Jumat, 20 Desember 2019

Banjir Besar

Dua bulan berlalu, ruang rumah masih saja senyap. Antara dua insan, Bakri dan istrinya, sudah tak ada senda gurau. Masalahnya sepele. Bakri membeli burung peliharaan, dan istrinya mencap ia tak serius lagi mengurus kebun. Sang istri pun jadi enggan memanjakan sang suami. Tak ada lagi pisang goreng dan kopi susu di pagi hari.
 
Di tengah sikap saling mengabaikan, mereka pun pisah ranjang. Sang istri memilih tidur melantai di ruang utama ketimbang tidur bersama sang suami di dalam kamar. Sang istri memilih melawan angin malam yang dingin ketimbang terjebak dalam suasana hati yang dingin ketika ia seharusnya berbagi kehangatan dengan sang suami.

Seolah terbiasa dengan keterpisahan, Bakri pun merasa lebih damai setiap kali terpisah ruang dengan sang istri. Ia merasa tenang sebab tak harus berjuang meredam keluh-kesah yang telah menggunung dan hendak mecuat keluar setiap kali menatap sang istri, sebagaimana anggapannya tentang perasaan sang istri terhadap keberadaan dirinya.

Akhirnya, dunia mereka terbelah. Meski mereka masih berada di bawah satu atap, segala urusan telah terbagi menjadi persoalan masing-masing. Bakri tetap mengurus kebun jagung, meski sang istri sesekali membantu tanpa diminta. Sebaliknya, sang istri pun tetap memasak makanan pokok, meski Bakri harus meracik hidangan ekstra lainnya.

Dan hari ini, ketika mentari cerah berada di ujung pagi, sang istri kembali ke kebun, di seberang sungai, setelah memasak hidangan standar. Seperti biasa, ia beranjak tanpa sepatah kata pun. Sedang Bakri yang tengah didera sakit kepala, akhirnya bangun dari pembaringan. Ia lantas menuju ke dapur dan bersantap seorang diri.

Namun setelah makan dan berleha-leha, kepala Bakri malah semakin sakit. Di tengah kesendirian, ia pun tak ada pilihan selain berbaring kembali di atas kasur, sembari berharap sakit kepalanya mereda dengan sendirinya. Ia pun terlelap dan terjaga berulang kali. Sampai akhirnya, ia terlelap pulas kala hujan deras turun, dan baru terjaga setelah lewat jam 2 siang, kala hujan tersisa rintik.

Dengan setengah daya, atas sakit kepala yang masih sangat terasa, Bakri pun beranjak ke ruang utama. Ia lantas duduk di kursi dan mengamati keadaan sekitar. Sampai akhirnya, ia menyadari kalau belum ada tanda-tanda atas kepulangan istrinya. Padahal biasanya, sang istri akan pulang dari kebun sebelum jam 2 siang. 

Perlahan-lahan, di tengah sikap acuh tak acuh, tanda tanya pun bermunculan di benaknya. Ia bertanya-tanya tentang sebab sang istri belum pulang pada waktu biasanya. Ia menginginkan jawaban pasti untuk tanya yang sekadar penasaran. Dan untuk sementara, ia berpikir positif saja kalau sang istri barangkali hanya menunda kepulangannya sampai hujan benar-benar reda.

Sembari mengabaikan tanya-tanya yang ia anggap berlebihan, Bakri pun beranjak ke dapur untuk memakan sisa masakan istrinya pagi tadi. Ia lantas bersantap sambil berharap agar istrinya segera tiba dan menghapuskan kira-kira tentang hal yang tidak-tidak di dalam benaknya. Namun setelah makanannya tandas, sang istri tidak juga muncul.

Tak tahan melawan tanya-tanya di balik kepalanya yang sakit, Bakri pun memilih kembali ke pembaringan. Ia lalu tertidur dengan perut yang kenyang. Tidurnya pulas. Hingga tanpa terkira, ia baru terjaga ketika lewat jam 5 sore, ketika hujan turun lagi. Maka, seiring tanya-tanya yang kembali menyeruak, ia pun beranjak ke ruang utama dan berharap menemukan istrinya.

Tapi nihil. Istrinya belum juga tiba di tengah hujan yang semakin deras.

Sampai akhirnya, ia melihat air sungai meluap. Banjir besar sedang terjadi. Sontak, tanya-tanya di benaknya pun berubah menjadi kekhawatiran. Bayangan-bayangan tentang kejadian nahas kembali menyesaki pikirannya. Hingga ia sampai pada titik kecemasan kalau-kalau banjir telah mencelakakan sang istri yang tidak bisa berenang.

Seiring kekalutannya yang semakin menjadi, hujan pun perlahan mereda. Lalu hujan benar-benar berhenti saat waktu menunjukkan hampir jam 6. Tanpa pikir panjang, Bakri pun memutuskan untuk segera menuntaskan keresahannya. Tanpa rasa takut, ia lantas menerjuni dan mengarungi bentangan sungai yang mengganas saat kepalanya masih terasa nyut-nyutan.

Ketika berada di tengah banjir, Bakri pun bergumul dengan liukan ombak. Ia mengayunkan tangan dan kakinya silih berganti. Namun di bawah permukaan air, sebuah benda tajam menggerek betisnya. Tetapi kecemasannya terhadap sang istri berhasil membungkam rasa sakitnya. Dan ketika sampai di tepian sebelah, ia pun mendapati betisnya mengalami pendarahan hebat.

Atas rasa cemas yang menggerogoti perasaannya, Bakri pun melangkah tanpa peduli pada rasa sakit di kepala dan kakinya. Ia bergegas saja menuju ke rumah kebun satu ruang yang ia duga akan menjadi tempat berdiam diri bagi sang istri. Dan seolah ketiban untung yang tak ternilai, ia pun melihat istrinya sedang membakar beberapa tongkol jagung di kolong rumah.

Sang istri sontak menoleh dan memandang sang suami lekat-lekat di tengah suasana yang menggelap.

“Bapak?” sergah sang istri. Terkejut.

“Ibu baik-baik saja, kan?” tanya balik Bakri, penuh kecemasan.

Sang istri mengangguk pelan dengan rupa keheranan.

Mereka lantas terdiam saja dalam beberapa saat, dan hanya saling memandang dengan isi pikiran masing-masing.

“Kaki Bapak kenapa?” tanya sang istri kemudian.

Bakri menggeleng. “Tak apa-apa. Hanya tertusuk kayu di sungai.”

Sang istri kemudian bergegas ke samping rumah. Tangannya cekatan memetik dan melumatkan dedaunan yang mujarab sebagai obat luka. Ia lalu membalurkan ramaun itu pada luka sang suami, lantas memerbannya dengan sobekan kain penutup kepalanya.

Bakri merasa terenyuh. Segenap rasa sakit di tubuhnya seolah-olah sirna.

Untuk beberapa saat, mereka hanya duduk terdiam di samping bara api yang memanggang jagung-jagung.

Lalu tanpa aba-aba, sang istri membalut punggung sang suami dengan sarung selempangannya. “Bapak kedinginan,” katanya.

Dengan seketika, Bakri menggapai tangan sang istri. “Maafkan aku,” tuturnya, dengan tatapan hangat.

Mata sang istri pun berkaca-kaca. “Maafkan aku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar