Kamis, 06 Oktober 2016

Tanpa Kabar

Sumiah, janda tua, tahu betul risiko menguliahkan anak jauh-jauh. Apalagi, ia hanya punya seorang anak bernama Gusmar. Pastilah suatu waktu, rindu akan datang melanda. Maka, ia setuju dengan saran sang anak agar hasil panen kebun kacang, digunakan membeli telepon genggam. Nantinya, alat itulah yang akan difungsikan berbagi kabar kala rindu.
 
Berselang beberapa hari, dibelilah dua buah telepon genggam. Satu telepon genggam jadul untuk Sumiah, dan satu telepon genggam canggih untuk anaknya. Sumiah tak keberatan atas ketakseimbangan itu. Ia takut, malah kebingungan mengoperasikan telepon genggam canggih. Baginya, sudah cukup jika tahu menggunakan fasilitas berkirim pesan dan berjawab panggilan.

Biar pun telah diperlengkapi telepon genggam, perpisahan anak-ibu itu, tetap saja menimbulkan sesak di hati mereka. Masih ada kekhawatiran akan terjadi apa-apa di tengah perpisahan. Tapi syukurlah, Gusmar tak perlu cemas berlebihan. Ada tetangganya, Anjani, seorang gadis desa yang cantik jelita. Kepadanyalah perihal sang ibu diamanahkan agar dibantu kala perlu. Termasuk memberi kabar tentang keadaannya.

Tentu saja, Anjani tak keberatan. Ia rela melakukan apa saja, apalagi jika cuma memantau dan memberi kabar kepada lelaki pujaannya tentang keadaan sang ibu. Sebagai anak muda kekinian, mereka menguasai teknologi informasi. Kedua insan yang tengah dimabuk cinta itu, dengan mudah melepas rindu dengan segala macam saluran. Bisa dengan berkirim pesan, berbagi kabar lewat media sosial, ataukah berteleponan kapanpun juga.

Dan, sepanjang waktu perpisahan kedua insan itu pula, Sumiah malah serupa pihak ketiga yang terabaikan. Beberapa pesan yang ia kirimkan kepada sang anak belakangan ini, tak berbalas. Komunikasi anak-ibu itu, hanya intens di awal perpisahan. 

Kerinduan Sumiah pun, menjadi-jadi. Tak ada penawarnya. Hanya bisa berharap-harap cemas, sambil berdoa untuk kebaikan sang anak.

Masalahnya, Gusmar juga tak pengertian lagi. Tak sekali pun ia berbagi kabar secara langsung dengan ibunya, kecuali mengorek informasi melalui Anjani. Dipikirnya, sang ibu akan baik-baik saja, sehingga tak perlu dikhawatirkan, sampai ia sendiri memberi kabar yang mengkhawatirkan.

“Gus, aku dapat titipan kabar dari Ibumu. Dia minta, kalau kau punya kesempatan, kembalilah beberapa waktu untuk membantunya memanen kacang di kebun,” tutur Anjani lewat telepon kepada lelakinya, Gusmar, setelah kuping mereka memanas berbagi gombalan.

“Dia baik-baik saja kan?” tanya Gusmar, setengah khawatir.

“Kulihat sih, dia masih seperti biasa. Tapi dia bilang, belakangan ini, kurang enak badan,” balas Anjani, tetap dengan tutur manjanya. “Dia rindu padamu, katanya. Mungkin karena itu.”

Mendengar kabar itu, jiwa Gusmar yang selama ini tenang-tenang saja, berubah jadi was-was. Rasa berdosa membuat rindu menggerogoti batinnya. Ia merasa bersalah atas sikapnya yang tak peduli pada sang ibu, sekitar tiga bulan belakangan.

Selekas mungkin, ia mengirimkan pesan singkat kepada ibunya. Tapi, tak satu pun dibalas. Terpaksa, ia menelepon -sebuah langkah yang selama ini ogah dilakukannnya sebab kuota mengobrol dengan Anjani, akan terkuras habis. Namun, panggilannya, tak terjawab juga. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang kampung demi mendapat jawaban pasti atas rasa penasarannya tentang keadaan sang ibu.  

Dan, mereka akhirnya berjumpa lagi.

“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Sumiah, sambil memeluk erat putranya.

“Aku baik-baik saja, Bu,” jawab Gusmar. Ia mulai merasa tenang.

“Aku sangat khawatir, Nak. Apalagi, selama ini kau tak membalas SMS-ku,” keluh Sumiah.

Gusmar tertawa kecil, bercampur haru. “Bagaimana SMS Ibu mau dibalas kalau tidak terkirim. Pulsa HP ibu kan tak ada. Masa aktif kartunya, juga sudah mati. Jadi, tak bisa apa-apa lagi.” 

Dalam sekejap, cinta Sumiah pada sang anak mekar kembali. Ia sadar salah menilai bahwa Gusmar telah mengabaikannya. “Untung ada Anjani di sini. Kalau tidak ada, mungkin aku tak sekali pun mendengar kabarmu beberapa bulan terakhir. Aku rindu, Nak,” tuturnya, sambil tetap memeluk sang anak.

Anjani di samping kiri mereka, hanya tersenyum. Merasa berharga.

Jelas, Sumiah tak tahu, Anjani adalah sebab rindunya tak terbalas selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar