Minggu, 02 Oktober 2016

Seorang Pejalan Kaki

Seperti biasa, Heri akan melintasi perjalanan jauh sepulang dari kantornya. Ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta di tengah kota, sedangkan kediamannya berada di sebuah desa. Jaraknya lebih dari 30 KM. 
 
Jika saja sepanjang jalan yang dilaluinya beraspal dan mulus, mungkin saja ia sampai di rumah dalam hitungan setengah jam saja. Tapi karena separuh jalanan hanya padatan kerikil dengan lubang di mana-mana, hampir sejam waktunya habis di atas sepeda motor.

Di tengah perjalanan pada suatu sore yang hampir gelap, Heri mendapati pejalan kaki seorang diri. Lelaki bertubuh kurus itu, menapaki berkerikil di persimpangan jalan yang sunyi. Ia terlihat aneh dengan topi koboi, baju kemeja, dan celana jin. 

Lelah yang melemahkan, membuat Heri mengabaikan si pejalan kaki. Tidak menyapa, apalagi menawarkan tumpangan padanya. Khawatir jika mereka berbeda jalur, sebab tentu sangat membebani kalau harus mengantarnya, dan menyimpang ke jalur yang jauh.

Sikap cuek Heri, juga untuk cari aman. Jelas, ia khawatir kalau pejalan kaki itu sesungguhnya orang jahat yang hendak mencelakainya. Seorang begal yang tega membunuh seseorang demi harta benda. Apalagi, sepeda motornya, baru dibeli empat hari yang lalu. 

Maka, untuk kesekian kalinya, ia memilih tak mengacuhkan pejalan kaki. Memutuskan untuk memacu kendaraannya, lewat di samping kanan lelaki yang entah siapa itu. Meninggalkan kepulan debu jalanan dari tanah yang mengering.

Sesampai di rumahnya, ia pun melakukan langkah-langkah untuk melepas penat. Duduk sejenak, mandi, makan, menonton televisi, kemudian tidur menjelang tengah malam. Kala tengah menyaksikan sinetron favoritnya di layar kaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan di daun pintu rumahnya. 

Dengan setengah was-was, ia mengintip di celah jendela. Ia takut, sebab di kampungnya, tidak biasa ada yang bertamu lewat dari jam 9 malam. Dan, betapa kagetnya ia menyaksikan sesosok lelaki di teras rumahnya. Samar-samar, dia terlihat serupa dengan lelaki yang diabaikannya di tengah jalan sore tadi. 

“Siapa?” tanya Heri. Ia berharap si tamu akan mengungkapkan identitas yang mungkin diketahuinya.

“Ini saya, Nak,” jawab si tamu.

Nak? Heri terentak mendengar jawaban sosok misterius itu.  Jelas, ayahnya tidak di kampung sekarang. Seminggu lalu, sang ayah beranjak ke kota untuk tinggal di rumah anak sulungnya, kakak kandung Heri. Rencananya, ia tinggal di sana barang dua minggu.

“Siapa?” tanya Heri lagi. Berharap diberi tanda yang lebih meyakinkan.

“Ini Sumardi, ayahmu, Nak. Ayo cepat buka pintunya. Ayah capek,” balas lelaki itu. Terdengar ngos-ngosan.

Di pendengaran Heri, memang suara si tamu mirip suara ayahnya. Maka, bersama setengah keyakinanya karena rasa takut atas aksi perampokan yang biasanya terjadi malam hari, ia pun membuka kunci dan menyibak daun pintu. Benar saja, itu adalah ayahnya.

“Ayah? Kok pulang secepat ini?” tanyanya. 

“Aku tak betah di kota, Nak. Sumpek. Ternyata suasana di desa lebih nyaman,” balasnya, sambil bergegas masuk ke dalam rumah.

“Tapi kenapa ayah pulang jalan kaki? Kan, bisa lewat kendaraan? Tinggal bayar sewa,” tutur Heri, kemudian menyadari kalau omongannya itu keliru, sebab ayahnya bisa saja curiga, bagaiman ia bisa tahu kalau sang ayah pulang dengan berjalan kaki.

“Mana ada mobil malam-malam begini masuk kampung. Mau naik ojek? masalahnya, aku tak punya uang. Di terminal tadi, aku kecopetan. Seisi dompet dan HP-ku raib,” balasnya dengan begitu lemas.

Heri hanya terdiam. Perasaan kegetnya belum sirna sepenuhnya.

“Andai saja pengendara motor yang lewat di jalan tadi, sudi memberiku tumpangan, pastilah sedari tadi aku sampai, tanpa harus mampir istirahat berkali-kali,” sambung ayahnya. “Orang-orang sekarang memang sudah tak saling peduli lagi.”

“Astaga. Tapi yang penting Ayah sampai dengan selamat,” balas Heri dengan perasaan yang campur aduk. “Lebih baik Ayah segera beristirahat.” 

Dalam tutur kata yang pengertian itu, Heri merasa beruntung sebab ayahnya tak tahu kalau ia adalah pengendara yang mengabaikan seorang pejalan kaki sore tadi: ayahnya sendiri. Tapi rasa was-was masih menghantuinya, kalau-kalau besok, sang ayah mengingat tampakan atau nomor polisi sepeda motor barunya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar