Sering
kali ketika seseorang ditimpa masalah dan membuatnya bersedih, kita akan
menjadi sasaran pelampiasan. Namun karena keadaan tertentu, kita lebih suka
menjadi tak acuh. Tak ada keinginan untuk menyelami sedalam mana kesedihan
orang tersebut. Sebisanya kita sebagai teman curhat hanya memberikan nasihat
seadanya. Nasihat yang berasal dari pengetahuan, bukan perasaan. Akibatnya,
kita dicap sebagai orang yang tak peka. Masalahnya di mana? Bisa jadi karena
kita pasrah sebab sadar bahwa mustahil menjadi orang lain itu. Untuk itu,
sebaiknya direnungi pepatah: Cobalah untuk menjadi orang lain.
Di
kasus lain, kita juga sering dengan mudah menghukumi perilaku seseorang.
Misalnya mencap kinerja seseorang sangat buruk dalam menunaikan sebuah tugas.
Padahal, jika kita di posisi “terdakwa” itu, belum tentu kita bisa mencapai
hasil yang lebih baik. Beberapa di antara kita hanyalah penilai yang bersembunyi
dari kenyataan, dan enggan dinilai. Memang tepat kesimpulan yang mengatakan bahwa
komentar pengamat sepak bola lebih hebat dari permainan Messi. Tapi dalam
kenyataannya, bisa jadi untuk menggiring bola saja, pengamat tersebut tak
becus.
Kenyataan
yang sama terjadi juga pada para pengamat politik/pemerintahan yang dengan
mudah memberikan nilai minus pada kinerja pemerintah. Padahal ia tak sedikit
pun mengetahui bagaimana tekanan dan tantangan senyatanya yang dihadapi
pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Contoh semacam ini menunjukkan
bahwa kita masih sering menuntut hasil akhir dan tidak pernah mau tahu tentang
proses. Juga bahwa kita masih sering lupa untuk memposisikan diri menjadi diri
orang lain sebelum memberikan penghukuman.
Akar
fenomena yang sudah dianggap lazim tersebut adalah kebiasaan kita yang maunya sebatas
mengetahui, namun tak mencoba memahami. Kita hanya menganalisis kenyataan berdasarkan
pertimbangan rasio, sehingga berujung pada kesimpulan hitam-putih. Atau dengan
kata lain, satu pihak harus menjadi salah, sedangkan pihak lainnya menang. Kita
kadang abai menggunakan perasaan untuk menumbuhkan rasa pengertian.
Ujung-ujungnya kita lebih sering menyalahkan, bukannya menawarkan solusi.
Teringat
lagi peribahasa yang mungkin sebagian orang tak mengacuhnya, ataukah
menganggapnya kurang menarik karena susunan katanya tak puitis: Cubitlah diri sendiri sebelum mencubit orang
lain. Peribahasa ini mengandung pesan agar kita senantiasa membayangkan
diri kita menjadi orang yang akan kita perlakukan, sebelum kita benar-benar
memperlakukannya. Ada makna tersirat agar kita memberikan perlakuan adil kepada
orang lain, sama halnya dengan kita yang ingin diperlakukan adil. Seharusnya kita
tak sekonyong-konyong menghukumi seseorang. Kita perlu belajar menjadi orang
yang pengertian.
Akhirnya
kita harus membiasakan diri menjadi pihak lawan. Menimbang-nimbang perilaku
kita yang sering kali hanya menggunakan perspektif pribadi, lalu mengesampingkan
kepentingan pihak kontra kita. Kita dengan mudah memperlakukan orang dengan
cara tertentu, yang sesungguhnya kita sendiri tak ingin diperlakukan demikian. Perlu
direfleksikan kembali, bahwa lawan kita sesungguhnya dan yang pertama-tama adalah
diri kita sendiri, bukan orang lain.
Bisa
dibayangkan, betapa harmonisnya hubungan kita dengan sesama makhluk ciptaan tuhan
jika prinsip “memahami pihak lawan” kita pegang teguh. Lebih besar kemungkinan
keadaan tak akan gaduh. Akan lebih sering kita bahu-membahu ketimbang saling
menjatuhkan secara membabi buta. Semua akan terasa damai. Setiap orang,
meskipun berbeda-beda, sadar sebagai satu kesatuan yang memiliki kesamaan
potensi sebagai manusia. Kita sadar bahwa setiap manusia punya kemungkinan
bertindak salah dan lupa, tapi juga punya kecenderungan untuk mengubah diri
menjadi lebih baik.
Saat
kesalingpengertian sebagai sesama manusia mulai tertanam, akan sirna
pertempuran untuk saling menjatuhkan atau memperebutkan kedudukan hanya karena
menilai orang lain tak mampu memberikan hasil terbaik. Kita sadar bahwa setiap
manusia memiliki nurani yang senantiasa membimbing untuk berbuat baik. Tak ada
seorang manusia pun yang berbuat salah atas petunjuk hati nuraninya. Perilaku
menyimpang dari kebaikan pada dasarnya hanyalah akibat dari keadaan eksternal,
yaitu lingkungan sosial. Aspek tersebutlah yang perlu diatasi bersama-sama.
Langkah kecil yang bisa dilakukan adalah memperbaiki diri kita sendiri, yang otomatis
akan memperbaiki kehidupan lingkungan sosial. Jika begitu, semoga akhirnya setiap
orang betul-betul merdeka dalam mengejawantahkan pesan-pesan nuraninya.
Ada
hal yang sering kali kita lupa dalam mengarungi kehidupan kita di dunia, bahwa
segala yang kita alami adalah akibat dari apa yang kita lakukan. Semua
tindak-tanduk kita pasti mendapatkan hasil berupa balasan yang setimpal. Jika
pun tak langsung kita tuai di dunia, ada masa keadilan akan benar-benar
ditimpakan kepada kita. Tak mesti balasan berbentuk materiil, tapi juga
kejiwaan. Bukankah kesengsaraan dan kebahagiaan bersifat nonmateriil atau
kejiwaan. Lalu apa gunanya kita menuruti hasrat duniawi, tapi dengan saling “menjatuhkan”
antar sesama manusia?
Sebagai
kesimpulan, tulisan ini tidak mengingkari kemungkinan adanya perilaku melenceng
manusia yang perlu kita lawan. Namun bukan berarti yang kita lawan adalah
manusianya, yang notabene serupa dengan kita, tapi ketersesatannya. Pembenahan
yang perlu, bukan pemusnahan. Persamaannya: Jika reformasi masih mungkin dilakukan, tak usah revolusi! Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan
sikap saling memahami, menghormati, dan bahu-membahu. Bukannya sikap saling
menyalahkan, mencaci-maki, atau menjatuhkan. Dunia butuh solusi untuk menyadarkan
setiap jiwa manusia yang sedang lupa jati diri, bukan pertikaian. Intinya, kita
harus tetap saling memanusiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar