Ada
peribahasa: jangan bercermin di air keruh.
Artinya, jangan meniru perilaku buruk orang lain. Peribahasa itu sepertinya
terabaikan dalam kehidupan berbangsa kini. Anak bangsa seperti kehilangan
patron. Terjadi krisis teladan dan keteladanan. Sikap tiru-meniru dilakukan
tanpa filter nilai secara pribadi maupun sosial. Masalah itu terjadi seiring anomali
nilai. Nilai kebaikan dianggap usang dan biasa saja, sehingga tak perlu
diapresiasi. Di sisi lain, nilai amoral dianggung-agungkan, seakan patut ditiru.
Kini,
sulit berharap anak bangsa akan menghargai dan meneladani semangat perjuangan
para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Keteladanan para pendahulu bangsa telah
terkubur bersama jasad mereka. Pahlawan dengan tafsir kekinian, muncul sebagai
gantinya. Pahlawan kini bukan lagi orang yang tulus berkorban demi kebaikan
orang banyak. Bukan juga orang yang rela meneteskan darah dan keringat tanpa
pamrih, demi kebaikan hidup dan kehidupan generasi mendatang. Pahlawan kekinian
adalah orang yang popular. Mereka yang mampu menarik perhatian dengan cara-cara
sensasional. Itulah teladan.
Tentu
masih teringat peristiwa penobatan Zaskia Gotik sebagai Duta Pancasila, tak
lama setelah ia dianggap melecehkan lambang negara. Juga Sonya Depari yang
diganjar sebagai Duta Anti Narkoba di Medan setelah namanya mencuat di media
akibat mengaku-ngaku sebagai anak pentinggi kepolisian ketika mobilnya
dihentikan seorang polisi akibat melanggar ketertiban berlalu lintas. Tentu sulit
diterima, bagaimana bisa, seseorang yang jelas-jelas berperilaku tak terpuji,
malah diganjar predikat bak pahlawan. Kenyataan ini menjadi bukti nyata bahwa bangsa
ini telah mengabaikan nilai keteladan. Tidak sekadar latah “mengorbitkan” sosok
teladan, tapi juga terkesan buta terhadap nilai-nilai keteladanan.
Memang
benar nasihat bijak bahwa setiap orang selayaknya belajar dari pengalamannya.
Pengalaman adalah guru terbaik. Apalagi memang tak ada seorang manusia pun yang
luput dari kesalahan. Dikatakanlah, manusia baik adalah yang mampu memetik
pelajaran dari pengalamannya. Tapi perlu juga dicatat bahwa untuk mengetahui dan
menyikapi sebuah keburukan, tak harus diperoleh dari pengalaman pribadi. Pengalaman
orang lain dapat menjadi bahan refleksi. Di situlah keteladanan menjadi penting.
Karena itu, perilaku tak terpuji, tak pantaslah diagungkan, apalagi diganjar
dengan sejumlah penghargaan, seakan menyatakan bahwa keburukan itu adalah hal
yang lumrah.
Dampak
buruk penyematan predikat keteladanan pada seseorang yang tak selayaknya, harus
dianggap serius. Kala bangsa ini tersesat mencari cerminan diri yang baik, para
pengambil kebijakan malah menyuguhkan sosok yang belum pantas diteladani. Jika
begitu, akhirnya bisa timbul anggapan bahwa untuk mendapatkan penghargaan diri,
cukup melalui jalan pintas, yaitu melakukan tindakan tak terpuji nan
sensasional. Jika pola pikir semacam ini telah tertancap di benak anak bangsa,
betapa nyata bahwa krisis keteladanan telah terjadi.
Merujuk
pada fenomena belakangan ini, salah satu sumber masalah krisis keteladanan adalah
didominasinya panggung-panggung aktualisasi diri oleh orang-orang yang belum
layak diteladani. Lihat saja tayangan-tayangan di media cetak maupun elektronik
yang kebanyakan menampilkan sosok yang perilakunya jelas tak patut diteladani. Di sisi lain, sosok-sosok yang seharusnya
menjadi cerminan yang baik, tenggelam begitu dalam, diabaikan, sebab tak punya
nilai komersial di mata media.
Kini,
di lingkup pergaulan sosial yang luas maupun sempit, faktor penting yang
membuat seseorang dicontohi adalah popularitas. Tak peduli bagaimana caranya popularitas
tersebut dicapai, apakah melalui perilaku terpuji atau buruk. Di institusi
kenegaraan, masyarakat, sekolah, maupun keluarga, popularitas seakan menjadi
tujuan utama. Betapa banyak orang yang mendambakan keterkenalan, meski dengan
cara-cara yang salah. Setelah popularitas digenggam, maka secara buta-buta
orang akan memuji dan memuja. Menjadi sosok percontohan bagi setiap orang yang
mendambakan hal yang sama.
Lalu,
bagaimana mengatasi krisis keteladanan ini? Tak ada jalan lain selain kembali
pada diri sendiri. Tak perlu berharap dan menunggu keteladanan datang dari luar.
Setiap orang yang merasakan adanya bias keteladanan, harus peduli dan mampu meneguhkan
dirinya untuk menjadi teladan bagi orang lain. Menjadi cermin yang baik bagi sesama.
Kelak, pembenahan di tataran individu ini, akan berefek ke lingkup yang lebih luas.
Nanti, sampailah waktunya, sosok dengan label teladan benar-benar patut
diteladani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar