Waktu
terasa memburu. Kekhawatiranku semakin meninggi. Sepuluh menit lagi, aku harus
sampai di sebuah restoran. Ada seorang yang harus kutemui tepat waktu. Seorang
wanita, pujaanku. Jelas, aku takut jika telat memenuhi janji. Apalagi, sedari
kemarin, aku telah merencanakan sebuah kejutan besar untuknya, sembari
mempersembahkan serangkaian bunga.
Akhirnya,
aku sampai di posisi yang berseberangan dengan toko bunga. Segera saja kutempatkan
mobil yang kukemudikan di tepi jalan. Sekadar memarkir dengan baik, atau menuju
jembatan penyeberangan jalan yang tak terlalu jauh, ogah kulakukan. Aku tak mau
membuang-buang waktu. Jadi, tanpa pikir panjang, kuseberangi saja jalan raya di
alur yang tak semestinya.
Sungguh,
aku tegang. Apalagi, hanya sesekali aku melintas di jalan sesak kendaraan
secara serampangan. Maka, di posisi yang serba salah itu, kakiku dilanda kekakuan.
Melangkah tak terkendali. Mempertaruhkan nyawa sendiri dan menguji ketangkasan para
pengemudi. Tak pelak, cemoohan pun kutuai. Namun akhirnya, aku selamat sampai
di seberang jalan. Lega.
Baru
beberapa langkah setelahnya, kala masih di gerbang toko, aku berhenti. Ternyata,
aku lupa mengantongi dompet yang kuletekkan di dasbor mobil. Sungguh
menyebalkan. Maka, segera kurogoh kantong jaket, baju, dan celanaku. Coba mengumpulkan
beberapa uang pecahan kecil yang biasanya kupersiapakan untuk membayar parkir. Dan,
syukur, jumlahnya cukup.
Segera
kumasuki toko, kemudian mengamati dan merasa-rasa jenis bunga mana yang
kira-kira cocok untukmu. Hingga akhirnya, pilihanku jatuh pada serangkai bunga
berwarna merah dan putih. Perpaduan warna yang melambangkan perasaanku yang
suci dan membara. Tanpa menunggu lama, aku pun mengambilnya, lalu menyelesaikan
urusan pembayaran di kasir.
Tak
sampai tiga menit, aku sudah berada di luar toko. Dan lagi, aku harus
meyakinkan diri bahwa menyeberangi jalan di lintasan terlarang, adalah pilihan
terbaik. Setidaknya, untuk saat ini saja. Nanti, kenekatan ini akan menjadi
salah satu pengorbanan yang akan kuceritakan kepadanya. Semua demi menepati
janji pada pada si gadis pujaan.
Namun
sebelum langkahku menyentuh badan jalan, tiba-tiba, seorang Kakek terlihat berjalan
menghampiriku. Aku tak paham apa maksudnya. Ia hanya melambaikan tangan sambil
mengaum dengan ejaan kata yang tak jelas. Seperti ada masalah dengan kantong
suaranya. Tapi kukira, ia hendak mengikutiku menyeberang jalan, ataukah menawarkan
koran yang ditentengnya.
Aku
pun hanya melemparkan senyuman padanya, lalu dengan perasaan was-was, mulai
menyeberangi jalan. Jelas saja, aku tak ingin mempertaruhkan nyawanya di dalam
penguasaanku. Membeli korannya juga aku tak mungkin. Bukan tak mau, tapi karena
uang yang tersisa di kantongku sudah tak cukup.
Kupandu
lagi langkahku. Mataku berpadu dengan perhitungan sebab-akibat yang bekerja dengan
cepat di balik kepala. Sesekali melangkah seperti melompat kala ada ruang lowong
untuk melangkah maju. Beberapa kali juga harus berdiam diri, melewatkan pengendara
yang melaju kencang dan tak ingin memberiku kesempatan.
Setelah
merangsang adrenalin, aku pun tiba di seberang jalan. Segera kuarahkan
langkahku ke parkiran mobil yang telarang. Aku bergegas sambil mengecek satu
per satu saku pakaianku demi menemukan keberadaan kunci mobil. Tapi aku tak
menamukan apa-apa. Kunci itu hilang entah ke mana. Padahal, sisa lima menit
lagi, waktu yang kujanjikan akan sampai.
Kala
aku masih gusar kehilangan kunci, bunyi gesekan ban mobil dengan aspal,
terdengar dari arah seberang jalan. Seiring itu, bunyi dentuman menyusul.
Seketika, orang berlari dan berkerumun di satu titik, di dekat sebuah mobil
yang berhenti di tengah jalan. Sebuah kecelakaan terjadi. Seseorang tertabrak
mobil.
Tiba-tiba,
aku teringat pada sosok Kakek yang hendak menyampaikan sesuatu kepadaku. Entah kenapa,
aku tiba-tiba yakin, ia terlibat dalam kejadian itu. Aku pun berlari,
memastikannya. Dan benar saja, dalam keadaan setengah sadar, Kakek tua itu tersungkur
dengan darah yang mengalir deras di pelipisnya.
Orang-orang
pun segera membawa sang Kekak ke tepi jalan, di sisi kanan mobilku yang
terparkir.
“Ayo,
segera cari mobil dan bawa ia ke rumah sakit,” tegas seorang yang tak kutahu
namanya.
Orang
di sekelilingnya pun berseru dan mengangguk setuju.
“Ada
yang punya mobil?” tanya lelaki itu lagi. “Atau cepat tahan angkot. Sewanya
biar aku yang tanggung.”
Aku
jelas dibuat kagum atas sikap lelaki muda itu. Ingin juga melakukan sesuatu,
tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Di lubuk hatiku yang terdalam, jelas ada
keinginan untuk menawarkan tumpangan di mobilku untuk sang Kakek, jika saja
kuncinya tak hilang.
Dalam
kondisi yang lemah terkulai, sang Kakek mengaum lagi. Tapi orang-orang hanya
saling menatap. Tak ada yang mengerti. Hingga akhirnya, sang Kakek mengangkat tangan
kanannya yang terkepal. Setelah tersibak, telihatlah serangkaian kunci. Dan,
betapa terenyuhnya aku. Kunci itu adalah kunci mobilku yang sedari tadi kucari
Aku
pun segera mengambilnya.
Orang-orang
menatapku curiga.
Seketika,
rasa bersalah menggerayangiku. Apalagi, semua kejadian nahas ini, terjadi
karenaku.
“Biar
aku saja yang mengantarnya. Itu mobilku,” tuturku, sambil menunjuk ke arah
mobil yang kumaksud.
Segera
saja kerumunan orang-orang menggotong sang Kakek.
Kini,
aku tak peduli tentang keakuanku. Rasa bersalahku pada sang Kakek mengalahkan
rasa cintaku pada siapa pun, termasuk kepada seseorang yang hari ini, hendak
kubuai.
Tiba-tiba,
gadis pujaanku menelepon. Tapi kali ini, aku tak ingin menjawab.
Berselang
beberapa detik, di balik kemudi, aku mengarahkan mobil ke rumah sakit. Serangkaian
bunga yang baru kubeli untuk seorang wanita, kubiarkan saja tergeletak di
pinggir jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar