Kamis, 30 November 2023

Modal Keinginan

Pohon cengkih itu setinggi tujuh meter. Sebuah tangga bambu bersandar pada tangkai luarnya dengan ikatan tali nilon yang membentang di setiap sisinya. Pada anak tangga tertinggi, Nino menapak tanpa rasa takut. Dengan cekatan, tangannya memetik bunga atau buah cengkih setangkai demi setangkai. Ia lalu masukkan petikannya ke dalam keranjang karung yang menggantung di depannya. Ia baru akan menurunkan keranjang itu setelah terisi penuh.

Nino sungguh semangat memanjat pohon cengkih itu. Buahnya yang banyak, membuat ia terpacu untuk cepat-cepat memetik dan mengisi penuh karung penampungannya. Ia ingin memikul karungnya itu dalam keadaan yang membusung, agar orang-orang terkesima melihat ketangkasannya. Ia sangat ingin mendapatkan hasil petikan yang banyak, agar ia mendapatkan elu-eluan, juga agar keinginannya memiliki sepeda baru, benar-benar terkabul. 

Dua hari yang lalu, Nino memang telah mendapatkan tawaran dari ayahnya. Kata sang ayah, ia akan dibelikan sepeda setelah selesai memetik cengkih petikan terakhirnya. Ongkos pembelian sepeda akan diambil dari hasil penjualan petikannya tersebut. Karena itulah, ia yang sangat mendambakan sepeda sebagaimana tunggangan teman-temannya di kelas V SD, jadi sangat bersemangat untuk segera memetik habis buah sepohon cengkih yang menjadi tanggungannya.

Meski demikian, Nino tetap disiplin untuk menjaga keselamatannya. Ia tetap mematuhi peringatan dari orang tua dan kakaknya untuk tetap berhati-hati. Sebab itu, ketika sebelah tangannya memetik buah, sebelah tangannya akan memeluk erat tangga. Ia pun tak memaksakan dirinya untuk menggapai buah yang berada di luar jangkauannya, sebab ayah atau kakaknya selalu siap untuk menggeser tangganya ke sisi ranting dan cabang yang lain. 

Di sisi lain, Asman, kakak Nino, tak kalah semangatnya. Dengan gesit ia memetik buah sepohon cengkih yang tingginya lebih sembilan meter. Sebagai seorang yang lebih senior, ia jelas lebih lihai dan cepat memetik buah cengkih ketimbang adiknya. Ia bisa memetik menggunakan dua tangannya sekaligus dengan dada dan pangkal paha sebelah kakinya mengait pada tangga. Ia pun bisa menggapai ranting yang melebar dengan jangkauan tangannya yang jauh. 

Sebagaimana Nino, Asman pun makin terpacu karena janji hadiah dari sang ayah. Ia telah dijanjikan akan diberikan ongkos untuk membeli ponsel baru yang ia inginkan setelah memetik buah pohon panjatan terakhirnya. Ongkos itu akan diambil dari hasil penjualan petikannya tersebut. Ia yang tengah duduk di bangku kelas III SMP, jelas sangat ingin mendapatkan ponsel yang canggih seperti milik teman-temannya. 

Menang sudah menjadi kebiasaan ayah Asman dan Nino sedari dahulu, bahwa setiap kali di masa akhir panen cengkih, mereka akan dijanjikan imbalan yang merupakan keinginan mereka. Tetapi syaratnya, mereka harus membersihkan buah pohon cengkih yang ditinggalkan para pemetik upahan karena tampak tidak menarik dan tidak akan menghasilkan banyak jumlah literan. Cara itu cukup ampuh untuk membuat buah cengkih mereka benar-benar terpetik habis.

Kini, memang hanya tersisa dua pohon saja yang belum terpetik dan menjadi tanggungan Nino dan Asman. Pohon-pohon lain telah dipanjati oleh para pemetik pencari upah, juga mereka sekeluarga, pada hari-hari sebelumnya. Karena itu, pagi tadi, sesampainya mereka di kebun setelah mendaki bukit selama sekitar setengah jam, mereka pun terlibat pembicaraan perihal yang mana di antara kedua pohon itu yang akan menjadi panjatan mereka masing-masing. 

"Panjatlah pohon yang kau suka," tawar Asman, atas status dirinya sebagai seorang kakak.

Dengan raut senang, Nino lalu mengamat-amati buah kedua pohon cengkih di depan mereka itu. Hingga akhirnya, ia menunjuk satu pohon. "Aku panjat yang itu."

Asman membalas dengan anggukan dan senyuman. Ia setuju saja. Ia merasa memang sebaiknya demikian.

Sejak awal, Asman memang bisa menebak kalau akan begitulah pilihan Nino. Ia tahu kalau adiknya akan memilih pohon cengkih dengan buah yang kelihatannya lebih banyak. Tetapi Asman yang lebih berpengalaman, paham kalau sebenarnya buah panjatan sang adik tidaklah sebanyak kelihatannya. Itu karena pohon tersebut memiliki buah dengan jari-jari tangkai yang panjang dan jengkang, juga biji-biji buah yang kecil, sehingga volume buahnya sedikit.

Sebaliknya, buah pohon panjatan Asman memang tampak lebih sedikit. Tetapi pada kenyataannya, akan menghasilkan volume buah yang lebih banyak. Itu karena jari-jari tangkai buahnya pendek dan rapat, serta biji-biji buahnya yang lebih besar. 

Namun Asman merasa tak perlu menjelaskan keadaan itu kepada Nino. Baginya, pohon panjatan mereka, sudah cocok untuk diri mereka masing-masing. Paling tidak, ia memanjat pohon yang lebih tinggi, dan adiknya memanjat pohon yang lebih pendek. Apalagi, sang adik memang sudah tampak senang dengan pilihannya atas ketidakpahamannya soal kualitas buah cengkih, sampai sang adik pun tak curiga kenapa para pemetik upahan meninggalkan satu pohon dengan buah yang tampak banyak itu.

Hingga akhirnya, saat sore, kenyataan yang selayaknya pun terlihat pada karung penampungan petikan mereka yang berukuran sama. Karung Nino tampak penuh, sedangkan karung Asman hanya tampak terisi tiga per empat bagian. Padahal, pada hari-hari sebelumnya, petikan Asman senantiasa tampak lebih banyak daripada petikan Nino. Tetapi kenyataan itu sama sekali tak membuat Asman kecewa, dan berhasil membuat Nino senang. 

Sesaat kemudian, mereka lalu pulang dengan memikul hasil petikan mereka masing-masing. Asman jelas merasa tak perlu menawarkan diri untuk bertukar bawaan, sebab ia tahu kalau petikan adiknya lebih ringan daripada petikannya. Pun, dengan demikian, ia ingin sang adik gembira dan bangga membawa hasil petikannya yang tampak lebih banyak, sebab orang-orang yang melihatnya akan mengelukannya. Dan pada kenyataannya, begitulah yang terjadi.

Sekian lama berselang, sampailah Asman dan Nino di rumah mereka. Dengan sikap berlagak, Nino pun menjatuhkan sekarung hasil petikannya ke lantai papan rumah dengan keras, seolah ingin menunjukkan kepada orang tuanya kalau ia telah memetik buah cengkih yang banyak. Dan sebagaimana harapannya, ia pun mendapatkan pujian dari ayah dan ibunya. 

Atas perasaan senangnya yang tak berkesudahan, pada saat malam, Nino jadi begitu bersemangat memipil setangkai demi setangkai buah petikannya dengan tangan. Ia melakukannya dengan cekatan, seolah tak sabar untuk menuntaskannya dan segera mengetahui jumlah literan biji petikannya. Karena itu, ia sanggup memipil lebih lama. Ia baru turut tidur saat hampir jam 2 dini hari. Padahal, sebelum-sebelumnya ia senantiasa berhenti memipil dan tidur sebelum jam 12 malam.

Tetapi tidur selarut itu, tak berhasil juga membuat buah petikan Nino habis terpipil. Masih tersisa sebanyak dua per tiga bagian, meski ibunya telah turut membantunya. Itu terjadi karena keadaan buah cengkih itu yang memang alot untuk dipipil. Jari-jari tangkai buahnya jengkang, sehingga membutuhkan upaya khusus untuk menggenggamnya sebelum menggerusnya dengan telapak tangan. Selain itu, biji buah cengkih itu melekat keras pada jari-jari tangkainya, sehingga butuh kekuatan lebih untuk menguraikannya.

Meski begitu, atas bantuan Asman dan kedua orang tuanya yang melanjutkan pipilan pada saat subuh, hasil petikan Nino pun tuntas terpipil pada saat pagi. Nino yang terbangun saat matahari mulai meninggi, kemudian menyaksikan kenyataan itu dengan senang hati. Apalagi, sebagaimana keyakinannya sejak awal, ia pun melihat kalau gundukan biji-biji cengkih hasil petikannya, tampak lebih banyak daripada petikan Asman. 

Dan akhirnya, sampailah Nino dan Asman pada saat yang mereka nanti-nanti, yaitu proses peliteran hasil petikan. Dengan mengucapkan doa terlebih dahulu, sang ibu pun melakukannya. Petikan Asman diliter terlebih dahulu, dan jumlahnya 23 liter. Petikan Nino diliter kemudian, dan jumlah 37 liter.

Sontak saja, Nino bangga atas pencapaiannya. Ia pun kembali mendapatkan pujian dari orang tua dan kakaknya. Ia lalu makin senang setengah ayahnya mengatakan kalau lima hari ke depan, pada hari pasar, ia akan dibelikan sepeda baru dengan berbekal hasil penjualan petikannya tersebut.

Pada sisi yang lain, Asman sama sekali tak cemburu menyaksikan kenyataan itu. Ia bahkan turut senang melihat adiknya senang. Apalagi, sang ayah pun telah menjanjikannya ongkos untuk membeli ponsel yang ia inginkan pada hari pasar juga.

Beberapa saat berselang, dengan kesenangan yang tak surut-surut, Asman dan Nino kemudian bergerak untuk melakukan proses penjemuran. Asman lalu memasukkan seluruh biji petikannya ke dalam karung dan membawanya ke atas loteng. Sebaliknya, Nino memilih untuk melimpahkan setengah biji petikannya terlebih dahulu ke dalam karung untuk ia bawa, sebab ia tak sanggup mengangkutnya dalam sekali pikulan. 

Sampai akhirnya, setelah menumpahkan biji petikannya pada penjemuran di atas loteng, Nino berujar polos, "Ternyata, biji-biji hasil petikanku ini unik, ya. Ukuran bijinya berbeda-beda. Ada yang besar, ada yang kecil," katanya, seolah sekadar mengungkapkan kekagumannya. 

Asman pun tersenyum, lalu tertawa pendek. "Oh. Itu hal yang biasa," tanggapnya, sekenanya, sembari memendam rahasianya bersama ayah dan ibunya, kalau mereka telah melimpahkan sebagian hasil petikannya ke hasil petikan Nino, sebelum adiknya itu bangun pagi, demi membuat sang adik senang dan bangga atas hasil kerjanya. 

Matahari makin meninggi dan makin terik. Mereka pun cepat-cepat menebarkan biji-biji cengkih petikan mereka pada karpet yang menghampar.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar