Zaman
dahulu, ketika kultur patriarki masih menancap di benak para pendahulu, kaum
perempuan tak lebih dari barang milik laki-laki. Perempuan menjadi serupa
perhiasan yang tak punya hak atas dirinya sendiri. Mereka dituntut untuk terus melayani
kepentingan para lelaki, seakan-akan itu kepentingan mereka juga. Mengabdi saja, seolah-olah mereka memang
ditakdirkan demikian.
Konstruksi
sosial yang merendahkan martabat perempuan, semakin kokoh dalam kultur feodal. Para
perempuan dianggap kaum kelas dua yang sepatutnya menghamba pada tuan-tuan.
Perempuan dituntut harus pintar-pintar mengambil hati para bangsawan yang punya
segala. Perempuan mesti memberikan segala-galanya untuk mengecap bagian dari segala-galanya.
Kultur
feodalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial, sungguh telah menjadikan kaum
perempuan sebagai tumbal. Para perempuan dari kalangan rakyat jelata, yang
berada dalam kelas sosial yang dianggap rendah, acapkali diperjualbelikan
kepada para bangsawan oleh orang tua mereka sendiri, demi meningkatkan martabat
diri sendiri dan keluarga.
Hasrat
untuk naik kelas, membuat perempuan serupa barang dagangan semata. Diri mereka
harus diserahkan kepada para bangsawan yang menghendaki, tanpa ada yang kuasa merintangi.
Alih-alih membela kepentingan pribadi seorang anak perempuan, keluarga seringkali
malah turut memaksakan para gadis untuk menikah saja dengan bangsawan demi
kebangsawanan.
Begitu
pula nasib Gadis Pantai, seorang gadis yang dilahirkan di sebuah kampung
nelayan, Rembang, Jawa Tengah. Segenap dirinya harus diserahkan kepada tuan
bangsawan ketika hati dan pikirannya, belumlah matang sebagai seorang perempuan.
Ia harus menjadi selir bangsawan kala masih berumur 14 tahun, dan belum juga balig. Ia
tak bisa apa-apa, sebab ayahnya memaksa, sedang masyarakat menganggap itu
sebagai sebuah kehormatan.
Kisah
pilu Gadis Pantai tergambar dalam novel gubahan Pramoedya Ananta Toer berjudul
Gadis Pantai. Novel yang ditulis kisaran tahun 1962 ini, dengan apik
mengisahkan seorang gadis yang harus menerima hidupnya sebagai istri semu
seorang bangsawan. Ia harus menanggalkan kekanak-kanakannya selekas mungkin,
dan hidup dengan sikap dewasa di lingkungan istana.
Pada
awalnya, Gadis Pantai enggan menuruti hasrat sang bangsawan, seorang Bupati
Blora di zaman pendudukan Belanda, yang ditokohkan dengan sapaan Bendoro
(panggilan untuk majikan/pejabat tinggi di zaman kolonial). Di tengah ketidakpahamannya
soal kehidupan berumah tangga, Gadis Pantai jelas tak sanggup menjadi istri seorang
pembesar yang sungguh asing baginya. Tapi mau tidak mau, ayahnya memaksa,
sedang ibu dan saudaranya, turut saja.
Emaknya membuang muka, melalui
jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur. Tak mampu ia
menyatakan, ia nangis melihat anaknya keluar selamat dari kampung nelayan jadi
wanita terhormat, tak perlu berkeringat, tak perlu berlari-larian mengangkat
ikan jemuran bila rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi.
“Mulai hari ini, nak,”emaknya tak sanggung peneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau jadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Al-Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (hlm. 14).
“Mulai hari ini, nak,”emaknya tak sanggung peneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau jadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Al-Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (hlm. 14).
Akhirnya,
menikahlah Gadis Pantai dengan Bendoro dalam ritual yang menunjukkan
ketidaksetaraan status sosial kedua mempelai itu. Gadis Pantai tidak
disandingkan dengan Bendoro di hadapan penghulu dan didampingi para wali dari
pihak keluarga. Gadis pantai hanya diwakili oleh sebuah keris, dengan tokoh
kampung selaku wali.
Dan
setelah pernikahan, tinggallah Gadis Pantai dalam istana Bendoro. Di dalam
gedung yang megah itu, ia hidup dengan perasaan terasing, sebab jauh dari sanak
keluarga dan berada di tengah orang-orang yang berbeda. Ia merasa terpenjara,
sebab harus menanggalkan kebebasan hidup orang kampung, lalu memulai hidup
dengan hukum dan tata krama kehidupan bangsawan.
Namun
akhirnya, Gadis Pantai bisa juga menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya setelah
dituntun oleh wanita tua, seorang pelayan istana yang telah mengabdi untuk
mengurus istri-istri dan anak-anak bendoro selama 15 tahun. Dari pelayan itulah,
ia mulai tahu kalau dirinya bukan gadis kampung lagi, tetapi seorang bendoro putri
yang disapa Mas Nganten, yang kuasa memerintah para bujang-bujang istana.
Dan sekarang gadis pantai tertegun.
Ia mulai mengerti di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederjat
dengannya. Ia merasai adanya jarak yang begitu jauh, begitu dalam antara
dirinya dengan wanita yang sebaik itu (pelayannya) yang hampir-hampir tak pernah tidur menjaga
dan mengurusnya, selalu siap lakukan keinginannya, selalu siap terangkan segala
yang ia tak paham, bisa mendongeng yang begitu memikat tentang Joko Tarub, dan
bisa mengusap bahunya begitu sayang ketika dia hendak menangis. Hatinya
memekik: mengapa aku tak boleh berkawan dengannya? Mengapa ia mesti jadi sahaya
begitu? Siapakah aku? Apa kesalahan dia sampai harus jadi sahayaku? (hlm.
46).
Tapi
sebagai orang yang tahu betul akhir dari kehidupan seorang istri Bendoro dari
kalangan kelas bawah, sang pelayan malah prihatin kepada Gadis Pantai yang
pemurah:
Nampak bujang (pelayannya)
itu merasa kasihan karena Gadis Pantai.
Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan
orang kebanyakan dan kaum bendoro di daerah pantai. Seorang bendoro dengan
istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah
beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan
sesungguhnya: dengan wanita dengan karat kebagsawanan yang setingkat.
Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan
istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang
kebanyakan –itu penghinaan bila menerimanya. (hlm. 80).
Hingga
datanglah kenyataan memilukan bagi Gadis Pantai. Pelayannya yang penuh kasih
sayang, harus diusir dari istana. Pasalnya, sang pelayan begitu lancang memperkarakan
para anak-anak bangsawan di istana atas hilangnya sejumlah uang milik Gadis
Pantai, hingga membuat gaduh seisi istana. Walau tindakan sang pelayan adalah
sebuah kebenaran, dan seorang anak divonis sebagai pelaku, hukum etika di
istana tetap menyalahkannya juga.
Gadis
Pantai pun harus larut dalam sepi yang mendalam. Ditinggal pergi seorang
pelayan tua yang telah ia anggap sebagai ibu sendiri, jelas membuatnya
kehilangan. Dan pelayan pengganti dari kota, Mardinah, seorang janda dari
kalangan bangsawan, jelas tak ia sukai. Bukannya melayani, pelayan baru itu
malah suka berlaku lancang dan menghinakannya sebagai gadis asal kampung.
Rasa
jengah dan kesal yang tak terkira, akhirnya membuat Gadis Pantai meminta diri untuk
pulang ke kampug. Ia berhasrat menyampaikan kerinduan pada seisi kampung, tempat
ia dilahirkan dan melewati masa kanak-kanak. Hingga dilihatnyalah kampung itu tak
berubah, kecuali dirinya sendiri yang kini dielu-elukan sanak keluarga dan para
warga atas statusnya sebagai istri seorang pembesar.
Tapi
kehadiran Gadis Pantai di kampung, ternyata membawa serta sederetan petaka. Mardinah
yang menyertainya dari kota, ternyata orang suruhan dari pemerintah Demak. Mardinah
hendak membunuh Gadis Pantai demi memuluskan pernikahan Bendoro dengan putri
asal Demak yang dianggap sekufu. Namun rencana itu segera diketahui warga
kampung. Mardinah pun dihukum untuk menikah dengan seorang pemuda desa, sedang
beberapa kawanannya terbunuh.
Dan
setelah waktu berlalu cepat, kembalilah Gadis Pantai dalam lingkungan istana
dengan merahasiakan percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia tahu, di istana,
sebagaimana nasib pelayan tuanya dahulu, ia tak boleh banyak mengaduh, apalagi
jika terkait dengan para bangsawan, sebab itu akan mencelakakan dirinya
sendiri.
Suatu
hari, datanglah putri bangsawan dari Demak. Di tengah percakapan sang putri
dengan Bendoro, tahulah Gadis Pantai kalau Bendoro akan segera menikah dengan putri
dari kalangan bangsawan. Tentu saja, sebagai selir dari kalangan masyarakat
biasa, Gadis Pantai sadar bahwa ia akan segera disingkirkan demi pernikahan
yang sesungguhnya itu.
Benar
saja. Keadaan berangsur-angsur berubah. Bendoro mulai bersikap dingin pada Gadis Pantai setelah ia melahirkan seorang anak -mengecewakan Bendoro sebab jenis kelamin anaknya perempuan. Hingga
akhirnya, putuslah hukum dari Bendoro sendiri bahwa ia telah diceraikan.
Diceraikan karena hukum istana menganggap tugasnya telah selesai. Diceraikan
tanpa hak untuk memiliki anaknya sendiri.
“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib
anak ini?” Gadis Pantai memekik rintihan.
“Anak itu? Apa guna kau pikirkan?
Banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”
“Mestikah sahaya pergi tanpa anak
sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”
“Lupakan bayimu. Angggap dirimu tak
pernah punya anak.” (hlm. 258)
Gadis
Pantai pun terusir dari istana. Ia terusir dengan kehinaan. Terusir dari istana
suaminya, serta harus meninggalkan anak yang telah ia lahirkan sendiri . Ia pun
membatin:
Dia akan jadi priyai. Dia anakku.
Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak suka pada
priayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa
perasaan. Tak ada orang mau dengar tangisnya. Kalau anak itu besar kelak, dia
pun takkan dengar keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku
seperti orang dusun, seperti abdi. Dia perlakukan aku seperti bapaknya
memperlakukan aku kini dan selama ini. Tapi lindungilah dia. Dia anakku yang
tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu emaknya. (hlm.
268-269).
Pulanglah
Gadis Pantai ke kampungnya. Ia pulang dengan satu pengetahuan kalau ia memang
hanyalah istri percobaan untuk Bendoro sebelum menikah dengan istri sunguhan
dari kalangan bangsawan. Ia pulang setelah dijemput ayahnya sendiri, yang juga
tahu betapa tragis kehidupan putrinya, si Gadis Pantai, yang hanya jadi gundik Bendoro
untuk sementara waktu.
Mau
tak mau, Gandis Pantai harus menerima kenyataan bahwa semuanya telah berubah.
Setelah ia enggan dinikahkan dengan Bendoro, dan setelah ia mampu menyesuaikan
diri sebagai istri seorang bangsawan, ia harus kembali menjadi orang kampung
yang bukan siapa-siapa. Ia sadar, walaupun kebangsawanan telah memuliakannya
sementara waktu, ia memang harus kembali menjadi seorang Gadis Pantai dengan
segala kehinaannya, seperti di awal.
Di
tengah perjalanan, terbayanglah oleh Gadis Pantai kalau-kalau warga kampung
akan memandang aneh terhadap dirinya. Para warga tak akan lagi memuliakan ia
seperti kala masih jadi istri pembesar, atau memperlakukannya secara biasa
seperti sedia kala. Akan ada sekat antara ia dengan kehidupan di kampungnya
sendiri. Karena itu, ia mengurungkan niat untuk kembali ke perkampungan. Ia menyimpang
arah menggunakan dokar, ke selatan, ke Blora, meninggalkan ayahnya di tepi perkampungan,
untuk pergi mencari pelayan tuanya dahulu.
Berakhirlah
cerita Gadis Pantai dalam satu bagian yang sejatinya trilogi. Satu cerita dari tiga
fragmen, sedang dua fragmen yang lain, lenyap dimakan kebrutalan angkatan darat di
bawah rezim otoriter yang phobia aksara. Rahasia hidup Gadis Pantai dalam
cerita yang sirna itu, tentu saja masih menyimpan banyak misteri. Entah tentang
masa depan anaknya, kehidupan keluarga Bendoro dengan istri sungguhan, hubungan
antarpriayi yang memerintah daerah, atau tentang akhir perasaannya kepada seorang
pemuda priayi asal Demak yang sempat bertandang ke istana Bendoro dan seketika
membuatnya jatuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar