Beberapa
hari belakangan, Suban, seorang duda, dilanda kekalutan. Seorang anaknya akan
datang dari kota untuk meminta ongkos kuliah. Padahal ia tak punya tabungan
yang cukup untuk menalangi permintaan sang anak. Sesuai perhitungan, tabungannya
sekadar cukup untuk menutupi kebutuhan perlengkapan sekolah bagi dua orang anaknya
yang masih duduk di bangku SMP.
Akhirnya,
seminggu yang lalu, Suban berusaha agar kios tambal bannya memperoleh penghasilan
yang banyak. Ia aktif melakukan upaya dan tak sekadar menunggu uang datang tanpa
kepastian. Bahkan ia memutuskan untuk membuka kios tambalnya sepanjang hari demi
menyambut orang-orang yang apes di tengah jalan dan membutuhkan keahliannya.
Sebagaimana
rencana, taktik bisnisnya pun jitu. Dalam seminggu, orang bersinggahan di
kiosnya tanpa mengenal waktu. Sampai akhirnya, ia berhasil mengumpulkan uang dengan
jumlah yang jauh melebihi ongkos kuliah yang dipatok sang anak. Ia bahkan mampu
menalangi keperluan hidup yang lain, yang susah payah ia penuhi di tengah kerja
pertukangannya yang lowong.
Atas
keberhasilannya itu, Suban jadi ketagihan. Ia masih ingin mendapatkan
penghasilan lebih untuk memenuhi keinginannya yang lain. Bahkan hari ini, hari saat
anaknya akan datang, ia tetap melakukan pola kerja yang sama. Ia tetap siaga di
kios tambal bannya untuk menunggu kedatangan orang-orang yang kebocoran ban, sebelum
mereka menyeberang ke kios yang lain.
Sampai
akhirnya, lewat jam 11 malam, Suban dilanda kegalauan. Anaknya tak juga tiba dengan
sepeda motor ketika ia seharusnya tiba sekitar jam 10. Apalagi, sang anak tak kunjung
menjawab pesan dan panggilannya lewat telepon setelah menyampaikan kabar terakhir
bahwa ia telah dekat dari penikungan ke jalan kabupaten.
Setelah
lewat tengah malam, di dalam balutan jas hujan, di bawah rintik-rintik, Suban pun
memutuskan untuk mengecek sepanjang jalur yang telah ia sarankan kepada sang
anak. Sebuah jalur yang katanya lebih mulus, meskipun lintasnnya lebih panjang ketimbang
jalur yang satu. Namun setelah sampai di induk jalan, pada jalan provinsi,
Suban tak juga menemukan sang anak.
Akhirnya,
Suban pun kembali ke rumahnya di bawah guyuran hujan yang deras. Dan sepanjang perjalanan
pulang, kekhawatirannya tentang keadaan sang anak semakin menjadi-jadi. Hingga perlahan-lahan,
benaknya pun disesaki oleh dosa-dosa yang ia lakukan belakangan ini, dan ia
khawatir kalau keadaan sang anak hanyalah karma yang harus ia tuai.
Setelah
15 menit kemudian, Suban pun tiba di rumahnya dengan kegalauan yang sangat. Ia lantas
melangkahi pekarangan rumah dengan setengah berdaya. Hingga tanpa terduga, ia
menjumpai sang anak yang basah kuyup dan tengah berdiri di depan rumah sambil
mengetuk-ngetuk pintu di bawah deru hujan yang berisik.
Sontak,
Suban merasa lega, selega-leganya. Ia lantas menghampiri sang anak. “Apa yang
terjadi, Nak? Kau baik-baik saja, kan?” tanya Suban, sambil mengusap-usap lengan
baju anaknya yang basah.
“Aku
tak apa-apa, Pak,” jawab sang anak, sembari menahan gigil. ““Ban motorku bocor.”
“Kenapa
bisa? Motormu di mana sekarang?” telisik Suban.
“Tertusuk
paku di persimpangan pohon jati, Pak,” katanya, menyebut separuh jalan dari jalur
yang sedari awal diperingatkan sang ayah untuk tidak dilintasi. “Motor aku
simpan saja di sana. Terlalu berbahaya jika aku paksakan.”
Suban
pun mengembuskan napas yang panjang. “Aduh, Nak. Saya kan sudah bilang, jangan
lewat jalur itu!”
“Aku
tahu, Pak. Namun setelah aku melihat langit mendung, aku memilih untuk
melintasi jalur terdekat agar sampai di sini sebelum hujan deras mengguyur,”
terang sang anak.
Untuk
sejenak, Suban pun memandang anaknya lekat-lekat dan memastikan kalau ia baik-baik
saja. Sesaat kemudian, ia pun membuka pintu dan memasuki rumah kala dua orang
penghuni yang lain tengah tertidur.
Anaknya
pun segera mengeringkan badan dengan handuk, lantas mengganti pakaian. “Kata Ayah,
jalanan di sana rusak. Aku lihat-lihat, mulus-mulus saja,” singgungnya
kemudian.
Suban
pun kelimpungan meramu penjelasan. “Ya, maksud saya, rusak itu berarti berbahaya,
Nak. Persimpangan pohon jadi kan panjang. Aku takut ada orang-orang yang
berniat mencelakaimu di sana,” katanya.
Sang
anak hanya mengangguk-angguk atas kata-kata perhatian darinya.
Waktu
terus bergulir. Matahari semakin meninggi. Sebelum tengah hari, sang anak pun
kembali ke kota sembari membawa uang yang lebih dari yang ia minta.
Suban
pun merasa berhasil. Namun diam-diam, ia khawatir kalau-kalau malapetaka benar-benar
menimpanya atas uang yang ia dapatkan dari aksi menebar paku di badan jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar