Sumiah,
janda tua, tahu betul risiko menguliahkan anak jauh-jauh. Apalagi, ia hanya punya
seorang anak bernama Gusmar. Pastilah suatu waktu, rindu akan datang melanda.
Maka, ia setuju dengan saran sang anak agar hasil panen kebun kacang, digunakan
membeli telepon genggam. Nantinya, alat itulah yang akan difungsikan berbagi kabar kala
rindu.
Berselang
beberapa hari, dibelilah dua buah telepon genggam. Satu telepon genggam jadul untuk Sumiah, dan satu telepon genggam canggih untuk anaknya. Sumiah tak keberatan atas ketakseimbangan itu. Ia
takut, malah kebingungan mengoperasikan telepon genggam canggih. Baginya, sudah cukup
jika tahu menggunakan fasilitas berkirim pesan dan berjawab panggilan.
Biar
pun telah diperlengkapi telepon genggam, perpisahan anak-ibu itu, tetap saja menimbulkan
sesak di hati mereka. Masih ada kekhawatiran akan terjadi apa-apa di tengah
perpisahan. Tapi syukurlah, Gusmar tak perlu cemas berlebihan. Ada tetangganya,
Anjani, seorang gadis desa yang cantik jelita. Kepadanyalah perihal sang ibu
diamanahkan agar dibantu kala perlu. Termasuk memberi kabar tentang keadaannya.
Tentu
saja, Anjani tak keberatan. Ia rela melakukan apa saja, apalagi jika cuma
memantau dan memberi kabar kepada lelaki pujaannya tentang keadaan sang ibu. Sebagai
anak muda kekinian, mereka menguasai teknologi informasi. Kedua insan yang
tengah dimabuk cinta itu, dengan mudah melepas rindu dengan segala macam
saluran. Bisa dengan berkirim pesan, berbagi kabar lewat media sosial, ataukah
berteleponan kapanpun juga.
Dan,
sepanjang waktu perpisahan kedua insan itu pula, Sumiah malah serupa pihak
ketiga yang terabaikan. Beberapa pesan yang ia kirimkan kepada sang anak belakangan
ini, tak berbalas. Komunikasi anak-ibu itu, hanya intens di awal perpisahan.
Kerinduan
Sumiah pun, menjadi-jadi. Tak ada penawarnya. Hanya bisa berharap-harap cemas,
sambil berdoa untuk kebaikan sang anak.
Masalahnya,
Gusmar juga tak pengertian lagi. Tak sekali pun ia berbagi kabar secara
langsung dengan ibunya, kecuali mengorek informasi melalui Anjani. Dipikirnya,
sang ibu akan baik-baik saja, sehingga tak perlu dikhawatirkan, sampai ia
sendiri memberi kabar yang mengkhawatirkan.
“Gus,
aku dapat titipan kabar dari Ibumu. Dia minta, kalau kau punya kesempatan,
kembalilah beberapa waktu untuk membantunya memanen kacang di kebun,” tutur
Anjani lewat telepon kepada lelakinya, Gusmar, setelah kuping mereka memanas
berbagi gombalan.
“Dia
baik-baik saja kan?” tanya Gusmar, setengah khawatir.
“Kulihat
sih, dia masih seperti biasa. Tapi dia bilang, belakangan ini, kurang enak badan,”
balas Anjani, tetap dengan tutur manjanya. “Dia rindu padamu, katanya. Mungkin
karena itu.”
Mendengar
kabar itu, jiwa Gusmar yang selama ini tenang-tenang saja, berubah jadi was-was.
Rasa berdosa membuat rindu menggerogoti batinnya. Ia merasa bersalah atas sikapnya
yang tak peduli pada sang ibu, sekitar tiga bulan belakangan.
Selekas
mungkin, ia mengirimkan pesan singkat kepada ibunya. Tapi, tak satu pun
dibalas. Terpaksa, ia menelepon -sebuah langkah yang selama ini ogah
dilakukannnya sebab kuota mengobrol dengan Anjani, akan terkuras habis. Namun,
panggilannya, tak terjawab juga.
Akhirnya,
ia memutuskan untuk pulang kampung demi mendapat jawaban pasti atas rasa
penasarannya tentang keadaan sang ibu.
Dan,
mereka akhirnya berjumpa lagi.
“Bagaimana
kabarmu, Nak?” tanya Sumiah, sambil memeluk erat putranya.
“Aku
baik-baik saja, Bu,” jawab Gusmar. Ia mulai merasa tenang.
“Aku
sangat khawatir, Nak. Apalagi, selama ini kau tak membalas SMS-ku,” keluh Sumiah.
Gusmar
tertawa kecil, bercampur haru. “Bagaimana SMS Ibu mau dibalas kalau tidak
terkirim. Pulsa HP ibu kan tak ada. Masa aktif kartunya, juga sudah mati. Jadi,
tak bisa apa-apa lagi.”
Dalam
sekejap, cinta Sumiah pada sang anak mekar kembali. Ia sadar salah menilai
bahwa Gusmar telah mengabaikannya. “Untung ada Anjani di sini. Kalau tidak ada,
mungkin aku tak sekali pun mendengar kabarmu beberapa bulan terakhir. Aku
rindu, Nak,” tuturnya, sambil tetap memeluk sang anak.
Anjani
di samping kiri mereka, hanya tersenyum. Merasa berharga.
Jelas,
Sumiah tak tahu, Anjani adalah sebab rindunya tak terbalas selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar