Minggu, 22 Mei 2016

Krisis Keteladanan

Ada peribahasa: jangan bercermin di air keruh. Artinya, jangan meniru perilaku buruk orang lain. Peribahasa itu sepertinya terabaikan dalam kehidupan berbangsa kini. Anak bangsa seperti kehilangan patron. Terjadi krisis teladan dan keteladanan. Sikap tiru-meniru dilakukan tanpa filter nilai secara pribadi maupun sosial. Masalah itu terjadi seiring anomali nilai. Nilai kebaikan dianggap usang dan biasa saja, sehingga tak perlu diapresiasi. Di sisi lain, nilai amoral dianggung-agungkan, seakan patut ditiru.

Kini, sulit berharap anak bangsa akan menghargai dan meneladani semangat perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Keteladanan para pendahulu bangsa telah terkubur bersama jasad mereka. Pahlawan dengan tafsir kekinian, muncul sebagai gantinya. Pahlawan kini bukan lagi orang yang tulus berkorban demi kebaikan orang banyak. Bukan juga orang yang rela meneteskan darah dan keringat tanpa pamrih, demi kebaikan hidup dan kehidupan generasi mendatang. Pahlawan kekinian adalah orang yang popular. Mereka yang mampu menarik perhatian dengan cara-cara sensasional. Itulah teladan.

Tentu masih teringat peristiwa penobatan Zaskia Gotik sebagai Duta Pancasila, tak lama setelah ia dianggap melecehkan lambang negara. Juga Sonya Depari yang diganjar sebagai Duta Anti Narkoba di Medan setelah namanya mencuat di media akibat mengaku-ngaku sebagai anak pentinggi kepolisian ketika mobilnya dihentikan seorang polisi akibat melanggar ketertiban berlalu lintas. Tentu sulit diterima, bagaimana bisa, seseorang yang jelas-jelas berperilaku tak terpuji, malah diganjar predikat bak pahlawan. Kenyataan ini menjadi bukti nyata bahwa bangsa ini telah mengabaikan nilai keteladan. Tidak sekadar latah “mengorbitkan” sosok teladan, tapi juga terkesan buta terhadap nilai-nilai keteladanan. 

Memang benar nasihat bijak bahwa setiap orang selayaknya belajar dari pengalamannya. Pengalaman adalah guru terbaik. Apalagi memang tak ada seorang manusia pun yang luput dari kesalahan. Dikatakanlah, manusia baik adalah yang mampu memetik pelajaran dari pengalamannya. Tapi perlu juga dicatat bahwa untuk mengetahui dan menyikapi sebuah keburukan, tak harus diperoleh dari pengalaman pribadi. Pengalaman orang lain dapat menjadi bahan refleksi. Di situlah keteladanan menjadi penting. Karena itu, perilaku tak terpuji, tak pantaslah diagungkan, apalagi diganjar dengan sejumlah penghargaan, seakan menyatakan bahwa keburukan itu adalah hal yang lumrah.

Dampak buruk penyematan predikat keteladanan pada seseorang yang tak selayaknya, harus dianggap serius. Kala bangsa ini tersesat mencari cerminan diri yang baik, para pengambil kebijakan malah menyuguhkan sosok yang belum pantas diteladani. Jika begitu, akhirnya bisa timbul anggapan bahwa untuk mendapatkan penghargaan diri, cukup melalui jalan pintas, yaitu melakukan tindakan tak terpuji nan sensasional. Jika pola pikir semacam ini telah tertancap di benak anak bangsa, betapa nyata bahwa krisis keteladanan telah terjadi.

Merujuk pada fenomena belakangan ini, salah satu sumber masalah krisis keteladanan adalah didominasinya panggung-panggung aktualisasi diri oleh orang-orang yang belum layak diteladani. Lihat saja tayangan-tayangan di media cetak maupun elektronik yang kebanyakan menampilkan sosok yang perilakunya jelas tak patut diteladani.  Di sisi lain, sosok-sosok yang seharusnya menjadi cerminan yang baik, tenggelam begitu dalam, diabaikan, sebab tak punya nilai komersial di mata media.

Kini, di lingkup pergaulan sosial yang luas maupun sempit, faktor penting yang membuat seseorang dicontohi adalah popularitas. Tak peduli bagaimana caranya popularitas tersebut dicapai, apakah melalui perilaku terpuji atau buruk. Di institusi kenegaraan, masyarakat, sekolah, maupun keluarga, popularitas seakan menjadi tujuan utama. Betapa banyak orang yang mendambakan keterkenalan, meski dengan cara-cara yang salah. Setelah popularitas digenggam, maka secara buta-buta orang akan memuji dan memuja. Menjadi sosok percontohan bagi setiap orang yang mendambakan hal yang sama. 

Lalu, bagaimana mengatasi krisis keteladanan ini? Tak ada jalan lain selain kembali pada diri sendiri. Tak perlu berharap dan menunggu keteladanan datang dari luar. Setiap orang yang merasakan adanya bias keteladanan, harus peduli dan mampu meneguhkan dirinya untuk menjadi teladan bagi orang lain. Menjadi cermin yang baik bagi sesama. Kelak, pembenahan di tataran individu ini, akan berefek ke lingkup yang lebih luas. Nanti, sampailah waktunya, sosok dengan label teladan benar-benar patut diteladani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar