Dua
bulan berlalu, ruang rumah masih saja senyap. Antara dua insan, Bakri dan istrinya,
sudah tak ada senda gurau. Masalahnya sepele. Bakri membeli burung peliharaan,
dan istrinya mencap ia tak serius lagi mengurus kebun. Sang istri pun jadi enggan
memanjakan sang suami. Tak ada lagi pisang goreng dan kopi susu di pagi hari.
Di
tengah sikap saling mengabaikan, mereka pun pisah ranjang. Sang istri memilih
tidur melantai di ruang utama ketimbang tidur bersama sang suami di dalam kamar.
Sang istri memilih melawan angin malam yang dingin ketimbang terjebak dalam
suasana hati yang dingin ketika ia seharusnya berbagi kehangatan dengan sang
suami.
Seolah
terbiasa dengan keterpisahan, Bakri pun merasa lebih damai setiap kali terpisah
ruang dengan sang istri. Ia merasa tenang sebab tak harus berjuang meredam
keluh-kesah yang telah menggunung dan hendak mecuat keluar setiap kali menatap
sang istri, sebagaimana anggapannya tentang perasaan sang istri terhadap
keberadaan dirinya.
Akhirnya,
dunia mereka terbelah. Meski mereka masih berada di bawah satu atap, segala
urusan telah terbagi menjadi persoalan masing-masing. Bakri tetap mengurus
kebun jagung, meski sang istri sesekali membantu tanpa diminta. Sebaliknya,
sang istri pun tetap memasak makanan pokok, meski Bakri harus meracik hidangan
ekstra lainnya.
Dan
hari ini, ketika mentari cerah berada di ujung pagi, sang istri kembali ke
kebun, di seberang sungai, setelah memasak hidangan standar. Seperti biasa, ia beranjak
tanpa sepatah kata pun. Sedang Bakri yang tengah didera sakit kepala, akhirnya bangun
dari pembaringan. Ia lantas menuju ke dapur dan bersantap seorang diri.
Namun
setelah makan dan berleha-leha, kepala Bakri malah semakin sakit. Di tengah
kesendirian, ia pun tak ada pilihan selain berbaring kembali di atas kasur, sembari
berharap sakit kepalanya mereda dengan sendirinya. Ia pun terlelap dan terjaga
berulang kali. Sampai akhirnya, ia terlelap pulas kala hujan deras turun, dan baru
terjaga setelah lewat jam 2 siang, kala hujan tersisa rintik.
Dengan
setengah daya, atas sakit kepala yang masih sangat terasa, Bakri pun beranjak
ke ruang utama. Ia lantas duduk di kursi dan mengamati keadaan sekitar. Sampai
akhirnya, ia menyadari kalau belum ada tanda-tanda atas kepulangan istrinya.
Padahal biasanya, sang istri akan pulang dari kebun sebelum jam 2 siang.
Perlahan-lahan,
di tengah sikap acuh tak acuh, tanda tanya pun bermunculan di benaknya. Ia
bertanya-tanya tentang sebab sang istri belum pulang pada waktu biasanya. Ia
menginginkan jawaban pasti untuk tanya yang sekadar penasaran. Dan untuk
sementara, ia berpikir positif saja kalau sang istri barangkali hanya menunda
kepulangannya sampai hujan benar-benar reda.
Sembari
mengabaikan tanya-tanya yang ia anggap berlebihan, Bakri pun beranjak ke dapur untuk
memakan sisa masakan istrinya pagi tadi. Ia lantas bersantap sambil berharap
agar istrinya segera tiba dan menghapuskan kira-kira tentang hal yang
tidak-tidak di dalam benaknya. Namun setelah makanannya tandas, sang istri tidak
juga muncul.
Tak
tahan melawan tanya-tanya di balik kepalanya yang sakit, Bakri pun memilih
kembali ke pembaringan. Ia lalu tertidur dengan perut yang kenyang. Tidurnya
pulas. Hingga tanpa terkira, ia baru terjaga ketika lewat jam 5 sore, ketika
hujan turun lagi. Maka, seiring tanya-tanya yang kembali menyeruak, ia pun
beranjak ke ruang utama dan berharap menemukan istrinya.
Tapi
nihil. Istrinya belum juga tiba di tengah hujan yang semakin deras.
Sampai
akhirnya, ia melihat air sungai meluap. Banjir besar sedang terjadi. Sontak,
tanya-tanya di benaknya pun berubah menjadi kekhawatiran. Bayangan-bayangan
tentang kejadian nahas kembali menyesaki pikirannya. Hingga ia sampai pada
titik kecemasan kalau-kalau banjir telah mencelakakan sang istri yang tidak
bisa berenang.
Seiring
kekalutannya yang semakin menjadi, hujan pun perlahan mereda. Lalu hujan benar-benar
berhenti saat waktu menunjukkan hampir jam 6. Tanpa pikir panjang, Bakri pun
memutuskan untuk segera menuntaskan keresahannya. Tanpa rasa takut, ia lantas menerjuni
dan mengarungi bentangan sungai yang mengganas saat kepalanya masih terasa
nyut-nyutan.
Ketika
berada di tengah banjir, Bakri pun bergumul dengan liukan ombak. Ia mengayunkan
tangan dan kakinya silih berganti. Namun di bawah permukaan air, sebuah benda
tajam menggerek betisnya. Tetapi kecemasannya terhadap sang istri berhasil
membungkam rasa sakitnya. Dan ketika sampai di tepian sebelah, ia pun mendapati
betisnya mengalami pendarahan hebat.
Atas
rasa cemas yang menggerogoti perasaannya, Bakri pun melangkah tanpa peduli pada
rasa sakit di kepala dan kakinya. Ia bergegas saja menuju ke rumah kebun satu
ruang yang ia duga akan menjadi tempat berdiam diri bagi sang istri. Dan seolah
ketiban untung yang tak ternilai, ia pun melihat istrinya sedang membakar
beberapa tongkol jagung di kolong rumah.
Sang
istri sontak menoleh dan memandang sang suami lekat-lekat di tengah suasana yang
menggelap.
“Bapak?”
sergah sang istri. Terkejut.
“Ibu
baik-baik saja, kan?” tanya balik Bakri, penuh kecemasan.
Sang
istri mengangguk pelan dengan rupa keheranan.
Mereka
lantas terdiam saja dalam beberapa saat, dan hanya saling memandang dengan isi
pikiran masing-masing.
“Kaki
Bapak kenapa?” tanya sang istri kemudian.
Bakri
menggeleng. “Tak apa-apa. Hanya tertusuk kayu di sungai.”
Sang
istri kemudian bergegas ke samping rumah. Tangannya cekatan memetik dan melumatkan
dedaunan yang mujarab sebagai obat luka. Ia lalu membalurkan ramaun itu pada
luka sang suami, lantas memerbannya dengan sobekan kain penutup kepalanya.
Bakri
merasa terenyuh. Segenap rasa sakit di tubuhnya seolah-olah sirna.
Untuk
beberapa saat, mereka hanya duduk terdiam di samping bara api yang memanggang
jagung-jagung.
Lalu
tanpa aba-aba, sang istri membalut punggung sang suami dengan sarung
selempangannya. “Bapak kedinginan,” katanya.
Dengan
seketika, Bakri menggapai tangan sang istri. “Maafkan aku,” tuturnya, dengan
tatapan hangat.
Mata
sang istri pun berkaca-kaca. “Maafkan aku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar