Jumat, 04 Desember 2015

Kenangan Menggugah di Ujung Waktu


Judul Novel: Bidadari-Bidadari Surga; Penulis: Tere Liye; Penerbit: Republika; Tahun Terbit: 2008; Cetakan: XVI, Februari 2014; Jumlah Halaman: 365.

Dunia menyibukkan. Banyak hal yang sebenarnya luar biasa, tapi kita lewatkan tanpa kesan. Berlalu saja, bak sepenggal kisah hidup yang terabaikan. Waktulah yang akan membuatnya terasa berharganya. Kita akan sadar sesuatu sangat bermakna ketika sampai di ujung waktu. Saat sebentar lagi lenyap. Begitu pun rasa cinta, sering kali datang pada waktu yang mendesak. Takut kehilangan kadang menjadi alasan terbesar untuk terpaksa jujur, termasuk tentang rasa cinta. 

Novel karangan Tere Liye berjudul Bidadari-Bidadari Surga mengandung kisah yang sangat menyentuh. Tentang rasa cinta yang tergugah di ujung waktu. Jika membaca judulnya saja, kita bisa salah kaprah. Mengira bahwa ceritanya tentang keanggunan sosok-sosok perempuan. Tapi tidak. Novel tersebut bercerita tentang kisah satu keluarga kecil yang penuh cinta. Terkisahkan di Lembah Lahambay, di desa yang terpencil. Kisah pengorbanan seorang kakak tertua, kepada empat orang adiknya. Berkorban demi kesuksesan adik-adiknya.

Kisah perjalananan hidup tokoh-tokoh cerita dipenggal apik penulis dalam 44 bab atau sesi. Fakta-fakta mencengangkan dan menggungah terdapat di setiap sesi. Kisah masa lalu dan masa kini setiap tokoh diceritakan secara selang seling. Membuat pembaca mengerti latar belakang sehingga cinta di antara tokoh cerita begitu berkobar. Ya, novel best seller ini menggunakan alur maju-mundur. 

Cerita diawali dari keadaan kritis sang kakak sulung, Laisa. Ia yang merahasiakan kanker paru-parunya demi adik-adiknya, tak bisa berkutik saat penyakit yang diidapnya sampai pada stadium IV. Sangat mematikan. Ia seperti telah berada di penghujung waktu hidupnya. Sang ibu, Mamak Lainuri, akhirnya mengirimkan pesan singkat kepada empat orang anaknya yang lain, yang telah sukses di tempat yang jauh. Pesan tersebut masuk pada setiap ponsel keempatnya. Pada ponsel yang khusus untuk urusan keluarga. Mereka berurut dari yang tertua adalah Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Hanya mereka yang tahu siapa pemilik nomor pengirim pesan; ibu mereka, Mamak Lainuri. 

Di Italia, Dalimunte seorang professor fisika, sedang mempresentasikan temuannya tentang Bulan Terbelah dan Badai Elektromagnetik Antar Galaksi. Pemilik perusahaan otomotif, Wibisana dan Ikanuri, yang tampak kembar tapi tak sekandungan, yang selalu sama-sama dalam segala hal, sedang di Italia untuk mengadakan kerjasama dengan perusahaan mobil balap. Yashinta sedang di puncak Gunung Semeru untuk  meneliti proyek konservasi burung alap-alap kawah atau peregrine. Mereka berempat rela meninggalkan pekerjaan pentingnya untuk pulang kampung, demi mengungkapkan cintanya pada Laisa sebelum waktu menjemputnya.

Cerita pun berlanjut tentang perjalanan pulang mereka yang begitu penuh rintangan. Penggalan kisah masa lalu pun diisipkan di sela-sela cerita kepulangan. Mereka bernostalgia. Mengenang-ngenang pengorbanan kakak mereka di masa lalu. Laisa yang membuat mereka menjadi orang sukses. Mereka tergugah. Terburu waktu. Berharap sampai segera agar sempat mengucap maaf pada kakaknya, Laisa, di ujung waktunya. 

Banyak kenangan masa kecil yang menggugah rasa cinta mereka berempat pada Laisa. Tentang tindakan Laisa yang membela ide Dalimunte yang ditentang warga desa, yaitu untuk membuat lima kincir air di tebing setinggi lima meter demi mengairi ladang warga. Kenangan Yashinta yang sering ditemani Laisa untuk melihat kawanan berang-berang yang bermandi ria di tengah hutan. Kenakalan Wibisana dan Ikanuri yang sering bolos sekolah, mencuri mangga Wak Burhan, hingga menghina Laisa yang tak elok secara fisik. Bahkan dikisahkan, mereka berdua pernah nekat menembus belantara Hutan Gendeng demi menuju ibu kota kabupaten. Kabur dari rumah. Tak peduli cerita masyarakat tentang penguasa hutan yang telah memakan banyak korban, termasuk Babak (ayah) mereka. Akhirnya, mereka pun disergap harimau hutan dan nyaris diterkam. Beruntung Kak Laisa bersama Dalimunte menyusul dan berhasil menyelamatkan mereka. Sedikit dari banyak kenangan itu, begitu membekas di benak mereka

Di sela-sela kepulangan mereka untuk menemui Kak Laisa, cerita tentang perjodohan-perjohohan pun banyak dikisahkan. Namun yang banyak menguras emosi adalah keeengganan empat bersaudara untuk melintas (mendahului) Laisa untuk menikah. Laisa yang jauh dari makna cantik secara fisik, memang tak kunjung menemukan jodohnya. Upaya Dalimunte dan Wak Burhan untuk mencarikan jodoh pun tak kunjung berhasil. Sia-sia. Ya, memang sulit membantah hujatan Ikanuri di masa lalu bahwa Laisa bukanlah saudara kandung mereka, sebab tak elok, berambut kribo, pendek, hitam, dan gendut. Namun Laisa tetap ikhlas menerima takdirnya. 

Itulah sedikit gambaran tentang cerita salah satu novel karya Tere Liye ini. Laisa dijadikan tokoh utamanya. Tak salah jika penulis memberi judul bagi novelnya: Bidadari-Bidadari Surga. Merujuk kepada Laisa, sosok kakak yang berkorban mati-matian, secara diam-diam, tanpa pamrih, demi kesuksesan adiknya. Sosok yang rela menerima takdir bahwa di dunia yang dibutakan tampilan fisik, tak seorang pun mau dan ikhlas mempersuntingnya. Hingga penghujung waktunya, ia tak menemukan jodoh. Ia hanya berharap menjadi satu di antara bidadari-bidadari surga. Permintaan terakhirnya agar adik bungsunya menikah, akhirnya terwujud. Yashinta menikah beberapa menit sebelum Laisa pergi untuk selamanya. Melihat dik-adiknya bahagia adalah kebahagiaan baginya. 

Lebih lanjut, banyak hal tak terduga pada novel ini. Di awal-awal tulisan, pembaca akan mengira bahwa penulis hanya hadir sebagai pencerita. Menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Penulis tak masuk dalam cerita. Namun ternyata tidak. Sang penulis, secara sepintas, ternyata hadir sabagai salah satu tokoh dalam cerita. Tokoh selingan yang hadir dalam cerita sebagai penulis cerita hidup keluarga kecil tersebut. Menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan. Teknik itu terasa jelas pada sesi ke-39 dan ke-44. Di sesi ke-44 dinyatakan bahwa sang penulis adalah salah satu penerima SMS dari Mamak Lainuri. Tertulis: Susungguhnya ada lima SMS yang terkirim; satu untukku. Nama penulis dalam cerita pun tertulis “Tere”. Sudut pandang penceritaan itu sangat menarik dan memberi daya kejut, namun bisa saja membuat sebagian membaca merasa hilang kekhidmatannya dalam meresapi cerita. Itu adalah terobosan berani dari sang penulis.

Hal lain yang mengangumkan pada novel ini adalah kemampuan penulis dalam menggambarkan suasana dan keadaan. Bisa dipastikan bahwa imajinasi pembaca akan melanglang pada suasana cerita kala mengeja setiap bait kalimat yang dirangkai penulis. Selain itu, pembaca yang jarang membaca novel pun tak harus bolak-balik membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk memahami makna setiap kata-katanya. Penulis mampu memahami pembaca dengan membuat struktur kalimat dengan kata yang mudah dipahami, tapi tak juga menghilangkan kesan sastraisnya. Buktinya dapat dilihat pada kemampuan penulis untuk menuturkan kajian ilmu fisika secara sederhana, melalui tokoh Dalimunte, di awal-awal penceritaan.

Akhirnya, banyak makna dan pelajaran yang dapat kita petik dari novel ini. Resensi ini hanya menguak sedikit dari banyak makna dan rahasia yang dimaksudkan penulis untuk tersampaikan kepada pembaca. Maka tak ada cara lain untuk mengerti cerita secara utuh, memetik semua makna tersirat dan tersurat darinya, dan mendidik jiwa dengan pelajarannya, kecuali: Membaca sendiri novelnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar