Sujan
dan Karim adalah dua lelaki yang bersahabat baik sejak di bangku SMP sampai
SMA. Mereka sangat dekat, meski berasal dari latar belakang keluarga yang bertolak
belakang. Karim terdidik dengan nilai dan pandangan hidup modern, sedangkan
Sujan sebaliknya. Perbedaan keluarga itu, termasuk cara pandang tentang
penting-tidaknya pendidikan. Karenanya, mereka jadi tak sama pula pada strata
pendidikan formal. Nasib kehidupan mereka pun jadi berbeda. Meski begitu,
persahabatan mereka tetap terjaga.
Secara
kasat mata, hidup Karim lebih beruntung dibanding Sujan. Wajar, sebab ia lahir
dari orang tua yang kaya raya dan berpendidikan. Ayah dan ibunya sama-sama
dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Kenyataan itu membuat pendidikan
menjadi prioritas utama dalam keluarganya. Ia pun dikuliahkan hingga memperoleh
gelar master. Dan, kini, ia telah menjadi dosen. Dosen di fakultas tempat ayah
dan ibunya mengajar. Itu adalah kebanggaan baginya.
Di
sisi lain, Sujan hanya seorang lelaki yang lahir dari rahim seorang ibu yang
bekerja sebagai pedagang kue keliling. Ayahnya meninggal sejak ia masih balita.
Jelas, kehidupannya sangat sederhana. Tapi kerasnya hidup itulah, yang membuat
Sujan terbentuk menjadi sosok pekerja keras. Berupaya hidup mandiri, tanpa mengharapkan
kesuksesan karena status orang tua. Kini, ia telah berhasil mendirikan sebuah
warung makan sederhana. Hidupnya pun sejahtera.
Meski
kehidupannya sederhana, Sujan senantiasa bersyukur. Ia merasa puas hidup dari
hasil keringatnya sendiri, bukan dari sumber yang tak jelas. Karena itu juga, sejumlah
uang misterius yang masuk ke rekeningnya bulan lalu, tak dugunakannya sedikit
pun.
Dan
akhirnya, waktu pun mempertemukan Sujan dan Karim. Ketika sedang berlibur ke
kampung, meninggalkan jadwal mengajarnya, Karim mampir ke warung milik Sujan.
Tentu saja, sebagaimana lazimnya dua orang sahabat yang baru bertemu setelah bertahun-tahun
terpisah, mereka begitu antusias berkisah tentang perjalanan hidup dan capaian
masing-masing.
“Aku
dengar-dengar, usaha warungmu ini, berkembang pesat?” pancing Karim.
Sujan
nyengir. Merasa tebakan kawannya berlebihan. “Ah, biasa saja. Kamu lihat
sendiri, di jam makan siang seperti ini, pengunjung hanya ada tiga orang,”
sanggah Sujan, sembari meracik bakso untuk sahabatnya yang tambun itu. “Kamu
yang sukses kawan. Menjadi seorang dosen yang kehidupannya terjamin. Dan yang
lebih penting, mendidik orang-orang agar sukses juga. Aku kagum padamu.”
“Ya,
kalau aku sih, untuk sekarang, tidak masalah soal penghasilan. Di kampus banyak
proyek. Waktu mengajarnya juga, tidak setiap hari. Paling cuma tiga hari dalam
seminggu. Jadi, aku bisa mengurus bisnisku juga. Intinya sih, enteng saja. Masuk
atau tidak masuk mengajar, gaji juga tetap penuh. Tak ada sanksi,” tutur Karim,
santai. Ia tak bertanya balik. Terkesan keenakan menjadi objek pembicaraan.
“Wah,
enak benar hidupmu kawan,” tanggap Sujan. “Tapi, kau bukan tipe dosen yang
makan gaji buta kan?”
“Ah,
bagi aku sih, tak ada istilah gaji buta. Gaji, ya gaji. Apalagi, memang banyak
yang telah kukorbankan demi menjadi seorang dosen. Kuliah tinggi-tinggi kan
butuh banyak waktu, tenaga, pikiran, dan tentunya uang. Apa salahnya aku
bersenang-senang dulu, sambil mengembalikan modal perjuanganku dahulu,” tutur
Karim, lalu tertawa.
“Baiknya
sih, pekerjaan jalan, gaji jalan,” tutur Sujan yang tak terbiasa berbuat culas.
Ia jelas tak sepaham. “Bisa-bisa, kamu dipecat kalau kerjanya tidak benar,”
sambungya, sambil meletakkan semangkuk bakso porsi besar di depan Karim.
Mereka
pun duduk berhadapan.
“Ah,
tidak mungkinlah aku dipecat. Ayahku kan dekan di kampus,” tuturnya, terlihat
puas menyanggah. “Itulah, aku kan sudah bilang padamu dahulu, kuliah yang
tinggi sepertiku. Kalau begitu kan, mungkin kita bisa jadi dosen di kampus yang
sama. Sama-sama menikmati hasil dari susah-payahnya bersekolah.”
“Kamu
sih enak, punya orang tua yang kaya. Aku?” tutur Sujan, mencoba merendah. Ia
sadar betul, mental Karim telah berubah jadi congkak. “Tapi aku tetap bersyukur
dengan kehidupanku. Yang penting tidak melarat. Ya, sejahteralah.”
Karim
tertawa pendek. Paham kalau keadaan membuat Sujan tak mungkin bisa sepertinya.
“Kamu sabar saja. Setidaknya, kau sekolahkan anakmu tinggi-tinggi, supaya bisa
jadi orang besar juga.”
“Entahlah,”
tanggap Sujan sekenanya.
Mereka
pun terdiam, sambil mengecap lagi kebersamaan di masa lalu. Waktu telah mengubah
banyak hal di antara mereka. Dua orang sahabat itu, kini telah menentukan
pilihan hidupnya masing masing. Sebuah pilihan yang didasari pandangan dan nilai
kehidupan yang tak sama.
Setelah
bakso yang dihidangkan habis disantapnya, Karim pun pamit. Tak lupa, ia
menyodorkan uang berlebih yang mungkin setara dengan total nilai jual bakso
Sujan dalam sehari.
“Ambillah
kawan. Ini bonus gajiku dari kampus. Uang sejumlah begini, tak berarti apa-apa
bagiku,” tawar Karim.
“Tak
usah. Terlalu banyak. Kalaupun kau hendak membayar, cukup untuk yang kau makan
saja,” tolak Sujan.
Karim
tetap memaksa, “Jangan sungkan kawan.”
Sujan
tetap menolak. Karim memaksa lagi. Tawar-menawar berlangsung alot di antara
mereka. Dan akhirnya, Sujan menerimanya. Tapi dalam hati, ia berniat tak akan
menggunakannya. Ia merasa uang itu tidak berkah, sebab tak bersumber dari kerja
keras yang bertanggung jawab.
“Eh,
uang yang kutransfer ke rekeningmu bulan lalu sudah masuk kan?” tanya Karim
setelah nyaris beranjak pergi.
“Apa?
Jadi, kau yang kirim?” Sujan jelas kaget. “Kenapa kau lakukan ini kawan? Tak
perlu.”
“Tak
mengapa. Pakailah,” balas Karim sambil tersenyum. Ia merasa telah membantu
banyak untuk kehidupan sahabatnya.
Sujan
tak membalas.
Karim
pun beranjak pergi dengan mobil mewahnya.
Jelas,
dugaan Karim, keliru. Sujan tetap bertekad untuk mengembalikan semua uang dari
Karim. Ia akan mengirimnya ke alamat rekening Karim, segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar