Humam kembali melintasi jalan di sebuah kawasan perumahan dosen. Dengan semangat, ia memeriksa tempat sampah di depan rumah-rumah warga. Tanpa perasaan jijik, ia lalu mengambil benda-benda yang bisa ia jual ke pengepul barang bekas. Sebagai seorang pemulung, ia melakukannya dengan serius, demi kelangsungan hidupnya sekeluarga.
Hingga akhirnya, di depan sebuah rumah yang megah, ia melihat dua kardus di samping tong sampah. Kardus itu berisi tumpukan buku dan lembaran-lembaran kertas. Dengan perasaan gembira, ia pun lekas mengambil barang tersebut dan menaikkannya ke atas gerobaknya. Ia sungguh senang berhasil mendapatkan pulungan berbobot berat dalam sekali waktu.
Setelah
mendapatkan dua kardus besar itu, saat sudah lewat jam 12 siang, Human memutuskan
pulang ke rumahnya. Ia pulang dengan tanya-tanya di kepalanya, perihal apa sebenarnya
yang dikerjakan para dosen, sampai mereka bisa kaya raya. Kalau mereka memang pendidik
yang membagikan ilmu, kenapa mereka malah membuang buku bacaan dan kertas bertulis?
Tetapi Humam segera mengalihkan pikirannya. Ia merasa bukan siapa-siapa yang patut untuk memusingkan soal pengajaran dan ilmu pengetahuan. Ia sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan yang membuatnya bisa mengerti bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh para dosen. Karena itu, ia terus saja mengayun langkahnya sembari mendorong gerobaknya.
Namun
tak berselang lama, perasaannya kalut. Ia kembali memikirkan istrinya yang sedang
sakit, tetapi ia tak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit. Nahas, sebab
kartu KIS-nya telah dinonaktifkan, entah karena ia memang masih lebih sejahtera
daripada warga yang lain, ataukah karena ketidakcematan bahkan ketidakadilan aparat
pemerintah dalam pendataan.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Humam kepada istrinya, selepas mereka sarapan. Ia kemudian bertanya bimbang atas ketidakberdayaannya, "Apakah Ibu merasa harus dibawa ke rumah sakit?"
Sang
istri menggeleng. "Tak perlu, Pak,” jawabnya, lantas tersenyum tanggung. “Setiap
hari, aku merasa kalau keadaanku makin membaik, kok. Kukira, istirahat di rumah
dan meminum obat, akan membuatku sembuh juga.”
Begitulah selalu tanggapan istrinya, dan Humam hanya akan membenarkannya dengan perasaan tidak tega. Ia bisa menerka kalau sang istri sengaja memilih untuk tidak dibawa ke rumah sakit karena mengerti keadaan keuangan mereka yang memprihatinkan.
Hari
demi hari, Humam memang hanya melakukan penanganan seadanya untuk istrinya yang
batuk-batuk selama hampir sebulan, yang tampak makin parah. Ia sekadar membelikannya
obat di apotek, seolah penyakitnya tersebut hanyalah penyakit biasa. Padahal,
diam-diam, ia menduga keras kalau penyakit sang istri adalah penyakit yang
membahayakan. Dipikirnya, barangkali, itulah penyakit TBC yang ditakutkan
orang-orang.
Karena ketidakmampuan ekonomi, Humam hanya berpasrah pada keadaan. Ia bahkan memilih tidak untuk sekadar memeriksakan istrinya pada layanan kesehatan. Ia takut kalau diagnosa dokter akan lebih parah dari yang ia duga. Ia tak mau membebani pikirannya dengan keadaan yang tak bisa ia tanggung. Karena itu, ia hanya berharap semoga penyakit sang istri memang cuma batuk biasa dan akan sembuh dengan pengobatan yang biasa.
Kemiskinan
memang telah membuat Humam tak bisa melakukan yang terbaik untuk kesembuhan
istrinya. Ia barangkali masih mampu menanggung biaya perawatan istrinya di rumah
sakit, tetapi itu jelas akan menguras habis tabungannya. Sedang selain untuk penanganan
penyakit sang istri, ia juga butuh persediaan dana untuk keperluan hidupnya
sehari-hari, juga untuk keperluan sekolah putri semata wayangnya yang merupakan
siswi kelas VI SD.
Kadang-kadang, timbul juga pikiran Humam untuk memutuskan saja sekolah sang putri agar fokus membantunya memulung barang-barang bekas. Ia pikir, itu tidak hanya akan membuat keuangan keluarganya aman, tetapi juga membaik. Apalagi, seturut dengan status keluarganya yang kembali dianggap sejahtera, putrinya itu bersekolah tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Akibatnya, ia harus menanggung semua biaya keperluan sekolahnya.
Tetapi
rencana itu, tak pernah sanggup ia lakukan. Ia masih juga tak tega membuat
putrinya bersedih dengan harus menguburkan impiannya. Apalagi, sang putri
terhitung pintar, bahkan senantiasa masuk peringkat lima besar dalam perolehan
nilai terbaik di kelasnya. Karena itu, ia membiarkan saja sang putri terus
bersekolah, meski hari demi hari, ia makin pusing memikirkan ongkos pemenuhan
kebutuhan hidupnya sekeluarga.
Sebenarnya, dahulu, perekonomian Humam cukup mapan. Ia dan istrinya memperoleh pendapatan yang memadai dengan bekerja sebagai petugas kebersihan di lingkungannya. Ia sekeluarga juga mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah. Bahkan putrinya terbebas dari biaya sekolah karena memperoleh bantuan pendidikan. Pada saat itu, ia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.
Namun
tak lama setelah pemilihan ketua RT, satu setengah tahun yang lalu, ia jadi
kehilangan seluruh topangan hidupnya. Ia dan istrinya digantikan oleh orang baru
sebagai petugas kebersihan. Ia sekeluarga juga kehilangan status sebagai
penerima bantuan dari pemerintah. Dan ia menduga kuat kalau itu terjadi karena
ketua RT terpilih memendam sentimen negatif kepada dirinya yang telah menjadi
juru kampanye calon ketua RT yang akhirnya kalah.
Di tengah ketidakberdayaannya, Humam hanya terus bersabar memikul beban kehidupannya yang berat. Apalagi, ia masih terus menanggung biaya pembelian obat untuk istrinya di apotek. Karena itu, ia tetap mencari cara agar ia sekeluarga kembali dimasukkan ke dalam daftar penerima bantuan pemerintah. Kalau suatu saat berhasil, ia pasti akan segera membawa istrinya ke rumah sakit, dan ia pun tak lagi terpikir untuk memberhentikan anaknya bersekolah.
Akhirnya,
demi keberlangsungan hidupnya sekeluarga, Humam memutuskan untuk kembali menjadi
pemulung. Setiap hari, ia akan mencari-cari barang buangan warga, entah kertas,
plastik, kaca, dan logam, lalu menjualnya ke pengepul. Dengan tekun, ia
melakoni rutinitasnya tersebut, meski hasilnya tak benar-benar
menggembirakan. Selain pekerjaan itu, ia merasa tak punya opsi lain, sebab
ia hanya tamatan SD yang bahkan tak lancar membaca, sebagaimana istrinya.
Sekian lama berselang, Humam akhirnya sampai di rumahnya yang sederhana. Seperti biasa, ia lalu menempatkan hasil pulungannya sesuai jenisnya di halaman depan rumahnya. Setelah itu, ia lantas menuju ke ruang dapur untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Dan lagi-lagi, ia kembali menyantap hidangan ala kadarnya berupa nasi putih, sayur kangkung, dan tempe goreng. Serangkaian hidangan yang membuatnya tetap bersyukur bisa melanjutkan hidup.
Beberapa
lama kemudian, setelah ia selesai makan dan bersiap-siap untuk mandi, putrinya lalu
muncul dengan masih mengenakan seragam sekolah. Sang putri lantas
menghampirinya dan bertutur antusias, "Pak, ini, aku dapat resep
pengobatan tradisional untuk sakit batuk-batuk yang akut," katanya,
sembari menunjukkan lembaran-lembaran kertas yang tampak seperti makalah.
"Kau dapat dari mana?" tanya Humam, heran.
"Aku
dapat di antara kertas-kertas pulungan Bapak di teras," jawab sang putri dengan
raut semringah, seolah telah mendapatkan penemuan penting. "Aku
lihat-lihat, bahan-bahannya cukup sederhana. Ini bisa kita buat sendiri untuk
Ibu, agar tak perlu lagi membeli obat-obatan di apotek. Apalagi, kata orang-orang,
obat tradisional lebih baik karena tak ada efek sampingnya."
Dengan setengah yakin, Humam mengangguk setuju.
Sejak
hari itu, dengan bantuan dan keterangan putrinya, Humam terus membuatkan obat
tradisional untuk istrinya. Ia melakukannya secara rutin dengan mengikuti
petunjuk pada makalah hasil pulungannya tersebut. Ia meramunya dengan
merjerang rajangan temu lawak dan jahe, lalu menambahkannya dengan asam jawa,
jeruk nipis, dan madu. Ia lantas menghidangkannya kepada sang istri untuk diminum.
Hari demi hari, setelah diaplikasikannya resep tradisional itu pada diri istrinya, harapan besar Humam kemudian tampak terwujud. Keadaan istrinya makin membaik, sampai batuknya terdengar makin menjarang. Bahkan dengan daya tubuh yang perlahan menguat, istrinya memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai di sebuah kios penatu dengan penghasilan yang lumayan untuk membantu perekonomian keluarga.
Sampai
akhirnya, sejak seminggu yang lalu, pada bulan ketiga pengaplikasian obat
tradisional yang membuat keadaan fisik istrinya makin bugar, Humam sekeluarga memutuskan
untuk merintis usaha sendiri. Mereka bekerja sama meracik dan menjual keripik
singkong dan keripik pisang dengan berbagai rasa, sampai mereka mendapatkan
keuntungan yang cukup menggiurkan. Dan untuk itu, Humam kembali bersyukur atas
pengetahuan putrinya, sebab perkara pembuatan keripik tersebut, juga diusulkan
putrinya setelah sang putri menemukan dan membaca sebuah buku resep camilan di
antara kertas-kertas hasil pulungannya.
Atas keadaan hidupnya yang berubah drastis ke arah yang lebih baik berkat pengetahuan putrinya dari kertas-kertas bacaan, Humam pun berubah pikiran soal arti pendidikan. Diam-diam, ia bahkan mulai mengancang-ancangkan untuk menyekolahkan putrinya sampai sarjana. Itu karena ia telah memiliki kesadaran baru, bahwa pengetahuan adalah pintu rezeki. Ia yakin jikalau pengetahuan yang tinggi akan membuat seseorang menjadi kaya raya.
“Kalau
usaha keripik kita ini terus berkembang, kau harus sekolah setinggi-tingginya,
Nak!" tutur Humam, pagi ini, di hari minggu yang cerah, di tengah pekerjaan
mereka memotong-motong pisang dan singkong.
"Tentu, Ayah! Aku ingin jadi dokter, agar bisa mengobati orang-orang, dan bisa menjadi orang yang kaya," tanggap sang putri.
Mendengar penuturan putrinya itu, Humam pun tersenyum senang. Begitu pula istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar