"Kalau
memang Saudara kukuh bahwa cerita yang Saudara tuliskan benar-benar hasil
pemikiran Saudara sendiri, coba terangkan bagaimana Saudara mendapatkan ide
cerita itu?" tanya hakim yang berada tepat di depannya.
Kekalutannya pun menjadi-jadi. Ia jadi bingung untuk menjelaskan proses kreatifnya. Tepatnya, ia tak kuasa untuk jujur bahwa apa yang ia tuliskan di dalam cerpennya, cuma salinan utuh dari sebuah diary seseorang. Sebuah cerita nyata tentang perasaan yang tak terucap, yang dipelesetkan sedemikian rupa agar masih layak disebut cerita fiksi.
"Kenapa
Saudara diam? Kalau cerpen itu memang hasil kreativitas Saudara, tentu tidak
sulit untuk menjelaskannya," sindir sang hakim.
Ia lantas mengembuskan napas yang panjang. Berupaya menguatkan hatinya untuk kembali berbohong. "Aku tak tahu jelas bagaimana aku bisa berhasil mendapatkan cerita untuk cerpenku itu, Yang Mulia. Tetapi seingatku, pokok cerita itu muncul begitu saja di dalam kepalaku. Aku lalu mengembangkannya, menuliskannya, menyuntingnya, hingga menjadi cerita yang utuh."
"Izin, Yang Mulia. Kilahan yang Tergugat sampaikan, sama sekali tidak masuk akal. Aku
pun seorang penulis fiksi, dan aku tahu kalau butuh inspirasi untuk mendapatkan
ide cerita. Inspirasi itu bahkan senantiasa menjadi motivasi sekaligus landasan
dalam pengembangan cerita di dalam imajinasi. Oleh karena itu, proses pembuatan
cerita fiksi yang utuh, adalah hal yang berdasar dan dapat dijelaskan dengan
gamblang. Kalau Tergugat tidak bisa melakukannya, berarti cerpennya memang merupakan
hasil jiplakan dari kisah nyata klien kami," terang kuasa hukum
penggugat.
Seketika, ia makin kelimpungan. Nyalinya untuk terus berdusta, benar-benar menciut ketika kerlingan matanya kembali bertabrakan dengan kerlingan mata sang advokat. Bagaimanapun, ia tahu jelas kalau pengacara itu sebenarnya tengah mewakili dirinya sendiri. Secara terselubung, sang pengacara mengatasnamakan kepentingannya pada seorang penggugat suruhan demi menguak latar belakang cerita cerpen yang mereka perkarakan. Pasalnya, cerpen tersebut sebenar-benarnya berkisah tentang perasaan cinta yang tak terucapnya di antara mereka.
"Ya.
Coba Saudara Tergugat jelaskan secara lebih terang, bagaimana Saudara
mendapatkan dan merangkai cerita untuk cerpen itu?" desak sang
hakim.
Tetapi ia bungkam saja, lantas tertuduk murung.
"Izin
Yang Mulia," sela sang kuasa hukum lagi. "Kalau mengutarakan penjelasan
yang utuh soal proses perumusan ide cerita masih rumit bagi Tergugat, paling
tidak, pertama-tama, Tergugat harus mengungkapkan siapa inspirasi ceritanya
lebih dahulu. Dalam hal ini, siapa tokoh utama di dalam cerita yang ia tuliskan.
Bagaimanapun, seorang penulis cerita fiksi pasti memiliki tokoh nyata yang ia imajinasikan
menjadi tokoh utama dalam ceritanya. Tidak mungkin tidak.”
Sang hakim mengangguk-angguk setuju. "Silakan, Saudara Tergugat, katakanlah siapa orang yang menjadi tokoh di dalam cerpen Saudara!" pinta sang hakim.
Ia
pun kembali menimbang-nimbang segenap kemungkinan. Ia masih sangat ragu untuk
berterus terang. Hingga akhirnya, ia berdalih lagi, "Tokoh inspirasi yang
menjadi pemeran utama di dalam cerpenku adalah tokoh rekaan imajinasiku saja,
Yang Mulia. Itu hal yang mungkin di dalam dunia fiksi."
"Bohong!" tangkis sang kuasa hukum dengan raut kesal dan mata yang berkaca-kaca. "Katakanlah dengan jujur, siapa tokoh utama perempuan di dalam cerpenmu itu!"
Sontak,
ia terkejut atas sergahan itu. Tetapi kebimbangan tetap membuatnya kukuh
memendam rahasia hatinya.
"Dasar pengecut!" serapah sang advokat.
“Tenang!
Tenang!” seru sang hakim untuk menenteramkan keadaan.
Ia malah makin kelabakan mengambil sikap.
"Sialan!
Kenapa kau sulit sekali untuk berkata jujur kalau akulah tokoh utama perempuan
itu?" tukas sang advokat, kemudian berdiri dan melayangkan berkas gugatannya.
Dengan refleks, ia pun menghindari lemparan itu, hingga akhirnya ia menemukan dirinya tersadar di atas kasur.
"Ah,
beruntung, ternyata cuma mimpi," batinnya, sembari meredakan kekalutannya.
Sekian lama kemudian, setelah benar-benar lepas dari momok mimpinya, ia pun bangkit lalu duduk di belakang meja. Ia lantas kembali menatap tulisan cerpennya di layar laptop yang telah menggantung dan terus menghantuinya. Sebuah cerita yang baru merangkum peristiwa pertemuannya dengan sang pujaan. Sepenggalan kisah awalan yang merupakan hasil penginderaan sepihaknya terhadap sang perempuan.
Meski
penggalan cerita itu masihlah berupa pembuka untuk rangkaian ceritanya yang
panjang, tetapi ia telah meluapkan deru perasaannya yang menggila. Ia telah menuliskan
perihal keyakinannya bahwa sang pujaan akan menjadi jodohnya kelak. Ia merasa telah
terikat cinta dengan sang pujaan di alam hakikat. Ia yakin begitu, sebab ia
telah jatuh hati pada perempuan itu sebelum mereka bertemu dan bertatap mata.
Anggapannya itu memang berdasar, sebab demikianlah kejadiannya. Di masa lalu, pada satu hari saat ia menjadi panitia pengaderan mahasiswa baru di kampusnya, ia dan teman-temannya, iseng mencari-cari gadis yang mereka idamankan pada formulir pendaftaran. Seketika, perhatiannya jatuh pada wajah sang pujaan pada berkas foto formulir. Dengan percaya diri, ia pun menjagokan sang pujaan di antara jagoan teman-temannya.
Pada
saat itu juga, atas kekagumannya yang mendalam, ia lantas melakukan penelusuran
di internet. Berbekal nama sang pujaan yang unik dan cantik seperti rupanya, ia
pun menemukan satu hal yang membuatnya makin jatuh hati, bahwa sang pujaan juga
seorang bloger. Kenyataan itu membuatnya terus membayang-bayangkan betapa
menyenangkannya hidup berpasangan dengan seseorang yang juga mencintai dunia
aksara.
Ketika prosesi pengadegan dilaksanakan, ia pun berupaya mematai perwujudan nyata gadis pujaannya. Waktu demi waktu, ia terus mencari keberadaan sang pujaan di antara ratusan mahasiswa baru di fakultasnya. Tetapi sekian lama, ia tak juga berhasil menemukannya. Hingga akhirnya, pada satu pagi, di tengah tugasnya sebagai panitia bidang dokumentasi, ia pun melihat seorang mahasiswi tampak tertunduk dengan memeluk lututnya, seperti tengah mencuri waktu tidur. Ia pun meminta kawan panitianya yang bertugas sebagai pengawasan kegiatan untuk membangunkan mahasiswi itu. Dan seketika, ia takjub setelah sang mahasiswi mengangkat wajah kantuknya, sebab gadis itu adalah pujaan hatinya.
Sekian banyak hari
setelah pengindraan sepihaknya, ia kemudian kembali memberanikan diri untuk mengoneksikan
dirinya dengan sang pujaan melalui dunia maya. Demi merintis jalan pendekatan, dengan kenekatan, ia mengikuti
akun Twitter sang pujaan setelah sang pujaan tak juga mengonfirmasi permintaan pertemanannya di Facebook. Agar taktik barunya jitu, maka sebelum-sebelum itu, ia telah membentuk dan menampakkan citra dirinya dengan karakteristik yang kira-kira bisa mencuri perhatian sang
pujaan untuk balik mengenalnya. Ia melakukannya dengan membagikan status-status
yang bijak dan menampilkan alamat blognya pada biografi laman akunnya. Ia berharap saja sang
pujaan akan membaca unggahan-unggahannya, hingga memancing ketertarikannya.
Di luar dugaannya, dalam hitungan beberapa jam saja, sang pujaan balas mengikuti akun Twitter-nya. Pada waktu-waktu kemudian, sang pujan bahkan sering memberikan tanggapan menyenangkan terhadap unggahan statusnya yang memang kerap menyiratkan perasaan terpendamnya. Dan ia yakin, semua itu terjadi karena taktik pendekatan aksara yang ia lancarkan. Buktinya, berselang beberapa hari, sang pujaan mengikuti akun blognya. Sang pujaan bahkan memberikan komentar pujian atas sebuah cerpennya yang ia bagikan di Twitter.
Kenyataan
bahwa sang pujaan meresponsnya secara hangat di dunia maya, sungguh membuatnya
senang. Paling tidak, rencananya untuk berkenalan dengan sang gadis, tampak berjalan
dengan baik. Yang perlu ia lakukan hanyalah bersabar menempuh jalan pendekatan
setahap demi setahap, menuju kebersamaan yang ia cita-citakan. Dan untuk
harapan itu, ia punya keyakinan yang kuat, sebab berdasarkan penelusurannya di
internet, ia tahu juga kalau sang pujaan tidak sedang memiliki hubungan yang
spesial dengan seorang lelaki.
Demi mewujudkan harapan besarnya, ia pun terus berusaha menjalin komunikasi maya dengan sang pujaan. Dengan tetap menjaga muruahnya sebagai senior, ia sesekali menyuratkan kesan perasaannya dengan memberikan tanggapan suka pada unggahan sang pujaan di Twitter. Bahkan pada hari-hari selanjutnya, ia balas mengikuti akun blog sang pujaan. Dengan berbagi bahasa isyarat di media sosial seperti demikian, ia merasa sudah menempuh jalan pendekatan yang tepat untuk mengakrabkan diri.
Tetapi
lama-lama, ia merasa jengah juga untuk terus-terusan berhubungan dan
berkomunikasi secara tidak langsung. Ia merasa akan sangat aneh jikalau mereka intens
berbagi isyarat melalui layar ponsel, tetapi sama-sama kagok untuk berpapasan
di dunia nyata. Karena itu, ia mengambil langkah untuk terus saling menginderai
dengan sang pujaan. Ia makin rajin mencari kemungkinan untuk berkomunikasi secara
langsung dengan mengunjungi perpustakaan fakultas yang ia tahu menjadi tempat favorit
sang gadis untuk melewatkan waktu istirahat kuliah.
Hingga akhirnya, setelah sekian hari lewat dan ia hanya kuasa melirik-lirik keberadaan sang pujaan di ruang baca itu, pada satu siang, terjadilah peristiwa yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di tengah kepengecutannya untuk memancing percakapan atau sekadar menyapa lebih dahulu, sang pujaan tiba-tiba menghampirinya setelah ia selesai membaca cerpen pada sebuah koran nasional. Tanpa basa-basi, sang pujaan yang berdiri tepat di sampingnya, lantas melontarkan pertanyaan meminta, "Boleh pinjam korannya, Kak?"
Tetapi
sial, ia hanya mengangguk dan tak melontarkan sepatah kata pun. Ia seperti
lumpuh setelah melihat raut sejuk dan mendengar suara merdu sang pujaan. Ia jadi
tak berdaya untuk melawan kepengecutannya dan memulai komunikasi secara
langsung. Sampai akhirnya, sang pujaan kembali ke mejanya untuk bergabung dengan
teman-temannya, dan ia telah melewatkan kesempatan emas untuk berbalas kata di
tengah keakraban asing mereka di dunia maya.
Hari demi hari setelah itu, ia pun terkurung dalam penyesalan. Ia merutuki sendiri ketidakberaniannya memulai pendekatan secara langsung dengan sang pujaan. Karena itu, ia memilih untuk tidak muluk-muluk lagi soal kebersamaan mereka ketika ia masih juga takut mengambil langkah nyata. Dengan sabar, ia bertahan saja sebagai lelaki pecundang yang tak juga memiliki pasangan hati, meski teman-temannya terus menyindir kejomloannya.
Hingga
akhirnya, pada satu pagi, ia mengalami peristiwa yang membuat kembali terjerumus
ke dalam angan-angannya yang tinggi untuk menjadikan sang pujaan sebagai belahan
jiwanya. Ketika tengah bersenda gurau dengan tiga orang temannya di gazebo
taman kampus, seseorang di antaranya iseng menyinggung kesendiriannya dan
tiba-tiba menuding kepada sang pujaannya, kemudian berseloroh, "Nah,
kukira, perempuan itu serasi denganmu. Lihatlah!"
Dengan perasaan terkesima, ia pun menatap gadis idamannya yang sedang berjalan di koridor kampus. Di dalam hatinya, ia berteriak kalau perempuan itu memang sosok yang ia damba-dambakan. Tetapi nyatanya, ia malah menggeleng dan berkilah dusta kepada temannya kalau ia tidak tertarik. Meski begitu, ia meyakini satu hal, bahwa melalui penilaian temannya itu, semesta kembali menunjukkan pertanda kalau mereka memang diciptakan untuk berpasangan.
Waktu
terus bergulir, dan ia belum juga mengambil tindakan nyata. Ia tak kunjung berani
memulai komunikasi secara langsung, bahkan untuk sekadar memancing obrolan
melalui media sosial. Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa yang pernah ia
tuliskan pada sebuah cerpennya, ketika ia dan sang pujaan, berdua saja, saling
melipat jarak dari arah berlawanan, di selasar kampus, di tengah dinginnya hujan
bulan Februari. Tetapi lagi-lagi, momentum itu ia lewatkan tanpa bersuara
sedikit pun, bahkan untuk sekadar menyapa.
Akibat kepengecutan dan kebisuannya, hari demi hari, ia pun makin tenggelam dalam penyesalan. Ia merasa bodoh sendiri karena telah melewatkan peluang-perluang emas untuk merintis jalan menuju hubungan yang nyata. Ia merasa bodoh sendiri karena telah menyia-nyiakan pertanda-pertanda semesta yang menunjukkan kalau mereka serasi sebagai pasangan hidup. Ia merasa bodoh sendiri karena telah mendiamkan respons-respons positif sang gadis yang seolah mengisyaratkan bahwa sang gadis pun punya perasaan yang sama dengannya.
Demikianlah
kenyataan perjalanan cintanya dalam rahasia. Sepenggal kisah yang baru
merupakan awalan dari sebuah awalan cerita khayalan yang panjang. Sepenggal
kisah yang telah ia siratkan dalam cerpen sebagai pelampiasan gundahnya. Sepenggal
kisah yang ia tuliskan pada naskah cerpen yang kini tengah menggantung. Pasalnya,
sebagai penulis fiksi, ia ingin merampungkan cerpennya itu dengan cerita yang
menakjubkan. Dan sialnya, secara nyata, ia telah kehabisan bahan cerita yang
bisa ia jadikan tuntunan penceritaan sampai akhir.
Di tengah kebuntuan imajinasinya dalam merampungkan cerpennya akibat kisah cintanya yang belum pernah benar-benar dimulai, ia tetap berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dengan daya imajinasinya. Ia ingin melanjutkan dan menyelesaikan cerpennya itu sebagai luapan kata hatinya yang bisu, sekaligus sebagai karya seni yang mantap. Karena itu, ia ingin mengombinasikan unsur fakta dan fiksi, agar kelak, ketika cerpen itu terbit, ia punya celah kilahan kalau-kalau sang pujaan atau siapa pun bertanya perihal latar nyata atas pengisahannya.
Atas
kepelikan hatinya di antara dunia khayal dan dunia nyata, ia memang akhirnya merasa
kalau memfiksikan secuil kisah rahasianya adalah jalan terbaik. Sebagai
pengagum rahasia yang tak juga berani menyatakan isi hatinya, ia merasa sudah
cukup untuk menyiratkan perasaannya di dalam tulisan. Ia merasa cukup jikalau
sang pujaan tahu perihal perasaannya, dan ia tak berharap untuk mendapatkan reaksi
apa-apa. Bagaimanapun, gugatan sang pujaan terhadap cerpennya di dalam mimpi, sudah
membuatnya sangat ketakutan.
Sekian lama kemudian, di tengah ketidakmampuannya mendapatkan konstruksi cerita yang tepat untuk melanjutkan cerpennya dengan manis, ia pun pasrah menggunakan intrik yang klise. Ia mengakhiri saja cerpennya dengan menuliskan kenyataan yang memang telah benar-benar menutup jalan cerita cintanya. Ia menuliskan perihal sang pujaan yang telah memiliki kekasih, sebagaimana tampak pada foto profil Twitter-nya.
Sejak
saat itu pula, ia mulai belajar untuk berhenti mengharapkan sang pujaan. Ia menyerah
pada keterlambatannya untuk mewujudkan kebersamaan mereka. Ia menerima kemalangannya
yang tak sempat menguji kemungkinan bahwa mereka akan jadi pasangan hidup. Tetapi
ia tak sepenuhnya menyalahkan dirinya sendiri, sebab keadaanlah yang membuat ia
tak pernah benar-benar nekat untuk menyatakan cintanya cepat-cepat.
Selama masa kasmarannya, ia memang tak kunjung berada dalam kondisi yang membuatnya merasa pantas untuk mengikat pujaannya dalam hubungan yang spesial. Ia tak memiliki apa-apa untuk bisa ia tawarkan sebagai pemikat hati selain cintanya yang tulus. Karena itulah, ia ragu akan bisa menaklukkan sang pujaan. Kalaupun bisa, ia merasa kebersamaan mereka hanya akan berlangsung singkat sebab sang pujaan tak akan betah atas kekurangannya.
Akhirnya,
tamatlah cerita cerpennya berdasarkan kisah cintanya dalam diam. Ia memang kecewa
karena ia tak bisa menyajikan konflik yang mendebarkan, tetapi begitulah upaya
maksimal yang bisa ia lakukan. Terlebih, ia punya pembelaan sendiri yang
seturut dengan anggapan umum, bahwa cerpen yang baik tidak harus mengandung
kejutan. Ia menyaksikan sendiri kalau banyak cerpen dengan cerita yang polos,
tetapi dinilai agung oleh khalayak.
Lebih dari itu, ia malah merasa berhasil merampungkan sebuah cerpen yang unggul dari segi lain, yaitu dalam segi tata bahasa. Ia merasa telah berhasil merangkai cerpennya dengan kalimat-kalimat indah di dalam alur yang mengalir baik. Karena itu, ia tetap yakin kalau cerpennya itu akan mendapatkan perhatian orang-orang. Ia yakin kalau ia tak akan direndahkan sebagai penulis murahan yang hanya mengumbar hal-hal personal yang cemen dan melankolis.
Setelah
ia benar-benar menyelesaikan cerpennya dengan perasaan yang cukup puas dan
tenang, ia lantas mematikan laptopnya dan berbaring di atas kasur. Ia kemudian
menimbang-nimbang perihal peruntukan karyanya yang mengandung cerita yang sangat
personal itu. Ia bingung sendiri, apakah sebaiknya ia mengirimkannya ke media,
ataukah sekadar ia simpan untuk buku antologi kumpulan cerpennya kelak, demi
membuka jalannya menjadi penulis ternama.
Di tengah kebingungannya, tanpa sadar, ia pun jatuh terlelap. Di alam bawah sadarnya itu, ia kembali hanyut ke dalam sebuah mimpi. Di situ, ia melihat dirinya tiba-tiba berada di sebuah festival penulisan. Ia datang di acara tersebut sebagai seorang penulis pendatang baru setelah karya kumpulan cerpennya menjadi salah satu karya yang lolos kurasi. Ia hadir sebagai tamu spesial yang mendapatkan kesempatan untuk memaparkan proses kreatifnya.
Setelah
ia sampai di lokasi acara yang merupakan bangunan peninggalan zaman kolonial,
di dalam mimpinya itu, ia kemudian melangkah menuju ke sebuah ruangan yang
ditetapkan panitia sebagai tempatnya berbagi cerita. Dengan perasaan bangga, ia
lantas mengisahkan perihal aktivitas kepenulisannya untuk memotivasi para calon
penulis. Ia sungguh merasa senang telah berhasil duduk di atas panggung sebagai
penulis muda yang diperhitungkan.
Sampai akhirnya, setelah sesi perbincangannya selesai, di dalam mimpinya itu, ia lalu melangkah keluar ruangan di tengah perhatian orang-orang. Lalu, tanpa ia duga, di gerbang pintu, ia berpapasan dengan sang pujaan hatinya. Terang saja, ia jadi kikuk dan kelimpungan untuk menghindar. Maka, dengan sikap yang ia santai-santaikan, ia pun pasrah menghadapinya, lantas bertutur segan, "Hai, apa sedari tadi kau di sini?"
Sang
pujaan lantas mengangguk pendek dan melayangkan senyuman manis yang singkat,
kemudian membalas polos, "Aku pengurus acara, Kak."
Dengan perasaannya yang tegang, ia hanya balas mengangguk-angguk. Ia kebingungan melontarkan kata-kata lanjutan untuk memperpanjang percakapan. Hingga akhirnya, ia memilih mengayun langkahnya menjauhi sang pujaan. Apalagi, ia jelas khawatir kalau sang pujaan tiba-tiba menyidik soal siapa sosok wanita di dalam cerpen utama pada buku kumpulan cerpennya. Ia tentu tak sanggup berkata jujur kalau tokoh perempuan itu adalah sang pujaan.
Setelah
melewati pintu, dengan perasaan campur aduk, ia lalu mempercepat langkahnya. Ia
ingin segera menghilang dari titik itu demi menenangkan perasaannya. Tetapi
tiba-tiba, di tengah anak tangga bebatuan yang menurun, ia salah langkah dan terjatuh.
Akhirnya, ia pun mendapati dirinya sebagai aku, seorang penulis cerpen yang sedang
menceritakan kisah cintaku sendiri. Aku pun merasa lega telah berhasil
merampungkan ceritaku, dan berharap semoga tidak akan ada yang mengetahui siapa
tokoh utama perempuan di dalam cerita ini.
Kini, aku menimbang-nimbang perihal akan kuapakan cerpen yang terlanjur kutuliskan ini. Kukira, sebaiknya tidak untuk menyebarluarkannya dengan mengirimkannya ke media massa, mempertandingkannya pada lomba penulisan, mempertarungkannya pada seleksi penulis pendatang baru dalam festival literasi, ataupun menerbitkannya dalam format buku. Kupikir, langkah-langkah itu rentan menimbulkan perkara dan menjebakku dalam dilema, sebab para pembaca akan memberondongku dengan pertanyaan perihal siapa perempuan yang kujadikan bahan cerita.
Demi
menghindari semua kerumitan itu, aku pun kebingungan sendiri menentukan
persemayaman terbaik untuk cerpen panjangku tentang kita ini. Aku merasa
terlalu sia-sia kalau aku menghapusnya atau sekadar mengarsipkannya di
laptopku. Apalagi, sedari awal, aku memang menuliskannya dengan maksud untuk meluapkan
keresahan hatiku dan menyampaikan perasaanku kepadamu secara tidak langsung. Aku
sekadar ingin agar kau tahu perihal cintaku yang mendalam, dan aku tak berharap
balasan apa-apa darimu.
Hingga akhirnya, aku sampai pada pikiran dan keputusan untuk memublikasikannya di blog pribadiku saja. Kurasa, itu adalah jalan terbaik di antara perkara yang hendak kuhindari dan perkara yang hendak kutuju. Itu jelas akan membuatku lega karena aku berhasil meluapkan kata-kata hatiku yang telah terpendam sekian lama. Pun, itu akan membuka kemungkinan bagi dirimu untuk menemukannya dan membacanya, sehingga kau memahami perasaanku.
Akhirnya,
aku mengungggah cerpen tentang kita ini di laman blogku. Setelahnya, aku memilih
untuk tidak membagikannya di akun media sosialku. Aku berharap saja kau akan
menemukannya dan mengejanya di dalam ruang privatmu, lalu menganggapnya sekadar
sebagai rahasia hati. Aku tak memerlukan responsmu seperti pada sebuah tautan cerpenku dahulu, dan aku tak mesti pusing untuk
memberikan tanggapan balasan, apalagi dengan melanjutkan obrolan singkat kita di kolom
percakapan Twitter.
Demikianlah. Terima kasih telah hadir di dalam hidupku. Semoga kita bahagia di dalam cerita yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar