Minggu, 08 November 2015

Menjadi Lawan


Sering kali ketika seseorang ditimpa masalah dan membuatnya bersedih, kita akan menjadi sasaran pelampiasan. Namun karena keadaan tertentu, kita lebih suka menjadi tak acuh. Tak ada keinginan untuk menyelami sedalam mana kesedihan orang tersebut. Sebisanya kita sebagai teman curhat hanya memberikan nasihat seadanya. Nasihat yang berasal dari pengetahuan, bukan perasaan. Akibatnya, kita dicap sebagai orang yang tak peka. Masalahnya di mana? Bisa jadi karena kita pasrah sebab sadar bahwa mustahil menjadi orang lain itu. Untuk itu, sebaiknya direnungi pepatah: Cobalah untuk menjadi orang lain.
 
Di kasus lain, kita juga sering dengan mudah menghukumi perilaku seseorang. Misalnya mencap kinerja seseorang sangat buruk dalam menunaikan sebuah tugas. Padahal, jika kita di posisi “terdakwa” itu, belum tentu kita bisa mencapai hasil yang lebih baik. Beberapa di antara kita hanyalah penilai yang bersembunyi dari kenyataan, dan enggan dinilai. Memang tepat kesimpulan yang mengatakan bahwa komentar pengamat sepak bola lebih hebat dari permainan Messi. Tapi dalam kenyataannya, bisa jadi untuk menggiring bola saja, pengamat tersebut tak becus. 

Kenyataan yang sama terjadi juga pada para pengamat politik/pemerintahan yang dengan mudah memberikan nilai minus pada kinerja pemerintah. Padahal ia tak sedikit pun mengetahui bagaimana tekanan dan tantangan senyatanya yang dihadapi pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Contoh semacam ini menunjukkan bahwa kita masih sering menuntut hasil akhir dan tidak pernah mau tahu tentang proses. Juga bahwa kita masih sering lupa untuk memposisikan diri menjadi diri orang lain sebelum memberikan penghukuman.  

Akar fenomena yang sudah dianggap lazim tersebut adalah kebiasaan kita yang maunya sebatas mengetahui, namun tak mencoba memahami. Kita hanya menganalisis kenyataan berdasarkan pertimbangan rasio, sehingga berujung pada kesimpulan hitam-putih. Atau dengan kata lain, satu pihak harus menjadi salah, sedangkan pihak lainnya menang. Kita kadang abai menggunakan perasaan untuk menumbuhkan rasa pengertian. Ujung-ujungnya kita lebih sering menyalahkan, bukannya menawarkan solusi. 

Teringat lagi peribahasa yang mungkin sebagian orang tak mengacuhnya, ataukah menganggapnya kurang menarik karena susunan katanya tak puitis: Cubitlah diri sendiri sebelum mencubit orang lain. Peribahasa ini mengandung pesan agar kita senantiasa membayangkan diri kita menjadi orang yang akan kita perlakukan, sebelum kita benar-benar memperlakukannya. Ada makna tersirat agar kita memberikan perlakuan adil kepada orang lain, sama halnya dengan kita yang ingin diperlakukan adil. Seharusnya kita tak sekonyong-konyong menghukumi seseorang. Kita perlu belajar menjadi orang yang pengertian.

Akhirnya kita harus membiasakan diri menjadi pihak lawan. Menimbang-nimbang perilaku kita yang sering kali hanya menggunakan perspektif pribadi, lalu mengesampingkan kepentingan pihak kontra kita. Kita dengan mudah memperlakukan orang dengan cara tertentu, yang sesungguhnya kita sendiri tak ingin diperlakukan demikian. Perlu direfleksikan kembali, bahwa lawan kita sesungguhnya dan yang pertama-tama adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Bisa dibayangkan, betapa harmonisnya hubungan kita dengan sesama makhluk ciptaan tuhan jika prinsip “memahami pihak lawan” kita pegang teguh. Lebih besar kemungkinan keadaan tak akan gaduh. Akan lebih sering kita bahu-membahu ketimbang saling menjatuhkan secara membabi buta. Semua akan terasa damai. Setiap orang, meskipun berbeda-beda, sadar sebagai satu kesatuan yang memiliki kesamaan potensi sebagai manusia. Kita sadar bahwa setiap manusia punya kemungkinan bertindak salah dan lupa, tapi juga punya kecenderungan untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Saat kesalingpengertian sebagai sesama manusia mulai tertanam, akan sirna pertempuran untuk saling menjatuhkan atau memperebutkan kedudukan hanya karena menilai orang lain tak mampu memberikan hasil terbaik. Kita sadar bahwa setiap manusia memiliki nurani yang senantiasa membimbing untuk berbuat baik. Tak ada seorang manusia pun yang berbuat salah atas petunjuk hati nuraninya. Perilaku menyimpang dari kebaikan pada dasarnya hanyalah akibat dari keadaan eksternal, yaitu lingkungan sosial. Aspek tersebutlah yang perlu diatasi bersama-sama. Langkah kecil yang bisa dilakukan adalah memperbaiki diri kita sendiri, yang otomatis akan memperbaiki kehidupan lingkungan sosial. Jika begitu, semoga akhirnya setiap orang betul-betul merdeka dalam mengejawantahkan pesan-pesan nuraninya. 

Ada hal yang sering kali kita lupa dalam mengarungi kehidupan kita di dunia, bahwa segala yang kita alami adalah akibat dari apa yang kita lakukan. Semua tindak-tanduk kita pasti mendapatkan hasil berupa balasan yang setimpal. Jika pun tak langsung kita tuai di dunia, ada masa keadilan akan benar-benar ditimpakan kepada kita. Tak mesti balasan berbentuk materiil, tapi juga kejiwaan. Bukankah kesengsaraan dan kebahagiaan bersifat nonmateriil atau kejiwaan. Lalu apa gunanya kita menuruti hasrat duniawi, tapi dengan saling “menjatuhkan” antar sesama manusia?

Sebagai kesimpulan, tulisan ini tidak mengingkari kemungkinan adanya perilaku melenceng manusia yang perlu kita lawan. Namun bukan berarti yang kita lawan adalah manusianya, yang notabene serupa dengan kita, tapi ketersesatannya. Pembenahan yang perlu, bukan pemusnahan. Persamaannya: Jika reformasi masih mungkin dilakukan, tak usah revolusi! Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan sikap saling memahami, menghormati, dan bahu-membahu. Bukannya sikap saling menyalahkan, mencaci-maki, atau menjatuhkan. Dunia butuh solusi untuk menyadarkan setiap jiwa manusia yang sedang lupa jati diri, bukan pertikaian. Intinya, kita harus tetap saling memanusiakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar