Minggu, 09 Oktober 2016

Untuk Apa Sekolah Tinggi-Tinggi?


Sujan dan Karim adalah dua lelaki yang bersahabat baik sejak di bangku SMP sampai SMA. Mereka sangat dekat, meski berasal dari latar belakang keluarga yang bertolak belakang. Karim terdidik dengan nilai dan pandangan hidup modern, sedangkan Sujan sebaliknya. Perbedaan keluarga itu, termasuk cara pandang tentang penting-tidaknya pendidikan. Karenanya, mereka jadi tak sama pula pada strata pendidikan formal. Nasib kehidupan mereka pun jadi berbeda. Meski begitu, persahabatan mereka tetap terjaga.

Secara kasat mata, hidup Karim lebih beruntung dibanding Sujan. Wajar, sebab ia lahir dari orang tua yang kaya raya dan berpendidikan. Ayah dan ibunya sama-sama dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Kenyataan itu membuat pendidikan menjadi prioritas utama dalam keluarganya. Ia pun dikuliahkan hingga memperoleh gelar master. Dan, kini, ia telah menjadi dosen. Dosen di fakultas tempat ayah dan ibunya mengajar. Itu adalah kebanggaan baginya.

Di sisi lain, Sujan hanya seorang lelaki yang lahir dari rahim seorang ibu yang bekerja sebagai pedagang kue keliling. Ayahnya meninggal sejak ia masih balita. Jelas, kehidupannya sangat sederhana. Tapi kerasnya hidup itulah, yang membuat Sujan terbentuk menjadi sosok pekerja keras. Berupaya hidup mandiri, tanpa mengharapkan kesuksesan karena status orang tua. Kini, ia telah berhasil mendirikan sebuah warung makan sederhana. Hidupnya pun sejahtera. 

Meski kehidupannya sederhana, Sujan senantiasa bersyukur. Ia merasa puas hidup dari hasil keringatnya sendiri, bukan dari sumber yang tak jelas. Karena itu juga, sejumlah uang misterius yang masuk ke rekeningnya bulan lalu, tak dugunakannya sedikit pun.

Dan akhirnya, waktu pun mempertemukan Sujan dan Karim. Ketika sedang berlibur ke kampung, meninggalkan jadwal mengajarnya, Karim mampir ke warung milik Sujan. Tentu saja, sebagaimana lazimnya dua orang sahabat yang baru bertemu setelah bertahun-tahun terpisah, mereka begitu antusias berkisah tentang perjalanan hidup dan capaian masing-masing.

“Aku dengar-dengar, usaha warungmu ini, berkembang pesat?” pancing Karim.

Sujan nyengir. Merasa tebakan kawannya berlebihan. “Ah, biasa saja. Kamu lihat sendiri, di jam makan siang seperti ini, pengunjung hanya ada tiga orang,” sanggah Sujan, sembari meracik bakso untuk sahabatnya yang tambun itu. “Kamu yang sukses kawan. Menjadi seorang dosen yang kehidupannya terjamin. Dan yang lebih penting, mendidik orang-orang agar sukses juga. Aku kagum padamu.”

“Ya, kalau aku sih, untuk sekarang, tidak masalah soal penghasilan. Di kampus banyak proyek. Waktu mengajarnya juga, tidak setiap hari. Paling cuma tiga hari dalam seminggu. Jadi, aku bisa mengurus bisnisku juga. Intinya sih, enteng saja. Masuk atau tidak masuk mengajar, gaji juga tetap penuh. Tak ada sanksi,” tutur Karim, santai. Ia tak bertanya balik. Terkesan keenakan menjadi objek pembicaraan.

“Wah, enak benar hidupmu kawan,” tanggap Sujan. “Tapi, kau bukan tipe dosen yang makan gaji buta kan?”

“Ah, bagi aku sih, tak ada istilah gaji buta. Gaji, ya gaji. Apalagi, memang banyak yang telah kukorbankan demi menjadi seorang dosen. Kuliah tinggi-tinggi kan butuh banyak waktu, tenaga, pikiran, dan tentunya uang. Apa salahnya aku bersenang-senang dulu, sambil mengembalikan modal perjuanganku dahulu,” tutur Karim, lalu tertawa. 

“Baiknya sih, pekerjaan jalan, gaji jalan,” tutur Sujan yang tak terbiasa berbuat culas. Ia jelas tak sepaham. “Bisa-bisa, kamu dipecat kalau kerjanya tidak benar,” sambungya, sambil meletakkan semangkuk bakso porsi besar di depan Karim.

Mereka pun duduk berhadapan. 

“Ah, tidak mungkinlah aku dipecat. Ayahku kan dekan di kampus,” tuturnya, terlihat puas menyanggah. “Itulah, aku kan sudah bilang padamu dahulu, kuliah yang tinggi sepertiku. Kalau begitu kan, mungkin kita bisa jadi dosen di kampus yang sama. Sama-sama menikmati hasil dari susah-payahnya bersekolah.”

“Kamu sih enak, punya orang tua yang kaya. Aku?” tutur Sujan, mencoba merendah. Ia sadar betul, mental Karim telah berubah jadi congkak. “Tapi aku tetap bersyukur dengan kehidupanku. Yang penting tidak melarat. Ya, sejahteralah.”

Karim tertawa pendek. Paham kalau keadaan membuat Sujan tak mungkin bisa sepertinya. “Kamu sabar saja. Setidaknya, kau sekolahkan anakmu tinggi-tinggi, supaya bisa jadi orang besar juga.”

“Entahlah,” tanggap Sujan sekenanya.

Mereka pun terdiam, sambil mengecap lagi kebersamaan di masa lalu. Waktu telah mengubah banyak hal di antara mereka. Dua orang sahabat itu, kini telah menentukan pilihan hidupnya masing masing. Sebuah pilihan yang didasari pandangan dan nilai kehidupan yang tak sama. 

Setelah bakso yang dihidangkan habis disantapnya, Karim pun pamit. Tak lupa, ia menyodorkan uang berlebih yang mungkin setara dengan total nilai jual bakso Sujan dalam sehari. 

“Ambillah kawan. Ini bonus gajiku dari kampus. Uang sejumlah begini, tak berarti apa-apa bagiku,” tawar Karim.

“Tak usah. Terlalu banyak. Kalaupun kau hendak membayar, cukup untuk yang kau makan saja,” tolak Sujan. 

Karim tetap memaksa, “Jangan sungkan kawan.”

Sujan tetap menolak. Karim memaksa lagi. Tawar-menawar berlangsung alot di antara mereka. Dan akhirnya, Sujan menerimanya. Tapi dalam hati, ia berniat tak akan menggunakannya. Ia merasa uang itu tidak berkah, sebab tak bersumber dari kerja keras yang bertanggung jawab.

“Eh, uang yang kutransfer ke rekeningmu bulan lalu sudah masuk kan?” tanya Karim setelah nyaris beranjak pergi.

“Apa? Jadi, kau yang kirim?” Sujan jelas kaget. “Kenapa kau lakukan ini kawan? Tak perlu.”

“Tak mengapa. Pakailah,” balas Karim sambil tersenyum. Ia merasa telah membantu banyak untuk kehidupan sahabatnya.

Sujan tak membalas. 

Karim pun beranjak pergi dengan mobil mewahnya.

Jelas, dugaan Karim, keliru. Sujan tetap bertekad untuk mengembalikan semua uang dari Karim. Ia akan mengirimnya ke alamat rekening Karim, segera. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar