Kamis, 30 November 2023

Ilmu Baca

Humam kembali melintasi jalan di sebuah kawasan perumahan dosen. Dengan semangat, ia memeriksa tempat sampah di depan rumah-rumah warga. Tanpa perasaan jijik, ia lalu mengambil benda-benda yang bisa ia jual ke pengepul barang bekas. Sebagai seorang pemulung, ia melakukannya dengan serius, demi kelangsungan hidupnya sekeluarga. 

Hingga akhirnya, di depan sebuah rumah yang megah, ia melihat dua kardus di samping tong sampah. Kardus itu berisi tumpukan buku dan lembaran-lembaran kertas. Dengan perasaan gembira, ia pun lekas mengambil barang tersebut dan menaikkannya ke atas gerobaknya. Ia sungguh senang berhasil mendapatkan pulungan berbobot berat dalam sekali waktu. 

Setelah mendapatkan dua kardus besar itu, saat sudah lewat jam 12 siang, Human memutuskan pulang ke rumahnya. Ia pulang dengan tanya-tanya di kepalanya, perihal apa sebenarnya yang dikerjakan para dosen, sampai mereka bisa kaya raya. Kalau mereka memang pendidik yang membagikan ilmu, kenapa mereka malah membuang buku bacaan dan kertas bertulis? 

Tetapi Humam segera mengalihkan pikirannya. Ia merasa bukan siapa-siapa yang patut untuk memusingkan soal pengajaran dan ilmu pengetahuan. Ia sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan yang membuatnya bisa mengerti bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh para dosen. Karena itu, ia terus saja mengayun langkahnya sembari mendorong gerobaknya.

Namun tak berselang lama, perasaannya kalut. Ia kembali memikirkan istrinya yang sedang sakit, tetapi ia tak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit. Nahas, sebab kartu KIS-nya telah dinonaktifkan, entah karena ia memang masih lebih sejahtera daripada warga yang lain, ataukah karena ketidakcematan bahkan ketidakadilan aparat pemerintah dalam pendataan. 

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Humam kepada istrinya, selepas mereka sarapan. Ia kemudian bertanya bimbang atas ketidakberdayaannya, "Apakah Ibu merasa harus dibawa ke rumah sakit?"

Sang istri menggeleng. "Tak perlu, Pak,” jawabnya, lantas tersenyum tanggung. “Setiap hari, aku merasa kalau keadaanku makin membaik, kok. Kukira, istirahat di rumah dan meminum obat, akan membuatku sembuh juga.” 

Begitulah selalu tanggapan istrinya, dan Humam hanya akan membenarkannya dengan perasaan tidak tega. Ia bisa menerka kalau sang istri sengaja memilih untuk tidak dibawa ke rumah sakit karena mengerti keadaan keuangan mereka yang memprihatinkan. 

Hari demi hari, Humam memang hanya melakukan penanganan seadanya untuk istrinya yang batuk-batuk selama hampir sebulan, yang tampak makin parah. Ia sekadar membelikannya obat di apotek, seolah penyakitnya tersebut hanyalah penyakit biasa. Padahal, diam-diam, ia menduga keras kalau penyakit sang istri adalah penyakit yang membahayakan. Dipikirnya, barangkali, itulah penyakit TBC yang ditakutkan orang-orang.

Karena ketidakmampuan ekonomi, Humam hanya berpasrah pada keadaan. Ia bahkan memilih tidak untuk sekadar memeriksakan istrinya pada layanan kesehatan. Ia takut kalau diagnosa dokter akan lebih parah dari yang ia duga. Ia tak mau membebani pikirannya dengan keadaan yang tak bisa ia tanggung. Karena itu, ia hanya berharap semoga penyakit sang istri memang cuma batuk biasa dan akan sembuh dengan pengobatan yang biasa. 

Kemiskinan memang telah membuat Humam tak bisa melakukan yang terbaik untuk kesembuhan istrinya. Ia barangkali masih mampu menanggung biaya perawatan istrinya di rumah sakit, tetapi itu jelas akan menguras habis tabungannya. Sedang selain untuk penanganan penyakit sang istri, ia juga butuh persediaan dana untuk keperluan hidupnya sehari-hari, juga untuk keperluan sekolah putri semata wayangnya yang merupakan siswi kelas VI SD. 

Kadang-kadang, timbul juga pikiran Humam untuk memutuskan saja sekolah sang putri agar fokus membantunya memulung barang-barang bekas. Ia pikir, itu tidak hanya akan membuat keuangan keluarganya aman, tetapi juga membaik. Apalagi, seturut dengan status keluarganya yang kembali dianggap sejahtera, putrinya itu bersekolah tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Akibatnya, ia harus menanggung semua biaya keperluan sekolahnya. 

Tetapi rencana itu, tak pernah sanggup ia lakukan. Ia masih juga tak tega membuat putrinya bersedih dengan harus menguburkan impiannya. Apalagi, sang putri terhitung pintar, bahkan senantiasa masuk peringkat lima besar dalam perolehan nilai terbaik di kelasnya. Karena itu, ia membiarkan saja sang putri terus bersekolah, meski hari demi hari, ia makin pusing memikirkan ongkos pemenuhan kebutuhan hidupnya sekeluarga.

Sebenarnya, dahulu, perekonomian Humam cukup mapan. Ia dan istrinya memperoleh pendapatan yang memadai dengan bekerja sebagai petugas kebersihan di lingkungannya. Ia sekeluarga juga mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah. Bahkan putrinya terbebas dari biaya sekolah karena memperoleh bantuan pendidikan. Pada saat itu, ia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.

Namun tak lama setelah pemilihan ketua RT, satu setengah tahun yang lalu, ia jadi kehilangan seluruh topangan hidupnya. Ia dan istrinya digantikan oleh orang baru sebagai petugas kebersihan. Ia sekeluarga juga kehilangan status sebagai penerima bantuan dari pemerintah. Dan ia menduga kuat kalau itu terjadi karena ketua RT terpilih memendam sentimen negatif kepada dirinya yang telah menjadi juru kampanye calon ketua RT yang akhirnya kalah.

Di tengah ketidakberdayaannya, Humam hanya terus bersabar memikul beban kehidupannya yang berat. Apalagi, ia masih terus menanggung biaya pembelian obat untuk istrinya di apotek. Karena itu, ia tetap mencari cara agar ia sekeluarga kembali dimasukkan ke dalam daftar penerima bantuan pemerintah. Kalau suatu saat berhasil, ia pasti akan segera membawa istrinya ke rumah sakit, dan ia pun tak lagi terpikir untuk memberhentikan anaknya bersekolah. 

Akhirnya, demi keberlangsungan hidupnya sekeluarga, Humam memutuskan untuk kembali menjadi pemulung. Setiap hari, ia akan mencari-cari barang buangan warga, entah kertas, plastik, kaca, dan logam, lalu menjualnya ke pengepul. Dengan tekun, ia melakoni rutinitasnya tersebut, meski hasilnya tak benar-benar menggembirakan. Selain pekerjaan itu, ia merasa tak punya opsi lain, sebab ia hanya tamatan SD yang bahkan tak lancar membaca, sebagaimana istrinya.

Sekian lama berselang, Humam akhirnya sampai di rumahnya yang sederhana. Seperti biasa, ia lalu menempatkan hasil pulungannya sesuai jenisnya di halaman depan rumahnya. Setelah itu, ia lantas menuju ke ruang dapur untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Dan lagi-lagi, ia kembali menyantap hidangan ala kadarnya berupa nasi putih, sayur kangkung, dan tempe goreng. Serangkaian hidangan yang membuatnya tetap bersyukur bisa melanjutkan hidup. 

Beberapa lama kemudian, setelah ia selesai makan dan bersiap-siap untuk mandi, putrinya lalu muncul dengan masih mengenakan seragam sekolah. Sang putri lantas menghampirinya dan bertutur antusias, "Pak, ini, aku dapat resep pengobatan tradisional untuk sakit batuk-batuk yang akut," katanya, sembari menunjukkan lembaran-lembaran kertas yang tampak seperti makalah. 

"Kau dapat dari mana?" tanya Humam, heran.

"Aku dapat di antara kertas-kertas pulungan Bapak di teras," jawab sang putri dengan raut semringah, seolah telah mendapatkan penemuan penting. "Aku lihat-lihat, bahan-bahannya cukup sederhana. Ini bisa kita buat sendiri untuk Ibu, agar tak perlu lagi membeli obat-obatan di apotek. Apalagi, kata orang-orang, obat tradisional lebih baik karena tak ada efek sampingnya."

Dengan setengah yakin, Humam mengangguk setuju. 

Sejak hari itu, dengan bantuan dan keterangan putrinya, Humam terus membuatkan obat tradisional untuk istrinya. Ia melakukannya secara rutin dengan mengikuti petunjuk pada makalah hasil pulungannya tersebut. Ia meramunya dengan merjerang rajangan temu lawak dan jahe, lalu menambahkannya dengan asam jawa, jeruk nipis, dan madu. Ia lantas menghidangkannya kepada sang istri untuk diminum.

Hari demi hari, setelah diaplikasikannya resep tradisional itu pada diri istrinya, harapan besar Humam kemudian tampak terwujud. Keadaan istrinya makin membaik, sampai batuknya terdengar makin menjarang. Bahkan dengan daya tubuh yang perlahan menguat, istrinya memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai di sebuah kios penatu dengan penghasilan yang lumayan untuk membantu perekonomian keluarga.

Sampai akhirnya, sejak seminggu yang lalu, pada bulan ketiga pengaplikasian obat tradisional yang membuat keadaan fisik istrinya makin bugar, Humam sekeluarga memutuskan untuk merintis usaha sendiri. Mereka bekerja sama meracik dan menjual keripik singkong dan keripik pisang dengan berbagai rasa, sampai mereka mendapatkan keuntungan yang cukup menggiurkan. Dan untuk itu, Humam kembali bersyukur atas pengetahuan putrinya, sebab perkara pembuatan keripik tersebut, juga diusulkan putrinya setelah sang putri menemukan dan membaca sebuah buku resep camilan di antara kertas-kertas hasil pulungannya.

Atas keadaan hidupnya yang berubah drastis ke arah yang lebih baik berkat pengetahuan putrinya dari kertas-kertas bacaan, Humam pun berubah pikiran soal arti pendidikan. Diam-diam, ia bahkan mulai mengancang-ancangkan untuk menyekolahkan putrinya sampai sarjana. Itu karena ia telah memiliki kesadaran baru, bahwa pengetahuan adalah pintu rezeki. Ia yakin jikalau pengetahuan yang tinggi akan membuat seseorang menjadi kaya raya. 

“Kalau usaha keripik kita ini terus berkembang, kau harus sekolah setinggi-tingginya, Nak!" tutur Humam, pagi ini, di hari minggu yang cerah, di tengah pekerjaan mereka memotong-motong pisang dan singkong. 

"Tentu, Ayah! Aku ingin jadi dokter, agar bisa mengobati orang-orang, dan bisa menjadi orang yang kaya," tanggap sang putri. 

Mendengar penuturan putrinya itu, Humam pun tersenyum senang. Begitu pula istrinya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar