Judul Novel: Bidadari-Bidadari
Surga; Penulis: Tere Liye; Penerbit: Republika; Tahun Terbit: 2008; Cetakan:
XVI, Februari 2014; Jumlah Halaman: 365.
Dunia
menyibukkan. Banyak hal yang sebenarnya luar biasa, tapi kita lewatkan tanpa
kesan. Berlalu saja, bak sepenggal kisah hidup yang terabaikan. Waktulah yang akan
membuatnya terasa berharganya. Kita akan sadar sesuatu sangat bermakna ketika sampai
di ujung waktu. Saat sebentar lagi lenyap. Begitu pun rasa cinta, sering kali
datang pada waktu yang mendesak. Takut kehilangan kadang menjadi alasan terbesar
untuk terpaksa jujur, termasuk tentang rasa cinta.
Novel
karangan Tere Liye berjudul Bidadari-Bidadari Surga mengandung kisah yang
sangat menyentuh. Tentang rasa cinta yang tergugah di ujung waktu. Jika membaca
judulnya saja, kita bisa salah kaprah. Mengira bahwa ceritanya tentang
keanggunan sosok-sosok perempuan. Tapi tidak. Novel tersebut bercerita tentang kisah
satu keluarga kecil yang penuh cinta. Terkisahkan di Lembah Lahambay, di desa yang
terpencil. Kisah pengorbanan seorang kakak tertua, kepada empat orang adiknya.
Berkorban demi kesuksesan adik-adiknya.
Kisah
perjalananan hidup tokoh-tokoh cerita dipenggal apik penulis dalam 44 bab atau
sesi. Fakta-fakta mencengangkan dan menggungah terdapat di setiap sesi. Kisah
masa lalu dan masa kini setiap tokoh diceritakan secara selang seling. Membuat pembaca
mengerti latar belakang sehingga cinta di antara tokoh cerita begitu berkobar. Ya,
novel best seller ini menggunakan
alur maju-mundur.
Cerita
diawali dari keadaan kritis sang kakak sulung, Laisa. Ia yang merahasiakan kanker
paru-parunya demi adik-adiknya, tak bisa berkutik saat penyakit yang diidapnya sampai
pada stadium IV. Sangat mematikan. Ia seperti telah berada di penghujung waktu
hidupnya. Sang ibu, Mamak Lainuri, akhirnya mengirimkan pesan singkat kepada
empat orang anaknya yang lain, yang telah sukses di tempat yang jauh. Pesan
tersebut masuk pada setiap ponsel keempatnya. Pada ponsel yang khusus untuk
urusan keluarga. Mereka berurut dari yang tertua adalah Dalimunte, Wibisana,
Ikanuri, dan Yashinta. Hanya mereka yang tahu siapa pemilik nomor pengirim
pesan; ibu mereka, Mamak Lainuri.
Di
Italia, Dalimunte seorang professor fisika, sedang mempresentasikan temuannya
tentang Bulan Terbelah dan Badai Elektromagnetik Antar Galaksi. Pemilik
perusahaan otomotif, Wibisana dan Ikanuri, yang tampak kembar tapi tak
sekandungan, yang selalu sama-sama dalam segala hal, sedang di Italia untuk mengadakan
kerjasama dengan perusahaan mobil balap. Yashinta sedang di puncak Gunung
Semeru untuk meneliti proyek konservasi burung
alap-alap kawah atau peregrine. Mereka berempat rela meninggalkan pekerjaan
pentingnya untuk pulang kampung, demi mengungkapkan cintanya pada Laisa sebelum
waktu menjemputnya.
Cerita
pun berlanjut tentang perjalanan pulang mereka yang begitu penuh rintangan. Penggalan
kisah masa lalu pun diisipkan di sela-sela cerita kepulangan. Mereka
bernostalgia. Mengenang-ngenang pengorbanan kakak mereka di masa lalu. Laisa
yang membuat mereka menjadi orang sukses. Mereka tergugah. Terburu waktu.
Berharap sampai segera agar sempat mengucap maaf pada kakaknya, Laisa, di ujung
waktunya.
Banyak
kenangan masa kecil yang menggugah rasa cinta mereka berempat pada Laisa. Tentang
tindakan Laisa yang membela ide Dalimunte yang ditentang warga desa, yaitu untuk
membuat lima kincir air di tebing setinggi lima meter demi mengairi ladang warga.
Kenangan Yashinta yang sering ditemani Laisa untuk melihat kawanan
berang-berang yang bermandi ria di tengah hutan. Kenakalan Wibisana dan Ikanuri
yang sering bolos sekolah, mencuri mangga Wak Burhan, hingga menghina Laisa
yang tak elok secara fisik. Bahkan dikisahkan, mereka berdua pernah nekat
menembus belantara Hutan Gendeng demi menuju ibu kota kabupaten. Kabur dari
rumah. Tak peduli cerita masyarakat tentang penguasa hutan yang telah memakan
banyak korban, termasuk Babak (ayah) mereka. Akhirnya, mereka pun disergap
harimau hutan dan nyaris diterkam. Beruntung Kak Laisa bersama Dalimunte
menyusul dan berhasil menyelamatkan mereka. Sedikit dari banyak kenangan itu,
begitu membekas di benak mereka
Di
sela-sela kepulangan mereka untuk menemui Kak Laisa, cerita tentang perjodohan-perjohohan
pun banyak dikisahkan. Namun yang banyak menguras emosi adalah keeengganan
empat bersaudara untuk melintas
(mendahului) Laisa untuk menikah. Laisa yang jauh dari makna cantik secara
fisik, memang tak kunjung menemukan jodohnya. Upaya Dalimunte dan Wak Burhan
untuk mencarikan jodoh pun tak kunjung berhasil. Sia-sia. Ya, memang sulit
membantah hujatan Ikanuri di masa lalu bahwa Laisa bukanlah saudara kandung
mereka, sebab tak elok, berambut kribo, pendek, hitam, dan gendut. Namun Laisa
tetap ikhlas menerima takdirnya.
Itulah
sedikit gambaran tentang cerita salah satu novel karya Tere Liye ini. Laisa dijadikan
tokoh utamanya. Tak salah jika penulis memberi judul bagi novelnya:
Bidadari-Bidadari Surga. Merujuk kepada Laisa, sosok kakak yang berkorban
mati-matian, secara diam-diam, tanpa pamrih, demi kesuksesan adiknya. Sosok
yang rela menerima takdir bahwa di dunia yang dibutakan tampilan fisik, tak
seorang pun mau dan ikhlas mempersuntingnya. Hingga penghujung waktunya, ia tak
menemukan jodoh. Ia hanya berharap menjadi satu di antara bidadari-bidadari surga.
Permintaan terakhirnya agar adik bungsunya menikah, akhirnya terwujud. Yashinta
menikah beberapa menit sebelum Laisa pergi untuk selamanya. Melihat dik-adiknya
bahagia adalah kebahagiaan baginya.
Lebih
lanjut, banyak hal tak terduga pada novel ini. Di awal-awal tulisan, pembaca
akan mengira bahwa penulis hanya hadir sebagai pencerita. Menggunakan sudut
pandang orang ketiga serba tahu. Penulis tak masuk dalam cerita. Namun ternyata
tidak. Sang penulis, secara sepintas, ternyata hadir sabagai salah satu tokoh
dalam cerita. Tokoh selingan yang hadir dalam cerita sebagai penulis cerita
hidup keluarga kecil tersebut. Menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai
pelaku sampingan. Teknik itu terasa jelas pada sesi ke-39 dan ke-44. Di sesi
ke-44 dinyatakan bahwa sang penulis adalah salah satu penerima SMS dari Mamak
Lainuri. Tertulis: Susungguhnya ada lima
SMS yang terkirim; satu untukku. Nama penulis dalam cerita pun tertulis “Tere”.
Sudut pandang penceritaan itu sangat menarik dan memberi daya kejut, namun bisa saja membuat
sebagian membaca merasa hilang kekhidmatannya dalam meresapi cerita. Itu
adalah terobosan berani dari sang penulis.
Hal
lain yang mengangumkan pada novel ini adalah kemampuan penulis dalam
menggambarkan suasana dan keadaan. Bisa dipastikan bahwa imajinasi pembaca akan
melanglang pada suasana cerita kala mengeja setiap bait kalimat yang dirangkai
penulis. Selain itu, pembaca yang jarang membaca novel pun tak harus
bolak-balik membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk memahami makna
setiap kata-katanya. Penulis mampu memahami pembaca dengan membuat struktur
kalimat dengan kata yang mudah dipahami, tapi tak juga menghilangkan kesan
sastraisnya. Buktinya dapat dilihat pada kemampuan penulis untuk menuturkan kajian
ilmu fisika secara sederhana, melalui tokoh Dalimunte, di awal-awal
penceritaan.
Akhirnya,
banyak makna dan pelajaran yang dapat kita petik dari novel ini. Resensi ini
hanya menguak sedikit dari banyak makna dan rahasia yang dimaksudkan penulis
untuk tersampaikan kepada pembaca. Maka tak ada cara lain untuk mengerti cerita
secara utuh, memetik semua makna tersirat dan tersurat darinya, dan mendidik
jiwa dengan pelajarannya, kecuali: Membaca sendiri novelnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar