Entah
kapan datangnya ajal. Tak seorang pun yang bisa menebaknya dengan tepat, meski ajal
adalah sebuah kepastian. Tidak juga diri sendiri. Dan mungkin karena itulah,
selalu ada duka yang mengiringi kematian yang terjadi tiba-tiba dan menjadi
berat untuk diterima. Si mendiang tak memberikan aba-aba, dan yang ditinggal
tak siap-sedia. Semua terjadi begitu saja. Seumpama cinta yang mekar dan menjadi
layu seketika.
Namun
kematian tidak selalu menyisakan rasa kehilangan yang mendalam. Atas
tanda-tanda menuju maut, setiap orang bisa mempersiapkan diri agar lebih tabah
menerima kenyataan itu. Mungkin pertanda berupa ketuaan atau penyakit yang menjadi aba-aba bagi yang meninggalkan dan yang ditinggalkan untuk bersiap-siap. Bahkan
bagi mereka yang nekat, kematian dapat disambut pada waktu yang tentu, entah dengan hukuman mati atau bunuh diri.
Dan
matinya Arlian, adalah salah satu kematian yang meyisakan duka yang mendalam.
Ia adalah seorang tokoh masyarakat, seorang bupati, yang mati terbunuh dengan
selongsong peluru yang menembus batok kepalanya. Karena itulah, segenap anggota
keluarga dan para warga merasa sangat berduka atas kepergiannya yang tragis dan
tak diduga-duga. Ia terbunuh begitu saja, di saat usianya masih kepala tiga, dengan
raga yang masih segar-bugar.
Wajarlah
jika para pelayat datang bergumul dan tak henti-hentinya merapalkan doa dalam duka
untuk Arlian. Mereka jelas sangat kehilangan satu sosok yang patut menjadi
teladan bagi masyarakat. Sosok yang bermartabat secara pribadi. Sosok yang
berhasil membina keluarga yang harmonis sepanjang hidupnya. Juga sosok yang
disegani sebagai pemimpin, yang dinilai peduli pada urusan keagamaan.
Tapi
tidak semua orang tenggelam dalam duka. Di pojok ruangan, Badim, sopir pribadi Arlian,
tampak lebih tegar di antara orang-orang terdekat sang mendiang. Tak ada tangis
dan raut kesedihan di wajahnya. Tak ada suara-suara menggerutu dan mengaduh. Tak
ada tingkah meronta-ronta. Ia hanya duduk sambil merenung dengan sikap yang
datar. Seolah-olah ia sedang bermain dalam kenangannya sendiri, dan peristiwa
tragis di hadapannya, tidak benar-benar terjadi.
Ketabahan
Badim, jelas ditopang oleh pengetahuannya soal jati diri Arlian. Ia pasti banyak
tahu tentang diri sang bos. Pasalnya, sebagai sopir pribadi, ia pasti tahu rahasia
gerak-gerik sang pejabat itu. Tahu ke mana Arlian pergi saat istri dan
anak-anaknya pun tak tahu. Tahu dengan siapa Arlian bertemu di kala kolega
dekatnya pun tak tahu. Bahkan tahu tentang watak dan kebiasaan Arlian yang tak
tampak di tengah khalayak.
Citra
baik dan buruk Arlian mungkin saling mendistorsi dalam benak Badim. Saling
beradu untuk mencapai titik kesimpulan, tentang apakah ia patut menangisi
kepergian sang majikan sebagai orang bermartabat, sebagaimana pelayat yang
lain. Ataukah sebaliknya, bahwa ia tak perlu berduka atas kematian itu,
selayaknya melihat seekor tikus yang mati di pinggir jalan.
Dan
barangkali, keterangan soal sikap Badim terhadap Arlian, dapat merujuk pada
obrolan dua hari yang lalu, di satu sore. Saat ia tengah fokus menyetir di
balik kemudi, Arlian tiba-tiba bertanya dengan mimik yang datar, “Kau pasti
sudah mengenal aku dengan baik, kan?”
Badim
yang sedari tadi hanya diam dan kebingungan mencari bahan obrolan, merasa aneh
dengan pertanyaan itu. “Tentu saja, Pak.”
Lekas
Arlian menimpali, “Ya, aku yakin begitu. Kau telah menemaniku bertahun-tahun.
Sejak aku bukan siapa-siapa, sampai aku menjadi seperti sekarang.”
“Ya,
Pak,” kata Badim, bermaksud menegaskan.
Arlian
berdeham, kemudian bertanya lagi. “Dim, aku merasa telah jauh tersesat dari
niat baik yang kutekadkan sedari awal. Apa kau tak menilai aku demikian?”
Seketika,
Badim kebingungan membaca arah percakapan itu, hingga ia berupaya memberikan
jawaban yang diplomatis, “Aku tak pantas untuk sekadar dimintai penilaian, Pak.
Aku hanya pesuruh yang sepantasnya disuruh-suruh.”
“Aku
menyuruhmu untuk memberikan penilaian sekarang!” sergah Arlian.
Badim
kikuk dan tak tahu harus bagaimana. Ia tak kuasa berucap.
Beberapa
detik berselang, Arlian menebak sendiri isi pikiran sopirnya. “Ya, aku tahu
jawabanmu. Dan memang sudah seharusnya begitu, bahwa aku salah telah berbuat
serong dengan wanita lain. Aku salah telah menerima suap dari orang-orang demi
izin proyek mereka. Dan aku terlaknat telah membangun rumah ibadah dari hasil
korupsiku,” cerocos Arlian, lalu mengacak-acak rambutnya. “Oh, Tuhan, betapa
aku tak pantas lagi untuk hidup di dunia ini!”
Badim
masih tak berani untuk merespons.
Tiba-tiba,
Arlian menangis seperti anak kecil yang kedapatan mencuri.
Seiring
itu, sebuah lagu selesai mengalun di radio. Mengudaralah berita perihal kasus
korupsi yang kemarin mulai dibicarakan di media. Diinformasikan bahwa pemerintah
kabupaten diduga bersekongkol dengan para kontraktor untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dari proyek peremajaan jalan.
Semasih
narasi berita belum selesai, Arlian meyela, “Kau tahu, karirku akan jatuh pada titik
kehancuran, dan aku akan menjadi orang yang sangat hina.”
Bermaksud
sekadar merespons, Badim bertanya, “Maksud Bapak?” dan seketika ia merasa telah
berkata bodoh dan lancang.
“Bukankah
seharusnya kau menduganya?” kata Arlian, terdengar kesal. “Kontraktor yang kita
temui di hotel tempo hari, telah diciduk polisi. Dan besok-besok, namaku pasti
disebut-sebut. Lalu aku ditangkap dan dipenjarakan,” sangkanya sendiri, kemudian
mengusap-usap wajahnya. “Oh, Tuhan! Ampunilah aku!”
Badim
memutuskan untuk tidak berkomentar lagi.
“Demi
nama baik keluarga besarku, sejak semalam, aku telah memutuskan untuk
mengakhiri semuanya. Sungguh keterlaluan jika aku terus menghancurkan martabat mereka
dengan tingkah sesatku,” kata Arlian, lalu melepaskan tangisnya yang pelan.
Lima detik berselang, ia lalu menyambung kalimatnya, sambil tersedu-sedu, “Jika
hidupku terlanjur hancur, setidaknya aku tak menghancurkan masa depan
keluargaku. Jika hidupku jauh dari laku baik, setidaknya aku meninggalkan nama
baik untuk keluargaku.”
Badim
yang tak terlalu memahami makna kata sang bos, hanya mengangguk kecil.
Kemudian,
semasih di pertengahan jalan pulang, Arlian meminta Badim menuju ke arah yang
menyimpang.
Tak
ingin salah tingkah, Badim turut saja tanpa bertanya dan berbasa-basi.
Hingga
akhirnya, mereka sampai di sebuah bangunan bekas pabrik yang lengang dan jauh
dari pemukiman. Arlian pun turun dari mobil, sambil menenteng koper. Ia mengarah
ke tiga orang yang berbadan kekar dan bertato, yang Badim tahu, adalah awak
Arlian untuk urusan-urusan yang pelik.
Badim
yang tak mendapatkan perintah untuk turut, hanya mengamati di balik kaca depan mobil.
Ia bertanya-tanya sendiri tentang apa gerangan yang mereka obrolkan, dan
bagaimana selanjutnya.
Setelah
pembahasan yang tampak alot di antara empat orang itu, kembalilah Arlian ke dalam
mobil dengan raut wajah yang datar dan tanpa kata-kata. Diam saja di sepanjang
sisa perjalanan pulang.
Sampai
akhirnya, ketika masih di awal malam, berembuslah kabar yang menggemparkan. Arlian ditembak tepat di jantungnya oleh seorang
yang tak diketahui kala ia baru saja keluar dari rumah ibadah, dan ia mati
seketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar