Rabu, 11 Desember 2019

Uang Jalan

Beberapa hari belakangan, Suban, seorang duda, dilanda kekalutan. Seorang anaknya akan datang dari kota untuk meminta ongkos kuliah. Padahal ia tak punya tabungan yang cukup untuk menalangi permintaan sang anak. Sesuai perhitungan, tabungannya sekadar cukup untuk menutupi kebutuhan perlengkapan sekolah bagi dua orang anaknya yang masih duduk di bangku SMP.
 
Akhirnya, seminggu yang lalu, Suban berusaha agar kios tambal bannya memperoleh penghasilan yang banyak. Ia aktif melakukan upaya dan tak sekadar menunggu uang datang tanpa kepastian. Bahkan ia memutuskan untuk membuka kios tambalnya sepanjang hari demi menyambut orang-orang yang apes di tengah jalan dan membutuhkan keahliannya. 

Sebagaimana rencana, taktik bisnisnya pun jitu. Dalam seminggu, orang bersinggahan di kiosnya tanpa mengenal waktu. Sampai akhirnya, ia berhasil mengumpulkan uang dengan jumlah yang jauh melebihi ongkos kuliah yang dipatok sang anak. Ia bahkan mampu menalangi keperluan hidup yang lain, yang susah payah ia penuhi di tengah kerja pertukangannya yang lowong. 

Atas keberhasilannya itu, Suban jadi ketagihan. Ia masih ingin mendapatkan penghasilan lebih untuk memenuhi keinginannya yang lain. Bahkan hari ini, hari saat anaknya akan datang, ia tetap melakukan pola kerja yang sama. Ia tetap siaga di kios tambal bannya untuk menunggu kedatangan orang-orang yang kebocoran ban, sebelum mereka menyeberang ke kios yang lain.

Sampai akhirnya, lewat jam 11 malam, Suban dilanda kegalauan. Anaknya tak juga tiba dengan sepeda motor ketika ia seharusnya tiba sekitar jam 10. Apalagi, sang anak tak kunjung menjawab pesan dan panggilannya lewat telepon setelah menyampaikan kabar terakhir bahwa ia telah dekat dari penikungan ke jalan kabupaten.

Setelah lewat tengah malam, di dalam balutan jas hujan, di bawah rintik-rintik, Suban pun memutuskan untuk mengecek sepanjang jalur yang telah ia sarankan kepada sang anak. Sebuah jalur yang katanya lebih mulus, meskipun lintasnnya lebih panjang ketimbang jalur yang satu. Namun setelah sampai di induk jalan, pada jalan provinsi, Suban tak juga menemukan sang anak. 

Akhirnya, Suban pun kembali ke rumahnya di bawah guyuran hujan yang deras. Dan sepanjang perjalanan pulang, kekhawatirannya tentang keadaan sang anak semakin menjadi-jadi. Hingga perlahan-lahan, benaknya pun disesaki oleh dosa-dosa yang ia lakukan belakangan ini, dan ia khawatir kalau keadaan sang anak hanyalah karma yang harus ia tuai.

Setelah 15 menit kemudian, Suban pun tiba di rumahnya dengan kegalauan yang sangat. Ia lantas melangkahi pekarangan rumah dengan setengah berdaya. Hingga tanpa terduga, ia menjumpai sang anak yang basah kuyup dan tengah berdiri di depan rumah sambil mengetuk-ngetuk pintu di bawah deru hujan yang berisik.

Sontak, Suban merasa lega, selega-leganya. Ia lantas menghampiri sang anak. “Apa yang terjadi, Nak? Kau baik-baik saja, kan?” tanya Suban, sambil mengusap-usap lengan baju anaknya yang basah.

“Aku tak apa-apa, Pak,” jawab sang anak, sembari menahan gigil. ““Ban motorku bocor.”

“Kenapa bisa? Motormu di mana sekarang?” telisik Suban.

“Tertusuk paku di persimpangan pohon jati, Pak,” katanya, menyebut separuh jalan dari jalur yang sedari awal diperingatkan sang ayah untuk tidak dilintasi. “Motor aku simpan saja di sana. Terlalu berbahaya jika aku paksakan.”

Suban pun mengembuskan napas yang panjang. “Aduh, Nak. Saya kan sudah bilang, jangan lewat jalur itu!”

“Aku tahu, Pak. Namun setelah aku melihat langit mendung, aku memilih untuk melintasi jalur terdekat agar sampai di sini sebelum hujan deras mengguyur,” terang sang anak.

Untuk sejenak, Suban pun memandang anaknya lekat-lekat dan memastikan kalau ia baik-baik saja. Sesaat kemudian, ia pun membuka pintu dan memasuki rumah kala dua orang penghuni yang lain tengah tertidur. 

Anaknya pun segera mengeringkan badan dengan handuk, lantas mengganti pakaian. “Kata Ayah, jalanan di sana rusak. Aku lihat-lihat, mulus-mulus saja,” singgungnya kemudian.

Suban pun kelimpungan meramu penjelasan. “Ya, maksud saya, rusak itu berarti berbahaya, Nak. Persimpangan pohon jadi kan panjang. Aku takut ada orang-orang yang berniat mencelakaimu di sana,” katanya.

Sang anak hanya mengangguk-angguk atas kata-kata perhatian darinya.

Waktu terus bergulir. Matahari semakin meninggi. Sebelum tengah hari, sang anak pun kembali ke kota sembari membawa uang yang lebih dari yang ia minta.

Suban pun merasa berhasil. Namun diam-diam, ia khawatir kalau-kalau malapetaka benar-benar menimpanya atas uang yang ia dapatkan dari aksi menebar paku di badan jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar