Senin, 10 September 2018

Orang Kepercayaan

Entah kapan datangnya ajal. Tak seorang pun yang bisa menebaknya dengan tepat, meski ajal adalah sebuah kepastian. Tidak juga diri sendiri. Dan mungkin karena itulah, selalu ada duka yang mengiringi kematian yang terjadi tiba-tiba dan menjadi berat untuk diterima. Si mendiang tak memberikan aba-aba, dan yang ditinggal tak siap-sedia. Semua terjadi begitu saja. Seumpama cinta yang mekar dan menjadi layu seketika. 
 
Namun kematian tidak selalu menyisakan rasa kehilangan yang mendalam. Atas tanda-tanda menuju maut, setiap orang bisa mempersiapkan diri agar lebih tabah menerima kenyataan itu. Mungkin pertanda berupa ketuaan atau penyakit yang menjadi aba-aba bagi yang meninggalkan dan yang ditinggalkan untuk bersiap-siap. Bahkan bagi mereka yang nekat, kematian dapat disambut pada waktu yang tentu, entah dengan hukuman mati atau bunuh diri. 

Dan matinya Arlian, adalah salah satu kematian yang meyisakan duka yang mendalam. Ia adalah seorang tokoh masyarakat, seorang bupati, yang mati terbunuh dengan selongsong peluru yang menembus batok kepalanya. Karena itulah, segenap anggota keluarga dan para warga merasa sangat berduka atas kepergiannya yang tragis dan tak diduga-duga. Ia terbunuh begitu saja, di saat usianya masih kepala tiga, dengan raga yang masih segar-bugar.

Wajarlah jika para pelayat datang bergumul dan tak henti-hentinya merapalkan doa dalam duka untuk Arlian. Mereka jelas sangat kehilangan satu sosok yang patut menjadi teladan bagi masyarakat. Sosok yang bermartabat secara pribadi. Sosok yang berhasil membina keluarga yang harmonis sepanjang hidupnya. Juga sosok yang disegani sebagai pemimpin, yang dinilai peduli pada urusan keagamaan.

Tapi tidak semua orang tenggelam dalam duka. Di pojok ruangan, Badim, sopir pribadi Arlian, tampak lebih tegar di antara orang-orang terdekat sang mendiang. Tak ada tangis dan raut kesedihan di wajahnya. Tak ada suara-suara menggerutu dan mengaduh. Tak ada tingkah meronta-ronta. Ia hanya duduk sambil merenung dengan sikap yang datar. Seolah-olah ia sedang bermain dalam kenangannya sendiri, dan peristiwa tragis di hadapannya, tidak benar-benar terjadi.

Ketabahan Badim, jelas ditopang oleh pengetahuannya soal jati diri Arlian. Ia pasti banyak tahu tentang diri sang bos. Pasalnya, sebagai sopir pribadi, ia pasti tahu rahasia gerak-gerik sang pejabat itu. Tahu ke mana Arlian pergi saat istri dan anak-anaknya pun tak tahu. Tahu dengan siapa Arlian bertemu di kala kolega dekatnya pun tak tahu. Bahkan tahu tentang watak dan kebiasaan Arlian yang tak tampak di tengah khalayak.

Citra baik dan buruk Arlian mungkin saling mendistorsi dalam benak Badim. Saling beradu untuk mencapai titik kesimpulan, tentang apakah ia patut menangisi kepergian sang majikan sebagai orang bermartabat, sebagaimana pelayat yang lain. Ataukah sebaliknya, bahwa ia tak perlu berduka atas kematian itu, selayaknya melihat seekor tikus yang mati di pinggir jalan.

Dan barangkali, keterangan soal sikap Badim terhadap Arlian, dapat merujuk pada obrolan dua hari yang lalu, di satu sore. Saat ia tengah fokus menyetir di balik kemudi, Arlian tiba-tiba bertanya dengan mimik yang datar, “Kau pasti sudah mengenal aku dengan baik, kan?”

Badim yang sedari tadi hanya diam dan kebingungan mencari bahan obrolan, merasa aneh dengan pertanyaan itu. “Tentu saja, Pak.”

Lekas Arlian menimpali, “Ya, aku yakin begitu. Kau telah menemaniku bertahun-tahun. Sejak aku bukan siapa-siapa, sampai aku menjadi seperti sekarang.”

“Ya, Pak,” kata Badim, bermaksud menegaskan.

Arlian berdeham, kemudian bertanya lagi. “Dim, aku merasa telah jauh tersesat dari niat baik yang kutekadkan sedari awal. Apa kau tak menilai aku demikian?”

Seketika, Badim kebingungan membaca arah percakapan itu, hingga ia berupaya memberikan jawaban yang diplomatis, “Aku tak pantas untuk sekadar dimintai penilaian, Pak. Aku hanya pesuruh yang sepantasnya disuruh-suruh.”

“Aku menyuruhmu untuk memberikan penilaian sekarang!” sergah Arlian.

Badim kikuk dan tak tahu harus bagaimana. Ia tak kuasa berucap.

Beberapa detik berselang, Arlian menebak sendiri isi pikiran sopirnya. “Ya, aku tahu jawabanmu. Dan memang sudah seharusnya begitu, bahwa aku salah telah berbuat serong dengan wanita lain. Aku salah telah menerima suap dari orang-orang demi izin proyek mereka. Dan aku terlaknat telah membangun rumah ibadah dari hasil korupsiku,” cerocos Arlian, lalu mengacak-acak rambutnya. “Oh, Tuhan, betapa aku tak pantas lagi untuk hidup di dunia ini!” 

Badim masih tak berani untuk merespons.

Tiba-tiba, Arlian menangis seperti anak kecil yang kedapatan mencuri.

Seiring itu, sebuah lagu selesai mengalun di radio. Mengudaralah berita perihal kasus korupsi yang kemarin mulai dibicarakan di media. Diinformasikan bahwa pemerintah kabupaten diduga bersekongkol dengan para kontraktor untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek peremajaan jalan.

Semasih narasi berita belum selesai, Arlian meyela, “Kau tahu, karirku akan jatuh pada titik kehancuran, dan aku akan menjadi orang yang sangat hina.”

Bermaksud sekadar merespons, Badim bertanya, “Maksud Bapak?” dan seketika ia merasa telah berkata bodoh dan lancang.

“Bukankah seharusnya kau menduganya?” kata Arlian, terdengar kesal. “Kontraktor yang kita temui di hotel tempo hari, telah diciduk polisi. Dan besok-besok, namaku pasti disebut-sebut. Lalu aku ditangkap dan dipenjarakan,” sangkanya sendiri, kemudian mengusap-usap wajahnya. “Oh, Tuhan! Ampunilah aku!”

Badim memutuskan untuk tidak berkomentar lagi.

“Demi nama baik keluarga besarku, sejak semalam, aku telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Sungguh keterlaluan jika aku terus menghancurkan martabat mereka dengan tingkah sesatku,” kata Arlian, lalu melepaskan tangisnya yang pelan. Lima detik berselang, ia lalu menyambung kalimatnya, sambil tersedu-sedu, “Jika hidupku terlanjur hancur, setidaknya aku tak menghancurkan masa depan keluargaku. Jika hidupku jauh dari laku baik, setidaknya aku meninggalkan nama baik untuk keluargaku.”

Badim yang tak terlalu memahami makna kata sang bos, hanya mengangguk kecil.

Kemudian, semasih di pertengahan jalan pulang, Arlian meminta Badim menuju ke arah yang menyimpang. 

Tak ingin salah tingkah, Badim turut saja tanpa bertanya dan berbasa-basi.

Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah bangunan bekas pabrik yang lengang dan jauh dari pemukiman. Arlian pun turun dari mobil, sambil menenteng koper. Ia mengarah ke tiga orang yang berbadan kekar dan bertato, yang Badim tahu, adalah awak Arlian untuk urusan-urusan yang pelik.

Badim yang tak mendapatkan perintah untuk turut, hanya mengamati di balik kaca depan mobil. Ia bertanya-tanya sendiri tentang apa gerangan yang mereka obrolkan, dan bagaimana selanjutnya.

Setelah pembahasan yang tampak alot di antara empat orang itu, kembalilah Arlian ke dalam mobil dengan raut wajah yang datar dan tanpa kata-kata. Diam saja di sepanjang sisa perjalanan pulang.

Sampai akhirnya, ketika masih di awal malam, berembuslah kabar yang menggemparkan.  Arlian ditembak tepat di jantungnya oleh seorang yang tak diketahui kala ia baru saja keluar dari rumah ibadah, dan ia mati seketika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar