sampai akhirnya, hari ini, sebulan sebelum jatuh tempo pelunasan di rentang enam bulan waktu peminjaman, Rasmin datang ke warungnya. “Ini, Bu,” kata Rasmin, sambil menyodorkan sebuah amplop yang menggembung. “Ini uang untuk melunasi utang ongkos kuliahku, juga utang bayaran makananku selama ini.”

Hasni pun terkaget. “Kenapa cepat sekali, Nak? Kan boleh bulan depan saja, toh?” selidiknya, dengan suara yang lemah lembut. “Apa kau sudah mendapatkan kiriman dari orang tuamu?”

Rasmin menggeleng. “Tidak, Bu,” jawabnya, kemudian tersenyum singkat. “Sejak dua bulan yang lalu, aku telah bekerja di sebuah toko sebagai seorang pramuniaga. Dari gaji yang kuterima, aku menyisihkan sebagian untuk melunasi utang-utangku pada Ibu.”

Mata Hasni jadi berkaca-kaca. “Wah, itu berarti kau sudah mandiri. Kau tidak lagi menggantungkan hidup pada kedua orang tuamu. Itu sikap hidup yang mulia, Nak.”

Rasmin tersenyum lepas. “Terima kasih, Bu.”

Tanpa kuasa membalas kata, Hasni mengangguk haru, sembari mengenang perjuangan hidupnya dahulu. Sebuah perjuangan untuk mendapatkan penghasilan demi melunasi utang-utangnya, sebagaimana yang telah dilakukan Rasmin.

Hasni merasa berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar